KONTEN TIKTOK SEBAGAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA: PERSPEKTIF HAK CIPTA
on
KONTEN TIKTOK SEBAGAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA: PERSPEKTIF HAK CIPTA
Ninabelle Nathania, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: nathanianinabelle@gmail.com
Dewa Ayu Dian Sawitri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewaayudiansawitri@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i10.p7
ABSTRAK
Tujuan penulisan penelitiam ini adalah untuk mengetahui apa syarat yang harus dipenuhi sebuah konten tiktok untuk bisa dilakukan untuk membantu pembiayaan para pelaku ekonomi kreatif dan bagaimana penentuan valuasi konten tiktok sesuai dengan PP No. 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Metode penelitian normatif akan digunakan di dalam penulisan penelitian ini. Metode yang digunakan di dalam penulisan penelitian ini merupakan studi dokumen dengan memakai sumber-sumber bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan dan/atau dokumen-dokumen penunjang yang berhubungan dengan topik yang diteliti. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa masih banyak kekaburan tentang pengaturan hak cipta khususnya hak cipta konten video tiktok untuk dijadikan sebagai objek jaminan. Peraturan perundang-undangan sendiri sudah menentukan berbagai syarat untuk hak cipta konten tiktok dijadikan objek jaminan, tetapi ada beberapa syarat dasar yang menurut para ahli harus dipenuhi, tidak bisa dipenuhi oleh hak cipta konten video tiktok. Tentang proses valuasinya pun diatur di dalam peraturan perundang-undangan masih ambigu dan belum menyediakan cara valuasi secara teknis dan mendetail. Ditambah dengan tidak tersedianya lembaga pemerintah yang secara khusus bertugas untuk melakukan proses valuasi hak cipta konten video tiktok ini juga menjadi salah satu hambatannya.
Kata Kunci: Objek Jaminan, Hak Cipta, Konten Tiktok
ABSTRACT
This research is to find out the requirements needed for a tiktok video copyright to be used as collateral to help financing the creative economics and the valuation processaccording to government regulation No. 24 of 2022 about the implementation of the act no. 24 of 2019 about the creative economics. The normative law research is used in this research. This method is a document research using legal sources material such as the legislation and other documents related to this topic. This research shows that’s there are still lot obscurities about the regulations regarding the tiktok video copyright as collateral. The legislation itself regulates few requirements, but there are few requirements according to the experts that can’t be fullfiled. About the valuation process is also regulated in the legilatons, but there is a obscurity about the detail and the technic, and there is no government institution that specifically do the valuation of a copy right.
Keywords: Collateral, Copy Right, TikTok Content
Saat ini, banyak aspek-aspek kehidupan sehari-hari kita yang banyak bergantung kepada sosial media. Sosial media hadir memberikan banyak kemudahan bagi kita
penggunanya. Sosial media memberikan kemudahan kita untuk berkomunikasi,
memperluas jaringan dan koneksi, serta sebagai tempat kita dengan mudah mendapatkan dan membagikan informasi. Bahkan karena kemudahan dan popularitasnya, sosial media sekarang juga menjadi ruang virtual untuk orang-orang berkarya, karya ini dapat berupa
film, video, musik, karya seni gambar, dan lain sebagainya. Sekarang ini, banyak jenis-jenis social media yang bisa dipilih, seperti WhatsApp, Facebook, TikTok, Instagram, Youtube, Line, dan masih banyak yang lain sebagainya.
Saat ini, di Indonesia sendiri, platform sosial media tiktok adalah salah satu yang sangat sering dipakai dan sangat populer. TikTok atau dikenal juga dengan Douyin merupakan aplikasi jejaring sosial dan platform share video yang diluncurkan pada 2016 di Tiongkok oleh Zhang Yiming. Media sosial ini memperkenankan penggunanya untuk meng-edit dan men-share video yang berdurasi 15 detik sampai 5 menit.1 Aplikasi tiktok selain aplikasi untuk lip-sync, aplikasi ini jugamemperbolehkan penggunanya untuk menambahkjan special effect, filter, beragam suara atau potongan lagu di dalam video yang dibagikan. Selain untuk meng-edit dan men-share video banyak juga yang menggunakan tiktok dengan tujuan pengembangan bisnis dan platform digital marketing.2
Tiktok hadir di Indonesia sekitar tahun 2017 dan keberadaannya pun sempat di blokir oleh pemerintah di tahun 2018. Tetapi saat ini, tiktok sudah beredar dan bisa di download secara bebas di App Store atau Play Store. Pengguna tiktok di Indonesia berdasarkan laporan We Are Social per April 2022 jumlahnya merupakan yang terbesar kedua setelah Amerika Serikat dengan jumlah total pengguna aktif sebanyak 99,1 juta orang.3 Karena begitu populernya tiktok, platform ini sekarang banyak dijadikan platform untuk mencari penghasilan tambahan, mulai dari penggunaan tiktok shop, tiktok affiliate program, endorse, paid promote, live gift, dan banyak lain sebagainya. Ini lah yang sering kita dengan sebagai konten creator.
