PERANAN HAKIM DALAM MENETAPKAN

AKTA PERDAMAIAN MENURUT
HUKUM ACARA PERDATA

Anak Agung Istri Mas Rahardianti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

DOI : 10.24843/KW.2020.v10.i01.p08

Studi ini bertujuan untuk mengetahui peranan hakim dalam menetapkan akta perdamaian pada persidangan perkara perdata dan kekuatan hukum akta perdamaian yang ditetapkan oleh hakim dari proses mediasi pada sengketa perdata. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang bersumber dari bahan hukum primer dan dianalisis secara deskriptif dimana dilakukan dengan menjabarkan secara realistis tentang suatu situasi hukum, serta menggunakan teknik analisis kualitatif dengan penulisan secara narasi yang kemudian memuat kesimpulan. Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa: (1) Menurut Pasal 130 HIR hakim wajib mendamaikan para pihak, meliputi perdamaian dalam persidangan dimana hakim akan membuat akta perdamaian yang merupakan suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dihadapan lembaga yang berwenang, dimana dalam konteks ini hakim sebagai pejabat yang berwenang, yang dimintakan tingkatannya di dalam persidangan dan bersifat mengikat. (2) Perjanjian perdamaian tidak memiliki kekuatan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa, namun kesepakatan perdamaian hanya akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat saat telah menjadi akta perdamaian dan untuk menjadi sebuah akta perdamaian, perjanjian atau kesepakatan perdamaian harus mendapatkan kekuatan dari majelis hakim sebagai pihak yang berwenang. Jika kesepakatan perdamaian belum berbentuk akta maka tidak cukup kuat, karena kesepekatan hanya sebatas perjanjuan yang dilakukan antara kedua belah pihak, tanpa adanya pengawasan oleh lembaga yang berwenang.

Kata Kunci: Hakim, Akta Perdamaian, Hukum Acara Perdata

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the role of judges in determining peace deeds in civil court proceedings and the legal strength of peace deeds established by judges from the mediation process in civil disputes. The research method used in this research is a normative juridical legal research method through a statutory approach and a conceptual approach that is sourced from primary legal materials and is analyzed descriptively where it is done by describing realistically about a legal situation, and using qualitative analysis techniques by writing in a descriptive manner. narration which then contains the conclusion. From the results of this research, it is known that: (1) According to Article 130 HIR, the judge is obliged to reconcile the parties, including peace in court where the judge will make a peace deed which is an agreement made by two or more persons before the competent institution, which in the context of This is the judge as an authorized official, whose level is requested in the trial and is binding. (2) A peace agreement does not have legal force that provides legal certainty for the disputing parties, but a peace agreement will only have binding legal force when it has become a peace deed and to become a peace deed, a peace agreement or agreement must obtain strength from the assembly. judge as the competent authority. If the peace agreement has not been in the form of a deed then it is not strong

enough, because the agreement is only limited to an agreement between the two parties, without any supervision by the competent institution.

Keywords: Judges, Peace Deed, Civil Procedure Law

  • I.    Pendahuluan

Interaksi antar sesama manusia sebagai mahluk sosial tentunya tidak terlepas dengan adanya perbedaan pendapat. Adanya perbenturan antara keinginan pihak yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi. Dalam menjalani kehidupan, untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki tentunya setiap orang memiliki pola pikir dan cara yang berbeda dalam menjalaninya. Perbedaan tersebut seringkali menimbulkan gesekan antar individu yang dapat disebabkan dari berbagai hal, biasanya terjadi apabila salah satu pihak merasa dirugikan atau merasa tidak puas dari pihak lain. Pada akhirnya rasa ketidakpuasan tersebut dapat memicu timbulnya konflik dan sengketa baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat.1

