Pidana Bagi Pelanggaran Hak Cipta Atas Hasil Karya Fotografi Dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual
on
PIDANA BAGI PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS HASIL KARYA FOTOGRAFI DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
Gde Gunasaumyadiva Andarawata Mpuhaji, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i05.p08
ABSTRAK
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk membahas mengenai kekuatan hukum jerat atau hukum pidana, dalam rangka menegakkan hak cipta atas hasil karya fotografi. Dalam pendekatannya, metode penilitian dilakukan secara normatif-empiris, artinya dengan pendekatan melalui sumber-sumber tertulis, seperti buku, jurnal dan sumber hukum, dilengkapi dengan pengalaman penulis sebagai fotografer yang telah terjun langsung ke lapangan, dimana penulis juga mendapat ilmu dari rekan-rekan fotografer dengan menggunakan pendekatan Judicial Case Study serta Live Case Study dengan menggunakan teknik analisa Kualitatif. Sifat penelitian ini bersifat deskriptif-komparatif, yang menggambarkan langsung keadaan saat ini dalam konteks fotografi. Fotografi merupakan upaya memperoleh gambar melalui pantulan daripada variasi cahaya yang menyentuh suatu objek yang peka terhadap cahaya, berbentuk kamera. Keinginan manusia dalam upaya mengabdikan moment-moment kehidupan setiap harinya yang diwujudkan baik itu guna mengkomunikasikan hasratnya. Sejarah evolusi Hak Cipta dari karya fotografi terwujud dalam sebab adanya faktor-faktor seperti kurangnya informasi dalam memperoleh laba di dalam suatu usaha. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 sejelas-jelasnya mengenai perlindungan yang melingkupi hak cipta atas fotografi, tertuang pada huruf k. Bentuk pelarangan atas penggandaan dalam wujud komersial tertuang di dalam Pasal 9 ayat (3). Adapun bentuk-bentuk tuntutan pidana yang diatur dalam Pasal 113.
Kata Kunci: Fotografi, Pidana, Hak Cipta
ABSTRACT
Major points within journal are to discuss criminal law, in the context of enforcing copyrights on photographic works. In its approach, the research method is carried out normatively-empirically, meaning that the approach is through written sources, such as books, journals and legal sources, supplemented by the author's experience as a photographer who has jumped directly into the field, where the author also summarized colleagues’ photographer’s visions. Photography is an attempt to obtain images through reflection through the use of variations in the light that touches an object, in the form of a camera. Human desire in an effort to devote their everyday life story manifested both physically and in the form of his imagination is implemented in the tradition of the portrait of identity in the visual dimension that communicates his desires. History of copyrights from photographic works is manifested in the presence of factors such as lack of information in making a profit. Article 40 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 regulating Copyright which replaces Law Number 19 of 2002 that surrounds copyright over photography, set forth in the letter k. The form of prohibition on the multiplication in a commercial form is contained in Article 9 paragraph (3). The forms of criminal prosecution are regulated in Article 113.
Keywords: Photography, Criminal Law, Copyright
Hak Kekayaan Intelektual merupakan wujud akibat daripada karya cipta individu yang memiliki nilai ekonomi.1 Hasil intelek dibentuk melalui ciptaan dan mempunyai jumlah kuantitatif yang ekonomis. Melalui aspek historis, bentuk seni potret melalui lukisan dan seni patung sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala. Apa yang sudah dilakukan oleh bangsa Mesir kuno beberapa ribu tahun yang silam menunjukkan hal ini sebagaimana yang terdapat pada peninggalan kerajaan kuno oleh kaum ksatrya mereka.2 Hal tersebut membuktikan perlunya adanya perlindungan hukum.3 Supasti Dharmawan, Insan Budi Maulanan mengatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual termasuk kedalam hukum kebendaan yang tidak memiliki wujud, terdiri atas dua bagian yakni hak kekayaan intelektual yang berhubungan dengan kegiatan industri serta hak cipta.4
Hasil gambar dikatakan karya seni fotografi apabila tidak menampilkan cukup gambar saja, tapi berasaskan ide komunikasi visual dalam karya. Adanya nilai seni dalam foto bergantung akan element yang ada di dalamnya. Diantaranya meliputi: Ide, Teknik dan Pesan.5 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fotografi memiliki nilai seni tersendiri yang membuatnya menjadi objek hak cipta.
