KEKOSONGAN HUKUM PENGATURAN SANKSI DALAM PERATURAN KEPALA DAERAH (STUDI KASUS UU 12/2011 DAN UU 23/2014)

I Nyoman Puspa Negara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putu Edgar Tanaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i10.p05

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah pada UU 12/2011 dan UU 23/2014 dan untuk menganalisis akibat kekosongan hukum pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah pada UU 12/2011 dan UU 23/2014. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian hukum normatif. Pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah Pada UU 12/2011 dan UU 23/2014 tidak diatur secara jelas dan mencerminkan suatu kekosongan hukum, yang dimana pada UU 12/2011 disebutkan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan pada UU 23/2014, hanya mengatur ketentuan mengenai asas pembentukan serta materi muatan Perda berlaku secara mutatis mutandis terhadap asas pembentukan serta materi muatan Perkada. Akibat kekosongan hukum pengaturan sanksi dalam pembentukan peraturan kepala daerah pada UU 12/2011 Dan UU 23/2014 yakni dapat menimbulkan ketidakpastian hukum atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum.

Kata Kunci: Kekosongan Hukum, Sanksi, Peraturan Kepala Daerah.

ABSTRACT

This article aims to analyze the regulation of sanctions in the formation of Regional Head Regulations in Law 12/2011 and Law 23/2014 and to analyze the consequences of the legal vacuum in setting sanctions in the formation of Regional Head Regulations in Law 12/2011 and Law 23/2014. The research method used in writing this article is normative legal research. The regulation of sanctions in the formation of Regional Head Regulations In Law 12/2011 and Law 23/2014 are not clearly regulated and reflect a legal vacuum, where in Law 12/2011 it is stated that the content of criminal provisions can only be contained in laws, regulations and regulations. Provincial Region and Regency/City Regional Regulations. Meanwhile, Law 23/2014 only stipulates the provisions regarding the principle of formation and the content of the Perda applies mutatis mutandis to the principle of formation and the content of the Perkada. As a result of the legal vacuum in setting sanctions in the formation of regional head regulations in Law 12/2011 and Law 23/2014, it can create legal uncertainty or uncertainty in laws and regulations in the community, which will further result in legal chaos.

Keywords: Legal Vacuum, Sanctions, Regional Head Regulations.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah dalam implementasinya harusnya bukan hanya diorientasikan kepada tuntutan guna mendapatkan wewenang yang besar, tanpa melihat hakekat otonomi daerah itu sendiri yang lahir dan tumbuh dari suatu keperluan akan efektifitas manajemen pelaksaan pemerintah yang dengan tujuan

akhir yakni memberikan pelatyanan yang lebih bagus kepada masyarakat Indonesia.1

Seyogyanya otonomi daerah ditafsirkan oleh Kepala Daerah sebagai upaya mengatur pemerintah yang memiliki kewenangan hingga sesuai kepada tuntutan keperluan masyarakat. 2 Kewenangan Pemerintah Daerah salah satunya yakni menjalankan otonomi daerah adalah membentuk suatu aturan Kepala Daerah, hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20211 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat UU 12/2011), yang menyatakan pada pokoknya bahwa Peraturan Kepala Daerah diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dalam UU 12/2011.

Pada pasal 10 sampai dengan pasal 15 UU 12/2011 mengatur tentang materi muatan peraturan perundang-undangan, namun yang mengatur tentang peraturan kepala daerah tidak diatur. selanjutnya pada pasal 2 sampai dengan pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 tahun 2018 tentang perubahan atas peraturan menteri dalam negeri nomor 80 tahun 2015 tentang pembentukan produk hukum daerah (selanjutnya disingkat Permendagri 120/2018), juga sama halnya dengan UU 12/2011, tidak mengatur tentang materi muatan peraturan kepala daerah.

Melihat pengaturan terkait materi muatan yang terdapat dalam UU 12/2011 maupun Permendagri 120/2018, tidak terdapat pengaturan tentang materi muatan peraturan kepala daerah, sehingga menimbulkan pertanyaan hukum seperti, materi muatan apa saja yang boleh diatur dalam peraturan kepala daerah? khususnya terkait sanksi, serta apakah diperbolehkan diatur sanksi dalam peraturan kepala daerah? Fenomena tersebut tentu apabila dilihat dari kacamata hukum tidaklah elok untuk dilihat, oleh karena sebagaimana tujuan hukum, hukum harus memuat keadilan hukum, kepastian hukum, dan juga kemanfaatan hukum, dengan tidak jelasnya peraturan perundang undangan yang dihasilkan oleh pemerintah dan para pemangku pembentuk peraturan perundang undangan hal tersebut tentunya sesuai dengan tujuan hukum sebagaimana yang telah disebutkan. Hukum merupakan pedoman bagi masyarakat dalam melaksanakan kehidupan sehari harinya, bukan hanya masyarakat, pemerintahpun dalam melakukan kebijakan atau melaksanakan jabatannya harus sesuai dengan hukum atau peraturan perundang undangan, oleh karenanya produk hukum atau peraturan perundang undangan yang dihasilkan oleh pemerintah dalam hal ini lembaga legislatif maupun eksekutif harus memiliki suatu aturan pasti dan tidak multitafsir agar tidak menimbulkan pertanyaan hukum yang membingungkan lagi bagi masyarakat luas, selain itu apabila hukum telah sesuai dengan kaidahnya, diyakini pemerintah sebagai pelaksana peraturan perundang undangan pun tidak kebingungan dalam menerapkan hukum sebagaimana yang telah diamanahkan.

