EKSISTENSI PENJATUHAN PIDANA MATI

TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Ida Bagus Dwi Cahyadi Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i07.p01

ABSTRAK

Tujuan penelitian ilmiah ini adalah untuk mengetahui bagaimana formulasi hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia dan kaitannya dengan eksistensi penerapan pidana mati dalam kasus korupsi di Indonesia. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan perbandingan. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat konfil norma antara Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Eksistensi penerapan hukum Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor di Indonesia terbilang nihil. Belum pernah ada putusan pengadilan yang menjatuhi pidana mati dalam perkara korupsi. Kesulitan adalah untuk menjerat pelaku dengan pasal 2 ayat (2) dengan syarat keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor. Namun terdapat contoh yang sebenarnya dapat dijerat dengan hukuman mati karena disangka melakukan korupsi pada saat bencana alam nasional, akan tetapi penegak hukum tidak menggunakan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor untuk menjerat pelaku.

Kata Kunci: Eksistensi, Pidana Mati, Korupsi.

ABSTRACT

The purpose of this scientific journal is to find out how the formulation of the death penalty in positive law in Indonesia and its relation to the existence of the application of the death penalty in corruption cases in Indonesia. This study uses a normative legal research method with a statutory and comparative approach. The results of the study show that there is a conflict of norms between Article 2 paragraph (2) of the Anti-Corruption Act which states that in the case of a criminal act of corruption as referred to in paragraph (1) is committed under certain circumstances, the death penalty can be imposed, whereas in Article 9 paragraph (1) of the Human Rights Law states that everyone has the right to live, to maintain life and to improve their standard of living. The existence of the application of the law of Article 2 paragraph (2) of the Corruption Act in Indonesia is fairly nil. There has never been a court decision that has sentenced him to death in a corruption case. The difficulty is to ensnare the perpetrator with article 2 paragraph (2) on the condition that certain circumstances as referred to in the Corruption Act. However, there are examples that can actually be charged with the death penalty for allegedly committing corruption during a national natural disaster, however law enforcers do not use the provisions of Article 2 paragraph (2) of the Corruption Act to prosecute the perpetrators.

Keywords: Existence, Death Penalty, Corruption.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, masalah korupsi telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Selama beberapa dasawarsa fenomena ini telah menjadi persoalan nasional yang amat sangat sukar ditanggulangi.1 Pandangan ini didasarkan pada banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Fenomena ini memperlihatkan kecenderungan sifat manusia yang semakin materialistis memunculkan tolak ukur sosial baru bahwa seseorang disebut sukses ketika individu tersebut memiliki kekayaan di kehidupannya. Pola pikir ini seakan menjadi tolak ukur keberhasilan suatu individu, menyebabkan individu tersebut akan memburu kekayaan tersebut tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.2 Berdasarkan hal tersebut setiap orang terdorong untuk dapat memanfaatkan semua kesempatan yang ia dapatkan untuk memperkaya diri.

Korupsi merupakan suatu tindak pidana, bahkan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Pidana atau dalam bahasa belandanya yakni straff memuat suatu pengertian tentang nestapa dan penderitaan. Hukum pidana ialah secara umum diartikan sebagai keseluruhan aturan-aturan atau kaidah yang menentukan hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dan bila dilanggar terdapat penestapaan yang dapat diajatuhkan kepada seseorang tersebut sebagai sanksinya. Dalam hal ini penestapaan diberikan agar hukum dapat mewujudkan suatu tertib hukum dalam masyarakat, disamping itu penjatuhan sanksi pidana diharapkan dapat memberikan detern effect (efek jera) terhadap pelaku agar tidak kembali melakukan suatu kejahatan.

Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, masyarakat selalu merasakan kekecewaan dan sakit hati karena sistem pemerintahan dianggap gagal mewujdkan pemerintahan yang bebas dari korupsi.3 Perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sementara pemberantasannya masih sangat rendah.4 Dilihat dari segi penegakan hukum, penanganan kasus korupsi di Indonesia masih menunjukkan suatu yang mengecewakan.5 Jabatan-jabatan strategis yang dimilikipun menjadi aksesibilitas seseorang untuk memperkaya diri dan golongannya.

Pidana mati merupakan salah satu sanksi hukum terberat yang dapat dijatuhkan penegak hukum kepada pelaku kejahatan. Berkaitan dengan penjatuhan sanksi pidana mati sendiri masih menuai berbagai reaksi dalam kalangan masyarakat nasional maupun Internasional. Terlepas dari berbagai pro dan kontra terkait pengaturan sanksi pidana mati dalam hukum positif Indonesia karena bersinggungan dengan hak asasi manusia, khususnya pada hak atas hidup yang dimiliki setiap orang.

Pada kenyataannya dalam hukum pidana Indonesia memberikan peluang ancaman pidana mati.

Salah satu kasus terbaru yang sangat erat kaitannya dengan pro kontra ancaman pidana mati adalah kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19 Kementerian Sosial yang menjerat Menteri Sosial Republik Indonesia yakni Juliari Peter Batubara. Kasus ini menarik perhatian publik serta pegiat anti korupsi karena ancaman yang disangkakan adalah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman maksimal atas pelanggaran Pasal itu adalah penjara seumur hidup.6

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU Tipikor) menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

UU Nomor 31 Tahun 1999 ini kemudian direvisi oleh UU nomor 20 tahun 2001. Lampiran penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2) pun berubah, namun masih dengan substansi yang sama. Dalam hal ini “keadaan tertentu” yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Dari urain tersebut telah menunjukkan bahwa sebenarnya ketika terjadi bencana alam nasional sebagaimana penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, ancaman pidana mati sangat mungkin diberikan. Berbagai pertanyaan kemudian muncul ditengah masyarakat dengan mempertanyakan keseriusan penegak hukum dalam mengadili kasus korupsi di Indonesia. Upaya penjeraan terhadap terpidana tindak pidana korupsi melalui pidana mati selalu menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.

Sebelumnya terdapat beberapa penelitian terkait topik penjatuhan pidana mati untuk kasus korupsi. Sebagai contoh pada penelitian yang berjudul Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Death Penalty To Corruptors In A Certain Condition) yang menyimpulkan bahwa Indonesia masih mengakui hukuman mati serta setuju terhadap hukuman mati dalam kasus korupsi, narkotika dan pembunuhan berencana.7 Selain itu dalam penelitian yang berjudul Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Era Pandemic Global menyimpulkan bahwa hukuman mati sulit diterapkan karena

pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor bermakna fakultatif, bukan bermakna imperatif.8 Dalam penelitian ini kasus yang dijadikan contoh adalah kasus yang merupakan unsur dari Pasal 2 ayat (2) yakni kasus korupsi dana bantuan sosial dalam keadaan bencana alam yakni Covid-19, sehingga mampu melengkapi penelitian terdahulu dan menunjukkan bagaimana eksistensi Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1. Bagaimana konflik formulasi hukuman mati dalam perspektif hukum

positif Indonesia?

  • 2. Bagiamana eksistensi pidana mati terhadap terdakwa tindak pidana

korupsi ditinjau berdasarkan UU Tipikor ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana formulasi hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia dan kaitannya dengan eksistensi penerapan pidana mati dalam kasus korupsi di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Dengan mengacu pada judul dan rumusan masalah, penelitian ilmiah ini merupakan jenis penelitian normatif. Tehnik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Penelitian ini mengkaji tentang eksistensi pidana mati yang dapat dijatuhkan berdasarkan UU Tipikor yang ada kaitannya dengan UU HAM. Penelitian hukum ini dianalisa secara deskripsi dengan menguraikan peraturan perundang-undangan yang bertentangan satu sama lain.

