PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA

Oleh

I Gusti Ngurah Agung Brahmandya

A. A. Ngr. Wirasila I Gusti Ngurah Parwata

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

Prevention and control of violence in society is increasing. Including violence against women has historically been known, but the incident has not been placed as Legal Social Problem. If there is violence in the domestic sphere is always resolved with penal Code of Criminal Law. Examined from the perspective of the normative with the enactment of Law No. 23 Year 2004 on the elimination of violence in the home is an umbrella law for victims of domestic violence. There are several arguments why women as victims of domestic violence need legal protection (protection of human rights or) compensation (restitution, compensation, security / social welfare benefits).

Keywords: Penal, Domestic violence, compensation.

ABSTRAK

Upaya pencegahan dan penanggulangi kekerasan dalam masyarakat tampak semakin meningkat. Diantaranya kekerasan terhadap perempuan secara historis sudah dikenal, namun peristiwa tersebut belum ditempatkan sebagai Legal Social Problem. Jika terjadi tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga selalu diselesaikan secara penal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dikaji dari perspektif normatif dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan payung hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ada beberapa argumentasi mengapa perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga perlu perlindungan hukum (perlindungan HAM atau ) pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan social).

Kata Kunci : Penal, Kekerasan dalam rumah tangga, ganti rugi.

  • I.    PENDAHULUAN

Perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini yang sangat berkembang dengan cepat yang dipengaruhi banyak faktor, hal ini juga di ikuti oleh makin berkembangnya jenis-jenis kejahatan yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat. Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) misalnya pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP), perkosaan (Pasal 285 KUHP), Penganiayaan (pasal 351 KUHP). Namun yang menarik adalah kekerasan yang menimpa

perempuan (istri). terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Seringkali tindak kekerasan ini disebut hidden crime (Kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, Karena baik pelaku maupum korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Kadang juga disebut domestic violence (Kekerasan domestic), karena terjadinya kekerasan di 1 ranah domestic.

Kasus kekerasan domestik akhirnya menjadi kejahatan terselubung ( hidden crime ) dan di duga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan pidana, meskipun telah ada Undang-Undang sebagai landasan hukumnya.2 Ditambah lagi, sifat undang-undang ini adalah delik aduan ( Klacht delict ). Tujuan sifat delik ini adalah untuk melindungi “privacy”, agar tidak mudah menjadi “private trouble” menjadi “public trouble”.

UUPKDRT menentukan beberapa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 52, dan 53 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 karena sifatnya yang privat sehingga undang-undang ini sulit untuk diberlakukan secara optimal.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1.    METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dimana peneltian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder yaitu penelitian dengan pendekatan terhadap UUPKDRT itu sendiri baik dari sisi konsep, kebijakan, dan kajian perbandingan hukum. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus berorientasi pada nilai (value ariented approach).

  • 2.2.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1 . Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Konsep pemikiranya tentang relevansinya ketentuan perundang-undangan memberikan perlindungan korban tindak pidana . Barda Nawawi Arief mengemukakan :

Dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang).Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik

(rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemulihan keseimbanan batin (antara lain, denga pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial).3

Bertolak dari pemikran-pemikiran tersebut diatas, Mardjono Reksodiputro menyebutkan dari pendekatan kriminologi ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu mendapatkan perlindungan :

  • 1.    Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan (offender-contered).

  • 2.    Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran atas statistik kriminal (terutama statistik yang berasal dari kepolisian), ini dilakukan melalui survai tentang korban kejahatan (surveys)4.

Istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih merupakan terjemahan dari istilah Domestic Violence dan Domestic Abuse. Istilah kekerasan dalam rumah tangga. KDRT menurut Rifka Annisa menyebutkan bahwa :

“kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya yang mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikologi, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi”.5

Segala bentuk perlindungan perempuan sebagai korban kekerasan, maka mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, pemerintah membetuk Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan, secara eksplisit seperti dirumuskan di dalam Pasal 285, 286, 287, 288, dan 297 dimasukan ke dalam Bab XIV6. Ada bebeapa argumrntasi dan justifikasi mengapa dalam bab ini, Pasal yang dirumuskan khusus bagi korban yang berjenis kelamin perempuan adalah Pasal 285 tentang perkosaan, Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya atau pingsan, Pasal 287 tentang persetubuhan dengan perempuan di bawah umur, Pasal 288 tentang persetubuhan dengan istri yang masih di bawah umur dan Pasal 297 tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki. Namun demikian beberapa pasal tersebut diberlakukan pemberatan dengan penambahan 1/3 (sepertiga) pidana pokok sebagai diatur dalam pasal 291 .

