PENGATURAN HUKUM PENYALAHGUNAAN OBAT

DUMOLID SEBAGAI OBAT PENENANG BAGI ANAK

DIBAWAH UMUR BERDASARKAN PERSPEKTIF

HUKUM POSITIF INDONESIA

Putu Agus Risma Nanda Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i08.p1

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini merupakan untuk mengetahui serta memahami lebih dalam mengenai pengaturan penggunaan obat dumolid di Indonesia berdasarkan hukum positif di Indonesia serta mengetahui pertanggungjawaban hukum terhadap penyalahgunaan obat dumolid bagi anak dibawah umur yang tidak berdasarkan resep dokter berdasarkan hukum positif di Indonesia. Penulisan penelitian ini menggunakan suatu metode yuridis normatif dengan menggunakan suatu pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual yang kemudian dianalisi secara kualitatif dengan teknis deskripsi, dengan menggunakan suatu bahan hukum primer yakni Undang-Undang Psikotropika serta bahan hukum sekunder lainnya yakni buku-buku atau literatur yang berkaitan serta refrensi jurnal-jurnal. Hasil studi menunjukan bahwa pengaturan mengenai penggunaan obat tidur sudah diatur yakni harus menggunakan resep dari dokter dan berdasarkan saran dari dokter, akkibat dari penyalahgunaan suatu obat tidur ini yakni dengan sanksi pidana hukuman penjara, sanksi pidana denda, dan dapat juga melalui suatu rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial, serta apabila seorang anak melakukan tindakan penyalahgunaan suatu obat yang mengandung zat psikotropika ini maka dapat dilakukan dengan keadilan restorative yakni berupa diversi berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci : Penyalahgunaan Obat, Psikotropika, Anak Dibawah Umur.

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out and understand more deeply about the regulation of the use of dumolid drugs in Indonesia based on positive law in Indonesia and to find out legal responsibility for the misuse of dumolid drugs for minors who are not based on a doctor's prescription based on positive law in Indonesia. The writing of this research uses a normative juridical method using a statutory approach as well as a conceptual approach which is then analyzed qualitatively with technical descriptions, using a primary legal material, namely the Psychotropic Law and other secondary legal materials, namely books or literature that related and referenced journals. The results of the study show that arrangements regarding the use of sleeping pills have been regulated, namely having to use a prescription from a doctor and based on the advice of a doctor, as a result of the abuse of this sleeping drug, namely with criminal sanctions in prison, fines, and can also go through a medical rehabilitation or rehabilitation social justice, and if a child commits an act of abuse of a drug containing psychotropic substances, this can be done with restorative justice, namely in the form of diversion based on the conditions determined by the provisions of laws and regulations.

Keywords: Drug Abuse, Psychotropics, Underage Children.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Kemajuan daripada modernisasi selalu membawa dampak bagi kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Salah satu pengaruh besar yakni dengan kemudahan untuk mengakses sesuatu, hal yang saat ini sering terjadi merupakan suatu pengaruh mengenai obat-obatan. Pada dasarnya obat merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, namun apabila dipergunakan sesuai dengan tujuan, fungsi serta kadar yang ditentukan akan membawa suatu dampak positif.1 Berbeda halnya dengan apabila digunakan tidak sesuai tujuan dan fungsi serta tidak sesuai dengan kadarnya maka tentu hal tersebut akan membawa pengaruh negative dan dapat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya.

Berkaitan daripada hal tersebut tentu hal yang terlebih dahulu harus diketahui merupakan perbedaan diantara narkotika dengan psikotropika dimana yang dimaksud dengan narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang selanjutnya disebut dengan UU Narkotika yakni dalam Pasal 1 angka 1 mengatur bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Sedangkan yang dimaksud dengan psikotropika sendiri diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dalam Pasal 1 Angka 1 mengatur bahwa “Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.” Sehingga berdasarkan kedua perbedaan antara narkotika dan psikotropika merupakan terdapat dalam zat yang dikandungnya namun akibat buruk daripada kedua zat tersebut merupakan sama yakni apabila dikonsumsi secara berlebihan maka akan menyebabkan hal buruk bahkan hingga kematian.

Kehidupan saat ini dengan tingginya tingkat depresi seseorang menyebabkan suatu kebutuhan terhadap obat tidur sebagai hal yang membantu seseorang untuk dapat tidur dengan penggunaan zat psikotropika ini sebagai bentuk penyembuhannya dan mengurangi tingkat depresinya. Selain hal tersebut zat psikotropika ini digunakan sebagai obat untuk membantu para penderita yang mengalami depresi hingga menyebabkan sulit tidur pada malam hari juga sebagai bentuk pencegahan agar menghindari suatu kejadian yang berdampak negatif seperti kasus bunuh diri yang marak terjadi di negara-negara lain yang diakibatkan oleh depresi yang dialami seseorang.2 Dimana keadaan yang berbahaya disini merupakan apabila seseorang mengalami depresi yang tidak dapat lagi mengatasi suatu permasalahan yang dialaminya ditambah dengan permasalahan lainnya yang semakin bertambah maka situasi tersebut akan membahayakan kondisi daripada seseorang tersebut terutama hal ini akan berkaitan kepada kondisi jiwanya.

