LEGALITAS ASURANSI KREDIT SEBAGAI PERLINDUNGAN DANA LENDER DALAM PELAKSANAAN PEER TO PEER LENDING

Ni Nengah Ayu Putri Darsani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:

[email protected]

DOI : KW.2021.v10.i09.p03

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas penggunaan asuransi kredit dalam Peer To Peer Lending (P2P Lending) sebagai perlindungan dana lender dalam maraknya gagal bayar oleh borrower akibat pandemi COVID-19. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan penggunaan asuransi kredit dalam P2P Lending belum memiliki regulasi khusus terkait, namun penggunaan asuransi kredit sendiri telah dinyatakan legal dengan adanya perluasan produk asuransi umum yang dijelasakan lebih lanjut dengan dibentuknya ketentuan POJK No. 69/2016, kemudian bentuk perlindungan hukum yang dapat dijamin dengan penggunaan asuransi kredit terhadap dana kreditur berupa pemberian ganti rugi dari perusahaan asuransi umum yang menawarkan produk asuransi kredit tersebut kepada kreditur terhadap ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajibannya dalam perjanjian pokok. Dimana sebelum memasarkan produk asuransi kredit tersebut, perusahaan asuransi umum harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Pasal 2 Permenkeu No. 124/2008, apabila perusahaan asuransi umum tidak memenuhi persyaratan tersebut maka produk asuransi kredit tidak dapat diedarkan. Dan juga perusahaan asuransi umum yang menawarkan produk asuransi kredit tidak diperkenankan menunda maupun tidak memenuhi kewajibannya dalan pemberian ganti rugi dalam keadaan apapun.

Kata Kunci: Peer To Peer Lending, Asuransi Kredit, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

This reasearch aims is to find out the legality of the use of credit insurance in Peer To Peer Lending (P2P Lending) as a protection for lender funds in the rampant defaults by borrowers due to the COVID-19 pandemic. The normative legal research method used in this research. Based on analysis P2P Lending doesn’t have a specific regulation yet, but the use of online money lending service such as peer to peer lending is legal and because of it’s extention of general insurance that’s been explained in the POJK No.69/PJOK.05/2016. Futhermore the type of protection from this law is guaranteed by using credit insurance to the credit fund in giving compensation from the general insurance company that offered the credit insurance products to the creditors to the debtor who can’t keep their contract. Before marketing their products companies should comply with the law that’s stated in Pasal 2 Permenkeu No. 124/2008, if a general insurance company cannot fulfill the requirements then their product will not be sold and these companies are not allowed to postpone and deny giving the proper compensation under any circumstances.

Key Words: Peer To Peer Lending, Credit Insurance, Legal Protection

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Era perindustrian 4.0 dalam sektor keuangan memiliki suatu perkembangan yang pesat dengan munculnya layanan keuangan berbasis teknologi yakni financial technologi

(fintech).1 Peer To Peer Lending atau P2P Lending merupakan fintech yang dewasa ini sudah mulai mengalami perkembangan pesat, yang diartikan sebagai platform peminjaman dana secara online. Peraturan Otoritas Jasa keuangan atau POJK yang menjadi dasar hukum pelaksanaan P2P Lending yaitu POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Seperti dijelaskan POJK itu sendiri, P2P Lending merupakan penyelenggara jasa keuangan sehingga P2P Lending ini termasuk dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK yang termasuk dalam sektor jasa keuangan lainnya sesuai bunyi Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan atau UU OJK.

