Tradisi Nyepeg Sampi Dalam Perspektif Hukum Dan Kebudayaan
on
TRADISI NYEPEG SAMPI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM DAN KEBUDAYAAN
I Putu Dio Kusumayuda, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
DOI : KW.2020.v10.i01.p04
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis makna tradisi nyepeg sampi dalam perspektif kebudayaan. Serta untuk mengkaji unsur perbuatan melawan hukum dalam konteks pelaksanaan tradisi nyepeg sampi. Artikel ini tergolong jenis penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep yang juga memuat data penunjang guna memperkuat bahan hukum yang berfungsi sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan hukum yang tengah dibahas. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa makna tradisi nyepeg sampi bagi krama di Desa Asak-Karangasem adalah ritual yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam. Mengingat makna dari tradisi nyepeg sampi tersebut, oleh karenanya tradisi nyepeg sampi tidak dapat digolongkan sebagai suatu bentuk kejahatan penganiayaan terhadap hewan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 302 KUHP.
Kata kunci: Tradisi Nyepeg Sampi, Hukum, Kebudayaan.
ABSTRACT
The purpose of this article is to determine and analyze the meaning of the Nyepeg Sampi tradition from a cultural perspective. As well as to examine the elements of acts against the law in the context of implementing the nyepeg sampi tradition. This article is classified as a type of normative legal research that uses an invited approach and a conceptual approach which also contains supporting data to assess legal materials which are the basis for analyzing legal issues being discussed. Based on the results of the analysis, it is known that the meaning of the nyepeg sampi tradition for peoples live in Asak-Karangasem Village is a ritual that aims to maintain the balance of nature. Given the meaning of the tradition of nyepeg sampi, therefore the nyepeg sampi tradition cannot be classified as a form of crime against animals as referred to in the provisions of Article 302 of the Criminal Code.
Key Words: Nyepeg Sampi Tradition, Law, Culture.
Tradisi nyepeg sampi kerap menimbulkan wacana pro dan kontra di tengah kehidupan bermasyarakat. Di satu sisi, tradisi nyepeg sampi merupakan wujud kebudayaan bagi krama Desa Asak. Oleh karenanya ada unsur religius dan seni yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Di sisi lain, khususnya mengenai pelaksanaan tradisi nyepeg sampi itu sendiri, seolah tampak adanya perbuatan yang mengarah pada bentuk penganiayaan terhadap hewan. Hal ini tentu bersinggungan dengan ketentuan Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Guna
menghentikan wacana pro dan kontra terkait tradisi nyepeg sampi, maka perlu dilakukan pembahasan tentang tradisi nyepeg sampi dalam perspektif hukum dan kebudayaan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tradisi nyepeg sampi adalah kebudayaan bagi krama Desa Asak Karangansem. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), sejatinya negara menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2027 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Pemajuan Kebudayaan) juga mengatur bahwa kebudayaan juga wajib dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan, dan dibina. Di dalam konteks pemerintahan daerah, negara (dalam hal ini pemerintah daerah) juga bertanggungjawab untuk memajukan budaya masyarakat adat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali (Perda Desa Adat). Dengan demikian, ada legitimasi bagi krama Desa Adat Asak Karangansem untuk tetap melestarikan tradisi nyepeg sampi.
Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 UU Pemajuan Kebudayaan, maka tradisi nyepeg sampi tergolong sebagai sebuah ritus. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian lapangan, diketahui bahwa tradisi nyepeg sampi dilaksanakan dalam rangkaian upacara Usaba Kaulu di Desa Adat Asak Karangasem. Tradisi ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya, biasanya berlangsung pada kisaran bulan Januari-Februari. Pelaksanaan ritual nyepeg sampi dikelola oleh para sekeha teruna-deha Asak. Para teruna-nya memakai destar warna merah dan bawahan kain warna hitam dengan saput (kain lapis kedua) warna putih lalu diikat di bagian pinggang menggunakan sabuk kain poleng (warna hitam-putih), tanpa memakai baju. Adapun sarana alat yang digunakan oleh teruna asak dalam tradisi nyepeg sampi adalah Belakas Sudamala, yakni berupa pisau besar dengan bentuk khusus berbahan baku baja dan pegangannya yang terbuat dari perak dengan bentuk khusus yang secara istimewa hanya digunakan untuk ritual Usaba Kaulu khususnya nyepeg sampi. Sedangkan para teruninya (deha) memakai seragam kebaya brokat warna kuning dengan kain bawahannya berwarna-warni dengan membawa prasarana pelengkap berupa bokor berisi kembang. Secara singkat prosesi ini dilakukan dengan mencabik-cabik tubuh sapi yang menjadi sarana tradisi nyepeg sampi ini dengan menggunakan Blakas Sudamala sambil mengejarnya dan terus mencabik-cabik tubuhnya hingga akhirnya mati.1 Dari gambaran tersebut, tradisi ini seolah mencerminkan bentuk penganiayaan terhadap hewan. Jika dikaitkan dengan hukum pidana, penganiayaan hewan merupakan tindak pidana yang tergolong dalam bagian kejahatan.2 Tindak kejahatan dalam hukum pidana yang salah satu