Sebagai langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut dijuallah suatu obat tidur, sebagai bentuk untuk mengurangi tingkat depresi seseorang yang dampaknya yakni dapat menyebabkan seseorang lebih tenang dan menghilangkan depresinya

dalam beberapa waktu tertentu.3 Dimana obat-obat penenang dan obat tidur tersebut pada saat ini dijual bebas dan secara legal di Indonesia namun tetap walaupun demikian dalam pembeliannya harus menggunakan suatu resep daripada dokter. Kandungan yang terdapat dari obat-obat tersebut mengandung suatu zat kimia yang didalamnya terkandung suatu zat penenang sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu zat psikotropika4. Sehingga dalam hal ini UU Psikotropika sangat berperan penting dalam maraknya penggunaan obat penenang ini karena demikian penjualannya dilakukan secara bebas sehingga menyebabkan banyak orang yang membelinya secara cuma-cuma. Sehingga berkaitan dengan penyalahgunaan obat psikotropika tersebut yang paling sering dijumpai merupakan penyalahgunaan obat dumolid tersebut. Obat dumolid sendiri mengandung suatu zat yang berdampak pada saraf dalam tubuh dimana berpengaruh terhadap aktivitas dan mental dari suatu individu tersebut, dimana zat ini dinamakan dengan zat aktif Nitrazepam5. Apabila suatu zat ini dikonsumsi secara terus menerus maka dampak yang akan ditimbulkan yakni mengakibatkan gangguan saraf serta menyebabkan seseorang menjadi kebingungan terhadap dirinya apabila zat ini terus dikonsumsi secara berkepanjangan.

Walaupun secara aturan medisnya mengatur bahwa penggunaan obat dumolid ini tidak dapat digunakan secara berkepanjangan dan harus berdasarkan pada resep dokter, namun dalam kenyataannya banyak sekali ditemukan seseorang dapat mengkonsumsinya secara bebas, hal ini diakibatkan karena mudahnya obat ini dibeli tanpa dengan menggunakan suatu resep dokter dan dalam pengkonsumsiannya tidak menggunakan suatu resep dokter serta tidak berdasarkan ajuran yang dituliskan dalam suatu resep, tidak jarang ditemui bahwa seseorang mengalami suatu overdosis dikarenakan penggunaan obat dumolid ini yang tidak sesuai dengan anjuran dokter.6 Pada dasarnya obat dumolid tersebut memang digunakan dalam ilmu Kesehatan mjaupun kedokteran sebagai obat penyembuh namun tetap berpegangan pada anjuran resep dokter serta dalam hal ini tidak boleh dipergunakan secara sembarangan karena tentu apabila dipergunakan secara berlebihan maka obat ini akan membahayakan organ tubuh bahkan paling buruk menyebabkan suatu kematian.7 Dumolid mendapatkan izin edarnya oleh BPOM sebagai obat daripada orang yang mengalami insomnia, beranjak dari hal inilah dumolid mulai masuk ke Indonesia pertama kalinya pada tahun 1974 dengan nomor izin edar DPL7405506017A1 tentunya apabila digunakan secara berlebihan akan menimbulkan efek samping yang membawa pengaruh negatif.

Sehingga penggunaan obat dumolid sebagai obat yang mengandung zat psikotropika tersebut sebenernya hanya dapat digunakan dalam rangka pelayanan Kesehatan saja, sehingga apabila digunakan untuk kepentingan lainnya diluar suatu pelayanan kesehatan maka penggunaan suatu obat dumolid tersebut merupakan penggunaan yang illegal atau dilarang dan bertentangan dengan hukum dimana hal ini diatur juga dalam UU Psikotropika yakni dalam Pasal 14 ayat (4) yang mengatur bahwa “Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai

pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.” Obat penenang sejatinya memang suatu hal yang legal untuk dibeli dalam suatu apotek namun tetap dengan adanya suatu resep dari dokter, namun apabila seseorang mengkonsumsi dumolid tanpa menggunakan suatu resep dokter, hal inilah yang menimbulkan suatu permasalahan. Seperti kasus yang terjadi pada selebritas Indonesia yakni Tora Sudiro dan istrinya dimana ia ditangkap Polisi Polres Metro Jakarta terkait dengan kepemilikannya atas dumolid sebanyak 30 butir yang ditambah dengan hasil positif atas tes urine yang dilakukan terkait penggunaan obat terlarang, yang dalam pemeriksaan juga Tora mengaku sudah mengkonsumsi obat dumolid selama setahun yang digunakan untuk mengatasi kesulitan tidurnya, Tora Sudiro dianggap melanggar ketentuan UU Psikotropika karena menggunakan obat dumolid tanpa resep dokter Tora akhirnya resmi menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur, Jakarta Timur.8