Nurnaningsih Amriani menyebutkan bahwa sengketa merupakan perselisihan antara para pihak yang dikarenakan dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak dalam suatu perjanjian.2 Pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang dikehendaki, namun pada umumnya para pihak lebih memilih untuk menyelesaikannya sendiri secara musyawarah tanpa adanya bantuan dari pihak ketiga, atau yang lebih dikenal dengan jalur perdamaian. Hal tersebut dikarena jalur perdamaian dipandang lebih efisien dalam menyelesaikan sengketa karena tidak menghabiskan biaya yang mahal dan tidak menghabiskan jangka waktu yang lama. Penyelesaian sengketa dengan jalur musyawarah dapat memakan waktu hanya dalam hitungan hari, namun itu semua tergantung pada tingkat kerumitan sengketa dan itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketa itu sendiri.3

Apabila para pihak yang bersengketa memiliki tekad yang kuat dan bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan sengketa tersebut maka perdamaian akan dapat dicapai dengan sangat mudah, penyelesaian sengketa dengan jalur perdamaian juga dapat dikatakan sangat baik karena antara pihak-pihak yang bersengketa berada diposisi yang sama-sama menang atau yang bisa disebut win-win solution karena keduanya mendapatkan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Para pihak akan mengesampingkan sifat egois, mau menang sendiri dan serakah demi tercapainya perdamaian, sehingga tidak ada pihak yang menang atau kalah seperti pada halnya penyelesaian yang melalui putusan pengadilan. Begitupun juga sebaliknya, jika terdapat salah satu pihak yang merasa setengah hati atau tidak bersungguh-sungguh maka penyelesaian pun juga akan semakin rumit atau bahkan tidak dapat diselesaikan. Dalam hal penyelesaian sengketa yang tidak dapat mencapai keberhasilan, para pihak tentunya akan memerlukan pihak lain atau yang biasa disebut dengan pihak ketiga sebagai media untuk membantu menyelesaikan sengketa

tersebut, dimana pihak ketiga dapat berupa badan swasta, lembaga pemerintah atau perorangan.

Apabila cara-cara penyelesaian tersebut tetap mengalami jalan buntu, barulah sengketa itu dibawa ke pengadilan sebagai benteng terakhir penyelesaian sengketa. Meskipun perkara sudah diajukan ke Pengadilan, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak untuk memilih penyelesaian secara damai, bahkan kesempatan itu pun masih tetap terbuka bagi para pihak untuk mengadakan perdamaian karena Hakim yang memeriksa perkara tersebut wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak yang bersengketa sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 pasal 3 ayat (1).4 Hakim yang dimaksud adalah hakim pada Pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Hakim pemeriksa perkara merupakan majelis hakim yang dipilih oleh ketua Pengadilan guna memeriksa dan mengadili perkara.

Pasal 130 Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut dengan HIR) dan Pasal 154 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (selanjutnya disebut dengan RBg) memberikan pedoman bagi hakim untuk wajib mengusahakan dengan sungguh-sungguh penyelesaian dengan perdamaian bagi para pihak yang bersengketa. Pasal 130 ayat (1) memberi arahan bahwa ketika pada hari yang telah ditentukan datang kedua belah pihak, maka Pengadilan Negeri melalui ketuanya wajib mencari jalan damai bagi keduanya. Hasil dari perdamaian itu harus dituangkan dalam sebuah surat (akta) yang berkekuatan seperti sebuah putusan hakim biasa, di mana tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi setelahnya (Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.

Perdamaian di dalam persidangan perdata dilakukan dengan mediasi yaitu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator merupakan Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak yang tidak memihak guna membantu para pihak dalam proses perundingan untuk mencari berbagai cara penyelesaian sengketa tanpa harus dengan menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediasi mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Walaupun dalam prakteknya keberhasilan suatu proses mediasi ditentukan oleh profesionalitas seorang mediator, namun demikian, kepentingan para pihak juga sangat menentukan tingkat keberhasilannya. Dengan adanya suatu kepastian hukum tersebut sudah barang tentu akan timbul juga berbagai aspek hukum serta permasalahan-permasalahan di dalam prakteknya. Masalah-masalah yang timbul dalam praktek akan sangat sulit diatasi, kalau tidak diadakannya penelitian. Terutama untuk memperoleh data-data yang menyangkut permasalahan-permasalahan perdamaian di dalam sidang dan tinjauannya.