Perkembangan aplikasi sosial media tiktok ini menandakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar, potensi ini juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi kreatif karena semakin luasnya jenis konten yang di upload di sosial media.4 Bahkan sektor ekonomi kreatif pada tahun 2021 Indonesia menyumbang 7,44% dari keseluruhan total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, secara presentase menempatkan Indonesia di posisi 3 dibawah Amerika Serikat dan Korea Selatan.5 Melihat potensi ekonomi kreatif yang sangat besar ini, pemerintah mengeluarkan regulasi tentang ekonomi kreatif melalui Undang-Undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (UUEK). Undang-undang tentang Ekonomi Kreatif ini bertujuan utama untuk mengembangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia. Selain UU tentang Ekonomi Kreatif, pemerintah juga meregulasi tentang pelaksanannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (PPEK). Pengertian atau definisi Ekonomi Kreatif diatur di dalan UU No. 24 tahun 2019, khususnya di dalam Pasal 1 angka 1 yang mengatur: “Ekonomi Kreatif adalah perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi.”
Kehadiran UU yang mengatur tentang Ekonomi Kreatif ini seperti membawa angin segar bagi pelaksana ekonomi kreatif karena akhirnya pelaku ekonomi kreatif ini berhak mendapatkan bantuan dan dukungan dari pemerintah sesuai dengan pengaturan Pasal 5 yang mengatur: “Setiap Pelaku Ekonomi Kreatif berhak memperoleh dukungan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melalui pengembangan Ekosistem Ekonomi Kreatif.” Hak tersebut termasuk di dalamnya untuk mendapatkan bantuan pembiayaan dari pemerintah. Pasal 14 UU tentang Ekonomi Kreatif mengatur bahwa pembiayaan ini bersumber dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya. Pembiayaan disalurkan melalui lembaga bank dan non-bank.
Skema pembiayaan sesuai dengan PP No. 24 tahun 2022 Pasal 5 salah satunya adalah Hak Kekayaan Intelektual yang dimanfaatkan untuk objek jaminan utang. Pemanfaatan HKI, khususnya Hak Cipta dan Paten untuk dijadikan objek jaminan utang, khusunya objek jaminan fidusia sebenarnya sudah diatur di dalam UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta khususnya di dalam Pasal 16 yang menyatakan bahwa Hak Cipta merupakan benda tidak beruwjud yang bisa bergerak dan bisa dimanfaatkan sebagai objek jaminan fidusia. Pasal 108 ayat (1) UU No.13 tahun 2016 tentang Paten menyatakan bahwa paten bisa dimanfaatkan untuk menjadi objek jaminan fidusia.
Selanjutnya di dalam PP No. 24 tahun 2022 dijelaskan secara lebih jauh lagi tentang skema tentang proses Kekayaan Intelektual. Pasal 7 menjelaskan tentang persyaratan yang diperlukan untuk pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Pasal 8 memberikan instruksi kepada lembaga yang memberikan pembiayaan tersebut. Pasal 10 yang mengatur tentang kekayaan intelektual yang seperti apa yang bisa dijadikan objek jaminan utang. Pasal 12 mengatur tengtang penilaian kekayaan intelektual dan banyak lain sebagainya. Konten sosial media sebagai salah satu kekayaan intelektual secara undang-undang dapat dimanfaatkan untuk menjadi salah satu objek untuk jaminan fidusia. Hal ini menimbulkan banyak permasalahan akibat masih banyak ketentuan yang belum diatur secara jelas salah satunya adalah tentang persyaratan sebuah konten sosial media yang bisa dijadikan objek jaminan serta tentang penentuan nilai atau harga dari konten tersebut, apalagi konten sosial media yang gampang di bajak dan dipalsukan.
