AKIBAT HUKUM TIDAK DILAKUKANNYA PENITIPAN WASIAT OLOGRAFIS KEPADA NOTARIS
on
AKIBAT HUKUM TIDAK DILAKUKANNYA
PENITIPAN WASIAT OLOGRAFIS KEPADA NOTARIS
I Nyoman Jaya Wardana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i03.p1
ABSTRAK
Studi ini bertujuan meninjau dan menelaah pengaturan keberlakuan wasiat olografis serta akibat hukumnya jika tidak dilakukan penitipan kepada Notaris dirujuk melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam studi ini pula mempergunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Hasil studi menjelaskan pengaturan keberlakuan sepanjang mengenai wasiat olografis sebagaimana menurut KUHPerdata diatur dalam Pasal 931 hingga Pasal 937 KUHPerdata dengan pengaturan formalitas syarat keberlakuannya hingga Pasal 953 KUHPerdata. Di samping itu, wasiat olografis yang tidak dititipkan kepada Notaris akan memiliki ancaman kebatalan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 953 KUHPerdata. Para pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan haknya atas tindakan pewasiat yang tidak menitipkan wasiat olografisnya kepada Notaris harus mengajukan gugatan kepada Pengadilan untuk memutuskan wasiat tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekusi dan harus dibatalkan. Wasiat olografis yang ternyata tidak dilakukan penitipan kepada Notaris harus dinyatakan melanggar formalitas yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga wasiat olografis tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial dan memuat ancaman kebatalan yang harus dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan oleh pihak yang berkepentingan.
Kata Kunci: KUHPerdata, Notaris, Penitipan, Wasiat Olografis.
ABSTRACT
This study aims to review and analyze the regulation of the validity of an olographic testament and the legal consequences of not being deposited to a Notary if viewed from the Civil Code. The application of the method in this study uses a normative legal research with an approach form the aspect of the statute and legal concept analysis. The results of the study show that the regulation of validity as long as the olographic testament according to the Civil Code is regulated in Article 931 to Article 937 of the Civil Code with the formality setting conditions for its validity up to Article 953 of the Civil Code. While, an olographic testament that is not deposited to a Notary testament have a threat of cancellation as formulated in Article 953 of the Civil Code. Interested parties who feel that their rights have been harmed for testator actions that do not deposite their olographic testament to the Notary must file a lawsuit to the Court to decide that the testament does not have the power of execution and must be canceled. In this way, an olographic testament which is apparently not being deposited to a Notary should be declared to have violated the formalities determined by law so that the olographic testament does not have executive power and carries the threat of cancellation that must be proven in advance in court by the interested parties.
Key Words: Civil Code, Notary, Deposite, Olographic Testament.
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Pewarisan sejatinya dikenal layaknya suatu proses peralihan harta kekayaan baik dalam bentuk aktiva maupun pasiva dari pewaris kepada penerimanya yang dikenal sebagai ahli waris. Terjadinya pewarisan sebagaimana ditentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, adanya pewaris (erf later), yakni orang yang meninggalkan kekayaan setelah kematiannya1. Pewaris yang akan mewariskan harta kekayaannya baru dapat dilaksanakan setelah kematian dari pewaris itu sendiri. Hal mana ditentukan pada Pasal 830 KUHPerdata yang pada pokoknya disebutkan bahwa pewarisan baru dapat terjadi setelah pewaris meninggal atau mati. Dapat diartikan bahwa kematian seseorang merupakan syarat mutlak terjadinya pewarisan, dikecualikan dalam hal ini telah terjadi ketidakhadiran sebagaimana Pasal 470 jo. Pasal 467 KUHPerdata, bahwasanya pewaris belumlah mati. Kematian selain menjadi syarat umum juga sebagai syarat mutlak terjadinya pewarisan.
Kedua, adanya seorang atau lebih ahli waris (erf genaam) yang ditinggalkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 836 jo. Pasal 832 KUHPerdata2. Ahli waris ini haruslah ditunjuk dari keluarga sedarah dengan si pewaris menurut undang-undang atau masih memiliki hubungan kekeluargaan di luar perkawinan si pewaris, atau dapat pula ditunjuk dari suami atau istri yang hidup paling lama asalkan pada saat warisan itu dibuka, orang-orang tersebut sudah ada. Apabila seluruh hal penunjukan ahli waris ini ternyata tidak dapat dipenuhi, maka semua harta peninggalan si pewaris otomatis menjadi kepunyaan negara dalam hal ini badan yang ditunjuk khusus untuk itu di bidang pengelolaan harta peninggalan secara keperdataan.
Ketiga, adanya harta kekayaan yang ditinggalkan (nalaten schap), ialah khusus serangkaian hak berikut kewajibannya sepanjang mengenai hukum kebendaan atau hukum kekayaan harta peninggalan selama itu dapat diwariskan3. Sesuai dengan isi Pasal 1100 KUHPerdata yang pada pokoknya dijelaskan bahwa ahli waris yang ditunjuk dan menyatakan kesediaannya menerima warisan si pewaris, maka wajib pula terhadapnya menanggung penyelesaian hutang-hutang maupun beban-beban lainnya, selaras terhadap warisan yang diterimanya. Harta kekayaan yang diterima oleh ahli waris dapat berupa hak-hak tertentu dan juga sejalan dengan kewajiban yang harus dipikul melalui warisan itu. Peralihan atas harta-harta itu demi hukum (van rechtswege) terjadi seketika si pewaris meninggal dunia. Peralihan demikian dikenal dengan asas pihak yang telah meninggal dianggap memberikan apa yang miliknya kepada pihak lainnya yang masih hidup atau asas le mort saisit le vif. Artinya, ketika pewaris meninggal, ahli waris langsung mengambil alih hak dan kewajiban pewaris tanpa memerlukan tindakan lainnya, bahkan jika mereka (para ahli waris) tidak
tahu apa-apa tentang kematian si pewaris. Pengalihan semua hak dan kewajiban ini terjadi secara otomatis atau seketika saat itu juga, tanpa memerlukan tindakan tertentu dari ahli waris yang mana hal ini dikenal sebagai hak saisine4.