Kajian mengenai akta perdamaian dalam hukum acara perdata telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. I Putu Agus Supendi yang menuliskan mengenai “ Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Melalui Proses Pengadilan Dan Diluar

Pengadilan”menyimpulkan bahwa akta perdamaian yang dituangkan dalam putusan pengadilan memiliki tiga kekuatan layaknya putusan biasa, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Perdamaian yang dilakukan diluar pengadilan dituangkan dalam bentuk akta otentik, akta dibawah tangan dan lisan. Kekuatan hukum perdamaian melalui proses diluar pengadilan yang tidak didaftarkan di Pengadilan tersebut hanya memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian. Selain itu, Antoni Sujarwo dalam tulisannya yang berjudul "Kedudukan Hukum Kesepakatan Perdamaian Yang Dibuat Setelah Lahirnya Putusan Pengadilan Tentang Akta Perdamaian" menyimpulkan bahwa kesepakatan perdamaian yang dibuat setelah lahirnya putusan pengadilan tentang akta perdamaian maka perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan kehilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan, hal ini memberikan posisi hukum yang sangat kuat terkait perdamaian, dimana segala perdamaian mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat akhir sehingga tidak adanya lagi upaya banding. Serta Anak Agung Istri Agung dalam “Akta Perdamaian Notariil Dalam Pembuktian Di Pengadilan " menuliskan bahwa Hakekat dari suatu akta perdamaian notariil adalah suatu akta perjanjian yang lahir dari suatu kesepakatan atau persetujuan damai, yang telah memenuhi persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian, yang dilakukan dihadapan notaris dan akta tersebut mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim pada tingkat akhir. Namun sebaliknya akta perdamaian notariil tersebut akan kehilangan otentitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, apabila akta itu dibuat tidak sesuai dengan tata cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-undang.

Berdasarkan atas latar belakang yang diuraikan diatas, sebagian besar akta perdamaian dari pihak sengketa dibuat dihadapan notaris sebagai bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan terlebih dahulu sebelum para pihak menyelesaikannya dilingkungan pengadilan, maka penilitian ini dilakukan untuk menganalisis peran serta kewajiban-kewajiban hakim dalam menetapkan akta perdamaian dalam perkara perdata karena hakim juga dapat berperan sebagai moderator yang bersifat netral dan dapat mengeluarkan akta perdamaian bagi para pihak yang berkekuatan hukum dan bersifat mengikat sehingga hakim memiliki peran yang penting dalam persidangan untuk mendamaikan para pihak sengketa, maka penelitian ini berfokus pada peranan hakim dalam menetapkan akta perdamaian di persidangan dan kedudukan hukum dari penetapan perdamaian yang dilakukan di depan sidang pengadilan.

  • 1.1    Rumusan Masalah

    • 1.1.1    Bagaimanakah peranan hakim dalam menetapkan akta perdamaian pada persidangan perkara perdata?

    • 1.1.2    Bagaimanakah kekuatan hukum akta perdamaian yang ditetapkan oleh hakim dari proses mediasi pada sengketa perdata?

  • 1.2    Tujuan Penelitian

    • 1.2.1    Untuk mengetahui tentang peranan hakim dalam menetapkan akta perdamaian pada persidangan perkara perdata

    • 1.2.2    Untuk mengetahui tentang kedudukan akta perdamaian yang ditetapkan oleh hakim dalam penyelesaian sengketa perdata

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan

konseptual yang bersumber dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal hukum, skripsi terkait penelitian ini.5 Bahan hukum dianalisis secara deskriptif dimana dilakukan dengan deskriptif yang menjabarkan secara realistis tentang suatu situasi hukum, serta menggunakan teknik analisis kualitatif dengan penulisan secara narasi yang kemudian memuat kesimpulan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Peranan Hakim dalam Menetapkan Akta Perdamaian pada Persidangan Perkara Perdata

