PERAN SERTA BAWASLU DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU DI INDONESIA

Jeffry Gerald Rivalino, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i10.p03

ABSTRAK

Tujuan daripada dibuatnya studi ini adalah untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ketika terjadinya sengketa dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Metode penelitian hukum normatif digunakan pada studi kali ini dengan melakukan pengkajian studi dokumen dan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan. Hasil studi menyimpulkan bahwa fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Bawaslu merupakan salah satu langkah pasti demi mewujudkan keberlangsungan pemilu yang sesuai dengan asas Luber dan Jurdil, dan secara sah telah diatur dalam bab IV Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang secara garis besar menyatakan bahwa Bawaslu merupakan lembaga pengawas yang berkompeten dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan bukan merupakan bagian dari partai politik manapun. Disamping fungsi pengawasan, Bawaslu juga memiliki kewenangan untuk menindak lanjuti beberapa jenis sengketa yang terjadi dalam proses Pemilu.

Kata Kunci: Sengketa, Fungsi Pengawasan, Luber dan Jurdil, Partai Politik.

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine more deeply the role of the Election Supervisory Body (Bawaslu) when a dispute occurs in the General Election (Pemilu) process carried out by the General Election Commission (KPU). The normative legal research method used in this study is to examine document studies and approaches to laws and regulations. The results of the study conclude that the supervisory function carried out by Bawaslu is one of the definite steps in order to realize the continuity of elections in accordance with the principles of Luber and Jurdil, and legally regulated in chapter IV of Law Number 15 Year 2011 concerning General Election Administrators. states that Bawaslu is a competent supervisory agency in carrying out its supervisory function and is not part of any political party. In addition to the supervisory function, Bawaslu also has the authority to follow up on several types of disputes that occur in the Election process.

Keywords: Dispute, Supervision Function, Luber and Jurdil, Political Parties.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia telah menganut sistem reformasi terhitung sejak tahun 1998 yakni ketika masa orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto digulingkan. Sejak era reformasi, banyak perubahan yang dialami oleh negara Indonesia, salah satunya yakni perihal demokrasi. Pada masa orde baru, demokrasi di negara Indonesia dikatakan sangat lemah sehingga masyarakat sangat tunduk dengan apa yang dikeluarkan oleh

pemerintah pada saat itu. Tidak adanya kebebasan berpendapat membuat masyarakat sering merasa dirugikan pada masa kepemimpinan orde baru saat itu.

Memasuki era reformasi, terjadi perombakan besar-besaran dalam hal demokrasi di Indonesia. Selain kebebasan menyampaikan pendapat, masyarakat juga diberikan hak secara langsung untuk memilih para pemimpin negara, salah satunya adalah Pemilu. Pemilu ditujukan agar masyarakat dapat memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjabat selama satu periode kedepannya. Hal ini merupakan langkah konkrit yang diterapkan oleh pemerintah untuk menekankan esensi demokrasi itu sendiri sehingga masyarakat dilibatkan secara langsung dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Seiring berjalan waktu, pemilu yang diselenggarakan dengan tujuan mengedepankan esnesi demokrasi pun tak selalu berjalan mulus. Ada begitu banyak masalah dalam pemilu, diantaranya adalah : pelanggaran kode etik pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu dan sebagainya. Begitu banyaknya pelanggaran-pelanggaran dalam Pemilu ini menandakan bahwa Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilu masih perlu banyak mendapat perhatian sehingga kedepannya proses penyelenggaran Pemilu dapat berjalan dengan damai dan hasil dari Pemilu itu sendiri dapat diterima dengan baik oleh setiap warga negara.

Pelanggaran-pelanggaran pemilu sekilas memang nampak sederhana, namun ketika dilakukan pengkajian lebih dalam ada begitu banyak kerumitan. Diantaranya adalah masalah penegakan hukum dari salah satu aparat berwenang seperti halnya Bawaslu. Jika berkaca dari pemilu-pemilu yang sudah berjalan dengan begitu banyak permasalahan, sudah sepatutnya langkah konkrit dari Bawaslu diperlukan guna meminimalisir pelanggaran-pelanggaran proses pemilu yang kerap terjadi. 1

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 461 Ayat 1 juga menjelaskan bahwa lembaga pengawas pemilu yakni Bawaslu berwewenang untuk menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran atau sengketa proses pemilu. Kewenangan yang diberikan tersebut tidak serta merta membuat Bawaslu memiliki payung hukum yang kaut dalam melaksanakan kewajibannya. Dikarenakan banyaknya lembaga yang berwewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilu, maka muncul persoalan tentang sengketa seperti apa yang dapat ditindaklanjuti oleh Bawaslu. Hal ini masih sangat simpang siur sehingga pelanggaran pemilu masih tetap terjadi hingga saat ini.

