KONSEP ‘MENGUASAI’ DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDY KASUS PUTUSAN NOMOR.222/PID/2011/PT.PDG)1

Oleh:

Ni Nyoman Ayu Sri Utari Cahyani** A.A Ngurah Yusa Darmadi***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Penegakan tindak pidana Narkotika, peraturan-peraturan yang diberlakukan tidak seluruhnya berjalan dengan seharusnya, khususya yang terdapat dalam pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009. Terdapat banyak penafsiran yang berbeda yang saat ini menjadi perbincangan hangat baik akademisi maupun praktisi. Tulisan ini mengangkat dua persoalan hukum, pertama, bagaimana makna ‘menguasai’ dalam ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika? kedua, bagaimana pandangan hakim dalam menafsirkan frasa “menguasai” dalam putusan Pengadilan Tinggi Padang No.222/PID/2011/PT.PDG? Adapun tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini ialah untuk mengetahui bagaimana memberikan kontribusi yang bersifat umum dalam menganalisa persoalan-persoalan hukum khususnya persoalan narkotika. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mendeskripsi dan menganalisa kedudukan kata “menguasai” dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Nakotika agar tidak terjadi kekeliruan dalam memberikan kebijakan. Penelitian0ini menggunakan jenis0penelitian0hukum normatif0dimana penelitian hukum normatif adalah      suatu0penelitian      penulisan0hukum      yang

berdasarkan0pada0teori-teori0hukum,    1iteratur-1iteratur    dan

perundang-undangan. Setelah dilakukan analisis , maka dapat

disimpilkan, pertama, Dalam Ilmu Politik, dikenal berbagai konsep yang berkaitan erat dengan konsep kekuasaan, seperti wewenang atau kewenangan (authority), pengaruh (influence), persuasi (persuasion), kekuatan (force), dan manipulasi. Kedua, Pengadilan Tinggi Padang berpendapat melalui Putusan Nomor.222/PID/2011/PT.PDG.

Kata Kunci: Menguasai, Tindak Pidana, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009.

ABSTRACT

In the enforcement of Narcotics crime, the regulations that apply are not entirely working as it should, especially those contained in article 112 of Law Number 35 Year 2009. There are many different interpretations that are currently a hot topic for academics and practitioners. This paper raises two legal issues, first, how does the meaning of 'master' in the provisions of Article 112 of Law Number 35 Year 2009 concerning Narcotics? secondly, what is the judge's view in interpreting the phrase "control" in the decision of the Padang High Court No.222 / PID / 2011 / PT.PDG? The purpose of writing this scientific journal is to find out how to make a general contribution in analyzing legal issues, especially narcotics. The writing of this journal aims to describe and analyze the position of the word "master" in Article 112 of Law Number 35 of 2009 concerning Nakotika so that there are no errors in providing policies. This research uses normative legal research where normative legal research is a research on legal writing based on legal theories, laws and regulations. After analysis, it can be summarized, firstly, in Political Science, there are various concepts that are closely related to the concept of power, such as authority, influence, persuasion, force, and manipulation. Second, the Padang High Court argues through Decision Number 222 / PID / 2011 / PT.PDG

Keywords: Mastering, Narcotics, Law Number 35 of 2009

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

“Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 1 menyebutkan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapa menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”2

Penegakan tindak pidana Narkotika, peraturan-peraturan yang diberlakukan tidak seluruhnya berjalan dengan seharusnya. Terdapat banyak penafsiran yang berbeda yang saat ini menjadi perbincangan hangat baik akademisi maupun praktisi. Berkitan dengan hal ini kekeliruan yang dimaksud adalah dalam Pasal 112 UU Nomor 35 tahun 2009 yang menyatakan :

  • (1)    “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahn dan pidna denda paliing sedkit Rp800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah) dan paliing banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”

  • (2)    “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).” Dimana unsur-unsur yang dipermasalahkan adalah unsur Memiliki, Menyimpan, Menguasai, atau Menyediakan.

Implikasi dari unsur yang termaktub didalam permasalahan tersebut adalah memperjelas kedudukan tersangka dalam hal “menguasai”. Tetapi secara otentik, belum ada aturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai “penguasaan narkotika”, sehingga oleh karena kekaburan hukum terkait definisi menguasai tersebut sehingga seseorang dapat dipidana atas dasar ketidaksengajaan. Dalam UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengkhususkan yang dimaksud dengan “tanpa hak” adalah tanpa izin atau tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang untuk itu, yaitu Menteri atas rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau pejabat lain yang berwenang. Namun tentang konsep “menguasai barang” dalam undang-undang ini belum ditemukan penjelasannya. Oleh karena itu diperlukan suatu interpretasi terhadap kata “menguasai” , karena penafsiran kata terhadap kata menguasai tidaklah dapat dilakukan secara tekstual (dengan hanya membaca teksnya), tetapi harus ditafsirkan secara kontekstual (dalam konteksnya), dalam artian, penguasaan tersebut harus dihubungkan, apakah barang itu akan dipakai sendiri atau dijual/diedarkan.

