FINTECH BERDASARKAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Kadek Diana Darmita Wisudawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

Anak Agung Ketut Sukranatha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i03.p4

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis dan mengidentifikasi peraturan Otoritas Jasa Keuangan berkaitan dengan financial technology di Indonesia serta mekanisme penyelesaian sengketa financial technology. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif. Tulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Hasil studi menunjukkan bahwa fintech telah diatur dalam Peraturan OJK. Adapun tujuan dilaksanakannya pengaturan atas fintech adalah untuk mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab, mendorong pemantauan atas IKD sehingga dapat berjalan efektif, dan mendorong sinergi dalam ekosistem digital jasa keuangan.Pihak penyelenggara fintech juga memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan konsumen sehingga konsumen dapat melakukan pengaduan pada layanan konsumen yang telah disediakan oleh pihak penyelenggara fintech apabila terjadi sengketa antara konsumen dengan pihak fintech. Apabila sengketa yang terjadi antara fintech dan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh pihak penyelenggara fintech, konsumen dapat melakukan pelaporan kepada OJK atau mengajukan gugatan perdata kepada penyelenggara fintech sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci: Financial, Teknologi, Fintech, OJK, Penyelesaian sengketa

ABSTRACT

The purpose of this paper is to analyze and identify the Financial Services Authority regulations relating to financial technology in Indonesia as well as financial technology dispute resolution mechanisms. This paper is a normative legal research. This paper uses a statute approach and a conceptual approach. The legal materials used in this paper were traced using document study techniques and the analysis of the study using qualitative analysis. The study results show that fintech has been regulated in the OJK Regulations. The purpose of implementing the regulation on fintech is to support the development of responsible IKD, encourage monitoring of DFI so that it can run effectively, and encourage synergy in the digital financial services ecosystem. Fintech organizers also have an obligation to provide consumer services so that consumers can make complaints on services consumers who have been provided by the fintech organizer in the event of a dispute between the consumer and the fintech party. If the disputes that occur between fintech and consumers cannot be resolved by the fintech organizer, consumers can report to the OJK or file a civil suit against the fintech organizer as determined by the laws and regulations.

Key Words: Financial, Technology, OJK, dispute settlement.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Fintech atau financial technology adalah hasil gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat.1 Fintech mampu memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha dan konsumen dalam kegiatan pembayaran. Kegiatan pembayaran yang awalnya harus bertatap muka dengan membawa sejumlah uang kas, sekarang mampu dilakukan dengan metode online dalam hitungan detik. Fintech hadir untuk mengimbangi perubahan gaya hidup masyarakat yang pada era revolusi industry 4.0 kini didominasi oleh teknologi yang menuntut segala hal dilakukan dengan serba cepat. Melalui fintech, berbagai permasalahan berkaitan dengan transaksi jual-beli ataupun pembayaran dapat dilakukan oleh masyarakat dengan mudah tanpa perlu mencari barang ke tempat perbelanjaan, ke ATM atau bank hanya untuk melakukan transfer dana, dan bahkan pembayaran tagihan bulanan dapat dilakukan melalui fintech seperti LinkAja yang dapat digunakan untuk pembayaran tagihan listrik.2

Kehadiran perusahaan Fintech ini adalah untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses berbagai produk keuangan, mempermudah transaksi keuangan serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang literasi keuangan.3 Perusahaan fintech juga dapat dimanfaatkan untuk mempermudah masyarakat yang ingin berdonasi, mempermudah dalam mengelola keuangan, mempermudah dalam membuka rekening, bahkan fintech memberikan kemudahan bagi masyarakat yang akan berinvestasi.4 Fintech secara umum tidak terbatas pada satu jasa keuangan tertentu. Financial Stability Board (selanjutnya FSB) atau Badan Internasional Pengawas dan Rekomendasi Stabilitas Keuangan Global membagi fintech menjadi 4 (empat) kategori, yakni 1) Payment, Clearing and Settlement (Pembayaran, Kliring dan Penyelesaian), yaitu jenis fintech yang memberikan layanan sistem pembayaran online atau uang digital; 2) Deposits, Lending and Capital Raising (Deposito, Pinjaman dan Penambahan Modal), merupakan layanan fintech dibidang pinjaman; 3) Market Provisioning/Aggregators, merupakan layanan fintech yang mengumpulkan dan memberikan berbagai informasi pasar; dan 4) Investments and Risk Management (Manajemen Resiko dan Investasi), yaitu layanan fintech yang memberikan perencanaan keuangan, platform perdagangan online dan juga asuransi.5