Pasal 1 point 1 UU No. 28 Th. 2014 tentang Hak Cipta, menetapkan “Hak Cipta merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif apabila suatu ciptaan sudah diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Menurut hal tersebut, hasil karya fotografi memasuki golongan obyek daripada hak cipta tersebut. Fotografi merupakan proses dalam mendapatkan ilustrasi melalui teknik merekam atau menggambar refleksi dari pantulan sinar dapat mencangkup element itu dalam suatu element penangkap. Kegiatan ini dapat dilakukan siapa saja, yang menjadikan apa saja dapat menjadi objek dari fotografi. Karya fotografi pada awalnya masih memakai media film namun sejalan dengan majunya teknologi, karya fotografi tidak lagi mempergunakan media film untuk merekam atau menangkap pantulan cahaya pada obyek melainkan pada saat ini sudah berbentuk suatu file digital yang dapat mempermudahkan setiap orang untuk mencetak atau mengcopy hasil dari foto tersebut. Dari file digital itu, dapat mempermudah orang lain untuk dimanfaatkan demi berbagai kepentingannya sendiri dengan mengesampingkan pemilik hak cipta maupun tanpa sepengetahuan pemiliknya dengan cara
menggandakan atau mengambil karya fotografi tersebut. 6 Masalah seperti ini dapat menimbulkan terdapatnya jenis-jenis permasalahan hukum terkait Hak Cipta.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini akan lebih menekankan mengenai pidana bagi pelaksanaan, yangmana dapat dibedakan dari penelitian sebelum-sebelumnya yang menggunakan penyelesaian secara perdata, dimana dalam hal ini KUHP turut andil di dalam melakukan penelitian. Selain itu, penelitian ini telah menggunakan sistem yang lebih rinci mengenai jurnal-jurnal terbaru. Hal ini disanggahi dengan adanya bentuk undang-undang yang terlampir meliputi adanya UUHC terbaru, yakni UU No. 28 Tahun 2014, yang kemudian di bandingkan dengan sumber hukum lainnya seperti UU No. 36 Tahun 1999 Telekomunikasi yang juga mencangkup mengenai hak-hak objek dalam hak pakai individu sebagai bentuk ekspos manusia dalam karyacipta fotografi. Hal ini membedakan dengan penelitian sebelumnya yang semata mengenai hak cipta hasil karya jepret, melainkan juga meliputi hal-hal yang terkandung dalam element fotografi tersebut. Secara umum, hal ini dapat menjadi ciri khas penelitian serta adanya unsur empiris di dalam hal ini dimana penelitian menggunakan Judicial Case Study serta Live Case Study dengan menggunakan teknik analisa Kualitatif yang menggambarkan langsung penelitian di lapangan fotografi. Dimana dalam hal ini, penulis melakukan seminar-seminar website atau webinar fotografi dan mempelajari itikad-itikad baik dalam fotografi. Selain itu, tujuan dari penulisan ini juga bertujuan untuk membangun dan merevisi UUHC khususnya dalam hal fotografi sehingga mampu untuk membangun dan memberi sanggahan hukum di dalam perkembangan hukum Indonesia, sehingga peranannya sangatlah penting untuk dapat membangun hukum di Indonesia melalui lingkup kecil terlebih dahulu.
Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis menarik dua permasalahan, yaitu:
-
a. Bagaimana permasalahan yang timbul yang menyebabkan adanya perlindungan hukum atas fotografi?
-
b. Bagaimana sistem pemidanaan atas jenis pelanggaran hak cipta fotografi tersebut dilaksanakan?
Menurut hasil uraian masalah seperti yang telah disebutkan diatas, tujuan dilaksanakannya penulisan ini guna menganalisa pengaturan hukum atas karya fotografi yang diunggah demi kepentingan komersial tanpa izin pencipta serta pemidanaan sebagai akibat dari jenis pelanggaran tersebut.
Pada penulisan ini digunakan metode penelitian hukum normative-empiris merupakan pendekatan melalui pengumpulan sebelum menganalisa karya tulisan yang sudah didapatkan melalui sumber hukum primer serta sekunder. Artinya, penelitian menggunakan pendekatan Judicial Case Study serta Live Case Study dengan
menggunakan teknik analisa Kualitatif, yangmana membahas hasil penelitian penulis website atau webinar fotografi dan mempelajari itikad-itikad baik dalam fotografi.
Hal ini dengan disertai pengalaman langsung oleh penulis yang telah terjun dua tahun di dunia fotografi. Jenis pendekatan memakai pendekatan peraturan perundang-undangan melalui UU No. 28 Th. 2014. Akan tetapi, ditemukan adanya kejanggalan pada Pasal 14 dimana tidak diharuskan mengenai perizinan dalam melakukan pendistribusian. Dalam pasal tersebut, ditemukan telah bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi khususnya pada Pasal 28I dan 40. Selain itu, ditemukan kekosongan norma pada Pasal 25, serta kekaburan yang terjadi akibat kekosongan dan konflik norma tersebut.