diantaranya tindak pidana penganiyaan terhadap hewan haruslah dihukum sesuai ketentuan perundang-undangan.3
Perlakuan kekerasan dan penganiayaan terhadap hewan bukanlah suatu yang asing di dunia ini dan juga bukan hal yang tabu. Ada banyak kebudayaan di berbagai negara dan daerah di nusantara yang turut menyertakan hewan dalam aktivitasnya. Perlombaan menungang hewan seperti di Amerika, tradisi banteng di Spanyol, di Madura ada karapan sapi, di Bali ada adu ayam, di Garut ada adu domba dan di tempat lain ada adu babi hutan dengan anjing, pacuan kuda, adu jangkrik, adu cupang, dan lain-lain. Oleh sebab itu pemerintah beserta masyarakat dari berbagai negara sedang meningkatkan usaha untuk melakukan perlindungan hewan melalui berbagai jalan, mulai dari mengkampanyekan betapa pentingnya menjaga kelestarian hewan yang bisa dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat hingga langkah konkret yang dilakukan oleh pemerintah dengan menetapkan suatu wilayah menjadi suaka marga satwa dan menetapkan regulasi yang berkaitan dengan pengaturan dalam upayanya melakukan perlindungan terhadapa hewan. Perlakuan terhadap hewan dalam berbagai bidang termasuk sains pun mulai dibatasi agar tidak sampai mengeksploitasi hewan secara berlebihan. Bahkan Irlandia sudah melarang pembedahan hewan untuk tujuan penelitian.4
Terpenuhinya kebutuhan fisik, psikologi, dan kondisi lingkungan yang sesuai untuk hewan merupakan suatu bentuk hak asasi hewan atau yang biasa disebut dengan kesejahteraan hewan (Animal Welfare).5 Objek dari Animal Welfare adalah semua jenis hewan yang berinteraksi ataupun lekat dengan kehidupan manusia, karena intervensi oleh manusia sangatlah mempengaruhi keberlanjutan hidup hewan. Disinilah fungsi Animale Welfare guna mengurangi tindakan penganiayaan terhadap hewan. Dalam perkembangannya, perjuangan untuk melindungi hak-hak asasi milik hewan untuk diperlakukan secara baik semakin gencar dan menjadi topik yang meluas di seluruh dunia dengan banyak orang yang tentunya bersimpati. Salah satunya adalah NOAH-Menschen für Tiere, sebuah organisasi pencinta hewan yang berpusat di Jerman. Organisasi ini melakukan kampanye mengenai perlindungan hewan yang terdiri atas Haustiere (hewan peliharaan), Massentierhaltung (peternakan hewan besar-besaran), Tiertransporte (pengangkutan hewan), Tierversuche (hewan sebagai alat percobaan), Pelz (hewan yang digunakan untuk mode), dan Wildtiere (hewan liar). Dalam setiap iklannya, NOAH-Menschen für Tiere mengajak pembaca untuk membantu dan berpartisipasi dalam perlindungan hewan dengan cara berdonasi.6
Tindakan penganiayaan terhadap hewan dianggap melanggar etika dan moral sebagai manusia yang harusnya paling mengerti dan bisa berlaku baik sebagai konsekuensi menjadi makhluk hidup yang bisa berpikir dan merasa lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Bilamana praktik penganiayaan hewan masih saja dilakukan dan tidak ada komponen hukum yang dipergunakan guna membatasi ekploitasi berlebih terhadap hewan, maka dapat diasumsikan bahwa hal demikian merupakan suatu sikap melegitimasi perilaku penyiksaan terhadap hewan.7
Berbagai artikel dengan tema penganiaayaan hewan pun tidak jarang dijumpai dalam berbagai media, yang secara tidak langsung menandakan bahwa manusia sebagai bagian penting dalam kaitannya dengan tindakan penganiayaan hewan sudah semakin peduli akan keberadaan hewan sebagai makhluk hidup yang juga memiliki hak-hak yang harus diakui dan dihormati bersama. Merujuk kepada salah satu tulisan berjudul “Tinjauan Kekerasan Terhadap Hewan Dalam Karapan Sapi Menurut Pasal 302 KUHP (Studi di Kabupaten Pamekasan)” karya Amri Ubaidillah menerangkan bahwa penganiayaan hewan yang sekalipun merupakan tradisi haruslah dipertimbangkan pelaksanaannya agar tetap mengakomodir hak-hak yang dimiliki oleh hewan sebagai salah satu makhluk hidup. Hal ini tentunya menggugah minat penulis untuk mengkaji salah satu tradisi di Desa Asak – Karangasem Provinsi Bali dalam perspektif kebudayaan dan hukum pidana, sebab meski dikategorikan sebagai sebuah tradisi, pelaksanaan tradisi nyepeg sampi sangat kental akan makna spiritual dan unsur keagamaan yang tidak bisa disamakan dengan tradisi pada umumnya.