Sistem pewarisan ditinjau dari KUHPerdata terdapat 2 (dua) jenis, diantaranya:
-
1. Sistem pewarisan yang ditentukan oleh undang-undang atau ab intestato, yakni sistem pewarisan yang telah ditentukan syarat-syaratnya didasarkan atas ketentuan undang-undang oleh sebab peristiwa meninggal dunia yang dilaksanakan tidak melalui perantaraan surat wasiat.
-
2. Sistem pewarisan yang didasarkan atas suatu wasiat (testamentair erfrecht)5.
Mengenai yang terakhir ini, pewarisan menurut surat wasiat dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum sepihak6. Dikarenakan wasiat bersifat herroepelijkheid yakni dapat ditarik kembali atau dicabut. Dalam artian pembuatan wasiat tidak mungkin dilakukan atau dibuat lebih dari seorang dikarenakan nantinya timbul suatu permasalahan apabila salah satu pewasiat mencabut wasiatnya. Hal mana seperti dinyatakan dalam Pasal 930 KUHPerdata yang pada pokoknya disebutkan bahwa dua orang atau lebih tidak diperkenankan menyatakan wasiatnya dalam satu-satunya akta, baik untuk mengaruniai pihak ketiga, maupun didasarkan atas pernyataan bersama atau yang bertimbal balik.
Secara yuridis testamen atau surat wasiat berdasarkan Pasal 875 KUHPerdata disebutkan pada intinya surat wasiat atau testamen adalah suatu akta (testament acte) berisikan pengumuman seseorang perihal yang dikehendakinya ternyatakan sepeninggalnya, dengan mana keterangan itu masih dapat dicabutnya sewaktu-waktu. Jadi, wasiat ini dibuat ketika pewasiat masih hidup, akan tetapi eksekusi atau pelaksanaan atas wasiat tersebut dilakukan setelah pewasiat meninggal dunia. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 874 KUHPerdata yang dinyatakan pada pokoknya seluruh harta benda peninggalan seseorang yang telah mati, dimiliki oleh ahli warisnya langsung berdasarkan undang-undang, sepanjang perihal tersebut ia (pewaris) belum membuat suatu ketetapan yang sah. Ketetapan mana menurut pembentuk undang-undang merupakan suatu testamen atau surat wasiat. Dapat diartikan, pewaris membuat suatu wasiat terhadap harta peninggalannya, maka wasiat itu haruslah didahului untuk dilaksanakan oleh para ahli waris. Vice versa, bila halnya pewaris tidak meninggalkan suatu wasiat, terhadap seluruh harta peninggalannya demi hukum menjadi milik ahli waris menurut undang-undang7.
Undang-undang membedakan tiga macam surat wasiat yang dapat dibuat dengan keformalitasan tertentu menurut Pasal 931 KUHPerdata, antara lain:
-
1. Wasiat olografis atau ditulis tangan;
-
2. Wasiat umum; atau
-
3. Wasiat tertutup atau rahasia8.
Perihal wasiat olografis, KUHPerdata khususnya dalam Pasal 932 menentukan beberapa hal antara lain:
-
1) Wasiat ini disyaratkan bahwa pewaris mesti membuat pernyataannya secara tertulis dengan tangannya sendiri serta ditandatangani olehnya sebagai pewasiat.
-
2) Wasiat mana harus dititipkan pada notaris untuk disimpan. Peristiwa dan hal-hal yang terjadi sehubungan dengan wasiat olografis juga harus dituangkan dalam sebuah akta yakni akta penitipan (acte van depot). Akta ini pula harus melengkapi persyaratan formil diantaranya wajib ditandatangani oleh: a) pewasiat; b) notaris; dan c) dua orang saksi.
-
3) Apabila wasiat dititipkan dalam keadaan tertutup (ditutupi oleh sampul), demikian di hadapan Notaris dan para saksi, sampul tersebut haruslah dimuat sebuah catatan yang berisikan bahwa di dalam sampul itu terdapat wasiat di pewaris, serta catatan tersebut perlu ditandatangani sendiri oleh pewasiat. Sebaliknya, jika wasiat ini kemudian disampaikan dengan keadaan terbuka, terhadapnya dapat ditulis langsung di bawah surat wasiat tersebut suatu akta penitipan.
Guna menjamin orisinalitas tulisan ini, adapun beberapa penelitian yang membahas topik serupa diantaranya sebagai berikut:
-
1. Penelitian Tesis yang dilakukan oleh Maureen Paulina Djoemali pada tahun 2013 dengan judul “Kekuatan Hukum Testamen Olografis yang Tidak Dititipkan Pada Notaris.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) akta van depot memiliki fungsi sebagai bukti penyimpanan testamen olografis dari Notaris. Testamen mana dirasa terbentuk pada saat hari atau tanggal pembuatan akta van depot. 2) Tidak dititipkan testamen olografis pada Notaris sehingga tidak mempunyai akta van depot membawa akibat testamen olografis berkekuatan hukum menjadi akta bawah tangan9.