Pengaturan yang berlaku bagi perlindungan hak cipta di Indonesia saat ini adalah UU No. 28 Th. 2014 yang selanjutnya disebut UUHC 2014.7 Karya fotografi termasuk dalam jenis Hak Kekayaan Intelektual terdapat dalam Pasal 40 (1) point k UUHC 2014. Yang dimaksud “karya fotografi” dalam Pasal 40 ayat (1) huruf k tersebut mencakup semua foto yang didapatkan atau diciptakan melalui kamera. Disana menentukan bahwa “Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang Ilmu pengetahuan, seni, dan sastra”, terdiri atas:8
-
a. Jenis aliran karya tulis;
-
b. Naskah atau teks bacaan;
-
c. Bahan peraga pendidikan;
-
d. Seni musik atau suara;
-
e. Seni pementasan;
-
f. Seni rupa;
-
g. Seni terapan;
-
h. Arsitektur;
-
i. Penunjuk lokasi atau peta;
-
j. Seni batik atau motif lainnya;
-
k. Seni fotografi;
-
l. Seni potret;
-
m. Sinematografi;
-
n. Karya hasil transformasi;
-
o. Karya adaptasi;
-
p. Seni kompilasi data;
-
q. Seni kompilasi budaya tradisional;
-
r. Video game; dan
-
s. Software komputer.
Hal mengenai fotografi dilindungi dalam UUHC 1987 sudah mengatur fotografi sebagai karya turunan. Perlindungan atas fotografi dapat dibilang tidak harus mendaftar dulu, sebab setelah karya tersebut dibuat dan dipertunjukan kepada publik
maka otomatis memperoleh perlindungan Hak Cipta. Pendaftaran dilaksanakan guna mengantisipasi kecurangan apabila nantinya timbul perselisihan ha katas karya tersebut.9
Seekor kera mencuri kamera David Slater dan dipakai untuk melakukan foto narsis. Kemudian jepretan tersebut dipajang di situs Wikipedia. Hal ini mendorong Slater untuk melakukan tuntutan. Disisilain, Wikipedia bersikeras kera tidak memiliki hak cipta.
Kasus ini bermula pada 2014, ketika Slater meminta Wikipedia menghapus foto monyet bernama "Naruto" itu dari lamannya. Menurut Slater, Wikipedia belum meminta izinnya untuk menggunakan foto tersebut dalam situs ensiklopedia online tersebut. Akan tetapi, Wikipedia tidak mengindahkannya. Menurut mereka, foto tersebut bukan hasil jepretan Slater, tetapi karya monyet itu sendiri, Naruto. Menurut UUHC Amerika Serikat, selain hasil karya manusia, karya cipta bukanlah hasil karya yang memiliki hak cipta.
Memang foto tersebut diambil menggunakan kamera Slater, tetapi Naruto lah yang memencet untuk memotret. Ringkasnya, Naruto menggunakan kamera Slater untuk melakukan apa yang sekarang kita kenal sebagai "selfie". Belakangan kasus itu diramaikan oleh kelompok pembela hak-hak binatang PETA. Mereka menggugat Slater "Karena Naruto yang mengambil foto itu, maka ia menjadi pemilik sah dari foto tersebut," bunyi pernyataan resmi PETA dalam gugatannya. Sementara Slater mengklaim bahwa foto itu adalah miliknya. Slater mengatakan bahwa ia sudah memasang kamera pada tripod sebelum Naruto datang, melarikan kamera itu, dan kemudian memotret wajahnya sendiri.
Slater berhasil dalam memenangkan klaim atas foto tersebut, yang mana diambil di Sulawesi pada tahun 2011. Sebagai kompensasi, Slater akan menyumbangkan 25 persen dari pendapatan dari foto itu untuk menjaga habitat dari monyet dalam foto tersebut dan membantu monyet makau lainnya di Indonesia.
Selain itu, adapula kasus-kasus lain terkait hak cipta fotografi. Seperti contoh, foto milik fotografer bernama Hengki yang mengilustrasikan pengendara sepeda motor warna hitam putih di tengah hutan berkabut. Hengki telah mempublikasikan karyanya tersebut di beberapa situs. Kemudian 'Bogdhan' menyunting horizontal kemudian memperlombakannya.
Hengki meperoleh kabar pencurian dari rekannya sebulan sebelumnya, lalu menghubungi Samsung sebelum hadiah diantar ke pemenang. Informasi ini kemudian meluas. Instagram ‘Bogdhan’ kemudian di datangi cacian.
Samsung lalu menginformasikan Hengki: "Terima kasih karena menyiagakan kami dalam masalah ini. Kami mengganggap pelanggaran hak cipta merupakan hal yang sangat serius dan sangat disayangkan ini kasus telah terjadi.”
Samsung lalu mendiskualifikasi ‘Bogdhan’, dan hadiahnya tidak dikirim kepada ‘Bogdhan’. Kasus pelanggaran hak cipta semacam ini makin kerap terjadi. Dan hal ini hendaknya disadari bersama oleh para seniman, baik fotografi maupun bukan, amatir maupun professional Indonesia.