Secara sederhana, di Indonesia dikenal istilah fintech lending yaitu layanan khusus yang merupakan suatu inovasi di bidang jasa keuangan dengan fokus pada

kegiatan pinjam meminjam secara online.6 Merujuk pada fintech report yang dilansir oleh dailysocial.id yang bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya OJK) tercatat bahwa pada tahun 2018 saja industry fintech meraih nilai transaksi sejumlah AS$182,3 juta atau sekitar Rp 2,3 trilyun yang hampir 57% dari transaksi tersebut didominasi oleh fintech lending.7

Hingga saat ini, perusahaan fintech berkembang dengan pesat di Indonesia. Setidaknya terdapat lebih dari 10 perusahaan fintech di Indonesia, antara lain: 1) Amartha yaitu perusahaan fintech yang menerapkan layanan peer to peer lending; 2) Bareksa yang merupakan marketplace yang bergerak di bidang transaksi jual beli produk finansial reksa dana serta produk investasi lainnya secara online; 3) Doku yaitu salah satu sistem pembayaran secara online yang dapat memudahkan penggunanya dalam pembayaran cicilan, kartu kredit, pembelian pulsa, dan sebagainya; 4) Uang Teman yaitu sebuah situs yang memberikan layanan pinjaman tanpa agunan; serta 5) Go-pay yaitu layanan keuangan online yang disediakan oleh salah satu transportasi online, Go-Jek untuk mempermudah pelanggan bertransaksi berkaitan dengan produk go-jek, bahkan kini go-pay dikembangkan agar dapat mengakomodir traksaksi pelanggan diluar produk go-jek.8

Go-Pay merupakan salah satu layanan fintech yang berkembang dengan pesat dan diminati oleh masyarakat Indonesia. Go-pay adalah layanan keuangan digital yang dikelola oleh PT DAB dan terdaftar serta diawasi oleh Bank Indonesia dengan fungsi metode pembayaran yang sah.9 Layanan ini pernah tercatat sebagai fintech pembayaran paling populer di tahun 2018 mengalahkan 2 (dua) kompetitornya, yaitu OVO dan T-Cash.10 Meningkatnya popularitas go-pay juga menjadikan fintech ini ternyata juga membawa dampak negative bagi masyarakat. Beberapa pengguna go-pay mulai mengadukan adanya tindakan penipuan yang mengakibatkan terkurasnya saldo go-pay dan bahkan saldo rekening dari pengguna.11

Hal ini pernah dialami langsung oleh selebriti Indonesia, yakni Maia Estianty dan Aura Kasih. Kejadian serupa juga pernah dialami oleh salah satu pengguna go-jek yakni Prameswara, asal Sorong, Papua yang tabungan sejumlah Rp 28.000.000,00 hilang setelah ia melakukan pemesanan go-food melalui aplikasi, namun diminta untuk membayar via ATM Transfer karena pengakuan dari oknum yang menyatakan bahwa

go-pay miliknya bermasalah dan tidak dapat digunakan.12 Hingga saat ini, belum ada penyelesaian sengketa berkaitan dengan kasus-kasus tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut diatas, maka penting untuk mengkaji secara mendalam isu hukum yang berkaitan dengan bagaimana pengaturan mengenai financial technology di Indonesia serta bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa berkaitan dengan financial technology. Penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa studi terdahulu memiliki kesamaan dari segi topic, yaitu sama-sama membahas jasa keuangan, namun fokus kajiannya berbeda. Tulisan ini menekankan pada pengaturan mengenai financial technology di Indonesia serta mekanisme penyelesaian sengketa berkaitan dengan financial technology.