Konsekuensi logis aspek tersebut diatas maka diperlukan adanya eksistensi perlindungan korban dalam ranah hukum, misalnya Pasal 284 adalah ketentuan yang mengatur tentang perzinahan (overspeel). Tindak pidan atau delik yang dimaksud dalam ketentuan ini bersifat delik aduan (klach delict) sehingga

perbuatan tersebut dapat atau tidaknya dipidana sangat bergantung pada adanya pengaduan dari pasangan yang tercemar

Landasan dasar perlindungan menurut Pasal 1 ke-4 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 menyebutkan “ perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara mapun berdasarkan penetapan pengadilan.” Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ke-5, adalah “perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga social ataun pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. “Sedangkan Pasal 1 ke-6 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa “Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.”

  • 2.2.2    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA KEKERASAN RUMAH TANGGADALAM IUS CONSTITUENDUM

Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana menurut ketentuan hukum pidana positif di Indonesia, berarti pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Dengan demikian dapat dikatakan sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak secara langsung dan konkret tertuju pada perlindungan korban. bukannya terhadap ganti kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkret, melainkan pertanggungjawaban yang bersifat individual.

Pengkajian Sebelum berlakunya UUPKDRT, KUHP sebagai salah satu ketentuan hukum pidana positif yang mengatur tentang perlindungan kepada korban tindak pidana. Namun, dengan adanya perkembangan dalam hukum pidana dan munculnya delik-delik baru seperti UUPKDRT Hal ini disebabkan karena adanya ketidak sinkronan antara KUHP sebagai hukum pidana secara umum yang mengatur sebelumnya dibandingkan dengan UUPKDRT sebagai hukum pidana yang lebih khusus.

Disamping itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004,Untuk perumusan tindak pidana kekerasan fisik yang ditentukan dalam Pasal 44 UUPKDRT, sebetulnya dapat dikatagorikan ke dalam tindak pidana penganiayaan pasal 351 dan Pasal 356 KUHP Sedangkan tindak pidana psikis yang diatur dalam Pasal 45 UUPKDRT, KUHP tidak mengatur sama sekali. Untuk tindak pidana berupa kekerasan seksual yang dientukan dalam Pasal 46, 47, dan 48 UUPKDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan, adapun tindak pidana penelataran rumah tangga yang ditentukan dalam Pasal 49 UUPKDRT, tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 34 ayat (3), hal tersebut telah diatur sebagai perbuatan yang melalaikan kewajiban.

  • III.    Kesimpulan

  • 1.    Kebijakan legislasi Indonesia mengatur tentang perlindungan korban kejahatan yang dirumuskan dalam kebijakan formulatif dalam UUPKDRT dimana perumusan pasal 44 ayat (4) Pasal 45 dan Pasal 46 berkaitan dengan perumusan pasal 51, 52 dan 53 dengan undang-undang

yang sama merupakan delik aduan Hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam perumusan pasal Tindak penganiayaan KUHP, sebetulnya dapat dikatagorikan ke dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terwujud dalam tindakan kekerasan suami istri.

  • 2.    Perlindungan korban kejahatan dengan tipologi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam UUPKDRT, sebagai mana diatur dalam perundang-undangan di luar UUPPKDRT. Pada ketentuan KUHP memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan secara implisit, melalui ketentuan Pasal 351, 352, 353, 355, 356 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga. Logika kongkritnya ada perlindungan abstrak atau kebijakan formulatif kepada korban. Tergantung pada penilaian hakim berupa penggati kerugian adalah fakultatif.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi,2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidanan dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Prenada Media Group.

Mardjono Reksodiputra, 1994, Hak Asasi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Victimologis, sinar grafika, Jakarta.

Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung

Rifka Amisa, 1997, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rifka Annisa dan Ford Foundation, Yogjakarta.

Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

5