Atas uraian tersebut penulis mencoba untuk mengkaji tradisi nyepeg sampi berdasarkan makna spiritual yang dipercaya oleh masyarakat setempat, serta menganalisis unsur perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan tradisi ini dalam sebuah tulisan yang berjudul “Tradisi Nyepeg Sampi Dalam Perspektif Hukum Dan Kebudayaan”.
Bertolak dari uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan 2(dua) permasalahan sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah makna tradisi nyepeg sampi dalam perspektif kebudayaan dari krama Desa Adat Asak – Karangasem?
-
2. Apakah terkandung unsur perbuatan melawan hukum dalam konteks pelaksanaan tradisi nyepeg sampi Desa Adat Asak – Karangasem?
Artikel yang berjudul “Tradisi Nyepeg Sampi Dalam Perspektif Hukum dan Kebudayaan” ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan menganlisis tentang makna tradisi nyepeg sampi dalam perspektif kebudayaan serta untuk mengetahui dan menganalisis tentang unsur perbuatan melawan hukum dalam
konteks pelaksanaan tradisi nyepeg sampi Desa Asak – Karangasem. Sehingga dapat menerangkan mengenai bagaimana cara hukum pidana dan konsep kebudayaan menilai tradisi ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini tergolong jenis penelitian hukum normatif – empiris dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Artikel ini juga memuat sumber bahan hukum yang dikumpulkan dengan teknik studi dokumen dan data penunjang yang dikumpulkan melalui teknik observasi dan wawancara. Seluruh bahan hukum dan data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Desa Adat Asak yang terletak di Desa Dinas Pertima, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem ini terdiri dari dua banjar adat yakni Banjar Kangin dan Banjar Kawan dengan jumlah penduduk sebanyak 1.141 jiwa berdasarkan hasil sessus pada tahun 2008. Desa Adat Asak memiliki suatu tradisi yang relative unik yakni nyepeg sampi yang merupakan serangkaian upacara Usaba Kaulu, yang mana merupakan suatu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Asak setiap tahunnya pada sasih kaulu di Pura Patokan dan tergolong upacara Bhuta Yadnya tepatnya pada bulan Januari/Februari.
Menururt I Kadek Agus Heriawan selaku Penyarikan Teruna Desa Adat Asak8, pelaksanaan tradisi nyepeg sampi pada saat Usaba Kaulu umumnya dilaksanakan sepenuhnya oleh Sekeha Teruna-Deha. Mulai dari persiapan sarana upacara, susunan acara, hingga pendanaan ditanggungjawabi sepenuhnya oleh Sekeha Teruna-Deha Desa Adat Asak, khususnya Sekeha Teruna-nya. Sekeha Teruna Desa Adat Asak dipimpin oleh seorang Penyarikan Teruna dengan 6 pendamping yang disebut Kelihan Teruna. Periode kepengurusan dari Penyarikan dan Kelihan Teruna tidaklah ditentukan secara pasti, khususnya untuk Penyarikan teramat sangat kondisional, untuk Kelihan ditentukan berdasarkan sudah atau belumnya metatah (upacara potong gigi dalam kepercayaan agama hindu) dan waktu (tanggal, bulan, dan tahun) perkawinan orang tua.
Tradisi nyepeg sampi yang tercatat dalam lontar Kembal Truna yang ada di Desa Adat Asak-Karangasem yang dijadikan pedoman pelaksanaannya pertama kali dilaksanakan sekitar tahun 1800-an masehi. Masyarakat Desa Adat Asak percaya bahwa setiap tetesan darah sapi yang menetes dalam pelaksanaan tradisi nyepeg sampi ini adalah sebuah kesuburan, dan titik dimana sapi itu tumbang adalah tempat paling subur.
Kriteria sapi yang digunakan dalam tradisi nyepeg sampi juga tata cara pelaksanaannya pun tidak boleh sembarang. Untuk sapi yang digunakan adalah sapi hitam pejantan dengan postur secara keseluruhan tidak boleh cacat. Terkait dengan tata cara pelaksanaanya pun diatur dalam lontar yang disucikan oleh masyarakat Desa Adat
Asak. Yang hanya boleh ditebas dengan blakas sudamala hanyalah bagian tubuh sapi secara khusus. Bagian kepala, kaki, dan ekor adalah bagian yang tidak boleh dilukai selama pelaksanaan tradisi nyepeg sampi. Untuk tempat penebasannya dilakukan di luar Pura Patokan dan di luar wewidangan desa, dengan pengecualian penebasan pertama dilakukan di luar Pura Patokan yang masih merupakan wewidangan Desa Adat Asak oleh perwakilan teruna yang berperan sebagai Saye untuk memulai sekaligus mengizinkan penebasan berikutnya. Bila dalam pelaksanaan tradisi nyepeg sampi ini dilakukan diluar ketentuan yang ada dalam lontar, maka teruna yang melanggar ketentuan wajib membayar denda yang telah disepakati ataupun yang ada dalam lontar. Untuk denda menebas sapi di wewidangan desa adalah berkisar Rp. 25.000 – Rp. 185.000. dan untuk denda menebas di bagian ekor dan kaki hingga 3(tiga) kali lipat dari menebas di wewidangan desa. Besaran denda ditentukan melalui kesepakatan yang diambil sebelum pelaksanaan nyepeg sampi oleh seluruh Sekeha Teruna dan dianggap menjadi ketentuan yang harus ditaati dan dihormati. Khusus denda untuk penebasan sapi di area Pura Patokan adalah membayar setengah harga sapi, dan untuk penebasan sapi di bagian kepala adalah membayar secara penuh harga sapi yang digunakan sebagai sarana nyepeg sampi ini. Pedoman penentuan denda diambil dari pembukuan sederhana berupa Riwayat pencatatan denda yang pernah terjadi.