Studi terdahulu dilakukan oleh Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani pada tahun 2017, mengkaji tentang Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa PM-Tekfin.13 Dalam hal ini, fokus peneliti adalah peran OJK dalam pengembangan bisnis PM Tekfin, bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa PM Tekfin serta bentuk penyelesaian sengketa berkaitan dengan PM Tekfin. Ari Rahmad Hakim BF, I Gusti Agung Wisudawan dan Yudi Setiawan pada tahun 2020, mengkaji tentang Pengaturan Bisnis Pinjaman Secara Online atau Fintech Menurut Hukum Positif di Indonesia.14 Dalam hal ini, fokus peneliti adalah mengenai pengaturan bisnis pinjaman secara online berdasarkan hukum positif di Indonesia serta bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap bisnis pinjaman secara online tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  • 1.    Bagaiman Pengaturan Hukum Berkaitan dengan Financial Technology di Indonesia Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana Metode Penyelesaian Sengketa berkaitan dengan Financial Technology ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis dan mengidentifikasi peraturan Otoritas Jasa Keuangan berkaitan dengan financial technology di Indonesia serta mekanisme penyelesaian sengketa financial technology berdasarkan peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan penulisan, tulisan ini akan secara sistematis membahas substansi yang relevan dengan fokus permasalahan. Pertama, disajikan tentang pengaturan hukum berkaitan dengan financial technology di Indonesia. Kedua, disajikan tentang metode penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh konsumen berkaitan dengan sengketa financial technology.

  • II.    Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif. Menurut pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang sedang dihadapi.15 Tulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Hukum Berkaitan dengan Financial Technologi di Indonesia Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia

Pengaturan hukum berkaitan dengan financial technology di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan, seperti Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/22/DKSP perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital, Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya Peraturan OJK).16 Peraturan OJK ini merupakan ketentuan yang menjadi landasan pengawasan serta pengaturan industry financial technology di Indonesia.17

Dalam Peraturan OJK ditentukan bahwa Inovasi Keuangan Digital (selanjutnya IKD) ditentukan bahwa “IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrument keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital”. Merujuk pada ketentuan Pasal 2 Peraturan OJK diketahui bahwa tujuan dilaksanakannya pengaturan atas IKD adalah untuk mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab, mendorong pemantauan atas IKD agar berjalan efektif, serta mendorong sinergi dalam ekosistem digital jasa keuangan.18

Adapun ruang lingkup IKD berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan OJK adalah berkaitan dengan penyelesaian transaksi, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, penghimpunan dan penyaluran dana, perasuransian, pendukung pasar, pendukung keuangan digital lainnya dan/atau aktivitas jasa keuangan lainnya.19 Merujuk pada ketentuan pasal 3 Peraturan OJK ini, bisnis fintech bergerak pada bidang sebagai berikut:20

  • a.    Penyelesaian transaksi, dalam praktinya dikenal juga dengan sebutan settlement. Adapun salah satu penyelesaian transaksi yang sering dilakukan adalah penyelesaian investasi;

  • b.    Penghimpunan modal, penghimpunan modal seperti equity crowdfunding, virtual exchange and smart contract, serta alternative due diligence;

  • c.    Pengelolaan investasi termasuk pula di dalamnye mengenai advance algorithm, cloud computeing, capabilities sharing, open source information technology, automated advice and management, social trading and retail algorithmic trading;

  • d.    Penghimpunan dan penyaluran dana, termasuk mengenai layanan pinjam meminjam berbasis teknologi dengan memanfaatkan aplikasi (peer to peer lending);

  • e.    Perasuransian, termasuk juga mengenai sharing economy, autonomous cehicle, digital distribution and securitization and hedge fund;

  • f.    Pendukung pasar, termasuk pula mengenai artificial intellifence or machine learning, machine readable news, social sentiment, big data, market information platform, and automated data collection and analysis;

  • g.    Pendukung keuangan digital lainnya seperti social/eco crowdfunding, Islamic digital financing, e-wakaf, e-zakat, robo advise and credit scoring;

  • h.    Aktivitas jasa keuangan lainnya seperti invoice trading, voucher, token dan produk berbasis aplikasi blockchain.

Peraturan OJK juga menerapkan prinsip dasar Regulatory Sandbox, yaitu “mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrument keuangan, dan tata kelola Penyelenggara” dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan apabila dibutuhkan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan OJK.21

Selama pelaksanaan Regulatory Sandbox sendiri, Penyelenggara wajib memenuhi beberapa ketentuan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 10 Peraturan OJK, antara lain:

  • 1.    memberitahukan setiap perubahan IKD yang dimiliki;

  • 2.    berkomitmen untuk membuka setiap informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Regulatory Sandbox;

  • 3.    mengikuti edukasi dan konseling yang diperlukan untuk pengembangan bisnis sektor jasa keuangan;

  • 4.    mengikuti setiap pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan otoritas atau kementerian/lembaga lain; dan

  • 5.    berkolaborasi dengan Lembaga Jasa Keuangan atau pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Hasil Regulatory Sandbox atas Penyelenggara dinyatakan dalam status direkomendasikan, perbaikan atau tidak direkomendasikan.