Sebenarnya terkait sanksi telah diatur dalam pasal 238 Undang-Undang nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah (selanjutnya disingkat UU 23/2014),

namun yang diatur dalam undang-undang tersebut hanya mengatur sanksi pada peraturan daerah, bukan peraturan kepala daerah.

Terkait sanksi administrasi, hal tersebut diatur pada Pasal 238 UU 23/2014, yang menyebutkan bahwa:

  • “ (1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • (2)    Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

  • (3)    Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • (4)    Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.

  • (5)    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:

  • a.    teguran lisan;

  • b.    teguran tertulis;

  • c.    penghentian sementara kegiatan;

  • d.    penghentian tetap kegiatan;

  • e.    pencabutan sementara izin;

  • f.    pencabutan tetap izin;

  • g.    denda administratif; dan/atau

  • h.    sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dalam jurnal yang ditulis oleh Petrus Kadek Suherman, disebutkan bahwa materi muatan peraturan kepala daerah tidak dijelaskan secara rinci didalam UU 23/2014, hanya disebutkan berlaku secara mutatis mutandis dengan peraturan daerah. 3 Teguh P. Nugroho, juga memberikan pendapat yang sama terkait peraturan kepala daerah, bahkan Teguh menyatakan bahwa yang boleh memuat sanksi hanyalah undang-undang, perppu, dan perda, oleh karena didalam sanksi terdapat penguraan hak seseorang atau masyarakat, oleh karenanya, perlu lembaga legislatif untuk merancangnya atau membuatnya. 4 Dilihat dari pendapat sebagaimana diuraikan oleh Petrus dan Teguh tersebut, dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai atau terkait peraturan kepala daerah masih terdapat ketidakpastian hukum, oleh karena dalam pengaturannya, produk hukum daerah khususnya peraturan kepala daerah yang dibuat oleh Gubernur, Bupati, maupun Walikota, tidak diatur secara rinci mengenai materi muatannya, maupun tentang sanksi yang boleh dimuat atau tidaknya dalam peraturan kepala daerah. Dari pendapat Petrus dan Teguh tersebut juga dapat kita nilai bahwa mereka masih berpendapat bahwa peraturan kepala daerah tidak boleh memuat sanksi, yang hanya diperbolehkan memuat sanksi hanyalah undang undang, peraturan pemerintah pengganti undang undang, dan juga peraturan daerah. padahal pada praktik sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini, terdapat peraturan kepala daerah yang memuat sanksi. Hal inilah yang dapat dimaknai tidak tercapainya kepastian hukum dalam pengaturan suatu peraturan perundang undangan, dan

tertunya sebagaimana pendapat pendapat diatas, hal tersebut menimbulkan multitafsir pada beberapa kalangan.

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pada prakteknya memang terdapat peraturan kepala daerah yang memuat sanksi dalam peraturan kepala daerah, contohnya seperti di Bali dan di Jakarta. Di Bali, peraturan terkait sanksi terdapat pada peraturan gubernur bali nomor 10 Tahun 2021 (selanjutnya disingkat pergub bali 10/2021), yang pada pokoknya memuat sanksi administratif kepada pelanggar protokol kesehatan dalam upaya pencegahan covid 19. Sama halnya dengan Bali, di Jakarta peraturan serupa juga terdapat pada peraturan gubernur DKI Jakarta nomor 101 tahun 2020 (selanjutnya disingkat pergub DKI jakarta 101/2020).

Pada Pergub Bali 10/2021, sanksi administratif diatur pada Pasal 11 yang menetukan:

“ (1) Perorangan Warga Negara Indonesia, Orang Asing atau Wisatawan Mancanegara, Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara, Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum yang terbukti tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi administratif.

  • (2)    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yakni:

  • a.    bagi perorangan Warga Negara Indonesia yang melakukan perjalanan dan/atau berkegiatan ke Bali, antar kabupaten/kota di Bali dan/atau di tempat yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), berupa:

  • 1.    penundaan pemberian pelayanan administrasi sesuai kewenangan Pemerintah Provinsi; dan/atau

  • 2.    membayar denda administratif sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah) bagi yang tidak menggunakan masker pada saat beraktivitas dan berkegiatan di luar rumah.

  • b.    bagi Orang Asing atau Wisatawan Mancanegara yang melakukan perjalanan dan/atau berkegiatan ke Bali, antar kabupaten/kota di Bali dan/atau di tempat yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), berupa:

  • 1.    penundaan pemberian pelayanan administrasi sesuai kewenangan Pemerintah Provinsi; dan/atau

  • 2.    membayar denda administrasi bagi yang tidak menggunakan masker pada saat beraktivitas dan berkegiatan di luar rumah dengan ketentuan sebagai berikut:

  • a)    membayar denda administratif sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran untuk pertama kali; dan

  • b)    deportasi apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran untuk kedua kali.