Namun dalam masa kini penggunaan obat penenang tidak hanya digunakan bagi orang yang sudah dewasa namun tidak jarang juga dilakukan bagi anak yang masih dibawah umur karena dalam penggunaan suatu obat penenang diawali dengan adanya coba-coba, dan tidak jarang anak dibawah umur ini dipengaruhi oleh orang yang sudah dewasa. Sehingga suatu perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Psikotropika sangat diperlukan untuk terjaminnya suatu hak-hak dari anak tersebut. Hal ini didorong juga anak dibawah umur belum memiliki suatu kehendak yang bebas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, karena bagaimanapun juga kondisi psikologis seorang anak sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. atau dalam kata lain lingkungan menjadi suatu pengaruh besar terhadap apa yang dilakukan seorang anak.9

Penulisan kali ini juga didukung dengan penelitian-penelitian yang terdahulu dimana sebagai bahan refrensi namun walaupaun demikian terdapat unsur kebaruan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini yakni sebagai bahan pembeda. Salah satu penelitian terdahulu yakni dilakukan oleh Febyanca Sukarya dimana melakukan suatu penelitian dengan judul yakni “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Obat Dumolid Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Indonesia” dimana dalam penelitian ini membahas mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana dari pelaku yang menyalahgunakan penggunaan suatu obat dumolid tersebut. Selanjutnya dalam penelitian lainnya yakni dilakukan oleh Adi Surya yakni dengan penelitian yang dilakukannya berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penyalahgunaan Psikotropika Golongan IV Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika” dimana dalam penelitiab ini yang menjadi suatu pokok bahasan merupakan penyalahgunaan terhadap penggunaan psikotropika yang difokuskan kepada golongan ke IV berdasarkan UU Psikotropika.

Sehingga berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan dalam hal ini penulis ingin melakukan suatu penelitian yang berfokus pada penyalahgunaan dumolid tersebut yang digunakan sebagai obat penenang berdasarkan hukum positif di Indonesia sehingga penulis mengganggap penelitian ini penting dilakukan sebagai bentuk maraknya kasus penggunaan obat penenang yang tidaki digunakan sesuai dengan fungsinya serta tidak berdasarkan pada resep dokter sehingga dilakukan penelitian ini dengan judul “PENGATURAN HUKUM

PENYALAHGUNAAN OBAT DUMOLID SEBAGAI OBAT PENENANG BAGI ANAK DIBAWAH UMUR BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Bertumpu kepada suatu permasalahan yang telah dijabarkan pada latar belakang tersebut maka terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat digunakan pada penelitian kali ini berdasarkan isu hukum tersebut antara lain:

  • 1.    Bagaimana pengaturan penggunaan obat dumolid di Indonesia berdasarkan hukum positif di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap penyalahgunaan obat dumolid bagi anak dibawah umur yang tidak berdasarkan resep dokter berdasarkan hukum positif di Indonesia ?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan diharapkan dapat mencapai tujuan daripada penelitian tersebut antara lain untuk mengetahui bagaimana pengaturan penggunaan obat dumolid di Indonesia berdasarkan hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap penyalahgunaan obat dumolid bagi anak dibawah umur yang tidak berdasarkan resep dokter berdasarkan hukum positif di Indonesia

II Metode Penelitian

Metode daripada penulisan penelitian ini merupakan suatu penggunaan metode yuridis normatif dimana dalam suatu penelitian yuridis normatif ini digunakan dengan tujuan pada studi ini untuk mencari kebenaran yang mendalam terhadap suatu kaidah hukum yang tertulis dimana yang digunakan dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kaidah hukum tertulis yakni berdasarkan peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya seperti buku maupun jurnal-jurnal penelitian.10 Penelitian ini berkaitan dengana terdapatnya suatu kekosongan norma dimana belum diaturnya pengaturan dari bagaimana jika obat dumolid tersebut dikonsumsi oleh anak dibawah umur. Hal yang dilakukan merupakan suatu pengkajian norma berdasarkan pada suatu hukum positif yang menjadi permasalahan dalam penelitian kali ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suatu pendekatan yang berkaitan dengan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual yang penulis anggap relevan dengan penelitian kali ini. Hal yang menunjang suatu pendekatan ini merupakan mengaitkan suatu permasalahan yang terdapat dalam penelitian kali ini dengan mengaitkannya dengan pasal-pasal dalam suatu perundang-undangan yang berkaitan dengan suatu permasalahan yang akan dibahas. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian kali ini merupakan suatu bahan hukum primer sebagai bahan hukum yang utama berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian kali berdasarkan pada penggunaan buku-buku atau literatur yang berkaitan serfa jurnal-jurnal sebagai bahan refrensi.11 Penelitian ini menggunakan suatu studi kepustakaan dengan teknik analisis kualitatis

dan bersifat deskriptif yakni menjelaskan secara detail terhadap permasalahan hukum yang dibahas.

III Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pengaturan Penggunaan Obat Dumolid Di Indonesia Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia

Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan yang diatur lebih lanjut dalam UU Psikotropika yakni dalam Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa “Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi:

  • a.    psikotropika golongan I;

  • b.    psikotropika golongan II;

  • c.    psikotropika golongan III;

  • d.    psikotropika golongan IV.”

Maksud daripada penggolongan psikotropika tersebut antara lain merupakan sebagai berikut:

  • a.    Golongan I yakni hanya sebagai digunakan dalam idang ilmu pengetahuan tidak disarankan untuk penggunaan di bidang ilmu kesehatan dikarenakan efeke ketergantungan yang ditimbulkan yakni cukup tinggi. Contoh daripada psikotropika golongan I merupakan ekstasi, LSD, dan DOM. Sehingga selain berkaitan dengan dunia Kesehatan maka tidak diperjual belikan.

  • b.    Golongan II yakni digunakan untuk bidang kesehatan sebagai pengobatan dan juga sebagai obat terapi namun tetap juga mempunyai potensi untuk menyebabkan ketergantungan. Contoh daripada psikotropika golongan ke II merupakan amfetamin, metafeamin, serta fenetilin. Maka golongan II ini sejatinya dapat digunakan sebagai pengobatan namun demikian memiliki suatu resiko ketergantungan yang sangat tinggi.

  • c.    Golongan III yakni digunakan untuk pengobatan serta sering sebagai terapi serta sering digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, namun potensi untuk menyebabkan ketergantungan berada pada titik sedang. Contoh daripada psikotropika golongan III ini merupakan amorbarbital, brupronorfina, dan mogadon.

  • d.    Golongan IV yakni psikotropika yang tidak jarang sebagai pengobatan serta sering digunakan dalam ilmu pengetahuan karena mempunyai ketergantungan yang rendah. Contoh daripada psikotropika golongan IV ini merupakan diazepam, nitrazepam, lexotan, pil koplo, obat penenang, dan obat tidur.12 Pada dasarnya obat penenang ataupun obat tidur mengandung zat kimia yakni suatu zat psikotropika yang termasuk kedalam golongan IV, dengan maraknya kasus penyalahgunaan psikotropika ini maka dibentuklah suatu UU Psikotropika yang memiliki suatu tujuan yang diatur dalam Pasal 3 mengatur bahwa “Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :

  • a.    menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;

  • b.    mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;

  • c.    memberantas peredaran gelap psikotropika.”

Dimana UU Psikotropika tersebut dapat berperan untuk mencegah pertumbuhan angka kasus penyalahgunaan obat tidur serta obat penenang ini selain itu juga dapat membantu memberantas peredaran-peredaran obat penenang tersebut

yang dijual secara illegal yakni dapat dibeli tanpa esep dokter. Pada dasarnya obat dumolid merupakan salah satu jenis obat tidur yang dalam pengkonsumsiannya harus berdasarkan resep dokter karena didalam obat dumolid tersebut mengandung zat metrazepam yang termasuk bagian daripada golongan psikotropika. Serta efek samping yang ditimbulkan merupakan suatu ketergantungan dan halusinasi yakni apabila digunakan dengan tidak menggunakan resep dokter atau digunakan secara berlebihan penggunanya akan mengalami suatu gangguang ilusi bahkan gangguang penyakit yang berkaitan dengan daya pikir dan tidak jarang ditemui dapat menyebabkan suatu kematian, hal ini dikarenakan untuk mengkonsumsi psikotropika ini sangat mudah karena bentuknya terdapat dalam bentuk pil, serbuk, ataupun kapsul.13

Penyalahgunaan obat tidur ini sudah marak terjadi tidak hanya bagi kaum dewasa namun pada masa kini banyak dijumpai anak dibawa umur yang juga turut serta obat penenang, dimana penggunaannya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Psikotropika mengatur bahwa “Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.” Maka berkenaan dengan pasal tersebut apabila suatu obat yang mengandung zat psikotropika seperti dumolid ini digunakan diluar hal-hal yang telah diatur dalam pasal tersebut maka sudah dapat dikatakan suatu perbuatan yang melawan hukum, karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta bedasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 688/Menkes/per/VII/1997 tanggal 14 Juli 1997 mengatur lebih lanjut mengenai peredaran suatu psikotropika ini, dimana berdasarkan ketentuan tersebut mengatur bahwa “yang dimaksud dengan peredaran psikotropika meliputi: suatu usaha, kegiatan, yang terorganisi dan mendapatkan izin dari menteri kesehatan, untuk melakukan penyaluran dan penyerahan psikotropika, kepada pihak-pihak tertentu sesuai izin yang dikeluarkan”. Sehingga apabila terjadi suatu peredaran obat dumolid ini diluar berdasarkan apa yang menjadi ketentuan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dijatuhi sanksi pidana.