Pendekatan yang diterapkan pada penelitian hukum ini ialah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), yang diteliti disini ialah aturan hukum yang merupakan fokus sekaligus tema utama penelitian9 dan pendekatan perundang-undangan perlu untuk melakukan pengkajian tingkat lanjut terkait landasan hukum dengan cara penelaahan undang-undang dan regulasi terkait. Sedangkan pendekatan perbandingan diperlukan untuk menunjukkan perbedaan pengaturan norma dalam peraturan perundang-undangan terkait.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    konflik formulasi hukuman mati dalam perspektif hukum positif Indonesia

Permasalahan korupsi yang pelik membuat munculnya berbagai pandangan bahwa korupsi merupakan suatu extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang

bersifat sistematis, masif dan terstruktur. Pemikiran ini didasarkan padapersoalan korupsitak terkendali dan telah menjalar padaberbagai cabang kekuasaan negara.10

Menelaah pengaturan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tentu tak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) yang menentukan pada pokoknya adanya suatu ancaman pidana bagi setiap orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum sehingga menimbulkan suatu kerugian pada keuangan negara. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) yang menentukan adanya keadaan tertentu sebagai syarat penjatuhan pidana mati merupakan suatu pemberatan pidana yang semata-mata bisa diberikan khusus pada pelaku yang sudah melangsungkan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1).11

Berdasarkan penafsiran autentik, keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor mengandung pengertian adanya pemberatan pidana apabila perbuatan korupsi tersebut dilakukan saat adanya bencana alam nasional, negara pada keadaan bahaya atau krisis moneter serta sebagai penanggulangan tindak pidana korupsi sesuai yang dijelaskan bab penjelasan UU Tipikor. Problematika hukum penerapan hukum Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor pada peradilan pidana Indonesia didasarkan kepada adanya suatu ambiguitas atau kekaburan makna dalam menentukan syarat dari dijatuhkannya pidana mati pada keadaan keadaan tertentu tersebut.

Hal pertama yang perlu ditelisik ialah bagaimana klasifikasi dari keadaan bahaya Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Kedua berkaitan dengan kriteria suatu bencana dapat dikatakan sebagai bencana alam nasional. Kendatipun pemaknaan terkait hal-hal tersebut telah jelas adanya namun syarat yang mesti dipenuhi untuk dapat dijatuhkannya pidana mati terhadap terdakwa tindak pidana korupsi terlampui sulit untuk dipenuhi sementara keinginan akan adanya suatu upaya luar biasa dalam melakukan penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.12 Kemudian bilamana dicermati lebih lanjut, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor sebenarnya memiliki sifat fakultatif yang berarti terhadap pelaku tersebut pidana mati bisa saja tidak dijatuhkan.13

Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:

  • a.    Pidana pokok:

  • 1. Pidana mati

  • 2.  Pidana penjara

  • 3. Pidana kurungan

  • 4. Pidana denda

  • b.    Pidana tambahan:

  • 1.    Pencabutan hak-hak yang tertentu

  • 2.    Perampasan barang-barang tertentu

  • 3.    Pengumuman keputusan hakim

Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.

Banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka.14

Pidana mati masih menjadi kontroversi di Indonesia karena terdapat tumpang tindih aturan satu dengan yang lainnya. Dalam hal korupsi adalah antara UU Tipikor dan UU Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut UU HAM). Secara umum hukum pidana tidak akan pernah menemukan titik temu jika pembahasannya dikaitkan dengan hak asasi manusia, karena keduanya bertolak belakang. Hak asasi manusia selalu menjadi tameng dalam penegakan hukuman mati.