Peraturan OJK juga menetapkan mengenai prinsip pemantauan secara mandiri meliputi beberapa hal sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 18, antara lain:22

  • 1.    Prinsip tata kelola teknologi informasi dan komunikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

  • 2.    Perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;

  • 3.    Edukasi dan sosialisasi kepada konsumen;

  • 4.    Kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi;

  • 5.    Prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian.

Terkait dengan ketentuan dalam Pasal 18 sendiri, fintech wajib menyediakan informasi secara lengkap, muthakhir, dan transparan berkaitan dengan produk atau layanan yang ditawarkan kepada konsumen.23 Penyedia fintech harus memberikan informasi berkaitan dengan syarat dan ketentuan secara jelas dan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh konsumen.24 Segala kegiatan yang dilakukan oleh Penyelenggara fintech kini berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 Peraturan OJK.

Berdasarkan paparan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa fintech telah diatur dalam Peraturan OJK. Adapun tujuan dilaksanakannya pengaturan atas fintech adalah untuk mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab, mendorong pemantauan atas IKD sehingga dapat berjalan efektif, dan mendorong sinergi dalam ekosistem digital jasa keuangan. OJK juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggara fintech. Bahkan dalam peraturan OJK ditentukan bahwa penyelenggara fintech memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen berkaitan atas produk dan/atau layanan yang disediakan oleh fintech tersebut.

  • 3.2 Metode Penyelesaian Sengketa berkaitan dengan Financial Technology

Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, berdasarkan ketentuan Pasal 31 Peraturan OJK, pihak penyelenggaran fintech memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar perlindungan konsumen, yaitu:25

  • 1.    Transparansi;

  • 2.    Perlakuan yang adil;

  • 3.    Keandalan;

  • 4.    Kerahasiaan dan keamanan data atau informasi konsumen; dan

  • 5.    Penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Merujuk pada ketentuan tersebut, penyelenggara fintech memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan penyelesaian sengketa berkaitan dengan prinsip dasar perlindungan konsumen yakni penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.26 Melalui layanan konsumen tersebut, konsumen dapat melaporkan kejadian yang dianggap merugikan pihak konsumen ataupun hal-hal yang menjadi pertanyaan bagi konsumen.

Apabila penyelenggara fintech tidak mampu menyelesaikan sengketa yang dialami oleh konsumen, maka pihak penyelenggara wajib memberitahukan kepada konsumen informasi berkaitan dengan penerimaan, penundaan ataupun penolakan permohonan layanan keuangan digital sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 ayat (1) Peraturan OJK.27 Penyelenggara fintech juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan alasan penundaan atau penolakan tersebut, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) Peraturan OJK.

Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) Peraturan OJK juga diatur mengenai ketentuan sanksi yang pada intinya menentukan bahwa OJK berwenang untuk mengenakan sanksi administrative terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan OJK, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:

  • 1.    peringatan tertulis;

  • 2.    denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;

  • 3.    pembatalan persetujuan; dan/atau

  • 4.    pembatalan pendaftaran.

Sanksi administratif berupa denda, pembatalan persetujuan serta pembatalan pendaftaran dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administrative berupa peringatan tertulis, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) Peraturan OJK. Khusus sanksi denda, peraturan OJK menentukan bahwa pengenaan denda dapat dilakukan secara tersendiri ataupun secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif berupa pembatalan persetujuan dan pembatalan pendaftaran, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (3) Peraturan OJK. Apabila permasalahan yang dialami oleh konsumen tidak juga dapat diselesaikan oleh penyelenggara fintech, konsumen dapat melaporkan hal tersebut ke OJK.