Sebelumnya beberapa penelitian telah sedikit memberikan pembahasan terkait sengketa pemilu. Sebagai contoh, terdapat penelitian yang berjudul “Fungsi Dan Peran Bawaslu Dalam Pemilu Sebagai Implementasi Penegakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum” yang ditulis oleh Amelia Haryanti dan Yulita Pujilestari. Dalam penelitian tersebut pembahasan lebih difokuskan pada peranan Bawaslu dalam penegakan fungsi pengawasan/pemantau dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam penulisan kali ini, penulis ingin membahas dari sisi lain yakni sejauh mana ruang lingkup Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu juga proses penyelesaian sengketa pemilu yang lebih efisien.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Sejauh manakah kewenangan Bawaslu dalam menjalankan tugas untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pemilu?

  • 2.    Bagaimana cara mewujudkan penyelesaian sengketa pemilu yang efisien guna lebih menekankan asas keadilan dalam pemilu?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Tujuan utama dibuatnya studi ini adalah untuk lebih memperluas wawasan di bidang pemilu.

  • 2.    Untuk memahami tugas pokok dan fungsi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini dilakukan dengan penggunaan metode penelitian empiris, dimana penulisan artikel ini dibuat berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Bahwa terjadinya kesenjangan das solen dalam penyelesaian sengketa pemilu. Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan kuantitatif. Untuk memenuhi studi ini, data primer yang digunakan adalah UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Lalu untuk penggunaan data sekunder diambil dari bahan-bahan pustaka lainnya.2

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kewenangan Bawaslu dalam menjalankan tugas untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pemilu.

Pemilu merupakan sarana atau ajang bagi masyarakat untuk memilih langsung pemimpin yang akan menjabat selama satu periode kedepannya. Pemilu dibedakan menjadi beberapa jenis yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pemilihan anggota lembaga Legislatif (Pileg) baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dibawahnya juga ada pemilihan gubernur (Pilgub/Pilkada), dan Pemilihan Bupati/Walikota. Pada Prakteknya, Pemilu dibedakan menjadi 2, yakni pemilu sebagai cerminan demokrasi dan pemilu sebagai formalitas politik. Pemilu sebagai cerminan demokrasi diselenggarakan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya menurut Undang-Undang. Sedangkan Pemilu sebagai formalitas politik biasa digunakan oleh negara non-demokratis dengan cara merekayasa pemilu untuk memenangkan partai politik atau peserta pemilu tertentu.3

Sebagai pesta demokrasi rakyat, pemilu harus diselenggarakan dengan seadil mungkin, maka dari itu pelaksanaan pemilu pun secara tegas dilindungi oleh hukum dan memiliki payung hukum yang sah yakni Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU ini dibuat harus dilindungi dari kepentingan-kepentingan politik, pelanggaran, korupsi, kecurangan, intimidasi, dan segala bentuk tindakan illegal. Selain itu, para pemegang hak untuk melaporkan jika seandainya dalam sebuah pemilu dianggap terjadi pelanggaran ataupun sesuatu kecurangan yang dianggap merugikan orang lain juga harus diatur dengan jelas dalam UU. Karena pada faktanya masih banyak kercancuan dalam UU tersebut sehingga masih banyak pelanggaran

yang terjadi dalam pemilu, ditambah dengan beragamnya pelanggaran pemilu membuat penegakan hukum dalam pemilu masih dalam kesulitan.

Penegakan hukum dalam pemilihan umum ternyata tidak hanya memiliki satu jenis pelanggaran. Dalam pemilu, penegakan hukum dibedakan menjadi 2 kategori, yakni penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran pemilu dan penegekan hukum terkait hasil dan sengketa pemilu. Dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran pemilu, permasalahan yang biasa ditemukan adalah hal-hal yang bersifat administratif dan kode etik penyelenggara pemilu. Sedangkan penegakan hukum terkait hasil dan sengketa pemilu menyoroti hasil dan sengketa yang terjadi dalam proses dilaksanakannya pemilu.