  • c.    bagi Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara atau Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3):

  • 1.    membayar denda administratif sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) yang tidak menyediakan sarana pencegahan COVID-19;

  • 2.    dipublikasikan di media massa sebagai Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara atau Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum yang kurang atau tidak taat Protokol Kesehatan; dan/atau

  • 3.    rekomendasi pembekuan sementara izin usaha kepada pejabat/instansi yang berwenang.

  • (3)    Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perorangan Warga Negara Indonesia, Orang Asing atau Wisatawan Mancanegara, dan Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara, Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum juga dapat dikenakan sanksi lainnya sesuai Awig-awig atau Pararem Desa Adat atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Selanjutnya pada Pergub DKI Jakarta 101/2020, sanksi administratif diatur pada Pasal 12 yang berbunyi:

  • “    (1) Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran dalam menyelenggarakan kegiatan makan di tempat melaksanakan perlindungan kesehatan masyarakat, yang meliputi:

  • a.    melaksanakan protokol pencegahan Covid-19;

  • b.    membatasi jumlah pengunjung paling banyak 50% (lima puluh persen) dari kapasitas warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran;

  • c.    mewajibkan pengunjung menggunakan masker, kecuali saat makan dan minum;

  • d.    menerapkan pemeriksaan suhu tubuh;

  • e.    melakukan pembatasan interaksi fisik dengan rentang jarak paling sedikit 1 (satu) meter antar pengunjung;

  • f.    menyediakan hand sanitizer:

  • g.    tidak menggunakan alat makan atau alat minum yang mengharuskan pengunjung berbagi alat dalam mengkonsumsinya, antara lain shisha dan menu sejenisnya;

  • h.    mewajibkan memasang informasi jumlah kapasitas pengunjung;

  • i.    melakukan pendataan pengunjung di warung makan, rumah makan, cafe, atau restoran guna kebutuhan penyelidikan epidemiologi apabila ditemukan kasus terkonfirmasi Covid-19; dan

  • j.    membuat dan mengumumkan pakta integritas dan protokol pencegahan Covid-19.

  • (2)    Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran yang tidak melaksanakan kewajiban perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan sementara warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

  • (3)    Penutupan sementara warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) jam sejak ditemukannya pelanggaran kewajiban melaksanakan perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  • (4)    Bagi setiap pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran yang mengulangi pelanggaran tidak melaksanakan kewajiban perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi denda administratif dengan ketentuan sebagai berikut:

  • a.    pelanggaran berulang 1 (satu) kali dikenakan denda administratif

sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah);

  • b.    pelanggaran berulang 2 (dua) kali dikenakan denda administratif

sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah); dan

  • c.    pelanggaran berulang 3 (tiga) kali dan berikutnya dikenakan denda administratif sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

  • (5)    Apabila setiap pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran, yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari, dilakukan penutupan sementara sampai dilaksanakan pemenuhan

pembayaran denda administratif.

  • (6)    Apabila setiap pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran, yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif setelah dilakukan penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari, dilakukan pencabutan izin usaha. (7) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dilaksanakan oleh Satpol PP dan dapat didampingi oleh unsur Kepolisian dan/atau TNI.”

Melihat praktek yang terjadi, yakni dimasukkannya sanksi dalam peraturan kepala daerah sebagaimana ketentuan ketentuan yang disebutkan diatas, maka penulis melihat adanya kekosongan norma dalam pengaturan sanksi peraturan kepala daerah, dan hal tersebut tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan terkait sanksi dalam peraturan kepala daerah, khususnya pada UU 12/2011 dan UU 23/2014, yang dimana kedua UU tersebut adalah UU yang sangat terkait dengan peraturan kepala daerah.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang permasalahan diatas dalam bentuk artikel dengan judul "Kekosongan Hukum Pengaturan Sanksi Dalam Peraturan Kepala Daerah (Studi Kasus UU 12/2011 dan UU 23/2014)".

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah pada UU 12/2011 dan UU 23/2014?

  • 2.    Apakah akibat kekosongan hukum pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah pada UU 12/2011 dan UU 23/2014?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk menganalisis pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah pada UU 12/2011 dan UU 23/2014.

  • 2.    Untuk menganalisis akibat kekosongan hukum pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah pada UU 12/2011 dan UU 23/2014.

  • 2.    Metode Penelitian

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analytical and Copceptual Approach). Adapun alasan penulis untuk Jurnal Kertha Wicara Vol. 10. No. 10 Tahun 2021 hlm. 812-829

menggunakan dua pendekatan diatas yakni tidak lain dikarenakan dalam mengkaji suatu norma kosong khususnya mengkaji tentang suatu produk hukum atau peraturan perundang undangan, peraturan perundang undangan terkait sangatlah diperlukan untuk dikaji dan dikaitkan dengan permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini, selain itu konsep, teori, ataupun pendapat ahli juga sangat penulis perlukan untuk dilakukan pendekatan, guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam mengkaji suatu peraturan perundang undangan, tidaklah cukup dengan melakukan pendekatan dengan epraturan perundang undangan.

Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum mencakup; pertama bahan hukum primer, kedua bahan hukum sekunder, dan ketiga bahan hukum tersier. Pada peelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang undangan yang dimana peraturan perundang undangan tersebut akan dikaji dan dikaitkan dengan permasalahan yang akan penulis bahas dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah buku buku ataupun artikel ilmiah yang didalamnya terdapat konsep, teori, maupun pendapat yang dirasa tepat dikaji dan dikaitkan dengan permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini. Sedangkan bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah kamus kamus hukum yang dimana kamus tersebut sebagai penunjang dari bahn hukum primer dan sekunder.