Permasalahan yang timbul apabila terdapat norma kabur dalam suatu peraturan seperti yang dikemukakan oleh Mathias Klatt

mengemukakan problematika yuridis yaitu tidak dapat ditentukan “apa hukumnya” secara tepat (legal indeterminacy) yang kemungkinan disebabkan oleh kekaburan makna (vaqueness) atau ambiguitas3, selain itu dapat terjadi kekeliruan dalam menetapkan sanksi pidana yang menyebabkan ketidak adilan bagi terdakwa. Salah satu dampak nyata yang terjadi akibat norma kabur ini adalah dimana terungkap dipersidangan bahwa polisi menemukan shabu disaku jaket warna hitam milik terdakwa. Tetapi terdakwa tidak mengetahui darimana benda itu berasal dan bagaimana benda itu dapat masuk ke kantong jaketnya. Terdakwa juga tidak tahu siapa yang telah meletakan benda tersebut. Majelis hanya mempertimbangkan unsur-unsur yang dituduhkan oleh jaksa yakni Pasal 112 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu fokus pertimbangan majelis adalah “menguasai” dalam pasal tuduhan, karena Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika sangat sering digunakan polisi kepada setiap orang yang dituduh memiliki narkoba. Majelis juga mengkritik kelemahan UU Narkotika, Undang-undang tidak merinci dengan lengkap darimana narkotika yang dikuasai itu diperoleh dan bagaimana cara seseorang menguasainya. Undang-undang hanya menetukan ketika narkotika ditemukan berada dalam penguasaan seseorang, maka ia dianggap melawan hukum dan diancam pidana.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, diperoleh diatas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.   Bagaimana makna “Menguasai” dalam ketentuan Pasal 112

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika?

  • 2.   Bagaimana pertimbangan hakim dalam menafsirkan frasa

“menguasai” dalam putusan Pegadilan Tinggi Padang No.222/PID/2011/PT.PDG?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk memberikan kontribusi yang bersifat umum dalam menganalisa persoalan-persoalan hukum khususnya persoalan narkotika dan untuk mengetahui perkembangan konsep, teori, dan objek hukum dalam penegakan hukum di Indonesia.

II   ISI MAKALAH

  • 2.1  Metode

Metode penulisan ini digunakan metode penelitian Hukum Normatif ( Norma Kabur ) atau Penelitian Hukum Kepustakaan yang merupakan Penelitian terhadap Sistematik Hukum, di mana penelitian hukum dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier dan juga berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian ini menggunakan analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang menjelaskan tentang aspek-aspek hukum yang terkait dengan pengaturan terhadap Narkotika khususnya dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Bagaimana makna “Menguasai” dalam ketentuan Pasal 112

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika?

Ilmu Politik, dikenal berbagai konsep yang berkaitan erat dengan konsep kekuasaan, seperti wewenang atau kewenangan (authority), pengaruh (influence), persuasi (persuasion), kekuatan (force), dan manipulasi. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak diatur secara spesifik mengenai pengertian menguasai, apakah Narkotika tersebut dikuasai hanya untuk dikonsumsi, di edarkan atau hanya sekedar untuk dimiliki saja. Dimana kata menguasai yang menjadi permasalahan utama dalam undang-undang ini tidak dijelaskannya pengertian dan batasan dalam unsur-unsur menguasai narkotika menyebabkan banyaknya pelaku tindak pidana narkotika yang tertangkap tangan menguasai narkotika dengan tujuan untuk dikonsumsi, dikenakan pasal yang diperuntukan bagi pengedar narkotika. Dampak yang akan ditimbulkan dari kekeliruan yang terkandung dalam pasal ini adalah disparitas hukuman yang didasarkan kepada masyarakat dimana perbuatan atau tindakan yang diperbuat tidak sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan sehingga akan menimbulkan diskriminasi yang seharusnya dirasakan oleh pelaku dan juga memberikan kepastian hukum ditengah masyarakat. Sehingga dengan memberikan hukuman yang proporsional antara beratnya suatu kejahatan dengan hukuman yang diberikan, akan menimbulkan deterrence effect kepada masyarakat tanpa adanya hukuman yang brutal. Dengan adanya deterrence effect terhadap masyarakat, maka masyarakat tidak akan melakukan/mengulangi lagi kejahatanya, khususnya dalam melakukan kejahatan tindak pidana narkotika, yang berujung kepada terwujudnya perlindungan kepada masyarakat dari kejahatan sebagaimana tujuan dari hukum pidana itu sendiri. Dan diharapkan apparat penegak hukum lebih jeli dan teliti dalam

menjatuhkan pidana terhadap tersangka atau pelaku agar tidak menimbulkan ketidak adilan dalam masyarakat. Tetapi terdapat beberapa pengertian menguasai diluar Hukum Pidana yang disebut “bezit”. Bezit dikatakan sebagai kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seorang secara pribadi atau perantara orang lain, seakan-akan barang itu miliknya. Bezit atas benda dibagi menjadi dua, yaitu : bezit yang bertikad baik (bezit te goeder trouw), apabila bezitter (pemegang bezit) memperoleh benda itu tanpa adanya cacat-cacat di dalamnya dan bezit bertikad buruk (bezit te kwader trouw) apabila pemegangnya (bezitter) mengetahui bahwa benda yang dikuasainya bukan miliknya. Berakhirnya bezit dapat atas kehendak sendiri dan bukan karena kehendak sendiri4. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan bezit adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suat benda seolah-olah kepunyaan sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada siapa.