Pelaksanaan P2P Lending dalam tahun 2020 tidak dalam keadaan yang baik. Pasalnya tingkat keberhasilan bayar 90 hari atau yang selanjutnya disebut TKB90 dalam P2P Lending mengalami penurunan 4,88 %, yang dari awalnya 96,35 % di bulan Desember 2019 menjadi 92, 42% di bulan Oktober 2020.2 Sehingga dapat disimpulkan memasuki tahun 2020, tingkat gagal bayar oleh borrower dalam P2P Lending mengalami peningkatan. TKB90 adalah istilah dalam P2P Lending yang menyatakan tingkat keberhasilan penyelenggara P2P Lending dalam mewadahi pelaksanaan P2P Lending antara lender dan borrower dalam jangka 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Selain TKB90, terdapat istilah TKW90 atau Non Perfoming Loan (NPL) yang dapat diartikan sebagai kredit macet. Kredit macet dapat diartikan dengan kredit kurang lancar, piutang yang tidak terbayar, kredit yang dicurigakan akibat mengalami kesusahan pelunasan dari faktor-faktor tertentu.3 Kredit yang bermasalah dapat diartikan sebagai kredit kurang lancar, kredit diragukan, serta kredit macet.4 Berbeda dengan TKB90, TKW90 merupakan tingkat wanprestasi atau tidak dilaksanakannya kewajiban pembayaran oleh borrower di atas 90 hari dari jatuh temponya tanggal. Penetapan jangka waktu 90 hari baik ini, erat kaitan dengan daftar kualitas kredit yaitu:5

  • a.    Kategori I (lancar), dimana debitur memenuhi kewajiban sesuai waktunya atau kredit lancar (perfoming loan);

  • b.    Ketegori 2 (Dalam Perhatian Khusus), terjadi penunggakan bayar angsuran oleh debitur mulai 1 sampai dengan 90 hari;

  • c.    Kategori 3 (Kurang Lancar), terjadi penunggakan angsuran oleh debitur mulai 91 sampai dengan 120 hari;

  • d.    Ketegori 4 (Diragukan), terjadi penunggakan pembayaran angsuran oleh debitur dari 121 sampai dengan 180 hari, dan

  • e.    Kategori 5 (Macet), terjadi penunggakan bayar angsuran oleh debitur melebihi 180 hari.

Kategori 1 dan 2 dalam daftar kualitas kredit termasuk golongan perfoming loan atau kredit yang tegolong lancar, sedangkan kategori 3, 4 dan 5 termasuk golongan non perfoming loan atau kredit macet.6 Sehingga berdasarkan daftar kualitas kredit diatas dapat disimpulkan jangka waktu suatu penunggakan pembayaran angsuran dalam P2P Lending yang masih

dikategorikan sebagai kredit tidak macet terdapat dalam rentang 1 sampai dengan 90 hari, apabila tunggakan pembayaran angsuran melebihi jangka waktu 90 hari maka dapat dikatakan bahwa borrower tersebut terindikasi mengalami kredit macet atau gagal bayar. Salah satu faktor penyebab turunya TKB90 P2P Lending dalam tahun 2020 yakni pandemi COVID-19, dimana pernyataan ini didukung oleh Kuseryansyah, Ketua Harian AFPI yang menyatakan bahwa sektor bisnis seperti sektor jasa keuangan termasuk fintech ini salah satu sektor yang terkena pengaruh pandemi COVID-197, kemudian pernyataan dari Tris Yulianta yang merupakan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK yang menyatakan dan membenarkan bahwa naiknya kredit bermasalah dan wanprestasi TWP90 baru tampak terlihat ketika pandemi COVID-19 menyebar di Indonesia.8 Persoalan turunnya tingkat keberhasilan bayar oleh borrower akibat COVID-19 ini seharusnya sudah diwanti-wanti oleh OJK dalam hal bagaimana memberikan perlindungan dana lender sebagai konskuensi gagal bayarnya pinjaman oleh borrower ketika terdapat bencana yang melemahkan ekonomi nasional seperti pandemi COVID-19 ini.