Berdasarkan kasus diatas, sumber hukum hak cipta kian hari semakin dilindungi dalam penerapannya, dimana fotografi salah satunya. Sedangkan hak ekonomi dalam UUHC 2014 baru menjelaskan perlindungan atas Hak Ekonomi
sebagaimana terdapat di dalam Pasal 8-17 UUHC 2014. Pada UUHC 2014, pengertian hak ekonomi hanya di atur dalam penjelasan UUHC 2014. Adapun hak ekonomi dalam UUHC 2014 “hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta demi memperoleh manfaat ekonomi dari suatu karya cipta”. Hak ekonomi meliputi:
-
a. Menerbitkan ciptaan;
-
b. Menggandakan ciptaan dalam berbagai bentuknya;
-
c. Menerjemahkan ciptaan;
-
d. Mengadaptasi, mengaransemen/mentransformasi ciptaan;
-
e. Mendistribusikan karyacipta;
-
f. Menunjukkan karyacipta;
-
g. Mengumumkan karyacipta;
-
h. Mengkomunikasikan karyacipta; dan
-
i. Menyewakan karyacipta;
Bilamana pihak lain memakai hak ekonomi pencipta/pemegang sebagaimana terdapat 9 ayat (1) UUHC 2014, harus mendapatkan perizinan oleh pemilik ciptaan. Izin yang pencipta atau pemilik ciptaan berikan kepada pihak lain dalam menggandakan atau mengumumkan serta memiliki persyaratan tertentu dinamakan lisensi.10
Larangan dalam memperbanyak atau menggunakan suatu karya cipta termasuk karya fotografi demi kepentingan tanpa seizin yang berwenang juga sudah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UUHC 2014. Dalam hal karya cipta digunakan untuk kepentingan komersial maka harus mendapatkan izin. Meski telah terdapat peraturan yang sudah dengan jelas mengatur bahwa hak ekonomi yaitu suatu hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta, masih saja terdapat pihak lain yang menggunakannya tanpa izin.
Berdasarkan Pasal 58, Hak Cipta berjalan seumurn hidup ditambah 70 tahun anumerta, dimulai 1 Januari tahun berikutnya. Dalam kasus pencipta ganda, perlindungan dimulai setelah pencipta wafat terakhir 70 tahun anumerta, dimulai 1 Januari tahun berikutnya. Oleh badan hukum, berlaku selama 50 tahun sejak hari diumumkan.11
Namun, menurut Pasal 59 UUHC 2014, menjelaskan bahwa “jangka waktu perlindungan dari karya fotografi yakni 50 tahun dari pertama kalinya diumumkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta”. Pengumuman itu dengan cara seperti membacakan, menyiarkan, memamerkan atau dengan cara apapun karya secara elektronik maupun tidak yang kemudian akan bisa dibaca, didengar, maupun dilihat oleh pihak lain. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dengan mengunggah karya fotografi demi kepentingan komersial ke media sosial seperti Instagram, Facebook, dan sebagainya merupakan pelanggaran Hak Cipta karena melakukan pengumuman tersebut diluar izin pemegang hak atas karyacipta bisa dilihat oleh pihak lain. 12 Jika
seseorang mengetahui adanya suatu pelanggaran Hak Cipta dari sistem elektronik demi kepentingan komersial, maka dapat melaporkan hal tersebut kepada Menteri seperti yang sudah diatur dalam Pasal 55 UUHC 2014. Dalam konteks ini, Menteri adalah MENKUMHAM. Dalam hal ini, MENKUMHAM melaporkan melalui Direktorat Jenderal HKI. 13 Sehingga, dapat disimpulkan hal ini membuktikan bahwa fotografi memiliki hak cipta khusus.
Secara umum, awal dari berlakunya hak cipta dijelaskan pada Pasal 28, yang mana menjelaskan merupakan hak yang muncul sendirinya sesuai prinsip deklaratif setelah terwujud dalam bentuk nyata tanpa adanya pengurangan akan pembatasan sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan.14
Meski demikian, pada Pasal 14 tidak diharuskan mengenai perizinan dalam melakukan pendistribusian sebagaimana berbunyi “Untuk kepentingan keamanan, kepentingan umum, dan/atau keperluan proses peradilan pidana, instansi yang berwenang dapat melakukan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi Potret tanpa harus mendapatkan persetujuan dari seorang atau beberapa orang yang ada dalam Potret.”, yangmana telah ditemukan telah bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi khususnya pada Pasal 28I dan 40. UU 36/1999 memang lebih tepatnya memakai “hak pribadi” sebagai bentuk hak privasi. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 berbunyi “…pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”. Lebih jelasnya, pada Pasal 28I juga dijelaskan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Yangmana dalam hal ini bertentangan dengan pasal undang-undang terkait.