  • 3.    Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Sanksi Dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah Pada UU 12/2011 dan UU 23/2014

Sebagaimana definisinya, peraturan kepala daerah adalah suatu peraturan perundang-undangan yang dapat dibuat oleh Bupati/Walikota maupun Gubernur, dalam artian bahwa peraturan tersebut memiliki karakteristik sebagai pengaturan yang tidak dicampuri oleh lembaga legislatif dan hanya dibentuk oleh lembaga eksekutif. 5 Biasanya fungsi peraturan kepala daerah yang dibuat oleh Bupati/Walikota maupun Gubernur adalah untuk melakukan perincian terhadap peraturan daerah, oleh karenanya isi dari peraturan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan daerah.6

Perangkat hukum yang bersifat memaksa, diperlukan kepala daerah untuk melaksanakan wewenangnya dalam menjalankan suatu pelayan publik yang baik bagi masyarakat. Apabila suatu perangkat atau produk hukum tidak bersifat memaksa, maka akan sulit untuk menciptakan suatu tertib hukum dalam masyarakat. Selain itu, pemerintah dan aparatur sipil negara yang juga tentunya menerapkan suatu produk hukum juga perlu diatur guna pelayanan publik yang maksimal bagi masyarakat. Produk hukum yang memaksa tidak semata mata kaku dan bersifat untuk menghukum, namun juga bermakna agar hukum dapat memiliki taring sebagai pedoman hidup masyarakat untuk melakukan tindakan sehari harinya. Aparatur Negara sebagai seorang yang memiliki kewenangan tertentu juga tidak bisa melakukan kesewenang wenangan terhadap masyarakat apabila suatu perangkat hukum atau produk hukum sudah bersifat memaksa dan mencerminkan kepastian hukum.

Membentuk suatu produk atau pengaturan hukum yang melekat internal pemerintahan merupakan suatu kewenangan kepentingan umum. Adapun

indroharto memiliki tiga alasan yang mendasari adanya kewenangan kepala daerah ini yakni: yang pertama luasnya lingkup administrasi sehingga tidak mungkin dituangkan seluruhnya dalam undang-undang, yang kedua adalah pelayanan publik yang menuntut adanya kecepatan tidak mungkin harus menunggu diterbitkannya undang-undang baru (efisiensi), dan yang terakhir terkait dengan perlunya produk hukum atau pengaturan yang lebih mendetail yang dibuat oleh kepala daerah, terutama dalam hal teknis, yang tidak mungkin diatur dalam undang-undang.7

Peraturan kepala daerah sering pula disebut peraturan kebijakan, oleh karena posisinya yang memiliki makna menjalankan pelayanan publik, oleh karenanya akibat yang ditimbulkan berbeda pula dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, memang menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) produk hukum yakni yang dibuat oleh legislasi dan yang dibuat dan dihasilkan oleh eksekutif. yang dimana produk hukum yang dibuat oleh eksekutif tersebut yang sering dikatakan peraturan kebijakan.

Peraturan kebijakan merupakan bentuk dari tindakan hukum pemerintah dalam mejalankan fungsi pemerintah daerah, yang dimana peraturan kebijakan tersebut, dalam hal ini peraturan kepala daerah merupakan suatu tindakan nyata dari pemerintah untuk menjalankan fungsi pemerintahan di daerahnya, yang dimana hakekatnya peraturan kebijakan ini hanya memuat ketetapan dan keputusan, dan tidak menimbulkan akibat hukum.8

Posisi pengaturan atau regulasi seperti peraturan kepala daerah adalah tindak lanjut dari perintah peraturan daerah yang ada sebelumnya, yang dima hal tersebut diatur dalam pasal 246 ayat (1) UU 23/2014, yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk melaksanakan perda, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah, bisa disebut peraturan daerah telah memberi degelasi kewenangan terhadap peraturan kepala daerah dalam membuat regulasi ataupun pengaturan yang bersifat teknis.

Pada pasal 65 ayat (2) UU 23/2014, disebutkan bahwa peraturan kepala daerah dibentuk untuk melaksanaan tugas kepala daerah, yang dimana asas yang digunakan adalah asas pembentukan dan materi muatan sebagai dasar. Asas pembentukan diatur pada pasal 5 UU 12/2011, sedangkan asas materi muatan diatur pada pasal 6 UU 12/2011.

Hukum positif memiliki ciri yang memaksa, hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen. bentuk sanksi yang memaksa mengandung makna merampas secara paksa yang dimana hal tersebut tidak dikehendaki. Kelsen menambahkan bahwa sanksi merupakan ganjaran, tidak hanya hukuman. Pendapat Kelsen disetujui oleh A. Hamid S. Attamimi, yang juga menyatakan bahwa sanksi merupakan suatu ciri yang membedakan norma adat ataupun agama dengan norma hukum, yang dimana memiliki perbedaan yakni saksi bersifat memaksa, sedangkan norma adat tidak.9

Sanksi yang tegas perlu dicantumkan dalam suatu peraturan, juga dikemukakan oleh Pospisil, yang menyebutkan bahwa atribut hukum salah satunya adalah sanksi, selain wewenang, tujuan, serta hak dan kewajiban.10 Sanksi bertujuan agar hukum lebih memiliki taring, dan juga agar hukum lebih ditaati, oleh karena hukum tanpa sanksi memiliki kecenderungan akan diabaikan oleh masyarakat.