Jaminan digunakan agar kreditur dapat mengambil kembali haknya ketika debitur melakukan wanprestasi dalam sebuah perjanjian kredit. Pada hakikatnya, perjanjian kredit merupakan bentuk dari perjanjian pinjam meminjam, karena perjanjian kredit merupakan cerminan dan acuan dari perjanjian pinjam meminjam.9 Sehingga P2P Lending juga dapat dikatakan sebagai perjanjian kredit, karena bentuk dasar P2P Lending merupakan perjanjian pinjam meminjam. Namun dalam P2P Lending pengadaan objek jaminan merupakan suatu pilihan atau fakultatif yang berarti bukan suatu hal wajib. Karena objek jaminan bukan merupakan hal yang wajib dalam P2P Lending, menjadikan tidak sedikit borrower yang dapat mengajukan pinjaman tanpa objek jaminan, namun konsekuensinya bunga pinjamannya dapat lebih besar dari pada umumnya. Selain itu, penyelenggara P2P Lending dilarang memberikan jaminan atas pemenuhan kewajiban borrower sesuai dengan POJK No. 77/2016 Pasal 43 huruf c yang menyatakan pada intinya penyelenggara kegiatan P2P Lending tidak diperkenankan memberi jaminan apapun bentuknya untuk memenuhi kewajiban pihak lain. Tidak wajibnya ketentuan objek jaminan dalam pelaksanaan P2P Lending mengakibatkan kurangnya kepastian hukum dalam proteksi dana lender jika borrower mengalami gagal bayar. Dan terkait hal ini pun sudah terdapat beberapa penelitian terkait perlindungan hukum terhadap lender dalam P2P Lending salah satunya yang ditulis oleh I Made Intan Pranita Dewanthara pada tahun 2020. Namun perlindungan hukum yang ditemukan dalam penelitian tersebut berupa pembentukan peraturan khusus dalam POJK serta penyelesaian sengketa akibat gagal bayar. Kemudian, penulis menemukan alternatif lain perlindungan hukum lender berdasarkan usulan pihak OJK sendiri mengenai penyusunan regulasi penjaminan asuransi untuk P2P Lending dan tujuan pelaksanaannya sebagai bentuk jaminan dan perlindungan bagi nasabah seperti yang dikatakan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.10 Penjaminan asuransi atau Asuransi Kredit dalam perjanjian kredit bank

dengan pihak lain dalam hubungan kreditur debitur sudah kerap digunakan, hanya saja pihak OJK belum membentuk pengaturan secara khusus mengenai pelaksanaan asuransi kredit dalam P2P Lending, maka dari itu penulis mengangkat judul penelitian ini

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka, terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang diangkat yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah legalitas asuransi kredit sebagai alat proteksi dana lender dalam pelaksanaan P2P Lending?

  • 2.    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap dana lender dalam pelaksanaan P2P Lending yang menggunakan jaminan asuransi kredit?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji legalitas pelaksanaan asuransi kredit dalam layanan finansial teknologi jenis P2P Lending dan mengkaji perlindungan dana lender terhadap non perfoming loan yang dihadapi oleh borrower menggunakan pengaturan pelaksanaan asuransi kredit sendiri..

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif. Penelitian normatif dipilih karena pencarian kebenaran dalam penelitian ini berdasarkan logika keilmuan hukum dengan jenis pendekatan perundang-undangan (the statute approavh) menggunakan bahan hukum data yang didapat berdasarkan bahan-bahan pustaka untuk menentukan landasan teoritis terdiri atas peraturan perundang-undangan maupun literatur berbahan hukum yang erat kaitannya dengan materi penelitian.11 Instrumen hukum yang digunakan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau KUHD, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang disingkat UU Perasuransian, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah yang disingkat POJK No. 69/2016, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Sureytyship yang disingkat Permenkeu No. 124/2008. Instrumen hukum tersebut merupakan bahan hukum primer dalam penelitian ini, serta terdapat beberapa buku terkait materi penelitian sebagai pendukung argumentasi , karya ilmiah dari sarjana-sarjana, maupun beberapa website mengenai surat kabar berhubungan dengan materi penelitian serta data OJK mengenai perkembangan fintech lending 2020 sebagai bahan hukum sekunder.12

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Legalitas Asuransi Kredit dalam P2P Lending

