PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN
on
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA TERORISME PERSPEKTIF
PERUNDANG-UNDANGAN
I Gede Adi Pratama Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected],
I Gede Yusa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengkaji pengaturan perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana terorisme menurut peraturan perundang- undangan dan untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan pada anak pelaku tindak pidana terorisme menurut perundang-undangan. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini yaitu metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Adapun hasil penelitian yang di dapat yaitu Sesuai dengan UU SPPA diversi tidak dapat diterapkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme. UU Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pelaku dalam kejahatan tindak pidana terorisme atau anak korban kejahatan tindak pidana terorisme tersebut. Mengingat anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme sejatinya termasuk korban dari jaringan terorisme. Programderadikalisasi yang di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 PTPT yaitu edukasi tentang Pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial. Dengan demikian perlu mengkaji ulang proses penanganan khusus anak yang menjadi pelaku tindak pidana terorisme, sehingga dapat diakomodir dengan UU Tindak Pidana Terorisme. Pentingnya pengaturan khusus mengenai proses peradilan dan perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Anak, Tindak pidana, Terorisme
ABSTRACT
This study aims to understand and examine the legal protection arrangements for children who commit criminal acts of terrorism according to statutory regulations and to find out the forms of legal protection that can be given to children who commit criminal acts of terrorism according to legislation. The method used in writing this scientific journal is a normative legal research method with a conceptual approach and a legislative approach. The research results obtained in accordance with the SPPA version of diversion cannot be applied to children as perpetrators of criminal acts of terrorism. The Child Protection Act emphasizes that special protection for children who are perpetrators of criminal acts of terrorism or children victims of crime of terrorism. Considering that children as terrorism offenders are actually included as victims of terrorism networks. The de-radicalization program set out in Law No. 5 of 2018 PTPT is education on education, ideology, and nationalism values, counseling about the dangers of terrorism, social rehabilitation, and social assistance. Thus it is necessary to review the special handling process of children who become perpetrators of criminal acts of terrorism, so that it can be accommodated with the Terrorism Act. The importance of special arrangements regarding the judicial process and the protection of children involved in criminal acts of terrorism.
Keywords: Legal Protection, Children, Crime, Terrorism
Anak ialah subjek yang tidak bisa dipisahkan dari komponen penentu keberlangsungan hidup manusia, bangsa dan negara. Sebagaimana peran penting ini menjadikan hak anak ditegaskan dalam konstitusi Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang
merupakan marwah Bangsa Indonesia, yaitu negara menjamin setiap anak mendapatkan haknya atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. secara filosofi anak tidak lain merupakan bagian generasi muda yang nantinya menjadi penerus dan perjuangan bangsa di masa yang akan datang.1
Demikian pula anak diharapkan dapat memperoleh kesejahteraan yaitu terjaminnya pertumbuhan dan perkembangan anak dengan baik secara rohani, jasmani dan sosial dalam tata kehidupan dan penghidupan di tengah-tengah masyarakat. Pada dasarnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai tindakan yang dapat menimbulkan kerugian secara fisik dan psikis.2 “Tidak seorang anak pun dapat dirampas hak kemerdekaannya secara sewenang-wenang dan atau menjadi sasaran penyiksaan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hukuman mati atau hukuman seumur hidup” hal tersebut ditegaskan dalam Convention on the Rights of the Child.3Maka dari itu perlindungan terhadap anak harus ditempatkan pada skala prioritas negara, dikarenakan anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri dan anak memerlukan perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan kerugian secara fisik, psikis dan sosial. Maka dari itu sangat perlu perlindungan hukum terhadap anak sehingga tercapainya kesejahteraan anak.4
Anak sangat rentan menjadi korban maupun pelaku tindak pidana, tidak dapat dipungkiri ketidakmampuan anak berpikir secara dewasa menjadikannya subjek yang tidak terlepas dari tindak pidana. Berbagai tindak pidana yang melibatkan anak yaitu narkoba, pencabulan, pencurian bahkan terorisme sehingga hal ini merupakan realita bahwa tindak pidana ringan sampai tergolong extraordinary crime menjadikan anak sebagai pelaku maupun korban. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (untuk selanjutnya disebut UU SPPA) mengelompokkan anak menjadi 3 jenis golongan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu anak yang anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.5