Selain itu, pada Pasal 25 Ayat (3) UUHC, dijelaskan “Setiap Orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.”, yangmana hal ini membuat konflik tersebut semakin bertentangan. Hal ini, seperti yang telah disebutkan, dapat dijatuhkan pidana. Namun, lebih jelasnya masih ada kekosongan pada pasal ini yang membuat pengaturannya masih dapat dipertimbangkan. Hal ini tentunya akan membawa kekaburan hukum mengenai bagaimana pengaturan mengenai hak individu dalam sebuah karya cipta. Hal ini juga dihubungkan dengan pengalaman penulis dalam melakukan webinar Focus Nusantara membangun pola piker unwritten law untuk tidak melakukan eksploitasi tanpa seizin objek atau tokoh latar. Hal ini tentunya mengarah ke posisi mereka sebagai individu yang berhak atas privasi untuk tidak di publikasikan tanpa seizin mereka. Tentunya dalam hal perkembangan hukum, hal ini sepatutnya di cegah untuk terjadi sehigga tidak terdapat konflik antar hukum satu dengan hukum lainnya dan ini juga mengarah ke UUD 1945 yang juga mengatur hak asasi manusia.
Khusus di Indonesia, tradisi potret telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit ketika sang raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang perkasa Gajah Mada memerintah. Konon pada waktu itu ada utusan dari kerajaan Champa yang menawarkan salah seorang putrinya agar dipermaisurikan oleh Hayam Wuruk dengan harapan agar negaranya tidak diserang oleh Majapahit.
Utusan tersebut membawa potret diri sang putri Champa tersebut dalam lukisan di atas kain sutra. Hal ini tertuliskan pada karya kakawin Empu Tantular. Demikian juga dalam sejarah seni rupa Indonesia juga telah dikenal beberapa tokoh pelukis potret pada zamannya, Raden Saleh, Basuki Abdulah, Affandhi, dll. Dan tokohtokoh pematung potret, Adhy Soenarso, Trubus dan lain-lain seni rupawan yang juga pernah melukis dan membuat patung potret. 15
Dalam perjalanan waktu, fotografi terus berjalan. Perkembangannya diawali fotografi dokumentasi peperangan dalam perang dunia pertama. Jimmy Hare, dari Inggris menangkap gambar perang Spanyol-Amerika hingga akhir Perang Dunia I dengan dua kamera yang ditenteng menyerupai tas jinjing dengan berbungkus kulit pada tahun 1890-an. Gambar-gambar tersebut di llustrated American dan mingguan Collier’s Weekly menaruh asas-asas kerja jurnalis foto.
Kemudian berkembanglah aliran fotografi jurnalistik. Hanapi menyimpulkan, fotografi aliran ini merupakan kegiatan fotografi merekam jurnal peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kegiatan manusia.16
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak karya cipta yang bermunculan. Dalam perjalannya, hak cipta kerap terjadi pelanggaran. Timbulnya jenis-jenis pembajakan membuktikan ciptaan individu sering diambil alih secara tidak sah.
Selain fotografi, ada banyak lagi pelanggaran hak cipta atas hasil karya. Terkait fenomena yang telah disebutkan, pemerintah telah mengupayakan banyak hal termasuk menciptakan UU No. 19 Tahun 2002, dimana sumber hukum ini berlaku semenjak 29 Juli 2003 silam. Undang-undang ini telah melingkupi hukum dan sanksinya yang cukup mengerikan, seperti contoh Pasal 72 Ayat (2). Akan tetapi, masih saja terjadi pelanggaran atas hak cipta atas karya seni atau ciptaan.
Kebijakan dalam hal perlindungan HKI di Indonesia belum dapat terjamin dengan baik. Faktor pemengaruh HKI berlawanan dengan budaya lokal. HKI bercirikan melakukan perlindungan hak milik pemilik HKI terhadap penggunaan komersial sewenang-wenang. Secara umum masyarakat Indonesia cenderung ketimur-timuran. Hal ini memfaktori kurangnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting HKI terhadap perlindungan karya-karyanya.17
Di Glodok misalnya, pembajakan hak cipta kerap melampaui benak. Transaksi rekaman jarahan hingga genap 24 jam/hari. Rekaman-rekaman tersebut sudah banyak diedarkan di Indonesia. Segala jenis rekaman, baik lokal maupun mancanegara tersedia lengkap.18
Demikian banyak jenis karya yang telah terpalsukan, jelasnya sudah dan akan lebih merugikan pihak-pihak khususnya pencipta, perusahaan dan negara, khususnya dalam fotografi. Dengan kata lain, merampas hak cipta menggunakan cara paksa yang tidak sah. Apabila tidak terjadi pembajakan maka royalty akan jauh lebih banyak jatuh ke tangan sang pembuat karya. Ketika terjadi pembajakan, royalty yang menjadi hak-hak pencipta tidak di dapatkan oleh pencipta. Sehingga saat seseorang melakukan karya cipta terdapat didapatnya honor atau hak yang ekonomis dalam pembuatan. Selain hal tersebut, sang pencipta juga akan mendapatkan kepuasan batin dalam melakukan karya cipta. Hal inilah yang mendorong kebutuhan perlindungan hukum, dimana dinilai dari segi usaha akan memiliki arti penting.