-
2. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Febri Hendryansyah pada tahun 2012 dengan judul “Kajian Yuridis Tentang Surat Wasiat Olografis yang Disimpan di Notaris.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) Surat wasiat olografis yang disimpan di notaris mempunyai kekuatan hukum seperti akta autentik; 2) Surat wasiat olografis yang telah disimpan di notaris tidak dapat dicabut sebagian karena surat wasiat olografis hanya dapat dicabut seluruhnya oleh si pewaris10.
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dalam studi ini penulis akan mengkaji lebih lanjut perihal Akibat Hukum Tidak Dilakukannya Penitipan Wasiat Olografis Kepada Notaris.
Sehubungan dengan topik dan pemaparan yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan dua permasalahan yang akan dikaji dalam pembahasan tersendiri dengan lingkup batasan sebagai berikut:
-
1. Bagaimana pengaturan keberlakuan wasiat olografis sehubungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
-
2. Bagaimana akibat hukumnya wasiat olografis yang tidak dilakukan penitipan kepada Notaris ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
Berkaitan dengan topik yang dikaji lebih lanjut, maka adapun penulisan studi ini bertujuan untuk:
-
1. Mengidentifikasi dan mengkaji pengaturan keberlakuan wasiat olografis ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perata.
-
2. Menganalisis dan menguraikan akibat hukum yang ditimbulkan dari wasiat olografis yang tidak dilakukan penitipan kepada Notaris ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Studi ini memakai metode penelitian hukum normatif sebagai jenis penelitiannya dengan pendekatan dari sisi perundang-undangan (statute aprroach) dan sisi analisis konsep hukum (legal concept analysis), yakni penelitian yang difokuskan pada peraturan hukum yang berlaku ditinjau dari sudut perundang-undangan dan konsep hukum terkait. Sifat penelitian berupa penelitian deskriptif yang didukung dengan data sekunder, yakni data yang diacu dari dokumen, buku, maupun hasil penelitian lainnya berbentuk laporan, tesis, disertasi dan lain-lainnya melalui teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Di samping itu, perihal sumber hukum yang digunakan dalam penelitian berupa antara lain: i) bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi terhadap topik yang dikaji; ii) bahan hukum sekunder yakni literatur, jurnal-jurnal, karya tulis ilmiah lainnya di bidang hukum terkait yang masih memiliki relevansi terhadap topik penelitian yang diajukan; dan iii) bahan hukum tersier yakni literatur lainnya selain yang telah disebutkan bahan hukum primer dan sekunder sepanjang masih memiliki relevansi dengan topik terkait.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Keberlakuan Wasiat Olografis Sehubungan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Secara harfiah, testamen atau wasiat diartikan sebagai pernyataan terakhir pewaris berisikan kehendak tertentu yang pada umumnya memberikan sebagian atau seluruh harta kekayaan kepada mereka yang
tercantum di dalam wasiat tersebut11. Pitlo menyatakan bahwa wasiat merupakan kehendak atau keinginan terakhir dari pewaris dan ternyatakan dalam bentuk akta (acte) yang memuat penetapan-penetapan atas apa yang akan terjadi dengan harta peninggalannya setelah ia meninggal. Akta yang demikian disebut dengan wasiat atau testamen. Pewaris berhak menentukan siapa yang akan menjadi ahli warisnya dalam wasiatnya. Jika halnya tidak dibuatkan suatu wasiat, maka harta kekayaannya itu demi hukum beralih kepada ahli waris yang sah berdasarkan undang-undang (ab intestato)12. Mengutip dari kamus hukum, dinyatakan bahwa wasiat (testamen) ialah suatu surat yang memuat pernyataan terakhir pewasiat yang bersifat tetap atau amanat yang mana baru bisa dieksekusi sepeninggalan pewasiat13.
Definisi otentik surat wasiat dirumuskan dalam Pasal 875 KUHPerdata dan dijelaskan pada pokoknya bahwa yang disebut sebagai wasiat merupakan sebuah akta berisi pernyataan atau keterangan seseorang perihal yang diinginkannya ternyatakan setelah kematiannya, yang mana penetapan tadi dapat dicabut atau ditarik kembali olehnya. Kehendak terakhir pewasiat ini menurut Mireille T.M. Prastuti dengan mengutip pendapat Hartono Soerjopratiknjo merupakan suatu perbuatan hukum sepihak yang berisikan pernyataan kehendak terakhir seseorang dan dinyatakan dalam suatu surat (tertulis) memuat perbuatan pengalihan hak milik (beschikkingshandeling) perihal harta peninggalan pewaris, dengan ketentuan dapat dicabut sewaktu-waktu sepanjang si pewaris masih hidup atau mulai berlaku seketika setelah kematian si pewaris serta tidak diperlukan pemberitahuan kepada pihak terkait14.
Undang-undang memberikan pengaturan terhadap bentuk-bentuk surat wasiat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yakni dirumuskan dalam Pasal 931 KUHPerdata yang pada pokoknya diatur wasiat sekadar hanya dapat dibuat melalui: i) Akta olografis atau ditulis tangan sendiri; ii) Akta umum; atau iii) Akta tertutup atau rahasia15.