Akta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu tanda bukti yang berisi pernyataan atau pengakuan yang dibuat menurut peraturan yang berlaku. Menurut Bachtiar Efendi, akta adalah sesuatu yang ditandatangani, yang memuat keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang merupakan dasar suatu perikatan atau hak, yang dibuat dengan sengaja untuk dipakai sebagi pembuktian.6 Sedangkan perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menyampaikan atau memakai suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perdamaian dapat dicapai bila terpenuhinya unsur yang tercantum dalam perjanjian perdamaian, yaitu: a. Kesepakatan atara para pihak yang bersengketa;

  • b.    Isi perjanjiannya adalah persetujuan untuk melakukan sesuatu;

  • c.    Masalah tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara atau sengketa.

Dengan adanya kesepakatan dari para pihak, maka solusi dapat dicapai, serta perdamaian tidak menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Perdamaian merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dapat di capai dengan memenangkan kedua belah pihak (win-win solution). Kesepakatan tersebut di tuangkan dalam bentuk tulisan, dan bagi para pihak didalamnya wajib menaati isi dari akta perdamaian yang dibuat. Selain itu itikad baik dalam menyelesaikan sengketa merupakan hal utama yang menjadi dasar dalam melakukan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu, akta perdamaian harus berlandaskan kesepakan para pihak untuk mengakhiri sengketa, agar terlaksananya isi dalam akta perdamaian membutuhkan itikad baik dari kedua belah pihak yang bersengketa untuk melaksanakan isi dari akta perdamaian.7

Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Akta perdamaian dikatakan sebagai suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dihadapan lembaga yang berwenang, dimana dalam konteks ini merupakan hakim sebagai pejabat yang berwenang, yang dimintakan tingkatannya di dalam persidangan dan bersifat mengikat. Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, akta perdamaian disebutkan sebagai akta yang memuat isi

kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. Berdasarkan pasal 1851-1864 KUHPer, Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG kesepakatan perdamaian atau akta perdamaian akan memiliki kekuatan hukum apabila memenuhi syarat yaitu:8

  • 1.  Akta perdamaian harus bisa menyelesaikan perkara secara tuntas dan

keseluruhan, sehingga tidak ada lagi sengketa antar para pihak karena semua telah diatur dan dirumuskan dalam akta perdamaian yang telah dibuat. Apabila masih terdapat sengketa yang belum terpecahkan, maka akta perdamaian tersebut mengandung cacat formil

  • 2.    Akta perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1851 KUHPer dan Pasal 11 ayat (1) PERMA No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menyatakan bahwa persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis. Disamping itu dengan dibuatkannya akta perdamaian dalam bentuk tertulis, dapat lebih memberikan kepastian karena telah adanya bukti secara fisik, hitam diatas putih.

Akta perdamaian dibuat oleh pihak yang berwenang, sesuai dengan ketentuan Pasal 1852 KUHPer yang menyatakan baha untuk dapat megadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam pedamaian itu, atau dengan kata lain pihak yang dapat membuat kesepakatan perdamaian dari suatu sengketa adalah pihak yang mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in juidicio.

Pengadilan adalah sebuah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi penting dan keberadaannya menjadi ciri utama sebuah Negara Hukum. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk melaksanakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terciptanya Negara Hukum Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Untuk menjalankan fungsinya, Pengadilan memerlukan perangkat dan sarana prasarana yang menujang terselenggaranya penegakan hukum dan keadilan. Salah satu penunjangnya ialah perangkat yang disebut dengan Hakim. Hakim merupakan pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, sedangkan istilah hakim mengandung arti sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan. Hakim sebagai organ pelaku kekuasaan kehakiman dalam lembaga yudikatif dituntut untuk memiliki sikap profesional, idealis dan berintegritas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.9