Salah satu penyelenggara pemilu selain KPU adalah Bawaslu. Bawaslu merupakan komponen yang berperan sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu. Secara konkrit tugas dan kewenangan yang diberikan kepada Bawaslu antara lain:

  • 1.    Mengawasi setiap rangkaian dari penyelenggaraan Pemilu.

  • 2.    Wajib menerima laporan yang berisikan dugaan atas pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan Pemilu.

  • 3.    Sebagai kuasi peradilan, Bawaslu juga diberikan kewenangan untuk memutus pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan Pemilu.

  • 4.    Menindaklanjuti adanya laporan yang berisikan dugaan pelanggaran Pemilu ke instansi yang lebih tinggi dan berwenang jika Bawaslu tidak dapat menyelesaikan perkara.

Selain itu, Bawaslu juga diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi yang ditujukan untuk perancangan sanksi kepada KPU jika dinilai melanggar peraturan. Bawaslu jika dalam kedudukan kelembagaannya bersifat tetap, maka pengawas pemilu lainnya seperti Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dapat dikatakan sebagai pengawas yang bersifat ad hoc.4

Dalam melaksanakan tugas memeriksa dan memutus sengketa proses pemilu, Bawaslu dilindungi oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 94 ayat 2 huruf d. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memperkuat kedudukan Bawaslu untuk menjalankan tugas memutus sengketa proses pemilu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 yang menjadi dasar dibuatnya Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.5

Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan bersifat administratif dapat diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sedangkan untuk pelanggaran terkait hasil dan sengketa dalam proses pemilu dapat diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Bawaslu selaku pengawas pun diberikan kewenangan untuk menindaklanjuti perkara yang terjadi dalam pemilu. Perkara yang dapat diselesaikan oleh Bawaslu adalah sengketa yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Dalam menangani perkara, Bawaslu bersifat pasif. Yang artinya Bawaslu akan menangani kasus jika ada yang menghadirkan kasus

tersebut kepadanya. Sebelum memutus perkara, Bawaslu terlebih dahulu melakukan pertimbangan permohonan putusan penggugat untuk memastikan perkara tersebut memang perkara yang dapat diselesaikan oleh Bawaslu.

Dalam menjalankan kewenangan memutus perkara pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu, Bawaslu tentu saja memiliki batasan-batasan mengenai jenis-jenis perkara yang menjadi ranah kewenangan Bawaslu. Menurut Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 28 Tahun 2018 Pasal 4 ayat 1 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum. Objek perkara dengan dugaan pelanggaran pemilu yang dapat diselesaikan oleh Bawaslu antara lain:

  • 1.    Keputusan KPU

  • 2. Keputusan KPU Provinsi

  • 3. Keputusan KPU Kabupaten dan Kota

Adapun keputusan yang dimaksud berbentuk surat putusan dan atau berita acara yang dikeluarkan oleh KPU setiap dilaksanakan rangkaian pemilu. Perbawaslu ini memperjelas tingkatan perkara yang masih dalam ranah kewenangan Bawaslu dalam fungsi memutus perkara pelanggaran pemilu. 6 Bawaslu menerima dan memeriksa laporan dugaan adanya pelanggaran pemilu paling lama yakni 12 hari terhitung sejak diterimanya laporan tersebut. Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Bawaslu untuk menyelesaikan perkara antara lain:

  • 1.    Menerima, meneliti dan mengkaji laporan atas dugaan pelanggaran pemilu.