Berdasarkan keterangan I Kadek Agus Heriawan selaku Penyarikan Teruna Desa Adat Asak, sepengetahuan beliau tradisi nyepeg sampi belum pernah tidak terlaksana dari beliau kecil hingga sekarang. Jika upacara ini tidak dilaksanakan oleh masyarakat, maka masyarakat Desa Adat Asak percaya akibatnya akan timbul bencana gering (bencana/wabah penyakit) melanda masyarakat Desa Asak. Oleh karena itu, masyarakat tidak pantang melanggar amanat tersebut, dan selalu melaksanakan upacara Usaba Kaulu, yang selanjutnya dirangkaikan dengan prosesi nyepeg sampi tersebut. Tujuannya agar tercapai kehidupan yang dianugrahi keseimbangan, kemakmuran, keselamatan, dan kebahagiaan lahir-batin bagi masyarakat Desa Asak.9
Arah mata angin sesuai arah sapi itu berlari memiliki arti tersendiri. Jika sapi berlari ke utara, bermakna kesuburan, berlari ke timur mengisyaratkan akan adanya cahaya kebahagiaan. Ke selatan berarti kemakmuran serta kebijaksanaan, sedangkan barat menandai akan adanya kegelapan di alam.10 I Kadek Agus Heriawan atau yang lebih akrab disapa Agus Jero ini mengatakan bahwa selain tujuan-tujuan kebaikan religio-magis dan yang bersifat spiritual, pelaksanaan nyepeg sampi pada khususnya dan Usaba Kaulu pada umumnya juga dapat memberi makna dan pembelajaran secara kolektif dan individu. Kemandirian dan sikap gotong royong dapat tercermin dari pelaksanaan Usaba Kaulu yang murni dilakukan oleh Sekeha Teruna-Deha tanpa bantuan yang signifikan dari struktur Desa Adat diatasnya. Nilai kejujuran juga dilatih dan diuji pula dalam pelaksanaan tradisi nyepeg sampi, hal ini tercermin dari sikap teruna bilamana ada yang melanggar tata cara pelaksanaan nyepeg sampi yang benar (wajib
membayar denda), ketentuan denda ini sangatlah melatih dan menguji kejujuran, sebab denda akibat kesalahan pelaksanaan tradisi nyepeg sampi dijatuhi tidaklah dengan bukti keterangan saksi atau alat bukti lainnya selain pengakuan teruna yang bersangkutan.
Kondisi emosional masyarakat Desa Adat Asak menggambarkan adanya keterikatan terhadap prosesi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun yang kemudian dimaknai sebagai tradisi. Dengan kepercayaan religio-magis yang begitu kuat dalam makna pelaksanaannya ini merupakan suatu bentuk keterikatan masyarakat hukum adat atas suatu sistem hukum adat yang dalam hal ini bermanifestasi dalam tradisi nyepeg sampi. Ada sebuah perasaan bersalah dan yakin akan suatu hukuman (berupa bencana wabah) bila tradisi ini tidak dilaksanakan.