Sanksi yang tegas perlu dicantumkan dalam suatu peraturan, juga dikemukakan oleh Pospisil, yang menyebutkan bahwa atribut hukum salah satunya adalah sanksi, selain wewenang, tujuan, serta hak dan kewajiban.11 Sanksi bertujuan agar hukum lebih memiliki taring, dan juga agar hukum lebih ditaati, oleh karena hukum tanpa sanksi memiliki kecenderungan akan diabaikan oleh masyarakat.

Sanksi dibuat untuk memberikan efek jera dan dampak bagi pelanggar sanksi tersebut, dan juga berfungi sebagai alat pemaksa guna membentuk keteraturan masyarakat agar tujuan hukum dapat tercapai. Terkait dengan sanksi dalam peraturan kepala daerah, hal tersebut tidak diatur dalam UU 12/2011, yang dimana pada pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 hanya mengatur sanksi dalam peraturan daerah, bukan peraturan kepala daerah. Selanjutnya pada pasal 246 ayat (2) UU 23/2014, hanya diatur tentang materi muatan peraturan kepala daerah mutatis mutandis dengan asas pembentukan dan materi muatan peraturan daerah. Bila dilihat dari Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011, harusnya pengaturan sanksi dalam peraturan kepala daerah diatur karena dalam asas materi muatan peraturan daerah, terdapat asas kepastian hukum yang dimana untuk dapat mengatakan suatu produk hukum memiliki kepastian hukum, maka suatu produk hukum atau regulasi tersebut harus rinci dan jelas tanpa adanya multitafsir.

  • 3.2    Akibat Kekosongan Hukum Pengaturan Sanksi Dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah Pada UU 12/2011 Dan UU 23/2014

Sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kekosongan adalah kosong atau kehampaan, sama halnya dengan dalam kamus hukum kekosngan juga berarti lowong atau kosong, Dilihat dari hal tersebut, oleh karenanya kekosongan hukum secara sempit dapat diartikan adalah suatu keadaan kosong atau juga bisa berarti ketidakadaan peraturan, sehingga dalam hukum positif kekosongan hukum juga dapat dimaknai sebagai peraturan perundang-undangan yang kosong.12

Kekosongan hukum terjadi dikarenakan masih kurangnya waktu dalam menyusun peraturan perundang undangan di lembaga legislatif maupun eksekutif, dalam satu sisi juga masyarakat perlu kepastian hukum yang cepat, namun yang terjadi adalah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak lengkap dan juga tidak jelas, karena terdapat hal-hal yang belum diatur secara rinci dalam peraturan perundang undangan tersebut.13

Kekosongan hukum juga sering dikatakan sebagai kosongnya peraturan perundang undangan, yang dimana kalanya hal sebagaimana tersebut di sisi pihak yang membuat perundang-undangan itu memerlukan waktu yang cukup untuk

membentuk secara baik, kadang kala juga produk yang dihasilkan tidak sesuai lagi untuk diterapkan sebagaimana dinamika masyarakat.14

Selain itu, kadangkala lembaga eksekutif atau lembaga yang melaksanakan peraturan perundang undangan tidak konsisten dalam menjalankan apa yang telah tertulis untuk dilaksanakan, hal sebagaimana tersebut dapat dilihat pada apa yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini, yang dimana harusnya amanah dari peraturan perundang undangan tersebut dilaksanakan, namun pada kenyataannya tidak dilaksanakan oleh pelaksana peraturan perundang-undangan (pemerintah). Oleh karenanya pemerintah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan peraturan perundang undangan harus menghapus ego yang terkait dengan tanggung jawab dan tugasnya selaku penyelenggara negara, yang dimana juga harus memiliki sinergi antara pihak pihak pembuat peraturan perundang undangan serta memiliki peran yang aktif di dalam masyarakat.15

Konsekuensi yang terjadi apabila terdapat kekosongan hukum dalam peraturan perundang undangan, atau belum adanya pengaturan yang mengatur suatu keadaan yakni tidak adanya kepastian hukum yang nantinya bisa menyebabkan kacaunya tatanan hukum dalam masyarakat, karena masyarakat mengalami kebingungan akan pengaturan apa yang harus diterapkannya dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-harinya.

Sebagaimana judul dan masalah yang diteliti dalam artikel ini, terkait sanksi dalam peraturan kepala daerah yang sebelumnya penulis menyatakan bahwa hal tersebut diatur, ternyata terdapat peraturan kepala daerah yang mengatur hal tersebut (contoh), yakni pergub bali 10/2021 dan pergub DKI jakarta 101/2020. Pada pokoknya, kedua peraturan yang dibuat oleh kepala daerah tersebut (Gubernur Bali dan DKI Jakarta) memuat sanksi administratif kepada pelanggar protokol kesehatan dalam upaya pencegahan covid 19.

Pada Pergub Bali 10/2021, sanksi administratif diatur pada Pasal 11 yang menetukan:

  • “    (1) Perorangan Warga Negara Indonesia, Orang Asing atau Wisatawan Mancanegara, Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara, Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum yang terbukti tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi administratif.