Menurut Pasal 130 HIR hakim wajib mendamaikan para pihak, meliputi perdamaian dalam persidangan dimana hakim akan membuat akta perdamaian yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap bagi para pihak, dan perdamaian diluar persidangan dengan terlebih dahulu mencabut gugatan (tidak mengikat karena hanya sebagai persetujuan dan dapat diajukan gugatan kembali). Jika pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka. Pada saat inilah hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Apabila para pihak berhasil mencapai perdamaian, hakim akan

menyampaikan hasil perdamaian dalam bentuk surat perjanjian di bawah tangan secara tertulis di atas kertas bermaterai. Namun jika perdamaian gagal diperoleh oleh kedua belah pihak, maka hakim akan melanjutan proses pemeriksaan perkara dengan pemeriksaan perkara biasa.

Para pihak baik penggugat maupun tergugat akan dijelaskan tentang Prosedur Mediasi oleh Hakim Pemeriksa Perkara yang berisikan:10

  • a.    Pengertian mediasi, bertujuan agar para pihak mengerti dan memahami dengan baik makna dan pentingnya perdamaian.

  • b.    Manfaat mediasi, bertujuan agar pihak penggugat maupun pihak tergugat mengetahui keuntungan dan kemudahan yang dapat diperoleh jika menyelesaikan sengketa melalui jalur perdamaian

  • c.    Kewajiban-kewajiban para pihak, agar para pihak menghadiri langsung proses mediasi, serta memberitahukan apa akibat apabila para pihak atau salah satu pihak tidak beriktikad baik dalam jalannya proses mediasi yang dapat berujung pada pembayaran biaya mediasi baik itu pihak tergugat maupun penggugat.

  • d.    Biaya yang dikenakan apabila para pihak menggunakan mediator non-hakim atau bukan pegawai pengadilan karena penggunaan mediator hakim atau pegawai pengadilan tidak dikenakan biaya.

  • e.    Apabila para pihak setuju atau sepakat melakukan perjanjian atau mediasi di persidangan maka hasil dari mediasi di persidangan tersebut akan di kukuhkan dengan akta perdamaian dan kewajiban para pihak untuk menandatangani formulir penjelasan mediasi.

Setelah memberikan pemaparan tentang kewajiban melaksanakan mediasi Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi hari itu juga untuk memilih mediator dengan batas waktu selama dua hari. Hakim yang bertindak sebagai mediator harus berada ditengah-tengah para pihak yang bersengketa ataupun didalamnya, tidak boleh terpengaruh dari kondisi internal maupun eksternal. Hakim yang berperan sebagai mediator tidak melaksanakan tugasnya sebagai hakim maupun sebagai penasihat hukum, melainkan sebagai pihak penolong yang tidak memutuskan siapa yang benar atau siapa yang salah. Hakim pemeriksa perkara akan menangguhkan proses persidangan guna memberikan waktu untuk kepada para pihak untuk melakukan perdamaian.

Hakim yang ditunjuk sebagai mediator oleh hakim pemeriksa perkara, dapat menentukan waktu dilaksanakannya mediasi setelah mendapatkan penetapan penunjukan mediator. Pada saat merumuskan Kesepakatan Perdamaian, mediator hakim yang ditunjuk atau dipilih harus memastikan agar kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum dan kesusilaan, serta tidak merugikan pihak ketiga. Hakim mediator akan mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Hakim Pemeriksa Perkara yang kemudian dikukuhkan dalam akta perdamaian. Hal ini diperjelas dalam pasal 131 ayat 1 HIR yang menyatakan “Jika para pihak telah datang menghadap tetapi tidak dapat dilaksanakan perdamaian (hal mana harus dicantumkan dalam berita acara persidangan), dibacakan surat-surat yang telah diajukan oleh para pihak. Hakim dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri mempunyai kesempatan yang luas untuk menawarkan perdamaian kepada para pihak yang berperkara, tidak hanya pada awal persidang tetapi juga pada setiap sidang,

sampai pada akhirnya sebelum Hakim menjatuhkan putusan, karena dalam HIR dan RBg tidak dijelaskan perihal sampai kapan batas waktunya Hakim dapat mengusahakan perdamaian.11