  • 2.    Mengadakan pertemuan antara pihak pemohon dan pihak tergugat untuk dilakukan mediasi atau musyawarah untuk mencapai kesepakatan. 7

Sengketa pada proses pemilihan umum yang dapat diajukan kepada Bawaslu hanya dapat diajukan oleh oknum-oknum yang telah ditentukan sebelumnya. Pada pasal 7 ayat 1, dijelaskan bahwa oknum yang dapat melaporkan sengketa proses pemilu adalah Peserta Pemilu yang telah mendaftarkan diri sebagai Peserta Pemilu di KPU, Partai Politik Peserta Pemilu, calon anggota DPR dan DPRD yang tercantum dalam Daftar Calon Tetap (disingkat DCT), bakal calon Anggota DPD yang telah mendaftarkan diri kepada KPU, calon anggota DPD, bakal Pasangan Calon, dan Pasangan Calon. Lalu dalam pasal 7 ayat 2, dijelaskan mengenai kekhususan bagi partai politik calon peserta pemilu yang sebelumnya telah mendaftarkan diri sebagai peserta dalam pemilihan umum ke KPU dapat melaporkan sengketa proses pemilu sampai dengan tahapan penetapan partai politik peserta pemilu, penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) DPR dan DPRD, daftar pasangan calon presiden dan wakil presiden, juga penetapan calon anggota DPD.8

Sebagai salah satu contoh ketika Bawaslu menerima laporan pengaduan yang diajukan oleh Partai Kesatuan dan Peradilan Indonesia (PKPI). Perkara diajukan oleh PKPI ketika KPU telah mengeluarkan keputusan mengenai penetapan partai politik

peserta pemilu untuk calon anggota DPR dan DPRD namun tak menyertakan PKPI sebagai peserta terdaftar. Ketika Bawaslu menelusuri kebenaran perkara ini, Bawaslu menemukan fakta bahwa PKPI gagal memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu sehingga Bawaslu justru memberikan penguatan kepada keputusan KPU. PKPI tak berhenti sampai pada putusan Bawaslu dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Berbeda dengan keputusan KPU dan Bawaslu, PTUN memenangkan PKPI sehingga KPU diharuskan untuk mencabut keputusannya dan memasukan PKPI sebagai peserta pemilu.9 Contoh perkara PKPI tersebut menjadi bukti bahwasanya ketika Bawaslu juga diberikan kewenangan sebagai pengawas sekaligus sebagai lembaga kuasi peradilan masih membutuhkan banyak perhatian untuk mencapai peradilan pemilu yang sempurna. Payung hukum dan kedudukan Bawaslu masih perlu banyak perbaikan sehingga proses penyelenggaraan pemilu dapat berjalan lebih demokratis.

  • 3.2.    Perwujudan penyelesaian sengketa pemilu yang efisien guna lebih menekankan asas keadilan dalam pemilu.

Penyelesaian sengketa pada pemilihan umum atau yang biasa disebut dengan Electoral Dispute Resolution dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu jalur formal dan jalur informal. Penyelesaian sengketa dalam pemilu yang menggunakan jenis formal adalah penyelesaian yang bersifat prosedural melalui pengadilan atau semacam badan peradilan khusus yang dibentuk guna menangani penyelesaian pelanggaran pemilu. Sedangkan untuk jenis informal biasanya dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi atau arbitrasi dan tidak melalui proses hukum yang bersifat formal seperti persidangan di pengadilan. Namun penggunaan penyelesaian sengketa pemilu jenis informal tidak ditujukan untuk menggambarkan lemahnya peradilan yang ada di Indonesia. Penyelesaian sengketa jenis informal ini ditujukan hanya untuk proses penyelesaian yang lebih cepat dan mudah.

Jenis penyelesaian sengketa pemilu yang digunakan negara Indonesia pada saat ini adalah penyelesaian jenis formal. Setidaknya, terdapat lima mekanisme penegakan hukum untuk penyelesaian sengketa pemilu, yaitu:

  • 1.    Pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu dengan kemungkinan mengajukan banding ke institusi yang lebih tinggi;

  • 2.    Pengadilan atau hakim khusus pemilu untuk menangani keberatan pemilu;

  • 3.    Pengadilan umum yang menangani keberatan dengan kemungkinan dapat diajukan banding ke institusi yang lebih tinggi;

  • 4.    Penyelesaian masalah pemilu diserahkan ke pengadilan konstitusional dan/atau peradilan konstitusional; dan

  • 5.    Penyelesaian masalah pemilihan oleh pengadilan tinggi.