  • 2.2.2    Bagaimana pertimbangan hakim dalam menafsirkan frasa “menguasai” dalam putusan Pegadilan Tinggi Padang No.222/PID/2011/PT.PDG

Pengadilan Tinggi Padang melalui Putusan No. 222/PID/2011/PT.PDG menjelaskan makna “menguasai” dihubungkan dengan konsep bezit dalam Pasal 529 dan Pasal 1977 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dalam konteks tersebut, Pengadilan Tinggi Padang menyatakan bahwa “bezit tidak bisa dipakai dalam kasus ini karena istilah dalam Pasal 529

KUHPerdata itu bermakna penguasaan atas suatu benda dalam hukum perdata. Pasal 1977 KUHPerdata pun merupakan ketentuan tentang beban pembuktian dimana pembuktian perdata bukan dibebankan kepada orang yang menguasai barang, melainkan oleh pihak yang mengklaim benda itu miliknya”. “Oleh karena itu, ketentuan ini (Pasal 529 dan 1977 KUHPerdata) tidak dapat diterapkan dalam perkara pidana”, urai Majelis dalam pertimbangannya. Menurut Pengadilan Tinggi Padang kalimat “memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika” dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika harus dimaksudkan terpenuhinya dua unsur saat benda narkotika itu di tangan tersangka/terdakwa. Kedua unsur itu adalah “kekuasaan atas suatu benda” dan “adanya kemauan untuk memiliki benda tersebut”. Kedua unsur ini harus dihubungkan dengan fakta hukum.

Pertimbangan yang sama juga di keluarkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 yang berbunyi “bahwa ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 merupakan ketentuan keranjang sampah atau karet” . Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai atau memiliki Narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam menerapkan hukum sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang mendasar. Terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau atau maksud terdakwa”.“ Memang benar para pengguna sebelum menggunakan harus terlebih dahulu membeli kemudian menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa

Narkotika tersebut sehingga tidak selamanya harus diterapkan ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ,

melainkan harus dipertimbangkan apa yang menjadi niat atau tujuan Terdakwa memiliki atau menguasai narkotika tersebut”.5

III   PENUTUP

  • 3.1  Kesimpulan

Penulisan jurnal ini, kesimpulan yang dapat diambil ialah sebagai berikut:

  • 1.    Beberapa Hakim melalui putusannya memperdebatkan permasalahan yang terjadi dalam pasal yang multitafsir dalam Undang-Undang Narkotika pasal 112. Hal tersebut menyebabkan banyaknya pertimbangan Hakim dalam menentukan hukuman yang menjadikan Disparitas Pidana, salah satu Hakim dalam putusannya menegaskan kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan tidak bisa hanya dilihat dari tekstualnya seperti dalam kalimat yang tertulis dalam Undang-Undang Narkotika.

  • 2.    Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, khususnya dalam Pasal 112 terdapat kata “menguasai” yang multitafsir dikarenakan  belum diatur secara lebih rinci di

peraturan mana pun. Hal tersebut menyebabkan tindakan yang hendak dikriminalisasi maenjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman kepada tersangka/terdakwa khususnya dalam tindak pidana narkotika.

Problema utama yang menjadi permasalahan dalam kasus ini adalah apa yang dimaksud dengan “Menguasai”, karena dalam konteks tindak pidana narkotika tindakan penguasaan atas narkotika tidaklah semata-mata menguasai namun selalu mempunyai tujuan dari menjual, menawarkan, hingga memakai untuk kepenting pribadi.

  • 3.2    Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan jurnal ini adalah sebagai berikut :

  • 1.    Undang-Undang Narkotika yang mengandung pasal multitafsir ini sebaiknya diperbaiki agar dibuat lebih spesifik khususnya pasal 112 yang mengandung kata “menguasai”, dengan berpedoman pada Putusan Tinggi Padang No.222/PID/2011/PT.PDG yang dalam pertimbangannya menyatakan kalimat memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dalam Undang-Undang Narkotika harus dimaksudkan terpenuhinya dua unsur saat benda tersebut di tangan tersangka/terdakwa.

  • 2.    Saran yang dapat diberikan adalah ketelitian pejabat yang berwenang merancang suatu kebijakan hukum yang akan diberikan kepada tersangka/terdakwa. Karena dalam hal ini, suatu kata yang multitafsir dapat menyebabkan kekeliruan yang berdampak bagi banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku

Ali, Mahrus, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakata.

Amiruddin, 2015, Hukum Pidana Indonesia, GENTA Publishing, Yogyakarta.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2002. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Pt. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Gunadi, Ismu, 2014, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Pt. Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta.

  • B.    Jurnal

Hendra, Mohammad. 2016, Tinjauan Yuridis Tentang Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Yuridis Normatif), Jurnal hukum Universitas Stih Zainul Hasan, Vol. 1 no.1.

  • C.    Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2.

13