Dititik inilah suatu hukum pidana berlaku yang bertujuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan melawan hukum serta berperan dalam mendidik seseorang untuk tidak mengulangi perbuatan melawan hukumnya. Dimana mengenai penyalahgunaan penggunaan obat-obatan yang mengandung zat psikotropika terdapat dalam hukum positif berlaku serta terdapat suatu sanksi tegas yang mengaturnya, dimana sanksi dalam penyalahgunaan penggunaan obat psikotropika tersebut diatur lebih merinci dalam UU Psikotropika. Para pelaku penyalahgunaan obat dumolid ini pada saat ini kerap ditemukan menggunakan obat dumolid ini sebagai cara untuk mengatasi gangguang susah tidur dan untuk meredakan stresnya, atau bahkan untuk menambah tenaga sebagai alternatif pengganti narkoba karena kemudahan akses untuk membelinya.14 Padahal pembelian suatu obat dumolid ini hanya dapat dibeli di apotek selain itu harus dibeli dengan menggunakan suatu resep dokter, namun dalam praktiknya terdapat beberapa orang yang menjualkan obat dumolid ini secara bebas tanpa menggunakan suatu resep dokter atau penjualan yang dilakukan secara illegal. Karena bagaimanapun obat dumolid ini merupakan suatu obat tidur yang mengandung zat psikotropika golongan

ke IV. Pada dasarnya berdasarkan UU Psikotropika serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan mengatur bahwa pembelian obat dumolid sebagai obat penenang ini harus berdasarkan pada resep dokter atau digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang tetap berdasarkan peraturan dan secara bertanggungkawab.

Pengaturan mengenai penyalahgunaan obat dumolid ini diatur secara merinci dalam UU Psikotropika yakni dalam Pasal 62 yang mengatur bahwa “Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Maka berdasarkan tersebut dapat diketahui bahwa seseorang yang menyalahgunakan suatu obat yang mengandung psikotropika tersebut dapat terjerat hukuman pidan penjara dan pidana denda. Sehingga apabila seseorang memiliki sejumlah obat dumolid namun tanpa resep dokter termasuk seseorang yang dianggap melakukan penyalahgunaan terhadap suatu obat yang dalam hal ini tidak berdasarkan peraturan yang berlaku maka akan dianggap bersalah karena melakukan pembelian obat-obatan mengandung psikotropika secara illegal dan dapat diajtuhi sanksi ketentuan Pasal 62 UU Psikotropika.

Apabila suatu obat dumolid tersebut yang mengandung zat psikotropika yang menyebabkan ketergantungan dan halunasi apabila dibeli secara illegal dan secara bebas dengan tanpa resep dokter selanjutnya dikonsumsi secara berlebihan tidak berdasarkan anjuran dokter, maka hal tersebut tentunya akan membahayakan kesehatan penggunanya.15 Hal ini juga diatur dalam UU Kesehatan yakni dalam Pasal 102 ayat (1) mengatur bahwa “Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.” Maka berdasarkan hal tersebut berdasarkan adanya suatu resep dari dokter baru suatu obat dumolid dapat dikonsumsi untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, obat dumolid dilarang dipergunakan secara bebas apabila tidak berdasarkan anjuran dokter ataupun resep dokter karena hal tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan. Karena setiap orang atau penggunan yang telah menggunakan suatu obat dumolid tidak berdasarkan resep dokter atau melakukan pembelian secara illegal maka dianggap telah bertentang dengan ketentua Pasal 62 UU Psikotropika dan Pasal 102 ayat (1) UU Kesehatan. Maka daripada hal gtersebut apabila menggunakan suatu obat dumolid harus dapat memepertanggungjawabkannya secara berdasarkan aturan hukum yang berlaku.16

  • 3.2 Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Penyalahgunaan Obat Dumolid Bagi Anak Dibawah Umur Yang Tidak Berdasarkan Resep Dokter Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia

Pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penggunaan suatu obat-obatan yang mengandung zat priskotropika diatur secara khusus dalam UU Psikotropika yakni dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 72, dimana UU Psikotropika tersebut menjadi lex specialis derogat lex generalis.17 Oleh

karena hal tersebut maka ketentuan mengenai suatu pelanggaran terhadap penggunaan suatu obat dumolid yang berkaitan dengan psikotropika maka menggunakan suatu peraturan perundang-undangan secara khususnya yakni UU Psikotropika dengan mengesampingkan KUHP itu sendiri, kecuali hal-hal yang belum diatur lebih merinci dalam UU Psikotropika. Dimana dilihat pengelompokan mengenai pelanggaran terhadap penggunaan psikotropika dalam UU Psikotropika dibagi menjadi beberapa kelompok yakni:

  • a.    “Tindak pidana yang menyangkut mengenai produksi suatu psikotropika diatur dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b, pasal 59 ayat (2), dan ayat (3), dan pasal 60 ayat (1)

  • b.    Tindak pidana yang menyangkut mengenai peredaran suatu psikotropika diatur dalam pasal 59 ayat (1) huruf c, pasal 60 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)

  • c.    Tindak pidana yang menyangkut ekspor impor suatu psikotropika diatur dalam pasal 59 ayat (1) huruf d, pasal 61 ayat (1), dan ayat (2), dan pasal 63 ayat (1)

  • d.    Tindak pidana yang menyangkut mengenai penggunaan suatu psikotropika diatur dalam pasal 59 ayat (1) huruf a

  • e.    Tindak pidana yang menyangkut mengenai pengobatan dan rehabilitasi dari penggunaan suatu psikotropika diatur dalam pasal 64

  • f.    Tindak pidana yang menyangkut mengenai sanksi dalam perkara psikotropika diatur dalam Pasal 66”18

Hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum dapat terjadi apabila suatu tindak pidana memang telah dilakukan oleh seseorang sebelumnya dan perbuatan tersebut dapat dibuktikan. Sehingga apabila hal tersebut dapat terpenuhi maka seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya tersebut dan tidak mungkin apabila seseorang yang tidak melakukan perbuatan melawan hukum dapat dikenai suatu pertanggungjawaban hukum. Untuk menentukan perbuatan hukum mana yang dapat dijatuhi suatu sanksi pidana dan bagaimana sanksi pidananya hanya dapat ditentukan melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan daripada penjatuhan suatu pidana ini merupakan dikenal dengan suatu 3 teori yakni teori absolut yakni berupa pembalasan, teori relatif sebagai bentuk pencegahan terhadap suatu kejahatan yang akan terjadi di masa mendatang, dan sebagai bentuk pencegahan terhadap kejahatan di masa mendatang sekaligus sebagai pembalasan.19 Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 62 UU Psikotropika terkait dengan perbuatan yang menyangkut penyalahgunaan obat dumolid yakni diatur bahwa “Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Selain hal tersebut dalam Pasal 37 ayat (1) UU Psikotropika mengatur bahwa “Penggunapsikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan.” Selanjutnya dalam Pasal 37

ayat (2) mengatur bahwa “Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat

  • (1)    dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.” Maka pertanggungjawaban pidana yang diberikan merupakan suatu pidana penjara, pidana denda, serta rehabilitasi. Maka maksud dari rehabilitasi ini sendiri apabila dikaitkan dengan UU Kesehatan merupakan suatu bentuk upaya Kesehatan yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Kesehatan mengatur bahwa “Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh

pemerintah dan/atau masyarakat.” Rehabilitasi sendiri teridiri atas rehabilitasi medis serta rehabilitasi sosial dimana hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang selanjutnya disebut dengan UU Narkotika, dimana rehabilitasi medis sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 16 UU Narkotika mengatur bahwa “suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika”, rehabilitasi sosial diatur dalam Pasal 1 angka 17 UU Narkotika yang mengatur bahwa “suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat” sehingga penyalahgunaan obat dumoliod tersebut terdapat suatu sanksi penjara, ataupun denda, dan apabila mengalami suatu ketergantungan terhadap obat dumolid tersebut akan mengalami rehabilitasi.

sehingga dapat disimpulkan bahwa bagi seseorang yang melakukan penyalahgunaan

Selain hal tersebut diatur juga dalam Pasal 41 UU Psikotropika mengatur bahwa “Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.” Berkaitan dengan hal ini maka seseorang yang mengalami ketergantungan terhadap psikotropika dapat diberikan pilihan untuk melakukan pengobatan ataupun perawatan dikarenakan sebagai bentuk upaya rehabilitasi ini sebagau tujuannya untuk memberikan kesembuhan bagi pengguna yang telah mengalami ketergantungan terhadap suatu psikotropika ataupun dengan kata lain juga yakni memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya agar tidak melakukan perbuatan sedemikian rupa lagi pada hari mendatang. Hal ini berkaitan dengan teori pemidanaan yang tidak hanya mencari suatu pembalasan tetapi juga bagaimana agar seseorang tersebut tidak melakukan kesalahannya dikemudian hari. Karena bagaimanapun juga pelaku tindak pidana penyalahgunaan dumolid tersebut apalagi yang sudah mencapai pada titik ketergantungan harus dibina dan direhabilitasi agar tidak sampai terjadi pada suatu keadaan overdosis yang menyebabkan kematian.