  • (2)    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yakni:

  • a.    bagi perorangan Warga Negara Indonesia yang melakukan perjalanan dan/atau berkegiatan ke Bali, antar kabupaten/kota di Bali dan/atau di tempat yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), berupa:

  • 1.    penundaan pemberian pelayanan administrasi sesuai kewenangan Pemerintah Provinsi; dan/atau

  • 2.    membayar denda administratif sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah) bagi yang tidak menggunakan masker pada saat beraktivitas dan berkegiatan di luar rumah.

  • b.    bagi Orang Asing atau Wisatawan Mancanegara yang melakukan perjalanan dan/atau berkegiatan ke Bali, antar kabupaten/kota di Bali dan/atau di tempat yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), berupa:

  • 1.    penundaan pemberian pelayanan administrasi sesuai kewenangan Pemerintah Provinsi; dan/atau

  • 2.    membayar denda administrasi bagi yang tidak menggunakan masker pada saat beraktivitas dan berkegiatan di luar rumah dengan ketentuan sebagai berikut:

  • a)    membayar denda administratif sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran untuk pertama kali; dan

  • b)    deportasi apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran untuk kedua kali.

  • c.    bagi Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara atau Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3):

  • 1.    membayar denda administratif sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) yang tidak menyediakan sarana pencegahan COVID-19;

  • 2.    dipublikasikan di media massa sebagai Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara atau Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum yang kurang atau tidak taat Protokol Kesehatan; dan/atau

  • 3.    rekomendasi pembekuan sementara izin usaha kepada pejabat/instansi yang berwenang.

  • (3)    Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perorangan Warga Negara Indonesia, Orang Asing atau Wisatawan Mancanegara, dan Pelaku Usaha, Pengelola, Penyelenggara, Penanggung Jawab Tempat dan Fasilitas Umum juga dapat dikenakan sanksi lainnya sesuai Awig-awig atau Pararem Desa Adat atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Selanjutnya pada Pergub DKI Jakarta 101/2020, sanksi administratif diatur pada Pasal 12 yang berbunyi:

  • “    (1) Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran dalam menyelenggarakan kegiatan makan di tempat melaksanakan perlindungan kesehatan masyarakat, yang meliputi:

  • a.    melaksanakan protokol pencegahan Covid-19;

  • b.    membatasi jumlah pengunjung paling banyak 50% (lima puluh persen) dari kapasitas warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran;

  • c.    mewajibkan pengunjung menggunakan masker, kecuali saat makan dan minum;

  • d.    menerapkan pemeriksaan suhu tubuh;

  • e.    melakukan pembatasan interaksi fisik dengan rentang jarak paling sedikit 1 (satu) meter antar pengunjung;

  • f.    menyediakan hand sanitizer:

  • g.    tidak menggunakan alat makan atau alat minum yang mengharuskan pengunjung berbagi alat dalam mengkonsumsinya, antara lain shisha dan menu sejenisnya;

  • h.    mewajibkan memasang informasi jumlah kapasitas pengunjung;

  • i.    melakukan pendataan pengunjung di warung makan, rumah makan, cafe, atau restoran guna kebutuhan penyelidikan epidemiologi apabila ditemukan kasus terkonfirmasi Covid-19; dan

  • j.    membuat dan mengumumkan pakta integritas dan protokol pencegahan Covid-19.

  • (2)    Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran yang tidak melaksanakan kewajiban perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan sementara warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

  • (3)    Penutupan sementara warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) jam sejak ditemukannya pelanggaran kewajiban melaksanakan perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  • (4)    Bagi setiap pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran yang mengulangi pelanggaran tidak melaksanakan kewajiban perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi denda administratif dengan ketentuan sebagai berikut:

  • a.    pelanggaran berulang 1 (satu) kali dikenakan denda administratif

sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah);

  • b.    pelanggaran berulang 2 (dua) kali dikenakan denda administratif

sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah); dan

  • c.    pelanggaran berulang 3 (tiga) kali dan berikutnya dikenakan denda administratif sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

  • (5)    Apabila setiap pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran, yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari, dilakukan penutupan sementara sampai dilaksanakan pemenuhan

pembayaran denda administratif.

  • (6)    Apabila setiap pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran, yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif setelah dilakukan penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari, dilakukan pencabutan izin usaha. (7) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dilaksanakan oleh Satpol PP dan dapat didampingi oleh unsur Kepolisian dan/atau TNI.”

Dilihat dari dua peraturan kepala daerah sebagaimana disebutkan diatas, terlihat jelas bahwa praktik pelaksanaan pembentukan peraturan kepala daerah yang memuat sanksi terjadi dalam sistem pemerintahan di Indonesia, padahal dalam UU 12/2011 serta UU 23/2014 tidak mengatur mengenai materi muatan peraturan kepala daerah, terlebih lagi pengaturan dalam sanksi boleh diatur dalam peraturan kepala daerah, hal tersebut tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat yang dimana tidak terdapat payung hukum yang jelas

untuk mendasari kepala daerah seperti Gubernur, Bupati maupun Walikota untuk membentuk suatu pengaturan sanksi dalam produk hukum yang dibuat olehnya. hal tersebut juga yang kadangkala menimbulkan kebingungan dalam masyarakat untuk menerapkan atau tidaknya peraturan tersebut. Di satu sisi peraturan tersebut terkesan memaksa, padahal banyak masyarakat dewasa ini yang mengerti dan memahami tentang ketentuan peraturan perundang-undangan.