Bahkan penyelesaian pelanggaran pemilu terkadang sampai melibatkan pihak yang bukan termasuk Warga Negara Indonesia (WNI). Dalam penyelesaian pemilu, terdapat pula lembaga yang bersifat ad hoc. Hal ini merupakan ide yang dituangkan oleh organisasi internasional yang didalamnya terdapat badan ad hoc internasional dan nasional. Badan ad hoc internasional biasanya digunakan untuk menangani sengketa pada hasil yang diperoleh pada saat pemilu. Lembaga ini biasanya digunakan oleh suatu negara pada masa peralihan pasca konflik. Sedangkan badan ad hoc nasional

digunakan dalam waktu sementara pada suatu negara setelah adanya kesepakatan untuk menghindari konflik yang dapat terjadi di masa mendatang. Lembaga ini sifatnya legislatif, yudikatif, atau administratif. 10

Terkait proses penyelesaian pelanggaran yang terjadi pada pemilu memang terbilang sangatlah rumit. Berbagai jenis pelanggaran yang terjadi pada pemilu baik yang disebut pelanggaran, sengketa, maupun perselisihan hasil pemilu yang dianggap keliru memiliki penyelesaian masing-masing yang menciptakan kesan penyelesaian yang terpisah-pisah. Tak hanya itu, definisi sengketa yang sangat luas semakin mempersulit proses penyelesaian sengketa. Penggunaan istilah sengketa dalam pemilu dapat diartikan sebagai semua jenis pelanggaran yang terjadi dalam pemilu. Kata sengketa itu sendiri berasal dari kata sengketa atau dispute. Sengketa berawal dari timbulnya berbagai permasalahan yang timbul selama diselenggarakannya pemilu. Oleh karena masih meluasnya definisi sengketa pada konteks perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maka sebagai alternatif digunakan Pasal 24C undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni sengketa pemilu merupakan bagian dari pelanggaran atau sengketa pada pemilihan umum. Lalu dalam UU Pemilu Pasal 466 hanya dijelaskan bahwa pihak yang bersengketa adalah antar peserta pemilu dengan peserta pemilu dan peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. 11

Tak hanya pengertian sengketa yang masih meluas, lembaga yang berwenang mengadili atau menyelesaikan pelanggaran pemilu pun beragam. Hingga saat ini tercatat ada 6 lembaga yang berwenang untuk meyelesaikan perkara pemilu, diantaranya adalah : Bawaslu, Pengadilan Negeri, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Kelima lembaga ini memiliki kewenangan yang telah diatur Peraturan Perundang-undangan yakni UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Banyaknya lembaga yang diberikan wewenang menyelesaikan pelanggaran pemilu membuat penyelesaiannya tidak efektif. Setiap lembaga memiliki prosedur masing-masing dalam menyelesaikan perkara ditambah waktu penyelesaian setiap lembaga yang berbeda-beda menjadikan proses penyelesaian pelanggaran pemilu kian rumit. Seperti halnya PTUN, lembaga peradilan ini memiliki tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam proses penyelesaian pelanggaran pemilu. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan pertama kali adalah melaporkan dugaan pelanggaran kepada Bawaslu. Setelahnya Bawaslu akan melaksanakan proses mediasi, lalu dari hasil mediasi tersebut akan menghasilkan kata sepakat dan tidak sepakat. Jika kata sepakat yang dihasilkan, maka Bawaslu akan mengeluarkan putusan. Jika kata yang dihasilkan adalah tidak sepakat, maka tahapan berikutnya akan dilaksanakan adjudikasi.

Dalam proses adjudikasi, jika pihak pemohon yang mengajukan laporan menerima hasil akhir, maka perkara dikatakan selesai. Namun jika tidak menerima, maka perkara dialihkan dan pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tak berhenti sampai di PTUN, jika pemohon tetap tidak menerima hasil proses persidangan, maka perkara kembali dialihkan ke Mahkamah Agung. Putusan MA bersifat tetap dan mengikat. Hal ini menggambarkan betapa

rumitnya penyelesaian perkara pemilu yang bermula dari Bawaslu, PTUN hingga MA.12

Ide pemisahan penyelesaian seperti ini dibuat dengan tujuan agar proses penyelesaian menjadi lebih terarah. Padahal mengingat proses penyelesaian yang memakan waktu tak sedikit membuat ide ini menjadi serangan balik. Dan kerumitan pengajuan laporan pelanggaran pemilu membuat masyarakat menjadi enggan untuk berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemilu sehingga ini menjadi faktor masih banyaknya pelanggaran pemilu. Padahal ada banyak keuntungan jika lembaga penegak hukum yang mengadili pelanggaran pemilu difokuskan pada lembaga tertentu yang memang berkompeten dalam bidang penyelesaian pelanggaran pemilu. Pemisahan penyelesaian sengketa pemilu ini juga disebabkan oleh perbedaan kemampuan tiap lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa terkait pemilu.