Hakim dalam melaksanakan pemeriksaan perkara di persidangan Pengadilan Negeri, diberi kewajiban menawarkan perdamaian kepada para pihak yang berperkara. Dalam kaitannya ini hakim diwajibkan dapat memberikan suatu pengertian bahwa perdamaian adalah salah satu cara penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana dari pada melalui putusan pengadilan, baik dilihat dari pandangan hukum dimasyarakat maupun dilihat pada segi waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan. Apabila Hakim Pemeriksa Perkara tidak menyarankan dilakukannya mediasi kepada para pihak sebagai langkah awal menuju perdamaian sehingga para pihak akhirnya tidak melaksanakan mediasi, maka Hakim Pemeriksa Perkara tersebut dinyatakan melanggar perundang-undangan yang mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

  • 3.2. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian yang Ditetapkan oleh Hakim dari Proses

    Mediasi pada Penyelesaian Sengketa Perdata

Setiap perjanjian perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan dan tidak boleh ada yang tertinggal. Perdamaian harus membawa para pihak terlepas dari seluruh sengketa, tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam perjanjian. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan, putusan perdamaian yang dikukuhkan dalam bentuk penetapan akta perdamaian mengandung cacat formil karena bertentangan dengan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1851 KUHPerdata.12

Sedangkan yang menyangkut perdamaian di dalam pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG yang menjelaskan bahwa: 13

  • 1.    Apabila pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.

  • 2.    Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu; akta perdamian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan yang biasa.

  • 3.    Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.

Penyelesaian perkara melalui perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determination, atau mini trial mengadung berbagai keuntungan subtansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya adalah: 14

  • 1.    Penyelesaian Bersifat Informal

Penyelesaian melaui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua belah pihak melepaskan diri dari kekuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan

yang bercorak nurani dan moral. Menjauhikan pendekatan doktrin dan asas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan.

  • 2.    Yang Menyelesaikan Sengketa Para Pihak Sendiri

Penyelesaian tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau abiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalah.

  • 3.    Jangka Waktu Penyelesaian Pendek

Pada umumnya jangka waktu peneyelsaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Itu sebabnya disebut bersifat speedy (cepat), antara 5-6 minggu.

  • 4.    Biaya Ringan

Boleh dikatakan, tidak diperlukan biaya. Meskipun ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan atau arbitase, harus mengeluarkan biaya mahal (very ecpensive).

  • 5.    Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial

Hal ini yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian, benar-benar bersifat rahasia atau konfidensial:

  • a.    Penyelesaian tertutup untuk umum

  • b.    Yang tahu hanya mediator, konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian. Dengan demikian, tetap terjaga nama baik para pihak dalam pergaulan masyarakat. Tidak demikian penyelesaian melauli pengadilan. Persidangan terbuka untuk umum yang dapat menjatuhkan martabat seseorang.

  • 6.    Hubungan Para Pihak Bersifat Kooperatif

Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, tejalin penyelesaian berdasarkan kerja sama, mereka tidak menabuh genderang perang dalam permusuhan atau antagonisme, tetapi dalam persaudaraan dan kerja sama. Masing-masing menjatuhkan dendam dan permusuhan.

  • 7.    Komunikasi dan Fokus Penyelesaian Dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif antara para pihak. Dalam komunikasi itu, terpancar keinginan memperbaiki perselisihan dan kesalahan masa lalu menuju hubungan yang baik untuk masa depan. Jadi melalui komunikasi itu, apa yang mereka selesaikan bukan masa lalu (not the past) tapi untuk masa yang akan datangan (for the future).