Konflik formulasi norma dalam hal ini terlihat antara UU Tipikor dan UU HAM. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor Menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. UU HAM sejalan dengan konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia, yakni ketentuan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa bagian dari hak asasi masunia salah satunya adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Indonesia saat ini bisa dibilang sangat rancu dalam menentukan sikap politik hukum pidana mati. Dalam UU Tipikor dapat dipidana mati jika melakukan korupsi pada saat keadaan tertentu, sedangkan dalam UU HAM menjunjung tinggi hak untuk hidup setiap individu, padahal undang-undangnya lahir pada tahun yang sama, tapi kemudian sama-sama memberikan kerancuan dalam penegakan hukumnya. Penegak hukum maupun masyarakat akhirnya pro dan kontra satu sama lain. Kedepan hal ini harus disikapi oleh negara melalui pemangku kebijakan dan pembentuk peraturan-perundang-undangan agar memberikan kepastian hukum terhadap ancaman pidana mati yang dapat diberikan kepada pelaku korupsi.

  • 3.2    Eksistensi Pidana Mati Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dalam memberikan suatu putusan dalam sebuah perkara, hakim memiliki banyak pertimbangan yang mungkin tidak semua orang mengetahui dan pahami. Putusan yang dijatuhkan dalam sebuah perkara merupakan putusan yang dianggap seadil-adilnya dengan dasar hukum dan pandangan hakim, walaupun sering dianggap tidak adil oleh masyarakat, namun putusan tersebut wajib untuk dihormati

sebagaimana adagium hukum berbunyi seorang hakim mesti dianggap tahu akan hukumnya atau ius curia novit.

Putusan hakim memiliki pertimbangan hukum yang didasarkan pada berbagai fakta yang terungkap. Lebih lanjut hakim memiliki keyakinan hakim tanpa adanya intervensi baik itu internal ataupun eksternal agar putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (the truth and justice).15 Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa keberhasilan hakim dalam memutuskan perkara korupsi di pengadilan dipengaruhi dengan orientasi hakim dalam menjalankan hukum.16

Menelaah sifat hukum pidana itu sendiri, maka pidana mati adalah alat terakhir atau ultimum remedium namun bilamana ditelaah dalam perspektif sosiologis masyarakat, penjatuhan pidana mati merupakan suatu premium remedium (pilihan utama).17 Realitasnya terkait eksistensi penerapan hukum Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor belum pernah ada putusan pengadilan yang menjatuhi pidana mati dalam perkara korupsi, kendatipun sebenarnya pengaturannya sudah diatur sejak tahun 1999.18

Salah satu hal yang menyebabkan urung dijatuhkannya pidana mati dalam perkara korupsi ialah dikarenakan adanya pandangan hakim yang berbeda-beda dalam memutus perkara tersebut. Dalam beberapa pandangan hakim meyakini korupsi adalah kejahatan yang luar biasa sehingga dalam penanganannya pun perlu secara omprehensive extraordinary measures dengan penjatuhan pidana mati. Pandangan hakim lainnya menilai kejahatan korupsi bukan kejahatan luar biasa melainkan tindak pidana biasa sehingga penanganannya tidak perlu sampai menjatuhi hukuman pidana mati dan menimbulkan persoalan pada hak asasi manusia. Kemudian faktor lainnya yang menyebabkan penerapan ancaman pidana mati urung dijatuhkan dalam berbagai perkara kasus korupsi ialah karena syarat-syarat keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak terpenuhi.

Syarat keadaan tertentu yang dimaksud oleh UU Tipikor dalam contoh kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19 secara normatif sebenarnya sudah memenuhi syarat. Covid-19 merupakan bencana alam nasional yang juga merupakan pandemi secara global. Korupsi pada saat terjadi bencana alam nasional merupakan suatu pemberatan dalam UU Tipikor yang ancaman hukumannya adalah hukuman mati. Namun pada faktanya, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menuntut terdakwa dengan pasal tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai kemunduran penegakan hukum yang terjadi di Indonesia.