Dalam hukum pidana, terorisme sering dikelompokkan bersama-sama dengan fenomena kriminalitas konvensional. Terorisme sebagai suatu bentuk kejahatan terorganisir dalam upaya untuk menciptakan kegaduhan dan kekacauan serta dapat menyebabkan kehilangan eksistensi Hak Asasi Manusia disuatu negara. A.P. Schmid menyatakan bahwa6“war crimes are usually defined as deliberate attacks on civilians, hostage
taking, and the killing of prisoners”. Berdasarkan hal tersebut A.P.Schmid mendefinisikan terorisme sebagai kejahatan perang yang biasanya didefinisikan sebagai serangan yang disengaja terhadap penduduk sipil, penyanderaan, dan pembunuhan tahanan. Teorisme menjadi aksi kekerasan untuk tujuan-tujuan pemaksaan kehendak, koersi, dan publikasi politik yang memakan korban masyarakat sipil yang tidak berdosa.7 Departemen Pertahanan United State mendefinisikan terorisme sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan untuk menanamkan rasa takut, dimaksudkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dalam mengejar tujuan yang umumnya politik, agama, atau ideologi.8 Meskipun terorisme dapat menghilangkan nyawa tetapi berbeda dengan pembunuhan biasa karena dalam terorisme objek yang menjadi sasaran langsung bukan merupakan target utama. Proses komunikasi berbasis kekerasan antara terorisme, korban, yang diancam, dan sasaran utama yang menjadi dasar dalam memanipulasi target utama, mengubahnya menjadi target teror, target tuntutan atau target perhatian. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis serta motivasi, hasil yang diharapkan serta di capai semakin luas dan beragam, sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).9Secara terminologis definisi terorisme sangat sulit didefinisikan, namun pada umumnya para ahli bersepakat bahwa terorisme ialah strategi yang diambil oleh pihak yang lemah (strategy of the week) atau disebut juga sebagai kekuatan oleh pihak yang lemah (the power of power less).10
Manusia yang menjadi korban langsung dipilih secara acak atau selektif dari populasi yang menjadi target, dan pemilihan ini merupakan penggerak pesan yang dimaksud. Terorisme secara faktual dapat menimbulkan berbagai bahaya bagi nyawa dan perekonomian. Di Indonesia meskipun tidak secara eksplisit dicantumkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra Ordinary crime) bahkan dapat juga dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Aksi tindak pidana terorisme yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku terjadi pada tanggal 13 dan 14 Mei 2018 yaitu aksi bom bunuh diri di kota Surabaya. Diawali pada tanggal 13 mei 2018, melakukan aksi bom bunuh diri di 3 gereja yakni Dita berumur 47 (empat puluh tujuh) tahun meledakkan diri di gereja pantekosta pusat surabaya di jalan arjuna, Puji Kuswati sang istri berumur 43 (empat puluh tiga) tahun dan VR yang berumur 9 (sembilan) tahun di gereja Kristen Indonesia di jalan diponegoro, dan dua anak laki-laki berinisial YF berumur 18 (delapan belas) tahun dan FH berumur 16 (enam belas) tahun di gereja katolik santa maria, dalam peristiwa tersebut diketahui bahwa semuanya meninggal dunia di lokasi kejadia.11sehari setelahnya pada tanggal 14 Mei 2018 di Kepolisian
Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabya yakni Tri Mutiono berumur 50 (lima puluh) tahun dan istri Tri Enawati berumur 43 (empat puluh tiga) tahun .melibatkan ketiga anaknya berinisial MDAM berumur 19 (sembilan belas) tahun, MDS berumur 15 (lima belas) tahun dan AAP berumur 8 (delapan) tahun dalam kejadian tersebut hanya AAP yang masih hidup.12 Anak yang masih mencari jati diri dalam proses perkembangan menuju dewasa, dapat dikatakan masih belum matang dalam berpikir dan bertindak. Hal tersebut menjadi faktor pendorong anak terlibat dalam tindak pidana terorisme. Berbagai celah seperti perekrutan yang lebih mudah karena mereka tidak mengetahui kotruksi hukum di Indonesia, serta dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme menjadikan pelaku terorisme melibatkan anak dalam melakukan aksi kejahatannya.13 Melibatkan anak dalam aksi teror dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yaitu, kondisi kejiwaan anak yang masih labil sehingga memudahkan diindoktrinasi dengan hal-hal yang bersifat radikal. Selain hal tersebut para penggerak aksi-aksi teror itu memahami konstruksi hukum pertanggungjawaban pidana anak baik pada level internasional maupun nasional.14
Terkait dengan pelaku yang masih tergolong anak harus tetap diproses sesuai dengan hukum yang berlaku hal ini berkaitan dengan persmaan di hadapan hukum (asas equality before the law), namun sangat tidak bijak apabila proses hukum terhadap pelaku anak disamakan dengan pelaku yang sudah dewasa. Terlibatnya anak dalam tindak pidana terorisme, tentu memerlukan penanganan khusus terlebih lagi anak tidak dapat dijatuhi pidana mati ataupun seumur hidup. Perlindungan terhadap anak pelaku teror menjadi hal yang sangat penting dalam proses penegakan hukum mengingat anak-anak yang terlibat dalam aksi teror tidak lain merupakan korban yang didoktrin oleh orang dewasa, proses doktrinisasi tersebut dipermudah karena pada usianya anak lebih mudah untuk diarahkan.