Perkembangan teknologi saat ini membawa banyak perubahan bagi masyarakat akibat diluncurkannya berbagai layanan teknologi and internet. Industri keuangan merupakan satu dari banyak bidang yang terpengaruh oleh perkembangan teknologi tersebut. Bentuk perkembangan teknologi dalam industri keuangan dapat dilihat dengan hadirnya fintech. Fintech memiliki sebuah arti yang sangat luas, dari pendapat Agus DW Martowardojo yang merupakan mantan dari Gubernur BI menjelaskan apa itu fintech sebagai

sebuah platfrom layanan finansial menggunakan teknologi informasi yang dilengkapi distributed ledger system, big data, dan cloud computin.13 Atau terdapat pendapat lain yang mengartikan fintech sebagai suatu penerapan penggunaan teknologi sebagai upaya mengembangkan layanan jasa bidang finansial yang sering dilakukan perusahaan start up melalui penggunaan teknologi komunikasi, software, komputasi terkini maupun internet.14 Munculnya teknologi tersebut di Indonesia sangat membantu penyelesaian masalah transaksi keuangan, terutama dalam efisiensi waktu, tenaga, serta biaya. Fintech diyakini dapat berkembang sangat pesat, karena cakupan fintech sendiri cukup bervariasi dan macam-macam baik dalam hal pembayaran, asuransi, investasi, lintas-proses, pembiayaan, maupun infrastruktur.15 Saat ini fintech perlu segara disikapi dengan instrumen hukum yang baik16, dikarenakan fintech tidak hanya di kenal dalam kalangan wirausaha namun oleh masyarakat luas. Dari beberapa jenis layanan fintech, yang paling banyak digunakan adalah layanan P2P Lending.17

Regulasi P2P Lending kini hanya terdapat dalam POJK No. 77/2016. P2P Lending merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh penyelenggara simpan meminjam secara online untuk mempermudah dalam pencarian lender maupun borrower melalui platfrom online untuk kebutuhan masing-masing pihak sebagai fasilitas penyelenggaran transaksi pinjam meminjam. Dengan adanya P2P Lending ini tentu saja mempermudah borrower dalam proses peminjamannya, dikarenakan syarat dan proses dalam P2P Lending lebih mudah dan cepat, serta fleksibilitas pada agunannya. Melihat ketentuan POJK No. 77/2016 berlangsungnya P2P Lending berangkat dari adanya perjanjian pinjam meminjam secara online, namun perjanjian yang diatur dalam POJK tersebut hanya antara lender dan pihak pembuat layanan P2P Lending serta perjanjian antara lender dengan borrower, dan tidak mengatur perjanjian antara borrower dan penyelenggara P2P Lending. Baik perjanjian antara penyelenggara P2P Lending dengan lender dan lender dengan borrower harus dirumuskan melalui e-dokumen dengan dilengkapi tanda tangan elektronik juga. Syarat-syarat perjanjian antara penyelenggara P2P Lending dengan lender yang harus dimuat dalam dokumen elektronik terdapat pada Pasal 19 ayat (2) meliputi nomor serta tanggal dari perjanjian tersebut, kemudian identitas dari masing-masing pihak dilengkapi juga dengan hak para pihak dan kewajibannya, besaran suku bunga pinjaman, jumlah komisi yang diterima, rincian waktu peminjam serta rincian biayanya, ketentuan penjatuhan denda (tidak wajib), dan tata cara untuk menyelesaikan sengketa dan penyelesaian ketika penyelenggara tidak beroperasional kembali. Sedangkan untuk syarat-syarat perjanjian antara lender dan borrower tertera dalam Pasal 20 ayat (2) dimana persyaratannya hampir sama dengan pernjajian antara penyelenggara P2P Lending dengan lender, hanya saja perbedaanya dalam syarat nilai angsuran, objek jaminan (tidak wajib) dan hanya mekanisme mengenai penyelesaian sengketa. Berdasarkan syarat-syarat diatas, dalam syarat-syarat perjanjian antara lender dengan borrower objek jaminan bukan suatu hal yang wajib sehingga pelaksanaan pinjam meminjam dapat dilakukan tanpa agunan. Dalam perjanjian kredit fungsi jaminan merupakan sesuatu yang penting, dikatakan penting karena dengan jaminan kreditur dapat memperoleh kembali haknya ketika debitur melakukan

wanprestasi.18 Dimana selain pengadaan objek jaminan tersebut tidak wajib, dalam Pasal 43 huruf c juga ditegaskan bahwasanya pemberian jaminan apapun jenis dan bentuknya dengan maksud memenuhi kewajiban pihak tertentu merupakan larangan bagi pihak penyelenggara. Melihat ketentuan-ketentuan POJK tersebut terhadap tidak wajibnya pengadaan objek jaminan, dapat disimpulkan bahwa objek jaminan dalam pelaksanaan P2P Lending bukan alternatif utama dalam penyelesaian kredit macet oleh borrower. Karena itu dibutuhkan suatu alternatif lain dalam melindungi dana lender dalam kegiatan P2P Lending.