Tan Thong Kie menyatakan kata olografis dalam wasiat olografis seharusnya disebut holografis, diambil dari bahasa Yunani dengan urat kata “holo” yang berarti seluruhnya dan “gramma” yang artinya tulisan16. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata olografis disepadankan dengan kata holografis yang diartikan tentang tulisan dengan tangan sendiri (seperti halnya surat-menyurat). Hal ini dapat dimaknai bahwa wasiat (testament) olografis ialah wasiat yang pembuatannya dilakukan secara tertulis dengan tangan sendiri seperti halnya surat menyurat pada umumnya. Mengenai wasiat olografis, dalam Pasal 932 KUHPerdata ditetapkan bahwa wasiat ini haruslah ditulis tangan serta pewaris harus membubuhkan tanda tangannya untuk kemudian disimpan sebagai bagian dari protokol notaris di mana penyimpanan ini harus pula dihadiri dua orang saksi. Notaris tersebut sebagai penerima wasiat olografis dengan disaksikan dua orang saksi tadi harus segera membuatkan sebuah akta penitipan.
Penyerahan wasiat olografis mana dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
-
1. Keadaan Terbuka
Jika wasiat olografis tersebut ternyata disampaikan kepada notaris dengan keadaan terbuka, maka notaris wajib seketika membuatkan akta penitipan (acte van depot) yang harus dibubuhi tandatangannya oleh pewaris, para saksi, serta notaris itu sendiri. Pembuatan akta ini dilakukan di bawah surat wasiat yang bersangkutan17.
-
2. Keadaan Tertutup dan Tersegel
Jika halnya penyerahan wasiat dalam keadaan tertutup, maka wasiat olografis tadi pewaris wajib disampaikan atau diserahkan kepada notaris untuk disimpannya sebagai bagian dari protokol notaris. Selanjutnya, pewaris menulis keterangan yang memuat di atas sampul mana berisikan pernyataan kehendak terakhirnya atau wasiatnya lalu membubuhkan tanda tangannya di hadapan para saksi dan notaris. Setelahnya, notaris dengan dihadiri para saksi serta pewaris tersebut, wajib segera membuat akta penitipan di atas kertas tersendiri, dan para pihak tadi (pewaris, saksi-saksi, dan notaris) wajib membubuhkan tanda tangannya. Dengan mana diserahkannya wasiat tersebut secara tertutup atau tersegel, maka otomatis pula notaris tidak akan mengetahui isi wasiat olografis yang bersangkutan18.
Wasiat olografis ini akan mempunyai kekuatan mengikat dan keberlakuan sepeninggalan pewaris dengan dititipkan kepada notaris untuk disimpan. Hal mana dirumuskan pada Pasal 933 KUHPerdata, ditentukan pada pokoknya yakni wasiat olografis yang demikian adanya setelah disimpan oleh notaris akan sama halnya seperti wasiat yang dibuat dengan akta umum dalam hal kekuatannya serta dianggap pembuatannya dilakukan saat akta penitipan itu dibuat tanpa melihat kapan dilakukannya penandatanganan pada wasiat tersebut.
J.Satrio menjelaskan dalam bukunya berjudul Hukum Waris bahwa apabila dilihat pada segi formilnya, wasiat merupakan suatu akta yang meliputi segala kriteria atau yang telah disyaratkan menurut undang-undang. Sebaliknya, dilihat dari segi materiil atau substansinya, surat wasiat ialah pernyataan kehendak terakhir keberlakuan baru terjadi sepeninggal wasiat,
dengan ketentuan apa yang telah dinyatakannya tersebut sewaktu pewasiat masih hidup dapat dicabut19. Artinya, wasiat olografis yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan atau telah mengindahkan formalitas-formalitas yang ditentukan oleh undang-undang telah dapat dinyatakan berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat. Kendatipun demikian, menurut hemat penulis keberlakuan ini perlu pula dilihat dalam hal penyerahan wasiat tersebut kepada notaris.
Pertama, apabila halnya wasiat olografis diserahkan dalam keadaan terbuka kepada notaris untuk disimpan pada protokol notarisnya serta dibuatkan akta penitipan, maka keberlakuan dan kekuatan mengikat wasiat olografis tersebut adalah setelah pewaris meninggal, di mana notaris yang bersangkutan akan menginformasikan ke pihak ahli waris terkait bahwasanya pewaris telah mewariskan suatu wasiat. Wasiat mana dapat dibuka oleh notaris berikut ahli warisnya dengan tidak disertai dari pihak Balai Harta Peninggalan (BHP), syaratnya ialah kendatin tidak dihadiri oleh pihak BHP, harta warisan yang akan dibagikan sebagaimana dalam wasiat tersebut akan terlaksana tanpa terkendala suatu masalah20. Pembukaan wasiat ini juga dapat dibuka bersama dengan BHP, dalam hal pelaksanaan pembagian warisan dikhawatirkan terjadi permasalahan yang dapat mengganggu pembagian harta warisan, dan jika halnya dalam wasiat tersebut terdapat ahli waris yang belum dewasa, berada di bawah pengampuan, atau yang masih berada dalam kandungan, maka BHP turut campur tangan mengambil tindakan-tindakan dianggap perlu guna mengamankan harta warisan ahli waris tersebut21.
Kedua, jika halnya wasiat olografis yang diserahkan kepada notaris merupakan wasiat olografis tertutup dan tersegel, maka sepeninggalan si pewasiat, notaris wajib untuk menyerahkan surat wasiat olografis tersebut kepada BHP, yang mana oleh BHP nantinya wasiat tertutup itu dibuka dengan membuat berita acara mengenai penyerahannya, keadaan wasiat tersebut, dan pembukaannya. Setelahnya wasiat olografis itu dikembalikan kepada notaris yang sama untuk disampaikan kemudian kepada ahli waris yang bersangkutan perihal pelaksanaan pembagian warisan22. Hal ini juga sebagaimana amanat undang-undang khususnya dalam Pasal 937 dan Pasal 942 KUHPerdata. Dengan begitu keberlakuan wasiat olografis secara tertutup ialah ketika sepeninggalan si pewasiat, wasiat tersebut telah dibuka oleh BHP untuk kemudian oleh notaris diberitahukan kepada ahli waris mengenai surat wasiat yang demikian guna dilaksanakan pembagian warisan.