Di dalam upaya menerapkan HKI di Indonesia cenderung menyisakan bentuk permasalahan krusial. Ini dikarenakan karakter HKI yang masih berlawanan dengan prinsip budaya lokal. HKI memiliki sumber hukum barat bercirikan mentamengi hak terlindungnya HKI penggunaan komersial secara sewenang-wenang. Dimana rakyat Indonesia kerap menggenggam nilai-nilai kebersamaan. Beberapa masyarakat Indonesia masih mencengkram “ilmu yang dibagi akan lebih bermanfaat untuk orang lain dan menjadi kebanggaan tersendiri jika ilmu pengetahuan yang dimilikinya banyak yang meniru”. Hal ini membuat masyarakat kurang sadar akan pentingnya HKI dalam karyakaryanya. Bahkan, dasar-dasar hukum mengenai hak cipta sendiri telah tertuang dalam KUHP yang di bungkus dalam Pasal 362 yangmana menjelaskan “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”, hal ini tentunya ditujukan dalam memberikan efek jera pada pelanggaran hak cipta, khususnya fotografi.
Selain itu, KUHP juga mengatur pidana-pidana mengenai pencurian pada Buku Kedua Bab XXII yang menjelaskan mengenai Pencurian dan diatur dalam Pasal 362 hingga 367. Hal ini jelas bahwa pembajakan telah diatur sama dengan pencurian karena pembajakan sendiri adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi dimana dalam hal ini pembajakan adalah salah satu bentuk pencurian yang dilakukan atas hak cipta.
Dalam hukum pidana, pembajak dapat dipidana dalam kurungan maksimal. Bentuk perlindungan ini telah memfaktori adanya kapitalisme dan ekonomi pasar bebas. Disini kekayaan terletak pada 3 hal: mayoritas percaya akan adanya intangible things; kekayaan tersebut merupakan kekayaan riil; dan kekayaan-kekayaan intelek seperti HKI. Konsep inilah yang dicoba dipergunakan sebagai dasar pemikiran dalam perlindungan hak kekayaan intelektual.
Akan tetapi, penerapan hukum ini belum terlihat dapat melindungi. Hal tersebut menjadikan dasar hukum kerap diabaikan oleh pihak penegakkan. Walaupun dalam hal ini justru hukum bertumpu pada UndangUndang. Darisanalah menjelaskan dalam penegakan perlu dukungan penegak hukum. Terkhusus pada bentuk pembajakan, hukum pidana dalam hal ini menjadi element penting bagi hukum.19
Menurut UUHC No 28 2014, Hak Cipta merupakan jenis hak yang bersifat eksklusif yang dimiliki oleh pihak yang menciptakan dan langsung terwujudkan sesuai dengan prinsip deklaratif apabila jenis karya terwujud nyata dengan tidak
mengurangi limitasi berdasarkan ketentuan-ketentuan UU. Di Indonesia terjadi banyak perombakan.
Pemidanaan atas hasil karya ditentukan pada Pasal 113, 116 dan 118 UUHC 2014 sesuai Pasal 8., dijelaskan “Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.”, yang mana diperluas oleh Pasal 9, lingkupnya meliputi: Terbitan; Reduplikasi,; Terjemahan; Adaptasi, aransemen, atau transformasi; Distribusi; Pementasan; Pernyataan; Informasi komunikasi; dan Sewa menyewa.
Kemudian pada bagian tersebut pula dijelaskan bahwa yang memiliki izin adalah satu-satunya yang berhak atas penggunaan selain pencipta. Lebih lengkap, pada Pasal 52 menjelaskan “Setiap Orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan sebagai pelindung Ciptaan atau produk Hak Terkait serta pengaman Hak Cipta atau Hak Terkait, kecuali untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau diperjanjikan lain.”
Ketentuan pidana pada Pasal 113 Ayat 1, dijelaskan bahwa “Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).”, kemudian di dalam Pasal 2-4, juga dijelaskan bilamana ketentuannya mengarah pada huruf c, d, f dan/atau h mendapatkan pidana selama tiga tahun ataupun sanksi berupa pembayaran sebesar Rp 500,000,000, mengarah pada huruf a, b e dan/atau g dapat dipidana 4 tahun ataupun sanksi berupa pembayaran sebesar Rp 1,000,000,000, serta pada ayat 3 mendapat ketentuan pelangaran Rp 4,000,000,000.