Urgensi atau diperlukannya konstruksi norma pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah, yaitu untuk menjamin asas kepastian hukum sehingga tidak lagi menimbulkan kekacauan atau kebingungan mengenai boleh atau tidaknya sebuah Peraturan Kepala Daerah memuat ketentuan sanksi, selain ketentuan sanksi pidana. Pada prakteknya, terdapat Peraturan Kepala Daerah yang memuat sanksi denda atau sanksi administratif, seperti contohnya Pergub Bali 10/2021 dan Pergub DKI Jakarta 101/2020. Sehingga dengan tidak diaturnya materi muatan secara rinci khususnya terkait pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah, hal tersebut menunjukkan adanya kekosongan norma dalam pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Berbeda halnya dengan pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Daerah yang secara jelas telah diatur di dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 12/2011, serta diatur dalam Pasal 238 UU23/2014.

Adapun konstruksi norma pengaturan sanksi dalam Peraturan Kepala Daerah, dapat dilakukan pada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yakni pada UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU 23/2014, dikarenakan 2 (dua) peraturan perundang-undangan diatas dapat dijadikan suatu acuan/pedoman dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah.

Adapun konstruksi norma dalam penelitian ini akan dilakukan melalui penambahan atau penyisipan pasal baru yang dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. Hal tersebut sebagaimana disebutkan pada angka 234 Lampiran II UU 12/2014 disebutkan bahwa:

  • “    Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.”

Bahwa sebagaimana contoh yang diuraikan pada angka 234 huruf b. Lampiran II UU 12/2011, penambahan atau penyisipan pasal baru dilakukan dengan menambahkan huruf dibelakang Pasal seperti contohnya: "Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A.”

Berdasarkan uraian mengenai konstruksi norma dan juga teknis penambahan ketentuan atau pasal sebagaimana disebutkan diatas, maka adapun konstruksi norma pengaturan sanksi dalam Peraturan Kepala Daerah yang dapat diterapkan pada UU 12/2011 dan UU 23/2014, yakni sebagai berikut:

Sebagai undang-undang yang menjadi pedoman/acuan utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, seyogyanya materi muatan Peraturan Kepala Daerah diatur dan ditempatkan setelah Pasal 14, tepatnya pada Pasal 14A, seperti:

Pasal 14A

  •    Materi muatan Peraturan Kepala Daerah berisi penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun alasan mengenai penambahan pasal baru sebagaimana disebutkan diatas ditempatkan setelah Pasal 14, tepatnya pada Pasal 14A, oleh karena dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 UU 12/2011, diatur mengenai materi muatan

peraturan perundang-undangan, yang mana pengaturan tentang materi muatan ditutup pada Pasal 14, yang mengatur mengenai materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan pada Pasal 15 UU 12/2011, sudah memuat tentang pengaturan lain yang berbeda konteks dengan Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, maka materi muatan Peraturan Kepala Daerah seyogyanya diatur dan ditempatkan setelah Pasal 14 dan/atau sebelum Pasal 15, yakni pada Pasal 14A.

Selanjutnya, sebagai undang-undang yang menjadi pedoman/acuan utama dalam pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, seyogyanya materi muatan khususnya mengenai pengaturan sanksi pada Peraturan Kepala Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang ditempatkan setelah Pasal 246, tepatnya pada Pasal 246A seperti:

Pasal 246A

  • “    (1) Perkada dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perkada seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • (2)    Perkada dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.

  • (3)    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

  • a.    teguran lisan;

  • b.    teguran tertulis;

  • c.    penghentian sementara kegiatan;

  • d.    penghentian tetap kegiatan;

  • e.    pencabutan sementara izin;

  • f.    pencabutan tetap izin;

  • g.    denda administratif; dan/atau

  • h.    sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Adapun alasan mengenai penambahan pasal baru sebagaimana disebutkan diatas ditempatkan setelah Pasal 246, tepatnya pada Pasal 246A, oleh karena pengaturan terkait Perkada itu sendiri, telah memiliki bagian tersendiri dalam UU 23/2014, yang dimulai dari Pasal 246.

Pasal 246 merupakan paragraf umum Perkada, sedangkan Pasal 247 merupakan paragraf perencanaan, penyusunan, dan penetapan Perkada, yang berarti Pasal 247 tersebut sudah berbeda konteks dengan paragraf dan/atau Pasal sebelumnya.

Pengaturan mengenai sanksi pada Peraturan Kepala Daerah, seyogyanya memang harus diatur dalam paragraf umum Perkada, tepatnya setelah Pasal 246, oleh karena hal tersebut melihat pada pengaturan sanksi pada Perda diatur dalam paragraf umum Perda, maka sudah sepatutnya pengaturan sanksi pada Perkada

juga diatur dalam paragraf umum Perkada, yakni setelah Pasal 246, tepatnya Pasal 246A.

Bahwa dengan konstruksi norma pengaturan sanksi dalam Peraturan Kepala Daerah sebagaimana yang telah dirumuskan/dapat ditambahkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan diatas, maka pengaturan sanksi dalam Peraturan Kepala Daerah sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh sebagian Kepala Daerah dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah, dapat memiliki dasar hukum dan sesuai dengan asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan, khususnya asas kepastian hukum.