OJK juga memiliki lembaga tersendiri yang memiliki fungsi untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya LAPS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.28 Keberadaan LAPS ini secara khusus diperuntukkan sebagai alternative penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan dengan karakteristik permasalahan-permasalahan berkaitan dengan jasa keuangan.29

Selain itu, konsumen yang mengalami kerugian juga dapat mengajukan gugatan perdata atas dasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya UUPK). Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 huruf f UUPK yang pada intinya mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.30 Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPK. UUPK juga mengatur dalam ketentuan Pasal 28 bahwa bagi pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat secara perdata melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Berkaitan dengan sengketa yang dialami oleh konsumen go-pay, dapat dipahami bahwa go-jek sebaga penyelenggara fintech go-pay telah menyediakan layanan pengaduan yang dapat diakses oleh konsumen yang mengalami permasalahan saat menggunakan layanan yang disediakan oleh go-jek. Hanya saja, beberapa konsumen belum mendapatkan penyelesaian yang jelas atas sengketa yang mereka alami termasuk didalamnya berkaitan dengan kasus yang menyebabkan hilangnya saldo go-pay konsumen ataupun saldo rekening milik pengguna go-pay.

Sesuai dengan ketentuan dalam UUPK, maka seharusnya pihak go-jek sebagai penyelenggara fintech yang memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi atau kompensasi berupa pengembalian uang kepada konsumen yang terbukti mengalami kerugian atas layanan yang disediakan oleh penyelenggara segera menindaklanjuti kerugian yang diderita oleh konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan, apabila ternyata sengketa yang dialami oleh konsumen belum mampu diselesaikan oleh pihak go-jek, konsumen dapat mengajukan gugatan perdata melalui badan penyelesaian sengketa atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 28 UUPK.

Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat dipahami bahwa pihak penyelenggara fintech memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan konsumen sehingga konsumen dapat melakukan pengaduan pada layanan konsumen yang telah disediakan oleh pihak penyelenggara fintech apabila terjadi sengketa antara konsumen dengan pihak fintech. Apabila sengketa yang terjadi antara fintech dan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh pihak penyelenggara fintech, konsumen dapat melakukan pelaporan kepada OJK atau mengajukan gugatan perdata kepada penyelenggara fintech sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Melihat adanya berbagai pilihan alternative penyelesaian sengketa yang disediakan oleh Pemerintah, maka konsumen dapat menggunakan hak konsumen untuk memilih jalur penyelesaian mana yang menurut konsumen tersebut dapat menyelesaikan sengketa secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa fintech telah diatur dalam Peraturan OJK. Adapun tujuan dilaksanakannya pengaturan atas fintech adalah untuk mendukung pengembangan IKD yang bertanggung jawab, mendorong pemantauan atas IKD sehingga dapat berjalan efektif, dan mendorong sinergi dalam ekosistem digital jasa keuangan. OJK juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggara fintech. Bahkan dalam peraturan OJK ditentukan bahwa penyelenggara fintech memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen berkaitan atas produk dan/atau layanan yang disediakan oleh fintech tersebut. Pihak penyelenggara fintech memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan konsumen sehingga konsumen dapat melakukan pengaduan pada layanan konsumen yang telah disediakan oleh pihak penyelenggara fintech apabila terjadi sengketa antara konsumen dengan pihak fintech. Apabila sengketa yang terjadi antara fintech dan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh pihak penyelenggara fintech, konsumen dapat melakukan pelaporan kepada OJK atau mengajukan gugatan perdata kepada penyelenggara fintech sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad, Yulianto, and N. D. Mukti Fajar. "Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris." Yogyakarta, Pustaka Pelajar (2015).

JURNAL

Benuf, Kornelius, Rinitami Njatrijani, Ery Priyono, and Nur Adhim. 2020. “Pengaturan Dan Pengawasan Bisnis Financial Technology Di Indonesia”. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi 11    (2),    046    -    069.

Https://Doi.Org/10.28932/Di.V11i2.2001.

Benuf, Kornelius, Siti Mahmudah, And Ery Agus Priyono. "Perlindungan Hukum Terhadap Keamanan Data Konsumen Financial Technology Di Indonesia." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 2 (2019): 145-160.

Bf, Ari Rahmad Hakim, I. Gusti Agung Wisudawan, And Yudi Setiawan. "Pengaturan Bisnis Pinjaman Secara Online Atau Fintech Menurut Hukum Positif Di Indonesia." Ganec Swara 14, no. 1 (2020): 464-475.

Cahya, Dwi Ryan, S. H. Wardah Yuspin, M. Kn, And S. H. Kelik Wardiono. "Analisis Pelaksanaan Pemberian Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Oleh Financial Technology." PhD diss., Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2020.