Lain halnya dengan Pasal 116, yang mana juga menjelaskan bahwa dalam penerapannya meliputi:
1.Seluruh pihak yang tidak memiliki hak melanggar hak ekonomi sesuai yang tercantum pada Pasal 23/2/e teruntuk Penggunaan Secara Komersial dapat memperoleh hukuman pidana selama 1 tahun serta/sekaligus sanksi materi Rp 100,000,000
2.Seluruh pihak yang tidak memiliki hak melanggar hak ekonomi sesuai yang tercantum pada Pasal 23/2/a, b dan/atau f teruntuk Penggunaan Secara Komersial dapat memperoleh hukuman pidana selama 3 tahun serta/sekaligus sanksi materi Rp 500,000,000
3.Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 4.Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Selain itu, dalam Pasal 118 juga menjelaskan ha katas penyiaran ulang hak cipta diatur dalam Pasal 25 memiliki ketentuan pidana seluruh pihak yang secara sewenang-wenang sesuai denga isi Pasal 25 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial, dapat dijatuhkan pidana selama 4 tahun serta/sekaligus paling banyak Rp1,000,000,000.
Semua unsur dengan maksud Pembajakan dipidana dengan pidana 10 tahun serta/sekaligus denda paling banyak Rp4,000,000,000 sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d.
Dalam hal fotografi, dilindungi oleh Pasal 12, yangmana dalam hal ini meliputi: Seluruh pihak tidak diizinkan dalam melakukan Pemakaian Secara Komersial, Reduplikasi, Pemberitahuan, Pembagian serta/sekaligus Komunikasi yang dibuatnya untuk urusan pengiklanan secara komersial di luar izin pemilik hak cipta atas Potret. Pemakaian Secara Komersial, Reduplikasi, Pemberitahuan, Pembagian serta/sekaligus Komunikasi Potret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat Potret 2 orang / lebih, harus dengan seizin pemegang hak cipta.
Ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 115 mempertegas hal tersebut “Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik dalam media elektonik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa pemidanaan fotografi tidak hanya dalam lingkup komersial saja, tetapi juga meliputi hak bagi objek foto. Dalam hal ini, bisa saja “objek” foto tersebut melakukan penuntutan. Akan tetapi, melalui persetujuan Bersama, hal ini dapat diantisipasi. Demikian pula dengan izin dalam komersialisasi, semua dapat berjalan melalui kesepakatan bersama.
Meski demikian, yangmana telah ditemukan telah bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi khususnya pada Pasal 28I dan 40. UU 36/1999 memang lebih tepatnya memakai “hak pribadi” sebagai bentuk hak privasi. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 berbunyi “…pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”. Lebih jelasnya, pada Pasal 28I juga dijelaskan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Yangmana dalam hal ini bertentangan dengan pasal undang-undang terkait.
Selain itu, pada Pasal 25 Ayat (3) UUHC, dijelaskan “Setiap Orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.” Masih menimbulkan kekaburan akibat kekosongan dan konflik dalam penerapan hukum, yangmana hal ini menyebabkan pemidaan masih terbilang kabur.
Dikaitkan dengan pengalaman penulis dalam melakukan webinar Focus Nusantara membangun pola pikir unwritten law untuk tidak melakukan eksploitasi tanpa seizin objek atau tokoh latar. Hal ini tentunya mengarah ke posisi mereka sebagai individu yang berhak atas privasi untuk tidak di publikasikan tanpa seizin mereka. Tentunya dalam hal perkembangan hukum, hal ini sepatutnya di cegah untuk terjadi sehigga tidak terdapat konflik antar hukum satu dengan hukum lainnya dan ini juga mengarah ke UUD 1945 yang juga mengatur hak asasi manusia.
Hal ini tentunya sangatlah harus untuk dapat membangun system pemidanaan hukum di Indonesia itu sendiri, karena hukum yang baik hendaknya tidak menimbulkan adanya konflik antara satu hukum dengan hukum lainnya.
Sehingga, diharapkan adanya revisi hukum untuk mencegah kekurangan penegakkan hukum dalam melakukan system pemidanaan atas hak cipta.