Alternatif yang sudah digunakan oleh perusahaan P2P Lending dalam upaya perlindungan dana lender ini yakni layanan asuransi dengan asuransi kredit. Menurut PT. Akseleran Keaungan Inklusif Indonesia platform P2P Lending yang terdaftar di OJK serta memiliki izin usaha, asuransi kredit merupakan sebuah perlindungan yang dapat mengurangi resiko dari ketidakmampuan pembayaran pinjaman oleh borrower menggunakan solusi jaminan pengembalian pinjaman sampai 85% berdasarkan tunggakan pokok19 atas ketidakmampuan pembayaran oleh borrower. POJK No. 77/POJK.01/2016 sebagai payung hukum penyelenggaraan P2P Lending memang belum mengatur mengenai layanan asuransi dalam pelaksanaan P2P Lending, namun beberapa pengaturan mengenai asuransi kredit ini sudah terdapat dalam beberapa hukum positif Indonesia.

  • 1.    KUHD

Ketentuan asuransi dalam KUHD dapat dilihat dalam BAB IX Pasal 246 KUHD yang pada intinya berbunyi bahwa asuransi atau penanggungan merupakan sebuah perjanjian dalam memberikan sebuah ganti rugi terhadap suatu kerugian dari suatu peristiwa yang tak pasti dari terikatnya penganggung terhadap tertanggung dengan suatu perolehan premi. Dari penjelasan tersebut, kegiatan asuransi erat kaitannya dengan asuransi kerugian, karena dalam bunyi pasal jelas terdapat unsur “ganti rugi”. Jiwa manusia bukan suatu hal yang dapat diganti rugikan, maka dari itu KUHD tidak mencakup bidang asuransi jiwa namun hanya mencakup bidang asuransi kerugian saja. Dan unsur ganti rugi dalam KUHD objeknya adalah harta kekayaan.20 Melihat dari definisi asuransi dalam KUHD, layanan asuransi kredit termasuk kedalam asuransi yang dimaksud didalamnya, karena objek asuransi kredit adalah uang, dan uang juga termasuk kedalam harta kekayaan yang dapat di ganti rugikan. Namun dalam KUHD disebutkan lebih lanjut mengenai peristiwa yang dapat dimintakan sebuah pertanggungan yang tertera dalam Pasal 247 KUHD. Disini menjadi terdapat suatu pertanyaan apakah peristiwa yang tak pasti tersebut hanya menyangkut peristiwa yang diatur dalam pasal 247 KUHD saja atau dapat meliputi peristiwa selain yang diatur dalam Pasal 247 itu sendiri.

  • 2.    UU Perasuransian

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perasuransian, disebutkan adanya asuransi kerugian maupun asuransi jiwa yang diatur disana. Definisi dalam Pasal 1 angka 1 huruf a UU Perasuransian memiliki makna cukup sama dengan apa yang dimaksud dengan asuransi dalam KUHD dalam hal penggantian kepada pemegang polis akibat kerugian dari peristiwa-peristiwa yang tak pasti, yakni asuransi umum berupa asuransi kerugian, sedangkan dalam huruf b merupakan usaha asuransi jiwa yang dibuktikan dengan adanya unsur pembayaran berdasarkan dengan meninggalnya pemegang polis. Dalam penyelenggaraan layanan

asuransi P2P Lending memiliki kaitan yang erat dengan usaha asuransi umum karena mengatur mengenai penggantian kerugian dimana objeknya adalah harta kekayaan. Namun dalam UU Perasuransian ruang lingkup dari usaha perasuransiannya tidak mencakup asuransi kredit karena ruang lingkupnya hanya terbatas pada lini usaha yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1). Tetapi ruang lingkup tersebut dapat diperluas lagi mengikuti kebutuhan dalam masyarakat sesuai bunyi Pasal 5 dan lebih lanjut ketentuan mengenai perluasan ruang lingkup tersebut diatur dalam POJK.