Sebelumnya, ada beberapa penelitian yang sudah di publikasikan dengan topic bahasan yang serupa dengan penulisan penelitian ini. Penelitian tersebu salah satunya adalah hasil penelitian Viskha Purwita Lana, Switcha Differentia Ariapramuda. Irene Marian Angela, Azalia Rahma Utami, dan Valencia Gustin yang dituangkan di dalam karya ilmiah yang berjudul “Urgensi Kelengkapan Teknis dalam Regulasi Penggunaan Konten Youtube Sebagai Jaminan.”6 Selain itu ada juga penelitian yang dilakukan Aura Mayshinta dan Muh. Jufri Ahmad yang ditungkan di dalam karya ilmiah yang berjudul “Perlindungan Terhadap Kreditur Pemegang Jaminan Fidusia atas Hak Cipta Konten Youtube.”7
Persamaan penelitian ini dengan dua terdahulu adalah salah satu pokok bahasannya tentang konten sosial media yang dijadikan objek jaminan fidusia, tetapi perbedaannya adalah dua terdahulu fokus hanya kepada konten youtube saja, sedangkan penelitian ini membahas konten sosial media TikTok yang akan dijadikan objek jaminan fidusia. Selain itu perbedaan lainnya adalah tentang fokus penelitiannya, fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui syarat konten TikTok bisa dijadikan objek jaminan dan skema proses tata cara valuasi konten tersebut.
-
1. Bagaimanakah syarat sebuah konten TikTok bisa dijakdikan objek jaminan fidusia?
-
2. Bagaimanakah menentukan nilai atau valuasi dari konten TikTok yang akan dijadikan sebagai objek jaminan fidusia?
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan lebih jauh tentang syarat-syarat sebuah konten Tiktok untuk dijakdikan objek jaminan dan untuk mengetahui tentang prosedur penentuan nilai atau proses valuasi dari konten TikTok yang akan dijadikan objek jaminan berdasarkan UU No. 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, PP No. 24 tahun 2022, dan juga UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif. Metode penelitian normatif adalah metode yang digunakan di dalam penulisan penelitian ini. Penelitian ini mewajibkan peneliti untuk menghimpun dan mengkaji hukum, berserta dengan norma-norma hukum yang terkait. Penghimpunan dan pengkajian ini juga kerap kali termasuk juga sumber-sumber lain seperti komentar para ahli hukum terkait kasus dan perundang-undangan, artikel jurnal, atau buku.8 Sebutan lain untuk penelitian hukum normatif ini adalah penelitian hukum dogmatik atau juga bisa disebut dengan penelitian hukum legistis. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis pendekatan perundang-undangan atau statute approach. Dengan pendekatan perundang-undangan ini, penulis mengkaji peraturan perundang-undangan yang masih berkenaan dengan topik yang akan di bahas.
Sumber bahan hukum yang akan digunakan di dalam penelitian ini diantara lain adalah UU tentang Ekonomi Kreatif, PP tentang Pelaksanaan UU Ekonomi Kreatif, UU tentang Jaminan Fidusia, dan UU tentang Hak Cipta sebagai sumber bahan hukum primer. Sedangkan, sebagai sumber bahan hukum sekunder, penelitan ini menggunakan artikel jurnal, buku-buku, dan sumber internet yang masih berkenaan dengan topik yang dibahas. Teknik pengumpulan yang dipakai untuk mengumpulkan bahan hukum terkait adalah dengan metode studi kepustakaan. Teknik analisa bahan hukum yang dipakai di dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif, yaitu dengan menganalisis dan menguraikan hasil dari penelitian.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Syarat Sebuah Konten Sosial Media Bisa Dimanfaatkan Sebagai Objek Jaminan Fidusia (Jaminan Kebendaan)
Hak cipta adalah salah satu produk dari hak kekayaan intelektual (HKI). HKI atau yang di dalam bahasa inggris disebut sebagai Intellectual Property didefinisikan oleh David I Braindridge adalah hak atas hasil kekayaan yang timbul dari kecerdasan seorang individu, hak ini timbul karena hasil kreatifitas manusia yang tadinya hanya merupakan buah pikiran yang kemudian dapat direalisasikan menjadi sebuah ciptaan atau karya nyata yang bermanfaat bagi kehidupan9