Hukum Adat dikatakan sebagai hukum orisinil milik masyarakat Indonesia yang tidak diundangkan dalam lembaran negara, yang sarat akan muatan-muatan agama.11 Hukum adat tentunya tidak sama dengan hukum negara. Hukum negara khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan dibentuk oleh lembaga negara khususnya lembaga legislatif dan eksekutif. Sedangkan hukum adat tidak dibentuk oleh lembaga negara melainkan lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakat melalui berbagai bentuk tradisi dan mendapat legitimasi secara psikis oleh masyarakat. Daya mengikat hukum adat tidak seperti hukum negara yang dapat dipaksakan oleh aparatur penegak hukum dalam upaya penegakkannya. Keberadaan hukum adat tidak memperdulikan pengakuan kekuasaan negara terhadap norma yang diatur dalam hukum adat itu sendiri, sebab masyarakatlah yang mengekhendaki suatu norma dalam hukum adat itu untuk muncul serta bertahan. Ini merupakan salah satu bukti orisinilitas hukum adat, sebab hukum adat lahir dari keberadaan suatu masyarakat secara otonom. Seirama dengan pendapat Ter Hart (1961), maka hukum adat lebih erat dengan orde “primary rules of obligation” ketimbang hukum negara yang dirancang dengan sengaja atas tujuan tertentu (purposeful) sebab oleh karenanya lebih erat dengan orde “secondary rules of obligation”.12
Masyarakat hukum adat dalam menjalankan kehidupannya dalam suatu kesatuan yang berdiri sendiri berlandaskan pada Teori Catur Praja. Karena menurut Teori Catur Praja yang dikemukakan Van Vollenhoven, otonomi kesatuan masyarakat hukum adat meliputi: (1) kekuasaan-kekuasaan untuk membuat hukumnya sendiri; (2) menjalankan pemerintahannya secara mandiri; (3) kekuasaan menjalankan fungsi keamanan dalam teritorialnya sendiri; (4) kekuasaan mengadakan peradilan sendiri.13 Sehingga dalam menjalankan pemerintahannya dan menerapkan aturan maupun kaidah di dalam kesatuan masyarakat hukum adatnya bisa mengenyampingkan hukum negara karena memiliki sifat otonomi murni, dengan tetap berpegangan pada prinsip-prinsip hukum universal.
Pelaksanaan tradisi nyepeg sampi dipercaya akan membawa kedamaian bagi masyarakat Desa Asak dan keharmonisan alam religio-magis, yang sekaligus hal ini berarti bahwa bila tradisi ini tidak dilaksanakan maka masyarakat Desa Asak akan merasakan ketidak damaian karena suatu prosesi yang erat kaitannya dengan alam magis yang merupakan bagian penting dari keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat akan terganggu dan menimbulkan sebuah ketidak harmonisan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tentunya menyimpang dari salah satu cita hukum yang diharapkan oleh manusia, bahwa hukum dalam muara akhirnya haruslah berkepastian hukum, berkeadilan, dan bermanfaat sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radburch.14 Hukum haruslah memiliki manfaat dalam pelaksanaannya seperti, mensejahterakan, memberikan rasa damai, menjaga keharmonisan. Dan jika ketentuan tindak pidana penganiayaan hewan diberlakukan secara tegas terhadap pelaksanaan tradisi nyepeg sampi, maka sudah barang tentu akan menimbulkan perasaan tidak damai karena terganggunya keharmonisan antara manusia dengan alam religio-magis sebab tidak dilaksanakannya tradisi tersebut. Dengan diberlakukannya ketentuan tindak pidana penganiayaan hewan terhadap tradisi nyepeg sampi, sebagai bentuk pemberlakuan hukum formal secara berlebih guna mengejar cita kepastian hukum maka secara tidak langsung ada rasa keadilan yang terampas dari masyarakat sebab masyarakat tidak dapat menjalankan ritual adat dan keagamaannya sebagaimana mestinya.15
-
3.2 Unsur Perbuatan Melawan Hukum Dalam Konteks Pelaksanaan Tradisi Nyepeg Sampi Desa Adat Asak – Karangasem
Berdasarkan hukum nasional, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penganiayaan terhadap hewan. Berikut adalah tabel yang menyajikan beberapa peraturan yang mengatur mengenai penganiayaan hewan:
Tabel 1. Perundang-Undangan Yang Mengatur Penganiayaan Hewan
No |
Peraturan |
Pasal |
1 |
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) |
302 ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan: |
seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. Pasal 302 ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan. Pasal 540 ayat (1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama delapan hari atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
|
2 Undang- Undang Republik Indonesia |
Pasal 66A ayat (1) Setiap Orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. |
Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. |
Pasal 91B ayat (1) Setiap Orang yang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan sehingga mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). |
3 Peraturan Pemerintah Nomor 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. |
Pasal 83
penyalahgunaan;
|
Pasal 92 Setiap orang dilarang untuk:
menyebabkan kematian Hewan;
membahayakan kelestarian sumber daya Hewan, keselamatan dan ketenteraman bathin masyarakat, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
Pasal 93 Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf f paling sedikit harus dilakukan dengan:
|
Tradisi nyepeg sampi secara umum dari pelaksanaannya dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana kejahatan penganiayaan terhadap hewan yang menyebabkan kematian hewan tersebut sebagaimana yang dirumuskan pada rumusan delik sesuai Pasal 302 KUHP ayat (2), bahwa orang tanpa tujuan yang dianggap patut ataupun secara berlebihan, dengan sengaja melukai ataupun menyakiti hewan yang berakibat pada kematian terhadap hewan tersebut, maka kepada dia yang bersalah dapat didakwa dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau pidana denda paling sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah karena melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan. Tradisi nyepeg sampi juga bisa terjerat ketentuan pidana dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan ancaman kurungan maksimal 6(enam) bulan penjara dan denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Namun dalam praktik pelaksanaannya tidaklah sebaik pengaturan yang mengaturnya. Pasal-pasal yang mengatur mengenai pelarangan penganiayaan hewan layaknya pasal yang mati suri, karena keberadaan pasal yang sudah jelas dalam mengkualifikasikan tindakan penganiayaan hewan yang seyogianya menindak tegas
orang-orang yang melanggarnya malah seringkali nihil dalam penerapannya.16 Sebab para penegak hukum di Indonesia masih memandang hak asasi yang dimiliki hewan adalah hal yang biasa saja bahkan tidak perlu untuk diperjuangkan17
Masyarakat dalam kehidupan sosialnya kerap kali tidak memperlakukan hewan dengan layak, hal ini terbukti dari tetap dilakukannya beberapa tradisi dalam kebudayaan nusantara yang mengeksploitasi hewan seperti adu domba di Garut, karapan sapi di Madura, sabung ayam di Bali dan banyak lagi bentuk pengeksploitasian hewan dalam berbagai tempat di nusantara.