  • 3.    POJK No. 69/2016

Dalam bunyi Pasal 5 UU Perasuransian disebutkan perusahaan asuransi umum dapat mengadakan perluasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dimana perluasan-perluasan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 POJK No. 69/2016 yakni kegiatan usaha mengenai PAYDI, kemudian yang berbasis imbalan jasa, asuransi kredit dan suretuship maupun usaha lain dari penugasan oleh pemerintah. Jenis-jenis usaha tersebut merupakan kegiatan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum dalam Pasal 5 UU Perasuransian. Dan asuransi kredit merupakan salah satu perluasan usaha dalam Pasal 4. Secara garis besar POJK ini mengartikan asuransi kredit sebagai cabang usaha dari asuransi umum dengan menawarkan jaminan untuk memenuhi kewajiban keuangan dari penerima pinjaman ketika tidak dapat memenuhi apa yang tertera dalam perjanjian kredit. Dan dengan bentuk perjanjian kredit dalam asuransi kredit tersebut dapat terlihat bahwa bentuk dasarnya yaitu perjanjian pinjam meminjam. Hadirnya asuransi kredit dalam perjanjian kredit berfungsi untuk melindungi dana kreditur ketika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam mengembalikan dana kreditur sesuai dengan apa yang para pihak telah perjanjian dalam perjanjian kredit itu sendiri. Begitu pula dalam P2P Lending yang memiliki dasar perjanjian pinjam meminjam dapat juga menggunakan asuransi kredit sebagai perlindungan dana lender, hanya saja yang membedakan dalam P2P Lending yakni perjanjian tersebut dilakukan secara online dengan teknologi informasi. Berhubung peraturan pelaksanaan mengenai penggunaan asuransi kredit dalam P2P Lending belum diatur, maka sesuai Pasal 80 ayat (2) untuk sementara payung hukum yang digunakan untuk pelaksanaanya ada dalam Permenkeu No. 124/2008.

  • 4.    Permenkeu No. 124/2008

Pembentukan Permenkeu No. 124/2008 dibuat sebagai penyempuraan pengaturan penyelenggaraan usaha dalam lini usaha asuransi kredit sebelum dibentuknya peraturan mengenai penyelenggaraan usaha asuransi kredit sendiri oleh OJK. Mengenai layanan asuransi kredit dalam P2P Lending, karena OJK sendiri belum membentuk aturan penjaminan asuransi untuk lembaga penyedia jasa keuangan berbasis teknologi maka kegiatan usaha asuransi kredit sementara tunduk pada Permenkeu No. 124/2008.

  • 3.2    Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Dana Lender

Perlindungan hukum menurut CST Kansil, yakni suatu tindakan hukum yang seharusnya diberikan dari penegak hukum kepada pihak manapun dalam hal memberikan kemanan baik secara psikis dan fisik dalam berbagai ancaman. Salah satu contoh yang seharusnya dilindungi oleh penegak hukum berdasarkan pengertian tersebut bagaimana cara memberikan rasa aman kepada lender dari kerugian P2P Lending akibat gagal bayar borrower terlebih lagi jika kerugian dalam jumlah yang besar. Permenkeu No. 124/2008 sendiri merupakan payung hukum penyelenggaraan lini usaha asuransi kredit karena dari OJK belum membentuk pengaturan mengenai penjaminan asuransi untuk lembaga jasa keuangan berbasis teknologi. Walaupun dalam Permenkeu No. 124/2008 belum mengatur mengenai bagaimana perlindungan dana lender sebagai kreditur dalam pelaksanaan P2P Lending. Dalam Pasal 8 ayat (1) Permenkeu No. 124/2008 menyebutkan bentuk perlindungan hukum tersebut

dengan mewajibkan perusahaan yang mengeluarkan produk asuransi kredit untuk memberikan penggantian kerugian terhadap kreditur (jika dalam lini usaha asuransi kredit) dari tidak mampunya, gagal, atau tak terpenuhinya suatu kewajiban dari debitur dalam perjanjian pokok. Serta bentuk perlindungan hukum dalam ayat (2) dengan melakukan pelarangan bagi perusahaan asuransi umum dalam menunda maupun tidak melaksanakan kewajibannya seperti yang tertera pada ayat (1) dengan apapun alasannya.