  • 4.    Kesimpulan

Konflik formulasi norma dalam hal ini adalah antara UU Tipikor dan UU HAM. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor Menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Eksistensi penerapan hukum Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor nihil. Belum pernah ada putusan pengadilan yang menjatuhi pidana mati dalam perkara korupsi, kendatipun sebenarnya pengaturannya sudah diatur sejak tahun 1999. Kesulitan adalah untuk menjerat pelaku dengan pasal 2 ayat (2) dengan syarat keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor. Namun sebagaimana contoh yang penulis tunjukkan dalam penelitian ilmiah ini, unsur keadaan tertentu dalam pasal 2 ayat (2) tersebut seharusnya bisa dikenakan kepada pelaku, namun kenyataannya pasal tersebut tidak ditegakkan oleh penegak hukum. Politik hukum tentang pidana mati di Indonesia harus jelas, antara masih akan menerapkan atau tidak. Sehingga kerancuan dalam pengaturan hukum mengenai pidana mati tidak lagi menjadi pro dan kontra dalam sisi penegakan hukum. Mengenai eksistensi ancaman pidana mati juga harus tegas dalam menegakkan hukum yang berlaku. Jika memang memenuhi unsur sebagaimana UU Tipikor seharusnya ancaman pidana mati bisa diberikan kepada pelaku korupsi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Syamsudin, A. Tindak Pidana Khusus, (Jakarta, Sinar Grafika, 2017)

Wiyono,R.Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,(Jakarta, Sinar Grafika, ed. II, cet. II, 2009)

Jurnal Ilmiah

Arief, Amelia. "Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana." Jurnal Kosmik Hukum 19, no. 1 (2019).

Ariesta Wiryawan, P., & Tjatrayasa, M. ”Analisis Hukum Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidananya.” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2016).

Bunga, Marten, Mustating Dg Maroa, Amelia Arief, and Hardianto Djanggih. "Urgensi Peran Serta Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi." Law Reform 15, no. 1 (2019).

Hendra, I. Wayan & Suardana, I.Wayan. “Pertanggungjawaban Pidana PartaiPolitik Sebagai Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.”Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum8, no. 4 (2019).

Rai Setiabudhi, I Ketut. “Vonis Sanksi Pidana Tambahan Oleh Hakim Berupa Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Oleh Terpidana Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Denpasar”, Jurnal Magister Hukum Udayana 6 No. 2 (2014)

Sina, La. "Dampak dan Upaya Pemberantasan Serta Pengawasan Korupsi di Indonesia." Jurnal Hukum Pro Justitia 26, no. 1 (2008).

Suherman, Herman. "Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019).

Syamsudin, M. "Rekonstruksi Pola Pikir Hakim Dalam Memutuskan Perkara Korupsi Berbasis Hukum Progresif." Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 1 (2011).

Syamsudin, Muhammad. "Korupsi Dalam Perspektif Budaya Hukum." Unisia 30, no. 64 (2007).

Latumaerissa, Denny. "Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Ancaman Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Sasi 20 (2014).

Pah, Gress Gustia Adrian, Echwan Iriyanto, and Laely Wulandari. "Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor: 2031 K/Pid. Sus/2011)." Lentera Hukum 1, no. 1 (2014).

Purba, Elizabeth. “Hukuman Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Beberapa Negara Yang Menerapkan Hukuman Mati (Indonesia, China, Dan Thailand).” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, (2018).

Toule, Elsa RM. "Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Hukum PRIORIS 3, no. 3 (2016).

Yanto, Oksidelfa. "Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu (Death Penalty to Corruptors in a Certain Condition)” (2017)

Yuhermansyah, Edi, and Zaziratul Fariza. "Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Kajian Teori Zawajir dan Jawabir)." LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam 6, no. 1 (2017).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Internet

CNN Indonesia, KPK Mulai Kaji Ancaman Hukuman Mati untuk Eks Mensos Juliari, 2021, URL:https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210318022529-12-618887/kpk-mulai-kaji-ancaman-hukuman-mati-untuk-eks-mensos-juliari, diakses pada 20 Mei 2021.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.7 Tahun 2021, hlm. 475-483