Disamping permasalahan rendahnya empati masyarakat dengan hak asasi hewan, sebenarnya ada pula hal lain yang menjadikan kekerasan terhadap hewan masih kerap dilakukan khususnya dalam konteks tradisi dan adat. Hal ini cukup bertalian erat dengan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen dalam hal suku, ras, dan golongan yang tentu saja berpengaruh pada kebiasaan yang kemudian menjelma menjadi kebudayaan lalu berevolusi menjadi suatu tatanan norma yang diyakini dan diterima oleh masyarakat sehingga mewujudkan bentuk kompleks berupa sistem hukum yang diilhami oleh mereka yang lahir dan tumbuh dalam suatu suku, ras, atau golongan tertentu. Kondisi seperti ini menurut John Griffith dinamakan dengan Pluralisme Hukum, yakni adanya beberapa tatanan hukum yang berlaku dalam satu lapangan sosial yang menyebabkan terdapat berbagai pilihan hukum yang sangat tergantung pada kedudukan dan ekspektasi masyarakat akan sebuah tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan.18
Pluralisme hukum dalam lapangan sosial di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, dimana dalam pemberlakuan sistem hukum di Indonesia selalu didasari atas adanya lebih dari satu sistem hukum. Hukum negara sebagai hukum yang sah dan diakui oleh pandangan dunia Internasional tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaaan hukum adat dan hukum agama yang sudah terlebih dahulu ada dan mendarah daging dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini nampak dengan jelas dalam pelaksanaan tradisi nyepeg sampi yang seolah menyampingkan berbagai regulasi lengkap dengan sanksi yang merupakan bagian dari hukum negara.
Bertolak dari beberapa pengaturan yang mengatur rumusan delik tindak pidana penganiayaan sebagaimana dijabarkan secara sederhana melalui tabel 1. ada dua pasal yang dilakukan secara aktif yaitu pasal 302 KUHP, 540 KUHP dan Pasal 66A ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan dalam hal tradisi nyepeg sampi pasal yang kemungkinan menggolongkan nyepeg sampi sebagai tindak pidana adalah pasal 302 KUHP, sebab dalam Pasal 66A ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, akibat yang ditimbulkan adalah kecacatan fungsi reproduksi pada hewan, dan Pasal 540
KUHP berkaitan dengan mempekerjakan hewan secara melampaui batas, berbeda dengan tradisi nyepeg sampi yang berakibat pada kematian hewan sapi yang digunakan sebagai sarana dari tradisi tersebut dan bukan karena dipekerjakan. Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis akan mengidentifikasi relevansi tradisi nyepeg sampi dengan tindak pidana kejahatan penganiayaan hewan dari perspektif Pasal 302 KUHP.
Pasal 302 KUHP menyebutkan rumusan delik sebagai berikut “barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya” akan diancamkan pidana penjara dan/atau denda sebagaimana telah dicantumkan pada tabel 1.
Untuk dapat menjatuhkan seseorang dengan pidana, maka orang tersebut haruslah melakukan tindak pidana dan harus memiliki kemampuan bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab menempel pada keberadaan subjek hukum yang melakukan tindak pidana dan dan mengenai tindak pidana ada beberapa unsur yang harus terpenuhi untuk kemudian menggolongkan suatu perbuatan termasuk tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah:19
-
1. Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat
-
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
-
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
-
4. Unsur melawan hukum
Dalam rumusan delik pada pasal 302 KUHP tentunya juga memiliki unsur-unsur pidana yang akan penulis identifikasi berdasarkan unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno.
Unsur ini terdapat dalam kata “menyakiti atau melukai hewan dan merugikan kesehatannya”, yang jelas dalam tradisi nyepeg sampi ada perbuatan menyakiti hewan sapi yang diposisikan sebagai sarana tradisi ini.
“Secara melampaui batas dan dengan sengaja” merupakan unsur keadaan yang menyertai perbuatan. Perlakuan melukai sapi dalam pelaksanaan tradisi nyepeg sampi adalah hal yang direncanakan dan sudah barang tentu disengaja.