4. Kesimpulan
Hukum atas Hak Cipta Fotografi dan Hak Cipta lainnya diatur dalam sumber hukum yang sama, yaitu UU Nomor 28 Th 2014, yang menggantikan UU No. 19 Tahun 2002. Hak Cipta yang dicantumkan UUHC 2014 merupakan hak eksklusif bagi pencipta yang muncul langsung sesuai dengan prinsip deklaratif sesudah karyacipta direalisasikan tanpa mengurangi bentuk pembatasan sebagaimana dengan ketentuan yang tercantum di dalam perundang-undangan. Indonesia sudah mendapat banyak pembaharuan dalam UUHC. Sejak UU Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 7 th 1987 tentang Perubahan UUHC No. 6 th 1982, UUHC Nomor 12 tahun 1987 tentang Perubahan UUHC Nomor 6 tahun 1982 sebagaimana digantikan UUHC Nomor 7 tahun 1987 tentang Perubahan UUHC 6 tahun 1982, kemudian dicabut dan diubah dengan UUHC Nomor 19 tahun 1982, dan yang paling akhir UUHC Nomor 28 tahun 2014.c Ketentuan sanksi pidana pelanggaran hak cipta, khususnya dalam hal fotografi, namun tidak membatasi hak cipta lain, ditentukan pada Pasal 112-120, dimana model atau objek dalam fotografi secara spesifik tercantum dalam Pasal 113, dimana dalam hal ini sanksi dapat berupa proses pidana maupun denda ganti rugi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dharmawan, N.K.S, dkk. Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual, Budi Utama, Sleman. 2016
Dharmawan, N.K.S., dkk, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Cet.2, Deepublish, Yogyakarta. 2017
Sutedi, Adrian, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta, Sinar Grafika, 2013
Utomo, Tomi Suryo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Globalisasi, Sebuah Kajian Kontemporer,Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010
Jurnal Ilmiah
Aji, H. F. R., & Rosando, A. F. “Perlindungan Hukum Terhadap Hasil Foto Pribadi Yang Digunakan Orang Lain Di Instagram”. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, No. 1 (2019), 72 doi.org/10.30996/jhbbc.v2i1.2314
Anjani, N.L. dan Susilowati, Etty “Perlindungan Karya Seni Fotografi Berdasarkan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta”. Jurnal Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 8 No. 2 (2013), 6
doi.org/10.14710/lr.v8i2.12428
Harsanto, Prayanto Widyo, “Fotografi Dalam Desain Komunikasi Visual (DKV)”. Imaji, Jurnal Seni dan Pendidikan Seni. Fakultas Seni Rupa Institut Seni Yogyakarta 15 No. 2 (2017), 3-4 doi.org/10.21831/imaji.v15i2.18298
Johani, S.A.N, I Wayan Wiryawan, I Nyoman Mudana “Pelaksanaan Perlindungan Hak Cipta Dari Patung Akar Bambu Di Desa Tembuku Kabupaten Bangli”
Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, [S.l.], v. 7, n. 8, p. 1-14, july 2019. ISSN 2303-0569
Kusuma, I.G.A. Larassati dan I Wayan Wiryawan. “Akibat Hukum Atas Karya Fotografi Yang Dikomersialisasikan Tanpa Izin Di Media Sosial”, Kertha Semaya; Journal Ilmu Hukum, 7 No. 4 (2019), 9. ISSN 2303-0569.
Muis, Lidya Shery dkk. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Fesyen Terhadap Ekonomi Kreatif Dalam Masyarakat Ekonomi Asean”, Jurnal Perspektif 22 No. 2 (2017), dx.doi.org/10.30742/perspektif.v22i2.618
Nurdahniar, Indah “Analisis Penerapan Prinsip Perlindungan Langsung Dalam Penyelenggaraan Pencatatan Ciptaan”, Veritas Et Justisia Universitas Katolik Parahyangan 2 No. 1 (2016), 2 doi.org/10.25123/vej.2073
Priscillia, L. M. P., & Subawa, I. M. (2018). “Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film Tanpa Izin Pencipta atau pemegang hak cipta Di Media Sosial”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6 (4), 10
Rongiyanti, Sulasi, “Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Pada Produk Ekonomi Kreatif”, Jurnal DPR RI 9 No. 1 (2018), doi.org/10.22212/jnh.v9i1.1001
Wardana, Raden Daniel Wisnu, “Disaat Fotografi Jurnalistik Bukan Sekedar Pemberitaan”. Jurnal Magenta, STMK Trisakti 1 No. 1 (2017)
Wibowo, Arif Ardy, “Fotografi Tak Lagi Sekadar Alat Dokumentasi”, Jurnal Universitas Negeri Semarang 9 No. 2 (2015), 139-141
doi.org/10.15294/imajinasi.v9i2.8847
Wulandari, “Fotografi Potret, Sebagai Media Visual Pencitraan Diri”. Jurnal Desain, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta No. 3 (2014): 2-216
dx.doi.org/10.30998/jurnaldesain.v1i03.565
Yanto, Oksidelfia, “Konsep Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual”. Yustisia; Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret 4 No. 3 (2015), doi.org/10.20961/yustisia.v4i3.8706
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599)
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.5 Tahun 2021, hlm.374-386
Discussion and feedback