  • 1.    Terbukti dengan banyaknya kelemahan dalam penyelesaian perkara pemilu jika dilaksanakan oleh banyaknya lembaga. Banyaknya kelemahan tersebut antara lain:

  • 2.    Tingkat kepercayaan masyarakat yang masih rendah terhadap lembaga penegak hukum membuat tak sedikit masyarakat yang tidak percaya atau tidak mengakui putusan akhir terhadap sengketa pemilu yang dikeluarkan oleh lembaga terkait.

  • 3.    Hakim yang menjabat di suatu lembaga penegak hukum tak selalu memiliki wawasan luas terhadap pemilu dan sengketa pemilu. Sehingga ketajaman keadilan dalam penyelesaian sengketa pemilu masih sangat kurang.

  • 4.    Memungkinkan terjadinya kepentingan politik yang membuat hakim tidak netral dalam mengadili pelanggaran sehingga dapat menjatuhkan wibawa lembaga tersebut.

Sebagai contoh lain dari ketidakefektifan dari banyaknya lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran pemilu adalah Bawaslu. Kewenangan memutus perkara yang berikan pada Bawaslu membuat kinerja pengawasan yang dilaksanakan Bawaslu menjadi terganggu. Fungsi peradilan yang diselenggarakan oleh Bawaslu seperti melaksanakan sidang yang diharuskan untuk mengundang dan mendengar keterangan saksi ahli, menilai alat bukti, hingga memutus perkara yang bersifat mengikat pun sangat memungkinkan terganggu mengingat Bawaslu bukan merupakan murni lembaga peradilan sehingga rentan untuk mendapatkan intervensi atau gangguan dari pihak luar sehingga putusan yang diberikan Bawaslu kerap diragukan.13

Bawaslu selaku lembaga pengawas pemilu pun ikut menyoroti kerumitan penyelesaian sengketa pemilu ini sehingga Bawaslu merekomendasikan agar dibuatnya suatu badan peradilan khusus yang memang berkompeten dalam bidang pelanggaran dan sengketa pemilu. Jika suatu lembaga penyelenggara pemilu diberikan terlalu banyak, maka akan timbul begitu banyak konflik. Seperti halnya penyusunan Undang-Undang tentang pemilu, penerapan dan penegakan Undang-Undang

tersebut, maka aktivitas check and balances menjadi sangat tidak efektif.14 Maka peluang hadirnya suatu badan peradilan khusus yang menangani pelanggaran pemilu sangatlah diharapkan. Dengan tujuan menegakan hukum dalam pemilu yang berintegritas yang bergantung pada institusi yang ditetapkan oleh kerangka hukum.

Tidak hanya Bawaslu yang merekomendasikan dibuatnya badan peradilan khusus pemilu, Mahkamah Konstitusi pun menyarankan demikian. Bahkan MK sendiri pernah memutus untuk melepaskan kewenangan yang dimiliki untuk menyelesaikan sengketa pemilu untuk diserahkan kepada badan peradilan khusus yang dibuat dengan tujuan menyelesaikan sengketa pemilu. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.15