Pada ayat (2) pasal ini disebutkan mengenai beberapa keadaan tambahan yang memberatkan pidana bilamana perbuatan tersebut mengakibatkan sakit lebih dari dua minggu, cacat, luka-luka berat, dan mati. Dalam tradisi nyepeg sampi, sebab yang ditimbulkan adalah kematian dari hewan sapi yang diposisikan sebagai sarana tradisi tersebut.
Bersifat Melawan Hukum berarti tidak sesuai dengan keharusan hukum atau bertentangan dengan hukum, menyerang suatu kepentingan yang dilindungi atau melakukan apa yang dilarang oleh hukum.20 Dalam
konteks ini maksud dari hukum adalah merupakan hukum yang sedang berlaku (hukum positif) baik itu hukum negara maupun hukum yang berlaku dalam masyarakat (adat dan agama). Dalam pengertian sifat melawan hukum formil maka tradisi nyepeg sampi merupakan suatu tindak pidana karena sudah memenuhi semua unsur formil dalam peraturan perundang-undangan.
Tentang unsur sifat melawan hukum dalam tataran teoritis digolongkan menjadi dua bagian, yang pertama adalah sifat melawan hukum formil yakni ketika suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik yang diatur dengan undang-undang maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, begitu juga ketika suatu perbuatan dikualifikasikan berdasarkan undang-undang bukan merupakan tindak pidana maka perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana. Golongan kedua adalah sifat melawan hukum materiil adalah pengkualifikasian suatu tindak pidana bukan semata-mata hanya yg diatur dalam undang-undang saja, melainkan kondisi yang tidak mengharuskan tentang diaturnya suatu perbuatan oleh undang-undang sebagai tindak pidana, cukup dengan dipandangnya perbuatan tersebut menurut pandangan umum atau hukum tidak tertulis merupakan suatu hal yang tidak patut karena menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. 21
Dalam pemberlakuan hukum pidana di Indonesia yang sampai saat tulisan ini disusun berpegang erat pada asas legalitas, yang secara tidak langsung juga mengartikan bahwa segala perbuatan (aktif atau pasif) yang diatur undang-undang dan dipandang merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran dapat dijatuhi pidana dan dituntut pertanggungjawabannya, maka sifat melawan hukum formil-lah yang diutamakan dalam pemberlakuan hukum pidana, sehingga sifat melawan hukum materiil atau hukum tidak tertulis bukanlah suatu rujukan dalam penjatuhan pidana.22
Namun dalam ranah praktik, sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif bisa difungsikan sebagai instrumen untuk menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik dalam ketentuan suatu perundang-undangan yang berarti bahwa hukum tidak tertulis dapat digunakan sebagai alasan pembenar sehingga tidak dipidananya suatu tindak pidana. Hal ini tidak bertentangan dengan asas legalitas, karena yang tidak diperbolehkan adalah menggunakan instrumen hukum tidak tertulis sebagai alasan untuk mempidana subjek hukum, sedangkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif dapat dipahami sebagai penggunaan hukum tidak tertulis sebagai alasan penghapusan pidana.23
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa tradisi nyepeg sampi bukanlah suatu tindak pidana karena unsur-unsur pidana dalam tradisi ini dapat dihapuskan melalui fungsi negatif sifat melawan hukum materiil, sebab pelaksanaan tradisi ini tidak dianggap sebagai kejahatan oleh pandangan umum yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Adat Asak Karangasem, dan pelaksanaan tradisi yang terkesan menganiaya hewan bukanlah dilakukan dengan tanpa alasan, melainkan didasari atas kepercayaan dan tanggung tanggung jawab terhadap keseimbangan alam religio-magis yang mana hal tersebut merupakan hal yang patut.
Dalam perspektif kebudayaan, tradisi nyepeg sampi adalah ritus bagi krama Desa Asak Karangasem. Tradisi nyepeg sampi secara filosofis dan sosiologis adalah murni bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam religio-magis di lingkungan Desa Adat Asak. Pelaksanaan tradisi nyepeg sampi secara eksplisit juga telah diatur dalam lontar Kembal Truna yang turut memuat batasan dan sanksi atas pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan tradisi nyepeg sampi. Dengan demikian, pelaksanaan tradisi nyepeg sampi tidak patut dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Mengingat lontar dalam kesatuan masyarakat hukum adat di Bali menjadi salah satu sumber hukum tidak tertulis yang mendapatkan legitimasi moril dari masyarakat hukum adat di Bali, dan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tradisi nyepeg sampi, lontar Kembal Truna berperan sebagai hukum tidak tertulis dalam fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil dapat menjadi alasan penghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan suatu delik dalam ketentuan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Cetakan ke-3 (Bandung: Mandar Maju, 2014).
Moeljatno. Asas – Asas Hukum Pidana. Cetakan ke-9 (Jakarta: Rineka Cipta, 2018).