Peraturan yang memuat sanksi dalam pengaturannya, dikomentari oleh beberapa kalangan seperti contohnya adalah Kepala Ombudsman Jakarta16 dan juga Wakil Sekretaris Jendral Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)17, Kepala Ombudsman Jakarta pada pokoknya mengemukakan bahwa dalam UU 12/2011, peraturan yang boleh memuat sanksi hanyalah peraturan daerah, undang-undang, dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, oleh karena apabila suatu peraturan sudah menerapkan sanksi, artinya peraturan tersebut memiliki suatu komponen untuk pengurangan hak seseorang, dan dalam mengurangi hak seseorang ataupun warga negara, peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dibahas secara bersama-sama dengan DPR atau DPRD, bukan hanya dibuat oleh lembaga eksekutif. Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Jendral Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 238 UU 23/2014 sudah jelas jelas mengatur sanksi pidana maupun administratif hanya boleh diatur oleh peraturan daerah, bukanlah produk hukum peraturan kepala daerah.

Berdasarkan uraian tentang contoh peraturan kepala daerah sebagaimana disebutkan diatas, dan diperkuat dengan komentar dari para kalangan, maka penulis berpendapat bahwa seyogyanya pengaturan mengenai sanksi dalam peraturan kepala daerah diatur dalam UU 12/2011 ataupun UU 23/2014, hal tersebut dikarenakan kedua peraturan perundang undangan tersebut merupakan pedoman utama yang terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan atau produk hukum daerah. Formulasi yang dapat ditambahkan dalam UU 12/2011 yakni dapat menambahkan materi muatan apa saja yang dapat diatur dalam peraturan kepala daerah, karena pengaturan mengenai materi muatan peraturan perundang undangan tidak diatur dalam UU tersebut. Sama halnya dengan UU 12/2011, UU 23/2014 juga perlu mengatur mengenai pengaturan sanksi boleh diatur dalam peraturan kepala daerah. Penulis berpendapat demikian dikarenakan urgensi hukum dan fenomena yang dewasa ini terjadi, dimana pada praktiknya terdapat peraturan kepala daerah yang memuat sanksi, padahal hal tersebut tidak didasari payung hukum dalam peraturan perundang-undangan diatasnya, hal tersebut tentu dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan hukum, serta tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum tidak mungkin tercapai tanpa adanya pengaturan yang jelas dan tidak multitafsir dari suatu produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah. Apabila formulasi mengenai pengaturan sanksi dalam peraturan kepala daerah dapat terisi, maka penulis meyakini peraturan tersebut dalam berlaku secara efektif dalam masyarakat dan akan menciptakan suatu tertib hukum.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, adapun kesimpulan dari penulisan artikel ini yakni sebagai berikut:

  • 1.    Pengaturan sanksi dalam pembentukan Peraturan Kepala Daerah Pada UU 12/2011 dan UU 23/2014 tidak diatur secara jelas dan mencerminkan suatu kekosongan hukum, yang dimana pada UU 12/2011 disebutkan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan pada UU 23/2014, hanya mengatur ketentuan mengenai asas pembentukan serta materi muatan Perda berlaku secara mutatis mutandis terhadap asas pembentukan serta materi muatan Perkada.

  • 2.    Akibat kekosongan hukum pengaturan sanksi dalam pembentukan peraturan kepala daerah pada UU 12/2011 Dan UU 23/2014 yakni dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan

perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum (rechtsverwarring).

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Asshidiqqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Jakarta, Konstitusi Press, 2006).

Usfunan, Yohanes, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat (Jakarta, Djambatan, 2002).

Jurnal:

Arianta, Ketut, Dewa Gede Sudika Mangku, and Ni Putu Rai Yuliartini. “Perlindungan Hukum Bagi Kaum Etnis Rohingya Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional”. Jurnal Komunitas Yustisia 3, no. 2 (2020):

Harahap, Zairin. “Pengaturan Tentang Ketentuan Sanksi Dalam Peraturan Daerah”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 13, no. 1 (2006): 38-49.

Hartanto, R. V. P. “Peran Kepala Daerah Dalam Membangun Daerah”. Jurnal PKn Progresif (2015).

Mitendra, Hario Mahar. “Fenomena dalam Kekosongan Hukum”. Jurnal

Rechtsvinding 1 (2018).

Nasir, Gamal Abdul. “Kekosongan Hukum & Percepatan Perkembangan

Masyarakat”. Jurnal Hukum Replik 5, no. 2 (2017): 172-183.

Purwati, N. M. A., & Artha, I. G. “Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah”. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Vol. 04, No. 05, (2016).

Suherman, Petrus Kadek. “Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah”. Jurnal Advokasi 7, no. 1 (2017): 72481.

Widiati, E. Prajwalita, and Haidar Adam. “Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala Daerah”. Yuridika 27, no. 1 (2012): 77-95.

Peraturan Perundang – Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157).

Peraturan Gubernur Bali Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penerapan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 Dalam Tatanan Kehidupan Era Baru (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2021 Nomor 10).

Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 101 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2020 Nomor 72031).

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10. No. 10 Tahun 2021 hlm. 812-829