Tindak pidana dilakukan oleh anak maka hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dalam Pasal 2 mengatur bahwa “Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. pelindungan; b. keadilan; c. nondiskriminasi; d. kepentingan terbaik bagi Anak; e. penghargaan terhadap pendapat Anak; f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. pembinaan dan pembimbingan Anak; h. proporsional; i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan.” Bahwa diatur berdasarkan UU Sistem Peradilan Anak karena pada dasarnya anak mempunyai suatu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum juga. Penanganan

atas perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan yakni dengan mengupayakan agar kasus tersebut diselesaikan diluar pengadilan dengan menempuh beberapa syarat yang tentunya harus dipenuhi sesuai aturan yang berlaku, karena rangkaian peradilan penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pembinaan tentu akan berpengaruh terhadap daya kembang anak.20 Kembali lagi kepada tujuan daripada suatu sistem peradilan anak merupakan mengsejahterahkan pelaku anak yang melakukan suatu tindak pidana bukan berorientasi pada penjatuhan pidana terhadap seorang anak.

Hal ini akan menimbulkan suatu disharmonisasi terhadap UU Psikotropika serta UU Sistem Peradilan Anak, dimana UU Sistem Peradilan Anak memiliki suatu konsep bahwa apabila terdapat suatu anak yang memiliki permasalahan dengan tindakan emlawan hukum wajib diupayakan diversi.21 Oleh karena itu untuk penyelesaian disharmonisasi ini dapat lex posteriori derogat legi priori yang bermakna aturan yang lebih baru dimana nantinya akan mengesampingkan aturan yang lama, sehingga peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam hal ini merupakan UU Sistem Peradilan Anak untuk menyelesaikan perkara yang dilakukannya dengan menggunakan suatu keadilan restorative atau biasa dikenal dengan restorative justice. Hal ini juga diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak yakni dalam Pasal 1 angka 6 yang mengatur bahwa “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Dengan mengupayakan pendekatan secara dialog terhadap pelaku, sehingga diharapkan dengan pendekatan tersebut pelaku dapat menyadari kesalahannya dan melakukan suatu intropeksi diri sehingga hasil yang diharapkan merupakan perbuatan melawan hukum tersebut tidak dilakukan kembali oleh anak tersebut. Sehingga hasil daripada suatu keadilan restoratif ini merupakan suatu kesepakatan sebagai bentuk mediasi atau suatu penyelesaian masalah dengan menggunakan suatu mediasi penal.22

Keadilan restoratif ini dapat dilakukan melalui suatu diversi yang diatur dalam Pasal 6 UU Sistemp Peradilan Anak yang mengatur bahwa “Diversi bertujuan:

  • a.    mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

  • b.    menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

  • c.    menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

  • d.    mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

  • e.    menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.”

Selain itu pula berdasarkan pada Pasal 7 ayat (2) UU Sistem Peradilan Anak mengatur bahwa “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

  • a.    diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

  • b.    bukan merupakan pengulangan tindak pidana.”

Sehingga apabila dikaitkan dengan sanksi pidana daripada penyalahgunaan psikotropika yang diatur dalam Pasal 62 UU Psikotropika yakni berkaitan dengan sanksi yang diberikan yaitu selama 5 tahun maka penggunaan diversi ini dapat dilakukan terhadap anak tersebut. Hal ini dilakukan pula karena sebagai upaya pencegahan terhadap seorang anak dalam sistem peradilan pidana. Maka hal yang

berhubungan dengan menyentuh seorang anak harus memperhatikan terhadap kesejahteraan anak tersebut dan juga seorang anak dapat dilakukan dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial agar seorang anak dapat kembali kedapa kehidupan sosial bermasyarakatnya tanpa menghilangkan kemerdekaannya.23 Namun hal ini juga tidak berarti dengan memberikan kebebasan pada seorang anak untuk melakukan suatu tindak pidana, mengenai diversi harus berdasarkan syarat pada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni UU Sistem Peradilan Anak dan tindakan diversi ini tetap ditetapkan oleh pengadilan secara langsung.

  • IV Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Pengaturan penggunaan obat dumolid sebagai golongan psikotropika golongan IV di Indonesia berdasarkan hukum positif di Indonesia telah diatur secara merinci dalam UU Psikotropika dan UU Kesehatan dimana dalam penggunaannya harus berdasarkan pada resep dokter dan sesuai anjuran dokter yakni dalam pembeliannnya harus secara illegal, Ketika seseorang menggunakannya tanpa berdasarkan anjuran dan resep dokter maka perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum yakni penyalahgunan psikotropika. Dimana terdapat suatu sanksi pidana yang harus ditanggung apabila telah melakukan penyalahgunaan psikotropika tersebut yakni berupa sanksi pidana hukuman penjara, sanksi pidana denda, serta rehabilitasi yakni rehabilitasi secara medis ataupun rehabilitasi secara sosial. Berkaitan dengan apabila seorang anak melakukan suatu perbuatan penyalahgunaan psikotropika ini maka dapat dilakukan melalui suatu upaya keadilan restoratif berdasarkan pada UU Sistem Peradilan Anak dengan melakukan suatu diversi berdasarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah disyaratkan. Dalam hal ini pentingnya mengembalikan kondisi seorang anak tersebut Namun hal ini juga tidak berarti dengan memberikan kebebasan pada seorang anak untuk melakukan suatu tindak pidana, mengenai diversi harus berdasarkan syarat pada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni UU Sistem Peradilan Anak dan tindakan diversi ini tetap ditetapkan oleh pengadilan secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adi Koesno, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, (Setara Press, selanjutnya disebut Koesno Adi I, Malang, 2015.)