Jurnal:
AZHARI, FADLY. "" KEKERASAN TERHADAP HEWAN DALAM FILM"(Analisis Isi Unsur Kekerasan Terhadap Hewan Dalam Rise of The Planet of The Apes Karya Rupert Wyatt). " PhD diss., University of Muhammadiyah Malang, (2012): 1-35
Bayu Kresna Wardana, A., & Ari Krisnawati, I. (2016). “PENJATUHAN HUKUMAN UNTUK PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN HEWAN.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 05, No.06 (2016):1-5
Denamar, Anak Agung Bagus Brabham dan Laksana, I Gusti Ngurah Dharma. “PARUMAN AGUNG DESA ADAT JIMBARAN: PROSES DAN KEKUATAN HUKUM MENGIKAT PENYELESAIAN WICARA ADAT.” Kertha Desa 1, No. 01 (2019): 1-17.
Eleanora, Fransiska Novita. "Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan." Hukum Dan Dinamika Masyarakat 9, no. 2 (2016): 200-208
Mampow, Jonathan Toar. "SUATU KAJIAN ATAS TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP HEWAN BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN." LEX ADMINISTRATUM 5, no. 2 (2017): 149-157
Mesdiana Purba, S. H., MH1 Nelvitia Purba, and Mhum SH. "PERBUATAN MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTELIJK) DI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) DI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA." Kultura 14, No.1 (2013): 1-9
MEYSERI, YOSPA, Ruben Achmad, and Rd Ikhsan. "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN." PhD diss., Sriwijaya University, (2018): 1-71
Mujib, M. Misbahul. "Memahami Pluralisme Hukum di Tengah Tradisi Unifikasi Hukum: Studi atas Mekanisme Perceraian Adat." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 3, no. 1 (2014): 19-33
Noviansyah, Lathifa, and Sonya Puspasari Suganda. "Analisis Semiotika pada Iklan Kampanye Perlindungan Hewan Noah-Menschen für Tiere." In Proceeding INUSHARTS (International Young Scholars Symposium, vol. 2, p. 62. by: Faculty of Humanities–Universitas Indonesia, Depok, (2018): 62-83
Prastowo, RB Budi. "Delik Formil/Materiil, Sifat Melawan Hukum Formil/Materiil Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Hukum Pro Justitia 24, no. 3 (2016).
Putra, Dewa Gede Ngurah Bagus Dana Hartawan. “Makna Ritual Nyepeg Sampi dalam Upacara Usaba Kawulu di Desa Adat Asak Kabupaten Karangasem.” Jurnal Humanis Fakultas Ilmu Budaya UNUD 21, No.1 (2017): 155-161.
Sagama, Suwardi. "Analisis Konsep Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan dalam Pengelolaan Lingkungan." Mazahib Jurnal Pemikiran Hukum Islam 15, no. 1 (2016): 20-41.
Saras, Stovia. "PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN HEWAN (Studi pada Polres Lampung Tengah)." Skripsi Fakultas Hukum. Universitas Bandar Lampung. (2018): 1-77
Siregar, Januari, and Muaz Zul. "Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di Indonesia." Jurnal Mercatoria 8, no. 2 (2015): 107-131.
Sudiartini, Ni Wayan Ari, Putu Ari Mulyani, and Yenni Rahman. "STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA MELALUI TRADISI BUDAYA TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA ADAT ASAK
KARANGASEM." JURNAL SEWAKA BHAKTI 4, No.1 (2020): 1-20.
Susanto, Wellson, and Maria Veronica Gandha. "Pusat Edukasi Tentang Hewan Peliharaan Di Kelapa gading." Jurnal Kajian Teknologi 11, no. 1 (2015): 28-42
Syamsudin, S. (2008). Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 15(3), 338-351.
Tabiu, Ramadan. "Pertentangan Asas Legalitas Formil Dan Materiil Dalam Rancangan Undang-undang KUHP." Jurnal Penelitian Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2, no.1 (2015): 28-36.
UBAIDILLAH, AMRI. "TINJAUAN KEKERASAN TERHADAP HEWAN DALAM KARAPAN SAPI MENURUT PASAL 302 KUHP (Studi di Kabupaten Pamekasan)." PhD diss., University of Muhammadiyah Malang, (2013): 1-14
Internet:
Antara, I.K.Pasek, “Ritual Unik di Desa Asak Karangasem – Nyepeg Sampi Beramai-ramai Untuk Menetralisir Alam.” Diakses melalui https//:v2.karangasemkab.go.id Pada Tanggal 31 Februari 2020 Pukul 22.45 WITA.
Peraturan Perundang – Undangan:
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
Undang – Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 84. Sekretariat Negara. Jakarta.
Undang – Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Lembaran Negara RI Tahun 2014, No. 338. Sekretariat Negara. Jakarta.
Undang – Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Lembaran Negara RI Tahun 2017, No. 104. Sekretariat Negara. Jakarta.
Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali. Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019, No. 4. Biro Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Provinsi Bali.
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.1 Tahun 2020, hlm. 44-60
Discussion and feedback