Hak Cipta atau yang di dalam bahasa inggris dikenal juga dengan Copy Right pasti dibikuti dengan penciptaan sebuah karya kreatif seperti karya sastra, karya seni, pendidikat,
atau karya seni berbentuk music yang merupakan jenis kekayaan intelektual yang dilindungi dan memberikan pemilik atau penciptanya hak eksklusif untuk membuat duplikat atau salinan dari karya tersebut, biasanya dengan memiliki batasan waktu tertentu (contoh: hak sinematografi berlaku selama 50 tahun). Hak cipta ini ditujukan untuk melindungi ungkapan dari sebuah ide yang sudah berbentuk karya, bukan ide itu sendiri.10
Tentang hak cipta di Indonesia sendiri diatur di dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 (UUHC). Hak cipta sesuai yang diatur di dalam Pasal 1 angka 1 adalah “hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang.” Jika ditarik kesimpulan dari pengetian yang ada di dalam undang-undang, Hak Cipta adalah hak yang diperoleh secara langsung dan natural karena hak ini didapatkan dengan prinsip deklaratif. Siapapun yang pertama mendeklarasikan hasil karya ciptanya, itu lah pemilik hak cipta. Walaupun begitu bukti formal terhadap kepemilikan sebuah hak cipta bisa di dapatkan dengan dilakukannya pencatatan dan pendaftaran melalui prosedur hukum yang telah diatur di dalam UUHC.11
Penggunaan utama aplikasi Tiktok adalah untuk membagikan video. Video Tiktok sendiri dikategorikan sebagai salah satu dari karya nyata sinematografi. Sinematografi di dalam Penjelasan Pasal 40 UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah “ciptaan yang berupa gambaran bergerak (moving images) antara lain film documenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan scenario, dan film kartun. Karya sinematografi sendiri dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya.” Perlindungan hak cipta terhadap karya sinematografi ini memiliki batas waktu yaitu selama 50 tahun dihitung sejak pertama kali karya ini diumumkan.
Pengelola tiktok sendiri memiliki atau memberikan lisensi untuk semua konten, gambar, teks, perangkat lunak, ilustrasi, karya grafis, merek jasa, hak paten, logo, merek dagang, audio, musik, foto, hak cipta, video, dan seluruh hak atas kekayaan intelektual yang berhubungan dengan fasilitas dan layanan yang diberikan tiktok kepada penggunannya.12 Lisensi sendiri diatur di dalam Pasal 1 angka 20: “Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.” Tetapi perjanjian lisensi ini tidak akan mengambil hak moral dari pencipta dan hak ekonomi juga tidak boleh seluruhnya diambil oleh pemegang lisensi.13
Tetapi terkait hal ini, content creator merupakan pencipta dari video yang diunggah di tiktok. Hal ini karena Pasal 31 dari UUHC mengatur: “yang dianggap sebagai pencipta, yaitu orang yang namanya:
-
a. Disebut dalam ciptaan
-
b. Dinyatakan sebagai pencipta pada suatu ciptaan
-
c. Disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau
-
d. Tercantum dalam daftar umum ciptaan sebagai pencipta.”
Content creator dalam hal ini masih memilki hak eksklusif terhadap ciptaannya, termasuk hak ekonomi dari ciptaannya tersebut. Artinya, pencipta berhak untuk
menjadikan video yang mereka upload di akun tiktok mereka untuk dimanfaatkan menjadi objek untuk jaminan fidusia.
UUHC khususnya di dalam Pasal 16 sudah mengatur jelas bahwa Hak Cipta merupakan salah satu benda tidak berwujud dan dapat bergerak. Pasal 16 juga mengatur jelas bahwa hak cipta adalah benda yang bisa berpindah dan dialihkan, serta bahwa hak cipta secara sah bisa dimanfaatkan untuk menjadi objek untuk jaminan fidusia. Jadi syarat sebuah konten sosial media bisa dijadikan objek jaminan fidusia adalah apabila konten tersebut sudah memiliki hak cipta. Jadi, seperti yang sebelumya sudah dijelaskan, karya sinematografi yang dilindungi oleh hak cipta salah satu jenisnya adalah video tiktok. Hal ini juga di dukung dengan Pasal 40 UUHC tentang hal-hal apa saja yang di lindungi hak cipta, diantaranya adalah drama, tari, karya sinematografi, drama musikal, koreografi, dan lain-lain sebagainya.
UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) di dalam Pasal 1 angka 1 mengatur bahwa: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam pengusaan pemilik benda.” Jaminan fidusia diatur di dalam Pasal 1 angka 2 UUJF merupakan “hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan…” Dari dua pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa beberapa syarat sebuah benda bisa dimanfaatkan sebagai objek jaminan fidusia adalah benda-benda bergerak yang berwujud ataupun tidak berwujud, benda-benda yang tidak bergerak dengan pengecualian hak tanggungan, benda bergerak yang sudah di daftarkan, benda bergerak yang belum di daftarkan, dan dapat dialihkan hak kepemilikannya.14
Dalam konsep hukum jaminan, ada beberapa asas-asas di dalah sistem hukum jaminan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah asas hak kebendaan dengan beberapa sifat kebendaan sebagai berikut:15
-
a. Hak Absolut/Mutlak, berarti hak itu bisa ditegakan kepada semua orang. Pemegang hak kebendaan ini berhak menggugat semua orang yang dianggap mengusik haknya. Hak mutlak ini bila kita sandingkan dengan HKI, maka hak ini disebutkan juga sebagai hak eksklusif.16 Konten video tiktok yang sebagai salah satu Hak Cipta sinematografi, pencipta dalam hal ini sesuai dengan aturan Pasal 2 ayat (1) UUHC memiliki hak eksklusif untuk memberitakan atau menggandakan ciptaannya itu.
-
b. Droit de suite, merupakan hak kebendaan yang selalu ikut benda itu sendiri kemana pun benda itu berada dan di tangan siapapun benda itu. Hak Cipta memiliki dua jenis, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi sendiri dapat berpindah tangan dan hak ekonomi ini adalah hak yang mengikuti bendanya kemanapun benda ini berada, atau di dalam kasus ini Hak Cipta atas konten video tiktok. Hak moral sendiri tidak dapat di-pindah tangan-kan selama Pencipta masih hidup, jika nanti Pencipta meninggal, pelaksanaan hak ini dapat di-pindah tangankan dengan ketentuan melalui wasiat atau dengan sebab yang lain yang sesuai denga peraturan perundang-undangan.
-
c. Hak kebendaan memberikan kewenangan kepada siapapun pemiliknya untuk dinikmati, dijaminkan, dan disewakan.
Jika kita melihat beberapa contoh dari negara lain, kepemilikan HKI ini memiliki sifat bankable, artinya Kepemilikan ini dapat dijadikan objek untuk jaminan di lembaga perbankan. Contoh negara ini adalah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Ketiga negara ini sedang mengoptimalkan sistem kredit berbasis asset yang tidak berwujud atau intangible asset. Bahkan Singapura, telah menyediakan dan menfasilitasi pengembangan HKI, termasuk dengan memberi kredit perbankan berbasis HKI melalui The Intellectual Property Office of Singapore (IPOS).17
PP No. 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Ekonomi Kreatif sendiri memberikan pernyaratan umum pengajuan pembiayaan yang berbasis kekayaan intelektual didalam pasal 7, persyaratan tersebut diantaranya adalah proposal pembiayaan, memiliki usaha Ekonomi Kreatif, memiliki hubungan terkait Kekayaan Intelektual dengan produk Ekonomi Kreatif, dan memiliki surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual. Persyaratan ini ditambah lagi dengan pengaturan Pasal 10 yang mengatur bahwa: “Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang adalah Kekayaan Intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di budang hukum dan Kekayaan Intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau dialihkan hanya kepada pihak lain.”
Jika melihat dari catatana dari para ahli, salah satunya adalah pendapat yang diungkapkan oleh Clifford Gomez, ada beberapa syarat dan beberapa point untuk sebuah benda dapat menjadi objek jaminan yang harus dipertimbangkan oleh kreditor, yaitu diantaranya:18
-
a. Marketability, prinsip ini menjadi sebuah pertimbangan agar jika benda yang dijadikan jaminan memenuhi prinsip ini maka jika debitur gagal untuk membayar utangnya, kreditur dapat dengan mudah untuk menjual barang jaminan tersebut. Dalam hal ini, hak cipta konten video tiktok jika dihajdikan sebagai jaminan, sebagai bentuk pembayaran kepada kreditor jika debitor gagal bayar adalah dengan mengalihkan kepemilikan hak ekonomi dari hak cipta tersebut. Jadi prinsip marketability ini tidak terlalu relevan jika objek yang dijadikan jaminan adalah hak cipta dari konten tiktok.
-
b. Easy ascertainment of value, prinsip ini mengharuskan bahwa objek jaminan memiliki nilai pasti dan mudah untuk dinilai. Hak cipta konten video tiktok dalam hal ini tidak memenuhi syarat karena adanya kesulitan untuk melakukan penilaian dan nilainya yang tidak pasti.
-
c. Stability of value, prinsip ini mengharuskan adanya stabilitas harga tertentu untuk nilai objek jaminan. Hal ini juga membuat hak cipta konten video tiktok tidak bisa mudah dijadikan objek jaminan. Video tiktok yang beredar di internet masih sangat rawan akan pembajakan dan peniruan, jika video terkait dibajak atau di tiru, tentu saja nilai ekonomisnya menjadi berkurang.