  • 8.    Hasil yang Dituju Sama Menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam penyelesaian perdamaian, dapat dikatakan sangat luhur: a. Sama-sama menang yang disebut konsep win-win solution, dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah, mau menang sendiri, b. Dengan demikian, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui putusan pengadilan atau arbitrase.

  • 9.    Bebas Emosi dan Dendam Penyelesaian sengketa melalui perdamaian, meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak, ke arah suasana bebas emosi selama berlangsung penyelesaian maupun setelah penyelesaian dicapai. Tidak diikuti dendam dan kebencian, tetapi rasa kekeluaragaan dan persaudaraan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tahap pertama yang harus dilakukan oleh hakim dalam menyidangkan suatu perkara adalah dengan menawarkan jalur perdamaian kepada para pihak yang bersengketa, peran hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa merupakan peran yang lebih

penting, dibandingkan dengan peran menjatuhkan putusan perkara yang diadilinya. Menurut Pasal 1858 KUHPer menyebutkan bahwa segala perdamaian antara para pihak memiliki kekuatan layaknya putusan hakim, perdamaian tidak dapat dibantah dengan alasan kehilafan tentang hukum maupun dengan alasan bahwa salah satu pihak merasa dirugikan.15 Selanjutnya Pasal 130 ayat (2) dan ayat (3) HIR juga menjelaskan bahwa akta perdamaian memiliki kekuatan hukum dan akan disamakan sebagai keputusan hakim biasa, dimana pada putusan tersebut tidak dapat diajukan ke tingkat banding.16

Perjanjian perdamaian atau kesepakatan perdamaian tidak memiliki kekuatan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa, namun kesepakatan perdamaian hanya akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat saat telah menjadi akta perdamaian melalui putusan hakim. Untuk menjadi sebuah akta perdamaian, perjanjian atau kesepakatan perdamaian harus mendapatkan kekuatan dari majelis hakim sebagai pihak yang berwenang. Jika kesepakatan perdamaian belum berbentuk akta maka tidak cukup kuat karena kesepekatan hanya sebatas perjanjuan yang dilakukan antara kedua belah pihak, tanpa adanya pengawasan oleh lembaga yang berwenang. Maka, jika suatu saat akan terjadi permasalahan mengenai isi kesepakatan meskipun kesepakatan itu telah disetujui oleh mediator atau pihak ketiga netral lainnya, mediator tersebut tidak dapat langsung melakukan tindakan atas terjadinya permasalahan terhadap isi perjanjian, sehingga para pihak dapat memperkarakan kembali sengketa tersebut. Hal tersebut berbeda jika perjanjian atau kesepakatan perdamaian itu telah diajukan ke pengadilan atau dimintakan penguatan dari majelis hakim di pengadilan, sehingga kedudukannya menjadi sebuah akta yang sama seperti putusan hakim yang memiliki kekuatan mengikat dan bersifat final. Dengan demikian jika terjadi permasalahan dikemudian hari mengenai isi akta perdamaian, pengadilan melalui panitera atau juru sita yang dipimpin oleh hakim dapat langsung melakukan eksekusi terhadap isi akta perdamaian yang tidak dilaksanakan.17

IV.Kesimpulan

Akta perdamaian adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dihadapan lembaga yang berwenang yang dalam konteks ini merupakan hakim sebagai pejabat yang berwenang, yang dimintakan tingkatannya di dalam persidangan dan bersifat mengikat. Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan Menurut Pasal 130 HIR hakim wajib mendamaikan para pihak, meliputi perdamaian dalam persidangan dimana hakim akan membuat akta perdamaian yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap bagi para pihak, dan perdamaian diluar persidangan dengan terlebih dahulu mencabut gugatan (tidak mengikat karena hanya sebagai persetujuan dan dapat diajukan gugatan kembali). Pasal 1858 KUHPer menyebutkan bahwa segala perdamaian antara para pihak memiliki kekuatan layaknya putusan