-
3.2 Akibat Hukum Wasiat Olografis yang Tidak Dilakukan Penitipan Kepada Notaris Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 932 KUHPerdata ayat (2) ditentukan bahwa wasiat olografis haruslah dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk disimpannya.
Penyimpanan ini memiliki makna bahwa surat wasiat merupakan komponen arsip negara dalam bentuk protokol notaris yang apabila sewaktu-waktu terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, keautentikan dari surat wasiat tersebut dapat dijamin demi kepastian hukum guna pembuktian di persidangan. Wasiat olografis yang telah dititipkan kepada notaris untuk disimpan serta telah dibuatkan akta penitipannya mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagaimana sama halnya dibuat dengan akta umum pula dan tersebut dalam Pasal 933 KUHPerdata23. Jika pewasiat ingin menarik kembali wasiat yang telah dititipkan tersebut, maka ia pula harus menjalankan syarat-syarat ketat dengan cara harus menandatangani suatu akta otentik perihal pengambilan wasiat itu sebagai bentuk pertanggungjawaban notaris. Dengan diambilnya kembali wasiat olografis tersebut maka, pewasiat juga secara tidak langsung menyetujui pencabutan wasiat itu. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 934 KUHPerdata24.
Dikatakan testamen atau surat wasiat khususnya dalam hal ini wasiat olografis yang sah ialah apabila testamen mana mengikuti syarat-syarat formil dan materiil menurut undang-undang yang terbagi ke dalam 2 (dua) aspek, antara lain:
-
1. Syarat Formil
Dalam syarat ini, ketentuan yang harus diikuti berkaitan dengan tata cara pembuatan, subyek, dan obyek dari wasiat itu sendiri yang menurut pasal-pasal dalam KUHPerdata diatur antara lain:
-
a. Orang yang diperbolehkan menyatakan keinginannya dalam suatu wasiat ialah orang yang cakap berdasarkan undang-undang yakni seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun penuh atau sudah dewasa berdasarkan undang-undang (Pasal 897 KUHPerdata) serta mereka harus bisa menggunakan nalarnya atau dengan akal budi yang sehat pada saat pembuatan wasiat (Pasal 895 jo. Pasal 898 KUHPerdata). Namun, bila pewasiat terganggu akal budinya pasca dibuatnya wasiat tersebut, wasiat mana tetaplah sah dan berlaku. Akal budi mereka yang terganggu pasca pembuatan wasiat tidaklah menjadikan wasiat batal25.
-
b. Ia yang membuat wasiat tidak boleh berada di bawah pengampuan, kecuali dalam keadaan pailit26.
-
c. Suatu wasiat hanya boleh dibuat oleh satu orang untuk satu akta (Pasal 930 KUHPerdata)27.
-
d. Dalam hal suatu pembuatan wasiat, tidak dapat dimengertinya kata-kata di dalamnya atau tidak mungkin dilaksanakan atau secara nyata-nyata
bertentangan terhadap undang-undang serta kesusilaan adalah dilarang (Pasal 888 KUHPerdata)28.
-
e. Pembuatan wasiat tidak diperkenankan memuat alasan atau sebab yang palsu dalam hal ini pewasiat memang mengetahui alasan dari wasiat tersebut adalah palsu (Pasal 890 KUHPerdata)29.
-
f. Wasiat yang telah dibuat dengan cara ditulis dan ditandatangani serta dihadiri oleh sejumlah saksi-saksi yang ditentukan baik yang dibuat secara terbuka maupun tertutup harus dititipkan kepada notaris untuk dilakukan penyimpanan. Dikecualikan dalam hal ini ialah kodisil (codiciel) (Pasal 932 jis. Pasal 937, Pasal 938, Pasal 939, serta Pasal 940 KUHPerdata).
-
2. Syarat Materiil
Perihal syarat a quo, ialah berkenaan dengan ketentuan yang mengatur substansi dari surat wasiat antara lain:
-
a. Pengangkatan waris (making) di dalam muatan wasiat atau hibah wasiat yang diberikan dengan cara lompat tangan (fidei commis) adalah dilarang untuk dilakukan. Artinya, tiada boleh ditentukan dua atau lebih ahli waris secara berturut-turut dalam suatu wasiatnya guna memperoleh hak waris terhadap harta peninggalan dari satu pewaris yang sama (Pasal 879 KUHPerdata). Pelanggaran terhadap ketentuan ini berakibat batal30.
-
b. Dalam hal substansi wasiat merupakan hibah wasiat, maka pewarisan terhadap harta peninggalan tidak boleh melebihi hak mutlak ahli waris yang sah oleh undang-undang (ab intestato) walaupun pada pelaksanaannya ahli waris atas dasar testamen atau wasiat (testamentair) yang lebih diutamakan31. Undang-undang merumuskan hak mutlak ini sebagai legitieme portie. Pewaris dalam hal harta bendanya dilarang untuk menetapkan sesuatu melalui wasiatnya atau memberikan hibah kepada siapa pun secara nyata-nyata dapat mengurangi haknya sebagai ahli waris menurut undang-undang32. Ketentuan-ketentuan pembagian harta peninggalan yang tidak boleh melanggar legitieme portie dapat dilihat lebih lanjut dalam Pasal 914 sampai dengan Pasal 917 KUHPerdata.