Chrisinta, Intan Vaudya, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Pinjaman Online Di Indonesia Ditinjau Berdasarkan POJK Nomor 13/POJK. 02/2018." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 4: 592-607.

Erlinawati, Mira, and Widi Nugrahaningsih. "Implementasi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap Bisnis Online." Serambi Hukum 11, no. 01 (2017): 27-40.

Ferdiana, Agus Made Krisnan, and Gede Sri Darma. "Understanding Fintech Through Go-Pay." International Journal of Innovative Science and Research Technology 4, no. 2 (2019): 257-260.

Hariyani, Iswi. "Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa PM-Tekfin." Jurnal Legislasi Indonesia 14, no. 3 (2018): 345-358.

Karo, Rizki Karo, and Laurenzia Luna. "Pengawasan Teknologi Finansial Melalui Regulatory Sandbox Oleh Bank Indonessia Atau Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Perspektif Keadilan Bermartabat." Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi 2, no. 2 (2019): 116-125.

Nizar, Muhammad Afdi. "Teknologi keuangan (Fintech): Konsep dan implementasinya di Indonesia." (2017): 5-13.

Njatrijani, Rinitami. "Perkembangan Regulasi Dan Pengawasan Financial Technologydi Indonesia." Diponegoro Private Law Review 4, no. 1 (2019).

Pramana, I. Wayan Bagus, Ida Bagus Putra Atmadja, and Ida Bagus Putu Sutama. "Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technology Jenis Peer To Peer Lending." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018): 1-14.

Rahmawati, Ema, and Rai Mantili. "Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan." Padjadjaran Journal of Law 3, no. 2 (2016): 240-260.

INTERNET

Antara, 2020, Kronologi Saldo Rp 28 Juta Konsumen Gojek di Papua Raib, CNN Indonesia, retrieved from:   https://www.cnnindonesia.com/teknologi

/20200109102452-185-463748/kronologi-saldo-rp28-juta-konsumen-gojek-di-papua-raib/, diakses pada 2 Desember 2020.

Bank Indonesia, 2019, Retrieved From:   https://www.bi.go.id/id/edukasi-

perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-sp/fintech/Pages/default .aspx, diakses pada 1 Desember 2020.

LinkAja, 2020, Bayar Tagihan Listrik Jadi Lebih Mudah, Begini Caranya, Retrieved from:  https://www.linkaja.id/artikel/bayar-tagihan-listrik-jadi-lebih-mudah-

begini-caranya, diakses pada 1 Desember 2020.

Otoritas Jasa Keuangan, 2019, Retrieved from: https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/direktori/fintech/Documents/FAQ%20Fintech%20Lending.pdf, diakses pada 1 Desember 2020.

Purnomo, H, 2018, Indonesia Kini Punya Payung Hukum Aturan Fintech, CNBC Indonesia, Retrieved from: https://www.cnbcindonesia.com/tech/201809 01144740-37-31329/indonesia-kini-punya-payung-hukum-aturan-fintech, diakses pada 2 Desember 2020.

Setyowati, D, 2019, Go Pay Jadi Fintech Pembayaran Paling Populer 2018 di Indonesia, Katadata.co.id, Retrieved from:  https://katadata.co.id/pingitaria/digital

/5e9a55762ea15/go-pay-jadi-fintech-pembayaran-paling-populer-2018-di-indonesia, diakses pada 1 Desember 2020.

Smart Legal, 2019, Mengenal Jenis-Jenis Financial Technology, Retrieved from: https: //smartlegal.id/smarticle/2019/01/08/mengenal-jenis-jenis-financial-technology/, diakses pada 1 Desember 2020.

Tohir, 2019, Perusahaan Fintech Indonesia, Retrieved from: https://www.folderbisnis .com/perusahaan-fintech-indonesia, diakses pada 1 Desember 2020.

Wicaksono, A, 2020, Modus Penipuan yang Kerap dipakai Kuras Gopay Pengguna Gojek, CNN Indonesia, retrieved from: https://www.cnnindonesia.com/ teknologi/20200110144058-185-464222/modus-penipuan-yang-kerap-dipakai-kuras-gopay-pengguna-gojek, diakses pada 1 Desember 2020.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/22/DKSP perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital

Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia   Nomor

13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 501-512