H Ishaq. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta, Disertas. (Alfabeta, Bandung, 2017.)

Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, (Prenada Media, Surabaya, 2018.)

Rahmah, A dan Pabbu, Amiruddin. Kapita Selekta Hukum Pidana. (Mitra Wacana Media, Bogor, 2015.)

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (PT Raja Grafindo, Depok, 2014.)

Jurnal:

Arnawa,Eka Putra Pratama; Dharmawan, Ni Ketut Supasti. “Pengawasan Terhadap Perusahaan Yang Mengedarkan Obat-obatan Impor Tanpa Izin Edar.”Jurnal Kertha Semaya 5, No.12 (2018): 2.

Danielt, R. T. “Penerapan Restorative JusticeTerhadap Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”. Jurnal Lex et Societatis2, No. 6(2014):1-20.

Dewi, I. A. K. A, “Penyalahgunaan Zat Terlarang (Doping dan NAPZA) Sebagai Upaya Peningkatan Stamina Dalam Olahraga”, Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi. (2015). 22-23

F.Z., R.A. Alfajriyah. "Pelaksanaan Rehabilitasi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika (Studi Pada Loka Rehabilitasi Kalianda)." Jurnal Poenale: Jurnal Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung 6, No. 06 (2017): 1-14.

Hariyanto, Bayu Puji. “Tindak Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.“ Jurnal Daulat Hukum, (2018). no.1.

Kesuma, Gede Jaya; Atmadja, Ida Bagus Putra. “Peran BPOM Provinsi Bali Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Peredaran Obat Yang Mengandung Zat Berbahaya (Policresulen).”Jurnal Kertha Semaya 4, No.3 (2016): 3.

Khamajaya, Ida Bagus Gede Surya, and I Gusti Agung Dike Widhiyastuti. "Pemberlakuan Sistem Pemidanaan Terhadap  Anak Dalam Perkara

Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 2 (2020): 1-14.

Munajah, Munajah. “Upaya Diversi dalam Proses Peradilan Pidana Anak Indonesia.” Jurnal Hukum Al-AdlVII, No. 14 (2015): 28-34.

Pradityo Rendy. “Restorative JusticeDalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Hukum dan Peradilan5,No.3 (2016): 319 -330.

Saraswati, Desak Nyoman Citra Mas., & Laksana, I Gusti Ngurah Dharma..”Pengawasan BPOM Terhadap Produk Makanan Yang Tidak Sesuai Dengan Standar Izin Edar Di Kota Denpasar”. Kertha Semaya, Journal Ilmu Hukum, (2018). 6(6).

Sri Agung Arimas, Gusti Ayu; Suharta, I Nengah. “Perlindungan Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan.”Jurnal Kertha Semaya2, No.2 (2014): 1.

Teguh Prasetyo. "Penerapan Diversi Terhadap Tindak Pidana Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak."Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum9, No. 1 (2015): 1-14.

Utari, N. P. S., Sarjana, I. M., & Setiabudhi, I. K. R. “Diskriminasi Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana”. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum. (2018).

Wardhani, Ni Made Kusuma, and I Gusti Ngurah Wairocana. "Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Dengan Ancaman Pidana Penjara Tujuh Tahun Atau Lebih." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 7, No. 03 (2018): 1-15.

Wisnu Prabowo Wahyono.Aditya, I Dewa Gede Dana Sugama. “Pencegahan Dan Pemberantasan Peredaran Narkoba Di Indobnesia”. Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 7, (2022).1463 -1473.

Yudha, Nyoman Krisna, and A. A. Sri Utari. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 2 (2020): 1-15.

Skripsi:

Moammar Zuldiawansyah,“Tinjauan HukumTerhadap Penggunaan Obat Dumolid Menurut UU No. 5 Tahun 1997”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2018.

Artikel Berita:

Noval Dhwinuari Antony. (2017). Alur Kasus Tora Sudiro dari Ditangkap Polisi hingga Masuk

RSKO. Diakses Pada 25 Februari 2023. https://news.detik.com/berita/d-3590162/alur-kasus-tora-sudiro-dari-ditangkap-polisi-hingga-masuk-rsko

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 688/Menkes/per/VII/1997 tanggal 14 Juli 1997

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 08 Tahun 2023, hlm. 384-397