-
c. Tiada boleh dilakukan suatu penyimpangan terhadap pelaksanaan isi dan maksud dari wasiat dalam hal kata atau kalimat yang digunakan di dalamnya sudah cukup jelas (Pasal 885 KUHPerdata)33.
-
d. Terhadap anak yang belum dewasa atau belum berumur 18 (delapan belas) tahun tidak diperkenankan melakukan hibah wasiat guna kepentingan walinya atau kepada guru pengasuhnya (Pasal 904 dan Pasal 905 KUHPerdata)34.
-
e. Dokter-dokter atau mereka yang telah melayani pewaris selama terakhir sakitnya atau notaris serta para saksi yang memiliki keterkaitan terhadap pembuatan wasiat, terhadapnya tidak boleh mendapatkan keuntungan dari wasiat pewaris (Pasal 906 dan Pasal 907 KUHPerdata)35.
-
f. Suatu ketetapan dalam wasiat dilarang dibuat untuk keuntungan suatu pihak yang seharusnya belum berhak karena kecakapannya mewaris kendatipun ketetapan mana dibuatnya untuk kepentingan nama dari pihak perantara. Perantara yang dimaksudkan tersebut ialah bapak, ibu, anak berikut keturunannya, dan istri atau suami orang tidak cakap untuk itu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini menyebabkan wasiat mana batal (Pasal 911 KUHPerdata)36.
Namun, akan menjadi suatu pertanyaan bilamana halnya wasiat olografis yang telah dibuat oleh pewasiat ternyata tidak dititipkan kepada notaris. Hal mana juga sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam buku Tan Thong Kie yang berjudul Studi Notariat: Serba-Serbi Praktek Notaris. Ia menyatakan beberapa hal yang tidak atau kurang jelas diatur dalam undang-undang salah satunya:
Wasiat yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pembuatnya dengan akta penyimpanan pada seorang notaris merupakan satu kesatuan (een geheel). Tanpa penyimpanan itu, akta yang hanya ditulis dan ditandatangani sendiri tidak mempunyai kekuatan sebagai kehendak terakhir (uiterste will) seseorang37.
Fanny Levia dan Erni Agustin dengan mengutip pendapat R. Soetojo Prawirohamidjojo menyebutkan bahwa menurut Civil Code (KUHPerdata), untuk dapat dikatakan berlaku suatu wasiat olografis, tiada syarat yang menentukan bahwa wasiat itu “harus disimpan” oleh seorang notaris. Pewaris dapat mewariskan seluruh harta bendanya hanya dengan melalui surat tertulis yang ditandatangani dan diberi tanggal serta disimpan sendiri38. Penulis tidak sependapat dengan apa yang dinyatakan Fanny Levia dan Erni Agustin dalam pernyataannya bahwa tiada syarat yang mengharuskan wasiat tersebut harus dititipkan kepada notaris untuk disimpan. Kekurangtepatan demikian senyatanya telah dirumuskan secara expressiv verbis dalam Pasal 932 alinea kedua KUHPerdata bahwa wasiat olografis itu harus dititipkan kepada notaris untuk disimpan. Keharusan demikian dalam memenuhi syarat formil agar dinyatakan
sah dan mempunyai kekuatan hukum ialah tidak lain untuk melindungi kepentingan ahli waris lainnya dan juga mencegah adanya penipuan atau pemalsuan. Selain itu, keharusan ini merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi bila nantinya wasiat tersebut akan dilaksanakan eksekusi dan jika halnya ada pihak yang berkepentingan terhadap wasiat itu di kemudian hari mempermasalahkan isinya, maka undang-undang telah menjamin kepastian hukum wasiat tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dengan dibuktikannya akta penitipan sebagai akta otentik yang bersangkutan. Sesuai dengan asas presumptio iustae causa diterjemahkan sebagai asas praduga sah, bahwa akta notaris (dalam hal ini akta penitipan) keabsahan suatu akta tidak boleh diragukan dalam hal ini haruslah dianggap sah serta mengikat sampai ada pihak lain mempermasalahkannya dan keputusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Guna menilai keabsahan akta tersebut, hal demikian harus diselesaikan melalui proses yudisial dengan menggugatnya secara keperdataan ke pengadilan umum. Maka, sejauh proses gugatan itu berjalan sampai akhirnya ada suatu keputusan pengadilan yang in kracht van gewijsde (mempunyai kekuatan hukum tetap), akta notaris yang demikian haruslah dianggap sah juga mengikat pihak-pihak terkait akta tersebut39.
Namun, jika ternyata yang dimaksudkan Fanny Levia dan Erni Agustin dalam penelitiannya yang menyatakan pewaris bisa mewariskan seluruh harta benda peninggalannya hanya dengan melalui surat tertulis yang ditandatangani dan diberi tanggal serta disimpan sendiri adalah kodisil, maka tentu hal ini diperbolehkan tanpa dititipkan kepada notaris menurut undang-undang. Pasal 935 KUHPerdata menegaskan pada pokoknya bahwa wasiat dapat dibuat di bawah tangan dengan syarat hal itu dibuat secara tertulis dan diberi tanggal serta dibubuhkan tanda tangan pewasiat sendiri. Penyimpanan di kantor notaris tidak diwajibkan40. Akan tetapi, kodisil ini hanya dapat dibuat untuk hal-hal tertentu saja, antara lain: 1) pengangkatan pelaksana wasiat; 2) memesan penguburan jenazahnya; atau 3) pembuatan wasiat hanya terhadap pakaian, barang-barang yang dipakai oleh pewaris, perhiasan, dan perabot rumah tangga41.