Berdasarkan apa yang tertera dalam Pasal 8 Permenkeu tersebut ditegaskan pemberian penggantian kerugian merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan asuransi kredit ketika debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai yang tertera dalam perjanjian pokok. Ketentuan Pasal 8 (1) Permemkeu No. 124/2008 hanya mensyaratkan ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajiban perjanjian pokoknya agar perusahaan asuransi membayarkan ganti rugi kepada kreditur, artinya selama debitur tersebut mengalami kredit macet atau gagal bayar terhadap kredit yang dipinjam, maka perusahaan asuransi yang menjamin pinjaman itu memiliki kewajiban memberikan ganti rugi terhadap kreditur atas ketidakmampuan debitur sendiri. Apabila dikaitkan dengan perjanjian pinjam meminjam P2P Lending dengan jasa layanan asuransi kredit, ketika borrower mengalami kredit macet atau gagal bayar, maka perusahaan asuransi yang menjamin pinjaman tersebut harus membayarkan ganti rugi terhadap tidak terpenuhinya kewajiban borrower dalam membayar tagihannya kepada lender. Kemudian dalam Pasal 8 ayat (2) menegaskan larangan penundaan ataupun tidak dilaksanakannya pemenuhan pemberian ganti rugi oleh perusahaan asuransi kredit dengan alasan apapun tanpa terkecuali

Pemberian ganti rugi oleh perusahaan asuransi kredit dalam ketidakmampuan borrower dalam melaksanakan kewajibannya terhadap perjanjian pokok dapat terjaminan, karena perusahaan asuransi umum dalam melakukan pemasaran produk lini usaha asuransi kredit sebelum menjalankan usaha produknya harus memenuhi beberapa ketentuan untuk menjamin keberlangsungan proses asuransi tersebut, ketentuan yang dimaksud terdapat dalam Pasal 2 Permenkeu No. 124/2008, apabila tidak melaksanakan apa yang tertera dalam Pasal 2 makan perusahaan asuransi tersebut tidak diizinkan untuk memasarkan produk asuransinya. Ketentuan tersebut meliputi kondisi keuangan yang baik terlihat dari tingkat solvabilitas, rasio perimbangan maupun rasio likuiditas perusahaan tersebut, kemudian memiliki tenaga-tenaga yang ahli yang berkualifikasi, memiliki pegawai-pegawai dengan pendidikan atau pelatihan khusus terlebih dahulu, setiap produk memiliki manual underwriting, memiliki suatu sistem informasi untuk dilakukannya pengecekan suatu fakta produk oleh debitur, maupun adanya suatu program pendidikan maupun pelatihan berkelanjutan untuk tenaga-tenaga kerjanya.

  • 4.    Kesimpulan

Asuransi kredit telah diatur dalam POJK No. 69/2016. Dikarenakan ketentuan penyelenggaraan asuransi kredit dalam pelaksanaan P2P Lending belum terbentuk, berdasarkan ketentuan peralihan dalam Bab XI Pasal 80 POJK No. 69/2016 maka penyelenggaran usaha asuransi kredit tunduk pada Permenkeu No. 124/2008, sehingga asuransi kredit dalam P2P Lending untuk sementara waktu pun menggunakan aturan Permenkeu No. 124/2008 sebagai dasar pelaksanaan kegiatannya. Aspek perlindungan hukum yang di wadahi Permenkeu No. 124/2008 terdapat ketika adanya kelalaian pemenuhan kewajiban borrower terhadap perjanjian pokok sehingga pihak penyelenggara asuransi tersebut wajib membayarkan kompesasi berupa pemberian penggantian rugi kepada penyelenggara P2P Lending sebagai kreditur akibat ketidakmampuan tersebut sesuai dalam bunyi Pasal 8, dan juga pihak penyelenggara asuransi tidak diperkenankan untuk menunda maupun tidak melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran jaminan dengan apapun alasannya. Proteksi dengan menggunakan asuransi kredit ini dapat dikatakan aman dikarenakan dalam pemasaran produk lini asuransi kredit, penyelenggara asuransi umum