hakim, perdamaian tidak dapat dibantah dengan alasan kehilafan tentang hukum maupun dengan alasan bahwa salah satu pihak merasa dirugikan. Untuk menjadi sebuah akta perdamaian, perjanjian atau kesepakatan perdamaian harus mendapatkan kekuatan dari majelis hakim sebagai pihak yang berwenang. Jika perjanjian atau kesepakatan perdamaian itu telah diajukan ke pengadilan atau dimintakan penguatan dari majelis hakim di pengadilan, sehingga kedudukannya menjadi sebuah akta yang sama seperti putusan hakim yang memiliki kekuatan mengikat dan bersifat final.

Agar adanya peraturan yang jelas dan mencantumkan batas waktu bagi hakim untuk mengupayakan suatu perdamaian kepada para pihak, sehingga dapat menciptakan kepastian hukum dan penyelesaian sengketa dapat berjalan dengan jangka waktu yang lebih singkat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. IX, Jakarta: Rajawali Pers, 2018

Amriani, Nurnaningsih, MEDIASI: Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2017

Qomariyah, Lailatul, Skripsi: “Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Hasil Mediasi”, Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2015

Jurnal

Adiananda, I Dewa Ayu Maheswari dan Putu Gede Arya Sumerthayasa, 2017, “Akibat Hukum Pembatalan Terhadap Akta Perdamaian (Acta Van Dading) Oleh Salah Satu Pihak yang Berperkara di Pengadilan”, Kertha Wicara 6 No. 2

Agung, Anak Agung Istri, 2016, Akta Perdamaian Notariil dalam Pembuktian di Pengadilan, Jurnal Notariil Vol. I No. 1

Ardhira, Yuka Ajrina dan Ghansham Anand, 2018, Itikad Baik Dalam Proses Mediasi Perkara Perdata di Pengadilan, Media Iuris 1 No. 2

Arief, Ibad Syoifulloh, 2020, Optimalisasi Peran Hakim dalam Upaya Perdamaian di Persidangan, Jurnal Dir. Jenderal Badan Peradilan Agama.

Firdaos, Mochamad, Tinjauan Asas Keadilan dalam Putusan Akta Perdamaian, Jurnal Pengadian Agama Tanah Grogot.

Firmansyah, Yanur Rozi, 2017, Kekuatan Hukum Akta Perdamaian yang Dibuat Dihadapan Notaris dan Putusan Akta Perdamaian Pengadilan, Jurnal Cakrawala Hukum Vol. 8 No. 2

Flora, Henny Saida, 2012, Tanggung Jawab Notaris Pengganti dalam Pembuatan Akta, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 14 No. 2

Indriani, Maria Evita dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2020, “Keabsahan Kesepakatan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Melalui Mekanisme Mediasi Yang Tidak Didaftarkan Ke Pengadilan Negeri”, Kertha Wicara 9 No. 10

Murniati, Rilda, 2015, Relevansi Dan Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian

Sengketa Di Bidang Ekonomi,” Fiat Justisia Junal Ilmu Hukum Vol. 9 No. 1

Paputungan, Rahmadi Putra, 2017, Kedudukan Hukum Akta Perdamaian yang Ditetapkan Oleh Hakim Menurut Hukum Acara Perdata,” Lex Crimen Vol. VI No. 8

Rasyad, Muhamad , 2019, Pembuatan Akta Perdamaian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat melalui Notaris di Kabupaten Agam, Soumatera Law Review 2 No. 1

Saut, Jemmy, 2015, Tinjauan Hukum Tentang Putusan Hakim Perkara Perdata terhadap Proses Mediasi, Lex Administratum Vol. III No. 5

Sentana, Made Rai Diascitta Hardi. Dkk, 2020, Peranan Hakim untuk Mendamaikan Para Pihak yang Bersengketa dalam Perkara Perddata di Pengadilan Negeri Denpasar, Jurnal Analogi Hukum Vol. 2 No. 2

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.1 Tahun 2020, hlm. 93-104