Penulis sependapat dengan apa yang dinyatakan Tan Thong Kie dalam bukunya yang pada pokoknya menyatakan tanpa adanya akta penyimpanan, maka wasiat olografis yang hanya ditulis tangan dan ditandatangani tersebut tidaklah mempunyai kekuatan sebagai kehendak terakhir seseorang. Jika melihat ketentuan dalam Pasal 953 KUHPerdata yang pada pokoknya dinyatakan formalitas-formalitas yang telah ditentukan dalam berbagai macam dalam ketentuan a quo, harus diindahkan, dengan ancaman kebatalan. Undang-undang pun telah menegaskan jika syarat-syarat agar wasiat olografis mempunyai kekuatan eksekusi maka, haruslah diindahkan syarat-syarat tersebut. Ancaman kebatalan yang diberikan undang-undang bagi barang siapa yang tidak mengindahkan ketentuan tersebut, tidak serta merta membuat surat wasiat olografis menjadi batal karenanya. Perlu adanya pembuktian bahwasanya pewasiat tidak mengindahkan ketentuan formil yang telah
disyaratkan undang-undang bagi pihak yang merasa dirugikan haknya atas tidak dilakukannya penitipan wasiat olografis demikian oleh pewasiat kepada notaris.
Pembuktian mana dilakukan melalui jalur pengadilan dengan cara mengajukan gugatan. Jika penggugat bisa membuktikan bahwa pewasiat telah melanggar ketentuan formil yang telah ditetapkan yakni wasiat olografis a quo tidak dilakukan penitipan kepada notaris untuk disimpan, maka hakim berwenang menjatuhkan putusan “ancaman kebatalan” surat wasiat itu berupa cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta batal demi hukum. Sehingga, wasiat mana yang dibuat oleh pewasiat semasa hidupnya dianggap tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dianggap tidak pernah ada atau dibuat sejak awal.
Jika melihat pada prosedur pembuatan suatu surat wasiat setelah dititipkan kepada notaris maka, wasiat ini wajib didaftarkan oleh notaris yang bersangkutan ke ke Daftar Pusat Wasiat diselenggarakan oleh kementerian di bidang hukum selambat-lambatnya tempo 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulannya secara berkesinambungan dan dilakukan secara elektronik didasarkan atas Pasal 16 ayat (1) huruf i dan j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris) sepanjang mengenai kewajiban notaris terhadap surat wasiat jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 60 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaporan Wasiat dan Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Wasiat Secara Elektronik (Permenkumham 60/2016)42. Setelah didaftarkan, kementrian terkait akan mengeluarkan Surat Keterangan Wasiat (SKW) yang mana ini merupakan suatu surat yang menerangkan pernah atau tidak pernahnya hidupnya pewasiat membuat wasiat semasa hidupnya43.
SKW ini pula yang menjadi tambahan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait. Jika wasiat mana tidak dilaporkan atau tercatat pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) secara elektronik maka, wasiat tadi nihil dideteksi oleh Kemkumham. Dampaknya, notaris pembuat SKW tidak dapat mencantumkan akta wasiat, karena selepas dilakukan pengeecekan pada situs Kemkumham, akta wasiat tidak pernah diterbitkan. Oleh sebabnya, tidak ada kekuatan mengikatnya suatu wasiat bagi pihak ketiga serta para ahli waris yang mendapat kerugian, memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap wasiat olografis demikian guna dibuktikan wasiat mana tidak mempunyai kekuatan mengikat serta menjadi batal demi hukum.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Atas pembahasan yang telah dipaparkan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengaturan wasiat olografis tertuang dalam Pasal 932 sampai Pasal 934, dan Pasal 937, serta Pasal 953 KUHPerdata. Keberlakuan penyerahan
wasiat olografis terdiri atas dua bentuk antara lain: Pertama, jika penyerahan dalam keadaan terbuka, maka notaris yang bersangkutan memberitahukan kepada pihak ahli waris bahwa pewaris telah meninggalkan wasiat; Kedua, jika penyerahan dalam keadaan tertutup, notaris menyerahkan wasiat itu kepada BHP untuk dibuka dan dibuatkan berita acara lalu setelahnya dikembalikan kepada notaris bersangkutan untuk disampaikan kepada ahli waris terkait. Disamping itu, berdasarkan Pasal 932 ayat (2) KUHPerdata, wasiat olografis harus dilakukan penitipan kepada notaris untuk disimpan. Apabila tidak dilakukan, maka berdasarkan Pasal 953 KUHPerdata, akibat hukumnya wasiat mana diancam dengan kebatalan. Frasa ancaman kebatalan dalam Pasal 953 KUHPerdata dapat berupa cacat hukum, tidak mempunyai kekuatan mengikat, dan batal demi hukum sepanjang telah dibuktikan di pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abta, Asyhari, dan Syakur, Djunaidi. Ilmu Waris Deskrpsi Islam Praktis dan Terapan. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005.
Adjie, Habib. Sanksi Perdata & Adminstratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik Bandung: Refika Aditama, 2009.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata Asas-asas Hukum Waris. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Kie, Tan Thong. Buku I, Studi Notariat: Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Cetakan Kedua. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Meliala, Djaja S. Hukum Perdata Dalam Perspektif BW. Bandung: Nuansa Aulia, 2012.