-
d. Storability, prinsip ini artinya benda yang dijadikan jaminan dapat disimpan dengan mudah dan disimpan di tempat yang baik agar benda tersebut tetap utuh di tempat penyimpanan. Hal ini tentu saja tidak berlaku dengan hak cipta konten video tiktok dikarenakan konten video tiktok berupa benda yang tidak berwujud.
-
e. Transportability, prinsip ini mensyaratkan benda yang dijaminkan untuk mudah dipindahkan. Syarat ini dapat dipenuhi dengan mudah jika benda objek yang
dijadikan objek jaminan adalah hak cipta konten video tiktok, karena di dalam UUHC juga sudah diatur bahwa hak ekonomi dari hak cipta dapat dipindahkan.
-
f. Durability, atau jaminan objek dapat bertahan lama atau benda tersebut awet. Benda-benda yang mudah busuk atau memiliki expiration date tidak dapat dijadikan sebagai jaminan. Hak Cipta konten video tiktok sebagai salah satu karya sinematografi sendiri memiliki expiration date atau masa berlaku tertentu, yaitu selama 50 tahun. Tetatpi karena masa berlaku hak cipta yang panjang, hal ini tergantung dari pihak-pihak, khusunya kreditor untuk menjadikan hak cipta ini sebagai objek jaminan.
-
g. Easy ascertainment of title, prinsip ini mensyaratkan bahwa penamaan benda yang dijadikan objek jaminan ini mudah untuk di lakukan. Hal ini tidak berlaku dalam penamaan hak cipta konten video tiktok, hal ini dikarenakan nama pencipta akan terus menempel pada hak cipta tersebut sebagai bentuk hak mora, hak moral ini tidak dapat dipindahkan. Jika, hak cipta konten video tiktok dijadikan objek jaminan, maka yang berpindah adalah hak ekonominya.
-
h. Easy transferable title, penamaan benda jaminan harus mudah dialihkan. Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, hak moral dari hak cipta video tiktok tidak dapat dialihkan.
Praktek penilaian benda yang akan dijadikan jaminan biasanya dibebankan oleh kreditur atau lembaga keuangan pemberi kredit. Penilaian ini dilakukan menggunakan jasa Penilai Publik yang biasa disebut juga sebagau appraisal. Penilai publik adalah pihak ke tiga yang merupakan profesi penunjang sektor keunangan yang dapat memberikan pertimbangan professional mengenai penilaian ekonomi benda yang akan dibebani dengan lembaga jaminan.19
Valuasi menurut definisi yang diatur oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) adalah “the process of identifying and measuring financial benefit and risk of an asset.” Kegiatan valuasi terhadap kekayaan intelektual ini dapat digunakan dengan alasan-alasan tertentu seperti untuk kepentingan transaksi (pemberian lisensi terhadap HKI, franchising, penjualan dan pembelian hak cipta, donasi), penegakan HKI, penggunaan internal (untuk investasi, penggunaan HKI sebagai jaminan, management internal), atau tujuan lain-lain (laporan finansial, pernyataan bangkrut, keperluan asuransi).20 Menurut David Orozco dan Paul Flingor, pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang HKI untuk memberi gambaran aspek hukum, bisnis, dan finansial dari aset benda yang tidak berwujud adalah salah satu potensi yang dipegang dengan dilakukannya pengembangan valuasi HKI.21
Dalam hal ini, jika hak cipta akan dijadikan objek jaminan fidusia, salah satu syarat dasar yang harus dilakukan oleh debitur adalah untuk melakukakan valuasi Hak Cipta. Hal ini sangat krusial karena dapat menentukan apalah pihak debitur mau memberikan pinjaman kepada debitur dan seberapa besar pinjaman yang akan diberikan. Hal ini dikarenakan nilai dari objek jaminan akan dijadikan sebagai pengganti jumlah pinjaman dan bunga jika nantinya debitur gagal untuk memenuhi janjinya membayarkan hutang dan bunga dari hutang tersebut.
Ada berbagai metode yang bisa digunakan untuk menentukan nilai dari sebuah HKI. Salah satu metode ini adalah metode yang diungkapkan oleh Ahmad M. Ramli. Penilaian
HKI selain dapat dilihat dari harga dan perkiraan nilai berdasarkan seberapa besar modal yang diperoleh dari aset HKI, tetapi penilaian ini juga dapat dilihat dari sisi aset nyata dari asset HKI itu sendiri.22 Penilaian terhadap kekayaan intelektual diatur di dalam Pasal 12 PPEK dapat dilakukan dengan:
-
a. Pendekatan biaya
Menggunakan salah satu prinsip ekonomi bahwa pembeli pasti tidak mau membayar untuk mendapatkan suatu aset dengan biaya lebih dari pada harga atau biaya untuk mendapatkan aset yang memiliki manfaat yang sama atau setara untuk menghasilkan indikasi nilai.