Keterlibatan anak dalam tindak pidana teorisme ini menjadikan anak semata-mata sebagai pihak yang dianggap bersalah dalam aksi teror tersebut tanpa melihat sesungguhnya bahwa anak merupakan korban dari propaganda maupun doktrin radikalisasi yang diberikan oleh orang dewasa. Permasalahan mendasar yang terjadi adalah penanganan kasus tindak pidana terorisme yang dilakukan anak sangat berpotensi melanggar hak-hak dasar anak. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang tidak diatur mengenai perlindungan maupun penegakan hukum apabila yang menjadi pelaku dalam tindak pidana terorisme tersebut merupakan anak. Namun, perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum atau sebagai pelaku tindak pidana diatur secara tegas dalam UU SPPA yang pada hakikatnya menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Berdasarkan hal tersebut, maka judul yang diangkat dalam jurnal ilmiah ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN”.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis mengangkat rumusan masalahyaitu :
-
1. Bagaimanakahperlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme ditinjau dari UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme dan UU SPPA?
-
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan pada anak pelaku tindang pidana terorisme menurut perundang-undangan?
Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini diharapkan untuk lebih memahami dan mengkaji pengaturan sanksi pidana terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme dan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme apabila ditinjau dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU SPPA.
Karya ilmiah ini mengguanakan Metode Penelitian hukum normative atau nama lainnya disebut dengan penelitian hukum doktriner, yakni penelitian yang bertujuan untuk meneliti norma hukum atau kaidah15. Penelitian ini menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, hasil suatu penelitian serta pendapat dari para pakar. Penelitian ini menggunakanpendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang digunakan dalam menganalisis permasalahan hukum dalam penelitian yang beranjak dari adanya norma kosong.16 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk mengetahui hierarkhi, asas-asas, dam makna normatif yang tersirat dalam peraturan perundang-undangan.17 Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode bola salju (snow ball method) yaitu metode pengambilan data dari satu sumber data dengan secara berantai dan Teknik Studi Pustaka yaitu Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum melalui buku-buku, karya ilmiah, internet, dan literatur lain. Teknik pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah Teknik Deskripsi yaitu Teknik menguraikan fenomena apaadanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau nonhukum.
III Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Anak srbagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme apabila Ditinjau dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU SPPA
Secara internasional telah diakui bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak, mengutamakan kesejahteraan anak sebagaimana ditegaskan dalam peraturan PBB pada United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak yaitu “The Juvenile justice system shall emphasize the well being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders an offence”. 18 Adapun penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia bertujuan agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.19 Perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana atau berkonflik dengan hukum merupakan subsistem dari perlindungan hak-hak anak pada umumnya.20 Upaya dalam memenuhi perlindungan hak-hak anak sendiri sangat ditentukan dengan adanya kebijakan perlindungan anak (Child Protection Policy), kebijakan kesejahteraan anak (Child Welfare Policy) yang kondusif terhadap usaha-usaha perlindungan hak-hak anak tersebut. Berbagai instrumen hukum telah memberikan ruang bagi pengaturan mengenai hak-hak anak serta perlindungan terhadap anak dalam sistem peradilan di Indonesia.