Prawirohamidjojo, R Soetojo. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya: Airlangga University Press, 2000.
Satrio, J. Hukum Waris. Bandung: Alumni, 1992.
Soerjopratknjo, Hartono. Hukum Waris Testamenter, Cetakan ke-1. Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1982.
Subekti, R. dan Tjitrosoedibio. Kamus Hukum, Cetakan ke-12. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1996.
JURNAL ILMIAH/SKRIPSI/TESIS/DISERTASI/HASIL PENELITIAN
Abiyasa, Renno Khrisna. “Wasiat Tanpa Akta Notaris Menurut Hukum Islam dan KUHPerdata (BW).” Thesis. Universitas Sumatera Utara, (2020).
Agustin, Erni dan Levia, Fanny. "Tanggung Gugat Notaris Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Wasiat Secara Online." Arena Hukum 10, No. 1 (2017): 141-162.
Budiono, Herlien. "Perikatan Bersyarat dan Beberapa Permasalahannya." Veritas et Justitia 2, No. 1 (2016): 86-111.
Chandrata, Yurika Florin. “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembuatan Akta Wasiat (Analisa Kasus Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung No. 387 PK/Pdt/2007).” Thesis. Universitas Indonesia, (2009).
Djoemali, Maureen Paulina. "Kekuatan Hukum Testamen Olografis yang Tidak Dititipkan Pada Notaris." Thesis. Universitas Airlangga, (2013).
Elisa, Haiva. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembuatan Wasiat di Kantor Notaris Kota Medan.” Thesis. Universitas Sumatera Utara, (2015).
Hendryansyah, Febri. "Kajian Yuridis Tentang Surat Wasiat Olografis yang Disimpan di Notaris." Skripsi. Unversitas Jember, (2012).
Ilham. "Akta Wasiat Yang Tidak Didaftarkan Oleh Notaris Pada Pusat Daftar Wasiat." Thesis. Universitas Hasanuddin, (2020).
Marthianus, Willliam Setiawan. "Kedudukan Legitieme Portie dalam Hal Pemberian Hibah Wasiat Berdasarkan Hukum Waris Burgerlijk Wetboek." Notaire 2, No. 2 (2019): 269-282.
Moechthar, Oemar. "Kedudukan Negara Sebagai Pengelola Warisan Atas Harta Peninggalan Tak Terurus Menurut Sistem Waris Burgerlijk Wetboek." Yuridika 32, No. 2 (2017): 280-309.
Nabila, Intan dan Dianti, Flora. "Implikasi Hukum Akta Hibah Wasiat Yang Obyeknya Milik Pihak Lain Dan Tanggung Jawab Notarisnya (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 559/Pdt. G/2018/Pn. Sby)." Indonesian Notary 3, No. 2 (2021): 380-406.
Prastuti, Mireille Titisari Miarti. “Peran dan Tanggungjawab Notaris Atas Akta Wasiat (Testament Acte) yang Dibuat Dihadapannya.” Thesis. Universitas Diponegoro, (2006).
Pratiwi, Rizka Octa. "Perlindungan Hukum Bagi Penerima Wasiat Terhadap Notaris yang Tidak Melaporkan Akta Wasiat Secara Elektronik." Jurnal Cakrawala Hukum 11, No. 3 (2020): 333-340.
Putra, Arminsyah. "Kedudukan Hukum Wasiat Tanpa Akta Notaris (Studi Komperatif Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)." Thesis. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, (2019).
Rudito, Sulih. "Penerapan Legitime Fortie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Warisan Menurut KUHPerdata." Legal Opinion: Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 3: 1-10.
Sanjaya, Umar Haris. "Kedudukan Surat Wasiat Terhadap Harta Warisan yang Belum Dibagikan Kepada Ahli Waris." Jurnal Yuridis 5, No. 1 (2018): 67-97.
Senoadji, Andreas Prasetyo. “Penerapan Legitime Portie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Reg No. 148/PK/Perd/1982.” Thesis. Universitas Diponegoro, (2007).
Suryadini, Yanuar, dan Alifiana Tanasya Widiyanti. "Akibat Hukum Hibah Wasiat yang Melebihi Legitime Portie." Media Iuris 3, No. 2 (2020): 241-256.
Uraidi, Ali. "Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata." Fenomena 15, No. 2 (2017): 1674-1685.
Utami, Novia. "Penegakan Legitime Portie Ahli Waris Dalam Pewarisan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Studi 5 (lima) Putusan Mahkamah Agung)." Thesis. Universitas Sumatera Utara, (2020).
Wijaya, M. "Tinjauan Hukum Surat Wasiat Menurut Hukum Perdata." Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, No. 5 (2014): 106-114.
Wowor, Karel. "Hukum Harta Warisan Atas Tanah Menurut Hukum Perdata." Lex Privatum 7, No. 6 (2019): 100-108. 102.
Yustiningsih, Andhika Juwita. “Kajian Terhadap Peranan Notaris Dalam Pembuatan dan Pencabutan Testamen di Kota Semarang.” Thesis. Universitas Diponegoro, (2009).
INTERNET
Permatasari, Erizka. “Hubungan Wasiat dengan Surat Wasiat.” URL: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt588ff5fb6e8c2/hubun gan-wasiat-dengan-surat-wasiat/. Diakses pada 12 Desember 2021.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaporan Wasiat dan Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Wasiat Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 2127 Tahun 2016).
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 458-473
Discussion and feedback