-
b. Pendekatan pasar
Menggunakan prinsip perbandingan dengan membandingkan aset yang sama atau sebanding dengan aset yang sudah memiliki penawaran atau informasi harga untuk menghasilkan indikasi nilai.
-
c. Pendekatan pendapatan; dan/atau
Mengalihkan arus kas di masa depan ke nilai masa kini menghasilkan indikasi nilai. Untuk pendekatan ini diperlukan proyeksi data keuanganan turnover, laba kotor dan laba bersih, arus kas sebelum dan sesudah bunga bank, laba sebelum dan sesudah pajak, laba operasi, dan/atau pajak dan sisa masa manfaat.23
-
d. Pendekatan penilaian lainnya yang sesuai dengan standar penilaian yang berlaku.
Penilaian ini dilakukan oleh panel penilai dan/atau penilai Kekayaan Intelektual. Tapi sayanganya, lembaga untuk menilai atau melakukan valuasi asset HKI ini belum ada di Indonesia. Sertifikasi dan akreditasi oleh Kantor Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (DJKI) adalah salah satu syarat utama yang harus didapatkan oleh lembaga penilai aset HKI. Selain itu, jika lembaga tersebut melakukan valuasi HKI terkait surat utang berjangka atau efek selama kurang dari satu tahun lembaga tersebut harus juga terdaftar di Bank Indonesia (BI).24 Beberapa lembaga yang bisa memberikan penilaian atau melakukan valuasi kepada hak cipta khususnya hak cipta musik adalah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Beberapa LMK yang ada di Indonesia adalah Royalti Anugrah Indonesia, Wahana Musik Indonesia, dan Karya Cipta Indonesia. LMK ini lembaga yang bertugas untuk menghimpun hasil dari royalty dari para pemakai hak cipta dan para musisi atau penyanyi yang terhimpun di dalam LMK-nya masing-masing itu. Penilaian yang dilakukan oleh LMK ini bisa menjadi salah satu acuan bagi panel penilai hak cipta25
Walalupun secara teori dan secara peraturan sudah diatur tentang valuasi hak kekayaan intelektual, khususnya hak cipta, tetapi di dalam pelaksanaannya, hal ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi perbankan dan perusahaan pembiayaan lainnya dalam memberikan pinjaman kepada pelaku ekonomi kreatif. Selain tentang teknik valuasi yang belum di atur secara nyata di dalam undang-undang, sampai sekarang juga belum ada lembaga yang khusus bertugas untuk melakukan valuasi terhadap hak kekayaan intelektual. Hal ini juga sudah diakui sebagai salah satu kendala sistem pembiayaan ekonomi kreatif ini oleh OJK. OJK menyampaikan bahwa diperlukannya sebuah lembaga khusus untuk melakukan pengelolaan atas sistem valuasi guna menjamin nilai hak yang
dijadikan sebagai jaminan fidusia sehingga pemegang fidusia atau kreditur dapat menikmatinya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya.26
Salah satu jenis pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan value dari sebuah konten video tiktok adalah pendekatan penghasilan. Sumber penghasilan konten creator tiktok yang paling sering digunakan adalah melalui Sponsored content post (endorsement) dan pay out coins. Sponsored content adalah video yang dibuat oleh tiktokers yang mengandung konten iklan atau promosi terhadap barang atau jasa tertentu. Sementara pay out coins adalah fitur dalam aplikasi tiktok dimana saat melakukan live streaming atau siaran langsung, penonton dapat memberikan hadiah yang nantinya bisa bernilai uang, atau dapat ditukarkan dengan uang.27
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Hak cipta konten video tiktok secara teori dan peraturan perundang-undangan yang tersedia dari UUHC, UUJF, UUEK, PP Pelaksanaan UUEK secara sah bisa dijadikan objek dari jaminan fidusia untuk keperluan pembiayaannya. Salah satu syarat terpenting yang harus dipenuhi pemilik hak cipta adalah dengan mendaftarkan hak cipta tersebut. Hak cipta konten video tiktok merupakan hak cipta senimatografi yang dilindungi oleh UUHC. Tetapi di dalam pelaksanaannya, ada beberapa kendala yang membuat lembaga perbankan dan lembaga pembiayaan non-perbankan enggan untuk memberikan pinjaman dengan objek jaminan hak cipta. Salah satu kendalanya adalah tentang teknik valuasi nilai ekonomi dari hak cipta tersebut dan ketiadaan lembaga khusus yang bertugas untuk melakukan valuasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Gomez, Clifford, (2011), Banking and Finance: Theory, Law and Practice, New Dehli: Asoke K. Ghosh, PHI Learning Private Limited.