Penerapan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang dalam hal ini anak yang berkonflik dengan hukum, menjadi tanggungjawab negara sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU Perlindungan Anak yaitu :
-
a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai martabat dan harkat anak
-
b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
-
c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus
-
d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
-
e) Pemantauan dan pencatatan secara terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum
-
f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
-
g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi21
Adapun UU SPPA menggantikan UU Pengadilan Anak merupakan bentuk terobosan dalam memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi anak yang berhadapan dengan hukum.22 Terkait mengenai anak yang menjadi pelaku tindak pidana terorisme mengacu pada UU SPPA. Pasal 5 ayat (1) UU SPPA menegaskan bahwa “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan Restoratif”. Pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan anak penegak hukum wajib mengupayakan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana tersebut.
Pengaturan mengenai dijabarkan dalam Pasal 7 UU SPPA yang menyatakan bahwa:
-
a. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi
-
b. Diversi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :
-
1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
-
2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Anak yang menjadi pelaku terorisme ialah tidak lain merupakan korban dari perekrutan karena dengan mudah diarahkan. Pada Pasal 19 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UU PTPT), ditegaskan bahwa penjatuhan pidana minimum khusus, pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang masih berusia dibawah 18 tahun atau tergolong anak-anak. Membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana yaitu terkait mengenai upaya terjaminnya penerimaan hak-hak anak serta terwujudnya kesejahteraan tanpa adanya diskriminasi.23 Anak yang dirampas kebebasannya oleh negara dikarenakan terlibat dalam suatu tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum, membela diri serta memperoleh keadilan yang hakiki di depan pengadilan anak, serta hakim berkewajiban bertindak objektif, tidak memihak dan proses peradilannya tertutup untuk umum.24
Pengaturan perlindungan terhadap anak korban jaringan teorisme juga diatur dalam UU Perlindungan Anak Pasal 69B yang menegaskan bahwa “perlindungan khusus bagi anak korban jaringan terorisme dilakukan melalui upaya yaitu a) edukasi tentang Pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, b) konseling tentang bahaya terorisme, c) rehabilitasi sosial; dan d) pendampingan sosial”. Pasal 59A UU Perlindungan Anak juga mengatur mengenai perlindungan khusus anak, dilakukan melalui upaya penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan, pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, dan pemberian perlindungan, pendampingan pada setiap proses peradilan.
Anak yang terlibat dalam kejahatan terorisme harus pula dimaknai sebagai korban delik. UU PTPT tidak mengatur secara terperinci terkait perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana terorisme, namun terdapat dua pasal yang mengatur yaitu Pasal 19 dan 16A. Berdasarkan UU SPPA anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana ialah anak yang berusia 12-18 tahun. Apabila tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup, maka maksimal pidana yang dapat dijatuhkan adalah 10 tahun.
Pemberian Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme harus juga terfokus pada rehabilitasi sosial dan deradikalisasi. Deradikalisasi merupakan suatu upaya perlindungan dari paham radikalisasi, sehingga paham radikalisasi dapat di kurangi dan dihilangkan.
-
3.2 Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana Terorisme Menurut Perundang-Undangan
Berbicara tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum pada anak hakekatnya adalah bersangkut paut dengan perlindungan melalui sarana hukum untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Dalam hal iini pengaturannya terdapat didalam UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.25
Menurut pasal 1 UU No. 35 tahun 2014, anak adalah seseorang yang belum berusia (delapan belas) tahun, termasuk anak masih dalam kandungan.
Hak – hak anak khususnya yang relevan berhubungan terorisme ada pada pasal:
-
1. Pasal 13 UU No. 35 tahun 2014 :
Ayat 1: “Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
-
a. Diskiriminasi
-
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
-
c. Penelantaran
-
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
-
e. Ketidakadilan
-
f. Perlakuan salah lainnya”
-
2. Pasal 15 UU No. 35 tahun 2014 :
“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari:
-
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
-
b. Perlibatan dalam sengketa bersenjata
-
c. Perlibatan dalam kerusuhan social
-
d. Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
-
e. Perllibatan dalam peperangan.