  • 4.    Kesimpulan

Bawaslu selaku lembaga pengawas pemilu sekaligus sebagai lembaga pemutus perkara penyelenggaraan pemilu dalam melaksanakan tugas dilindungi oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 94 ayat 2 huruf d. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memperkuat kedudukan Bawaslu untuk menjalankan tugas memutus sengketa proses pemilu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018. Lalu terkait penyelesaian pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu yang terkesan birokrasi karena terpisah-pisah, pemikiran pemisahan penyelesaian seperti ini dibuat dengan tujuan agar proses penyelesaian menjadi lebih terarah. Kerumitan pengajuan laporan pelanggaran pemilu membuat masyarakat menjadi enggan untuk berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemilu sehingga ini menjadi faktor masih banyaknya pelanggaran pemilu. Karenanya perlu dipertimbangkan untuk dibentuknya suatu badan peradilan khusus untuk menangani sengketa pemilu. Kelebihan yang didapatkan dari dibentuknya lembaga khusus peradilan pemilu antara lain: 1)Lembaga peradilan khusus yang dibuat untuk menyelesaikan perkara pemilu akan lebih mapan. Wawasan hakim terkait pemilu dapat lebih difokuskan sehingga kualitas putusan yang dihasilkan juga lebih sesuai dengan tujuan hukum, 2) Struktur lembaga peradilan yang ada di Indonesia mencakup seluruh wilayah Indonesia. Seperti halnya KPUD yang merupakan cabang dari KPU, Bawaslu Provinsi yang merupakan cabang dari Bawaslu pusat. Jika lembaga khusus peradilan pemilu dibuat, proses pelaporan dugaan pelanggaran dapat lebih mudah, 3)Meminimalisir adanya praktik kecurangan atau kepentingan politik yang dilakukan oleh hakim dengan cara melakukan seleksi para calon hakim yang terbebas dari kepentingan partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bawaslu. Bawaslu Mendengar. “Menghimpun masukan untuk membangun pondasi Pengawasan Pemilu.” Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia. Jakarta. 2017. hlm. 11

Sardini, Nur Hidayat. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia (Yogyakarta, Fajar Media Press, 2011), hlm. 44.

Siregar, Fritz Edward. Menuju Peradilan Pemilu (Jakarta, Themis Publishing, 2018), hlm. 62-64.

Jurnal

Abidin, Yessinia Bela. “Pelaksanaan Konstitusional Kewenangan Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu dan Mengadili Sengketa Proses Pemilu.” Jurnal Halu Oleo Legal Research 2, No. 2 (2019) 95-107.

Amal, Bakhrul. “Kewenangan Mengadili Oleh Bawaslu Atas Sengketa Proses Pemilu Yang Diatur Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum.” Jurnal Masalah-Masalah Hukum 48. No. 3 (2019) 306-311.

Bisariyadi dkk. “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional”. Jurnal Konstitusi 9. No. 3 (2012) 532-562.

Fahmi, Khairul. “Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu.” Jurnal Konstitusi 12, No. 2 (2015): 265-283.

Hastuti P, Sri. “Pemilu dan Demokrasi Telaah terhadap Prasyarat Normatif Pemilu”. Jurnal Hukum 11. No. 25. (2014) 135-148.

Jamil. “Evaluasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Dalam Perspektif Konstruksi Hukumnya.” Jurnal Perspektifi 25. No. 1 (2020) 12-19.

Kaban, Ahmad Rizki Robani. “Kekuatan Mengikat Putusan Ajudikasi Bawaslu dalam Sengketa Proses Pemilu 2019.” Jurnal Hukum Adigama1. No. 2 (2018) 1-25.

M. Taufan Perdana, Moh. Alfaris, Anik Iftitah. “Kewenangan Bawaslu Dalam Pilkada 2020 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/Puu-Xvii/2019.” Jurnal Supremasi 10, No.1 (2020): 1-11.

Rudy Harmoko dan Zaid Afif, “Peranan Badan Pengawasan Pemilu Terhadap Sengketa Pemilu Tahun 2019 (Studi Di Kantor Bawaslu Kabupaten Batubara).” Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan 7, No. 1 (2021) 61-62.

R. Fauzi Zuhri Pradika, Happy Anugraha Sutrisno Putra dan Anwar Noris. “Lembaga Penyelesaian Sengketa Pemilu Yang Ideal Di Indonesia.” Diversi Jurnal Hukum 6. No. 1 (2020) 73-91.

Utami, Nofi Sri. “Problematika pola penyelesaian persoalan pemilu (pelanggaran dan sengketa) yang terpisah-pisah”. Journal.kpu.go.id. (2019) 1-23.

Waid, Abdul. “Meneguhkan Bawaslu Sebagai “Lembaga Peradilan” Dalam Bingkai Pengawasan Pemilu.” Jurnal Adhyasta Pemilu 4. No. 1 (2018) 55-68.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. 2011. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Jakarta. Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. 2017. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jakarta.

Sekretariat Negara.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10. No. 10 Tahun 2021 hlm. 792-801