Gunawan, Ferry, (2018), Hak Cipta Jaminan Kredit Perbankan Ekonomi Kreatif, Bandung: PT. Alumni, 2018,
Hariyani, Iswi; Cita Yustisia Serfiyani; dan Serfianto D. Purnomo, (2018) Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Kredit, Yogyakarta: ANDI.
Jurnal
Benuf, Kornelius dan Bagus Rahmanda. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Musik yang Diupload di Aplikasi Tiktok.” Law, Development & Justice Review 4, No. 1, (2021).
Dewi, Putu Eka Trisna; Dewi, Ni Luh Putu Geney Sri Kusuma; Kartika, Ni Putu Riyani. “Regulation of Copyright Certificate as a Material Gurantee and Bankrupt Estate/Beodel in Indonesia.” ADI Journal on Recent Innovation 2, No.2, (2021).
Handayani, Widya Marthauli. “Keberlakukan Hukum Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Udang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.” Jurnal Legislasi Indonesia 16, No.2, (2019).
Hendrayana, Made Yunanta, dkk. “Perlindungan Hak Cipta Terhadap Konten Aplikasi Tiktok yang Disebarluaskan Tanpa Izin.” Jurnal Preferensi Hukum 2, No. 2, (2021).
Kurniawan, Kevin Ho dan Adeline Melanie. “Pelaksanaan Pengenaan Pajak Terhdap Tiktoker Serta Hambatannya di Indonesia.” Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan 7, No. 2, (2022).
Kurnianingrum, Trias Palupi. “Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Kredit Perbankan Intellectual Property as Banking Credit Guarantee.” Negara Hukum 8, No. 1, (2017).
Lana, Viskha Purwita, dkk. “Urgensi Kelengkapan Teknis dalam Regulasi Penggunaan Konten YouTube Sebagai Jaminan.” Padjadjaran Law Review 10, No. 2, (2022).
Mayshinta, Aura dan Muh. Jufri Ahmad. “Perlindungan Terhdap Kreditur Pemegang Jaminan Fidusia Atas Hak Cipta Konten Youtube.” Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 3, No.1 (2023)
Merista, Ovia. “Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia Ditinjau dari UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.” Veritas et Justitia 2, No. 1, (2016).
Pradina, Ni Putu Radha dan I Made Dedy Priyanto. “Perlindungan Hak Cipta Kreator Tiktok Atas Konten Ciptaannya Sebagai Karya Sinematografi.” Jurnal Kertha Semaya 9, No.11, (2021).
Rahma, Hasrina dan Yati Nurhayati. “Legalitas Cover Song Yang Diunggah ke Akun Youtube.” Jurnal Al Adi 12, No. 1, (2020).
Saputra, M.Febry. “Hak Cipta Dance Challenge Yang Diunggah Ke Aplikasi Tiktok.” Jurnal Penegakan Hukum Indonesia 2, No.1, (2021).
Setianingrum, Reni Budi. “Mekanisme Penentuan Nilai Ekonomi dan Pengikatan Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia.” Jurnal Media Hukum 23, No. 2, (2016).
Tan, David. “Metode Penelitian Hukum: Mengupas dan Mengulas Metodologi dalam Menyelenggarakan Penelitian Hukum.” Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 8, No.8, (2021).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38889.
Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599.
Undang-undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6414.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2022 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6802.
Website
Rizaty, Monavia Ayu, “Pengguna Tiktok Indonesia Terbesar Kedua di Dunia”, (2022), URL: https://dataindonesia.id/Digital/detail/pengguna-tiktok-indonesia-terbesar-kedua-di-dunia
Kamalina, Annasa Riski, “Sandiaga Ungkap Ekonomi Kreatif Sumbang Rp. 1.100 T ke Ekonomi RI”, (2022), URL: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5688662/sandiaga-ungkap-ekonomi-kreatif-sumbang-rp-1100-t-ke-ekonomi-ri
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 10 Tahun 2022, hlm. 1720-1730
Discussion and feedback