-
3. Pasal 16 UU No. 35 tahun 2014 :
-
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
-
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
-
(3) Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir.
-
4. Pasal 17 UU No. 35 tahun 2014:
-
(1) . Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
-
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
-
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
-
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
-
(2) . Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
-
5. Pasal 18 UU No. 35 tahun 2014 :
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”
Dalam hubungannya dengan pasal – pasal tersebut diatas, maka perlindungan khusus terhadap anak yang diberikan bisa dilihat pada:
-
1. Pasal 59 UU No. 35 tahun 2014 :
“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan , penjualan dan perdagangan anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental.
Dari uraian pasal diatas sangat jelas bahwa seorang anak yang terlibat dalam jaringan terorisme mendapat perlindungan khusus dari negara berdasarkan amanat UUPA. Baik itu anak yang menjadi pelaku dalam kejahatan tindak pidana terorisme atau Anak Korban dari aksi kejahatan tindak pidana terorisme tersebut. Mengingat anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme sejatinya adalah termasuk korban dari jarinagn terorisme itu sendiri.
Pentingnya perlindungan hukum anak pelaku terorisme ini karena keterlibatan sosok yang dikategorikan sebagai anak, berada dalam jaringan terorisme dimana orang tuanya anggota jaringan radikal. Anak pelaku terorisme itu sebenarnya merupakan korban dari perekrutan karena dicuci otaknya selanjutnya korban indoktrinasi konsep jihad dan Anak yang sedang mencari jadi diri sehingga terpikat oleh janji-janji. Mereka tidak mengerti apa yang menjadi sasaran. Akhirnya korbanya justru mereka sendiri dan masyarakatyang tidak berdosa.26 Pencegahan serta pembinanan dan mengurangi pemahaman radikal Terorisme yang terjadi dibuat program deradikalisasi Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang PTPT, deradikalisasi diatur dalam Pasal 43D ayat 1 yang menyatakan :
“deradikalisasi merupakan suatu proses terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikan pemahaman radikal terorisme yang terjadi”
Program deradikalisasi ini adalah bahwa bagaimana pemikiran radikal itu bisa dihilangkan pada anak yang terlibat tindak pidana terorisme terpapar pemikiran-pemikiran radikal yang berbahaya.27
Jadi, anak pelaku tindak pidana terorisme tidak boleh diproses hukum ke penjara. BIla diproses, sanksinya harus berupa rehabilitasi atau yang lainnya dan tidak boleh dipidana. Ketentuannya, pemidanaan anak ditanggung orang tua atau orang lain yang melibatkan anak-anak. Karena anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme sebenarnya korban. Sehingga anak dalam kasus ini seharusnya diberikan perlindungan hukum seperti di dalam ketentuan pasal diatas maupun anak yang belum dan sudah terpapar paham radikal bisa diberikan program deradikalisasi hal ini tentu sangat baik sebagai bentuk perlindungan hukum.
-
IV. PENUTUP
-
1. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme ditinjau dari UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme melalui upaya edukasi tentang Pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial; dan pendampingan sosial”. Sedangkan ditinjau dari UU SPPA penjatuhan pidana minimum khusus, pidana mati dan
pidana penjara seumur hidup tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang masih berusia dibawah 18 tahun atau tergolong anak-anak. Membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana yaitu terkait mengenai upaya terjaminnya penerimaan hak-hak anak serta terwujudnya kesejahteraan tanpa adanya diskriminasi. Pemberian Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme harus juga terfokus pada rehabilitasi sosial dan deradikalisasi. Deradikalisasi merupakan suatu upaya perlindungan dari paham radikalisasi, sehingga paham radikalisasi dapat di kurangi dan dihilangkan.
-
2. Bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan pada anak pelaku tindak pidana terorisme menurut perundang-undangan adalah seorang anak yang terlibat dalam jaringan terorisme mendapat perlindungan khusus dari negara berdasarkan amanat UUPA. Baik itu anak yang menjadi pelaku dalam kejahatan tindak pidana terorisme atau Anak Korban dari aksi kejahatan tindak pidana terorisme tersebut. Mengingat anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme sejatinya adalah termasuk korban dari jaringan terorisme itu sendiri.