harus memenuhi beberapa ketentuan yang tertera dalam Pasal 2 Permenkeu No. 124/2008. Apabila penyelenggara asuransi umum tidak melaksanakan apa yang tertera dalam bunyi Pasal 2 konsekuensi yang didapat yaitu dilarangnya pemasaran produk asuransi kredit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Hariyani, Iswi. Restrukturisasi Dan Penghapusan Kredit Macet. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. (2010).

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. (2012).

Jurnal/Artikel :

Ansori, Miswan. Perkembangan dan Dampak Financial Technologi (Fintech) Terhadap Industri Keuangan Syariah Di Jawa Tengah. Wahana Islamika: Jurnal Studi Keislaman 5 No. 1 (2019). 34.

Hermanto. Faktor - Faktor Kredit Macet Pada PD. BPR BKK Ungaran Kabupaten Semarang. Semarang, Fakultas Ekonomi Universitas Semarang (2006). 17.

Iman, Nofie. Financial Techlogy dan Lembaga Keuangan. Gathering Mintra Linkage Bank Syariah Mandiri, Yogyakarta (2016). 6.

Pratama, Raditya. Tinjauan Yuridis Terhadap Asuransi Kredit Menurut Hukum Positif Indonesia. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Mataram. 4.

Pratiwi dkk. Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Perbankan Dengan Adanya Syarat Banker’s Clause. Diponegoro Law Journal 5 No. 3 (2016). 3.

Rizal, M., Maulina, E., dan Kostini, N. Fintech As One The Financing Solutions For SMEs. AdBispreneur: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi Bisnis dan Kewirausahaan 3 No. 2 (2018). 90.

Sambe, Newfriend N. Fungsi Jaminan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Pihak Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Lex Crimen 5 No. 4 (2016). 77.

Santi dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016). Diponegoro Law Journal 6 No. 3 (2017). 2.

Setyaningrum, Nofi. Aspek Hukum Jaminan Dalam Perjanjian Kredit. Studi Kasus Koperasi KPRI Guru Sekolah Dasar di Sragen, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2009). 4.

Sitompul. M.G. Urgensi Legalitas Financial Technologi (Fintech): Peer To Peer (P2P) Lending di Indonesia. Jurnal Yuridis Unaja 1 No. 2 (2018). 70.

Skripsi :

Dinda Aldila Sari. (2020). Sistem Informasi Kualitas Kredit Peminjam Pada Financial Technology Peer To Peer Lending Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Skripsi Perpustakaan Universitas Airlangga.

Website :

Akseleran, “Ketentuan Asuransi Kredit”, URL: https://www.akseleran.co.id/ketentuan-asuransi-kredit.

Bisnis, “Kredit Macet Fintech Lending Tinggi,  Siap-Siap  Dipanggil OJK”, URL:

https://finansial.bisnis.com/read/20200930/563/1298788/kredit-macet-fintech-lending-tinggi-siap-siap-dipanggil-ojk.

CNNIndonesia, “OJK Pinjaman Fintech Perlu Dijamin Asuransi”, URL: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180214143153-78-276185/ojk-pinjaman-fintech-perlu-dijamin-asuransi.

CNNIndonesia, "Pinjol Catat Kenaikan Pinjaman Macet di Tengah Corona”, URL: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200504163449-78-499927/pinjol-catat-kenaikan-pinjaman-macet-di-tengah-corona.

Otoritas Jasa Keuangan, “Statistik Fintech Lending Periode Oktober 2020”, URL: https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Oktober-2020.aspx.

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5992.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layangan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Sureytyship.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No. 9 Tahun 2021, hlm. 692-701