4.2Saran
-
1. Reformulasi keadilan restoratif yang diatur dalam UU SPPA, sehingga anak yang menjadi korban jaringan terorisme dapat diupayakan diversi sebagai pemenuhan haknya. Perlunya komitmen pemerintah dan instansi yang berwenang dalam memberikan perlindungan hukum, khususnya kemampuan dalam bertindak responsif dan proaktif, sehingga perlindungan hukum dapat dilakukan secara berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan korban.
-
2. Pemerintah diharapkan mampu mengkaji ulang proses penanganan khusus anak yang menjadi pelaku tindak pidana terorisme, sehingga dapat diakomodir dengan UU Tindak Pidana Terorisme. Pentingnya pengaturan khusus mengenai proses peradilan dan perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
Candra, M. (2018). Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta Timur : Kencana.
Diantha, I.M.P. (2016). MetodologiPenelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, Jakarta : Prenada Media Group.
Djelantik, S. (2010). Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional,Jakarta :Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mardenis.(2013). Pemberantasan Terorisme, Jakarta :Rajawali Press
Harefa, B.H. (2009). Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak, Yogyakarta: Deepublish.
Soemitro, R.H. (1990). Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia,
Wahjuwibowo, I.S. (2018). Terorisme dalam Pemberitaan Media “Analisis wacana Terorisme Indonesia”, Yogyakarta: Deepublish.
Wahyudi, S. (2011). Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing.INDONESIA. Al-Risalah, 18(2), 109-122. h.111.
Firmansyah, Ridho.(2019). "Rehabilitasi dan Deradikalisasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme." Jurist-Diction 2.2 : 669-686.h.9-10.
Rochaeti, N. (2013). Prospek Peradilan Restoratif Berdasarkan Pancasila sebagai Sarana Non Penal dalam Penanggulangan Delinkuensi Anak Dimasa Datang. Masalah-Masalah Hukum, 42(4), 492-502.h.20.
Pangaribuan, S., Ablisar, M., & Marlina, M. (2013). Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 19/Pid. Sus/11/PN. Klt). Jurnal Mahupiki, 3(01).h.6.
Yudaningsih, L. P., & Rahayu, S. (2013). Reformasi Perlindungan Hukum
terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Peradilan Pidana di Indonesia. Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2).
Kamalludin, I., & Rahmah, H. (2018). ANAK DAN TERORISME: SANKSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM SISTEM HUKUM. Jurnal Al-Risalah, 18(2), 109-122.
Kahesti, Y. Z. Pemenuhan Hak Anak di Bidang Pendidikan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kota Balikpapan. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(3), 343-359, h.344.
Mahyani, Ahmad.(2019). "Perlindungan Hukum Anak Sebagai Pelaku Terorisme." Jurnal Hukum Magnum Opus 2.1 (2019). h.50.
Mayasari, D. E. (2018). Perlindungan Hak Anak Kategori Juvenile Delinquency. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 20(3), 385-400.h.398.
Tusan, P. S. A. (2017). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 6(2), 200-203.
Purwastuti, L. (2011). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Kejahatan Terorisme. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 2(3).h.2.
Wiharsa, I. M. DIVERSI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 6(1), 37-51.
Badriyanto,<https://news.okezone.com/read/2018/05/15/519/1898395/3-kesamaan-aksiteror-bom-di-gereja-dengan-mapolrestabes-surabaya>, (Okezone 2018), di akses pada tanggal 28 Mei 2020.
LegalCommitteeUNUSA.http://www.unamich.org/MUN/SEMMUNA/legal. htm. Legal Definitions of Terrorism. Diakses pada tanggal 28 Mei 2020. Lihat juga dalam Anonim. Definitions of Terrorism. NATO’s Nations and Partners for Peace, Januari, 2004. Academic Research Library, hlm. 17.
Ninis Chairunnisa, Pelaku Bom di Surabaya Satu Keluarga, Begini Pembagian Tugasnya,<https://nasional.tempo.co/read/1088460/pelaku-bom-di-surabaya-satu-keluarga-begini-pembagian-tugasnya>, (Tempo 2018),28 Mei 2020.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 6 Tahun 2020, hlm. 1-12..
Discussion and feedback