PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA*

Oleh :

Nyoman Krisna Yudha** Anak Agung Sri Utari***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Dewasa ini, kejahatan narkotika telah meluas di kalangan masyarakat menengah kebawah, maupun di kalangan anak di bawah umur. Dalam peredaran narkotika, anak sering kali dijadikan alat oleh orang dewasa untuk mengelabuhi pihak berwajib dan agar tidak dicurigai petugas, atau bisa dibilang anak menjadi korban eksploitasi di dalam proses peredaran narkotika. Dalam hal anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika terdapat subyek hukum khusus yaitu anak. Didalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak diatur mengenai perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada anak yang berhadapan/berkonflik dengan hukum.

Rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu ketentuan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana narkotika di Indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia dan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana narkotika.

Jenis penelitian dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan menggunakan sumber bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan tentang Narkotika, Perlindungan Anak, dan Sistem Peradilan Pidana Anak serta bahan hukum sekunder yakni buku-buku dan jurnal hukum. Kesimpulan dari penulisan ini adalah pidana penjara bukan lah suatu upaya yang tepat dalam penjatuhan pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana narkotika, melainkan dengan

upaya diversi yang mana penyelesaiannya melalui pendekatan restorative justice. Sebagai upaya preventif, dengan rehabilitasi sosial diharapkan anak dapat dibina fisik dan mentalnya guna menjadi anak yang lebih baik lagi dan bermanfaat bagi masa depan.

Kata Kunci : Sanksi Pidana, Anak, Narkotika

Abstract

Nowadays, narcotics crime has spread among the middle to lower classes, as well as among minors. In narcotics distribution, children are often used as tools by adults to fool the authorities and so that officials are not suspected, or children are often victims of exploitation in the narcotics distribution process. Considering that children are a special legal subject, the laws and regulations are specifically regulated in the SPPA Law and the Child Protection Act by not ruling out the Law on Narcotics. Diversion is used as an effort to protect the law for children who commit narcotics crime which aims to find a fair solution by emphasizing the restoration to its original state and not retaliation (restorative justice approach). This effort is carried out with the hope that children who commit narcotics crimes will not be convicted, let alone jail sentences because they can affect their future. The diversion agreement in the form of social rehabilitation is the right solution in preventing or preventing efforts to improve the child so that he becomes a better human being in the future and does not repeat his crime again.

The formulation of the problem in this paper is the provision of criminal sanctions that can be imposed on children as narcotics offenders and legal protection for children who commit narcotics crimes in Indonesia. This writing aims to determine the provisions of criminal sanctions that can be imposed on children as narcotics offenders in Indonesia and legal protection for children who commit narcotic crimes.

This type of research in the writing of this journal is normative legal research that is using primary legal material sources namely legislation on Narcotics, Child Protection, and the Criminal Justice System for Children and secondary legal materials namely books and legal journals. The conclusion of this paper is that imprisonment is not an appropriate effort in imposing a crime for a child who commits a narcotic crime, but with a diversion attempt in which the solution is through a restorative justice approach. As a preventive effort, with social rehabilitation it is hoped that children can be nurtured physically and mentally in order to become better and more useful

children for the future.

Keywords: Criminal Sanctions, Children, Narcotics

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Di zaman sekarang ini, dunia semakin berkembang dan tindakan kriminal juga semakin berkembang. Sebagai contoh yang dapat dijumpai pada masyarakat salah satunya adalah Tindak Pidana Narkotika. Tidak hanya orang perorangan saja yang melakukan tindak kriminal ini namun juga melibatkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Jika narkotika disalahgunakan, akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.

Zaman dahulu, narkotika digunakan untuk tujuan pengobatan, tetapi sekarang ini masyarakat sering kali menyalahgunakan narkotika yang akan menimbulkan dampak yang berbahaya dan mengalami ketergantungan yang sangat merugikan. Akses mengenai narkotika saat ini bisa dibilang sangatlah mudah yang didukung dengan perkembangan teknologi yang canggih. Lebih parahnya lagi, kejahatan narkotika saat ini bukan hanya melibatkan orang dewasa, melainkan anak di bawah umur juga ikut terlibat didalamnya.

Di dalam peredaran narkotika saat ini, anak kerap kali menjadi korban eksploitasi oleh orang dewasa untuk mengelabuhi pihak berwajib, dan memanfaatkan anak di bawah umur untuk dijadikan umpan. Adanya faktor seperti, dijanjikan imbalan yang besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga yang kurang

baik, atas suruhan orang tua nya yang terlibat dalam peredaran narkotika, dan berbagai macam faktor lainnya.1

Dalam hal penjatuhan sanksi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, diperlukan suatu perlindungan hukum yang dapat menjamin hak-hak anak terpenuhi, mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak agar tumbuh dan kembang anak tidak terganggu hingga menjadi generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam jurnal ini, sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika?

  • 2.    Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan jurnal ini adalah :

  • 1.    Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika.

  • 2.    Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini yaitu metode penelitian hukum secara normatif, yaitu mengkaji mengenai norma, teori hukum serta merujuk pendekatan

perundang-undangan sebagai objek didalam penelitian ini guna menentukan kesesuaian peraturan tertulis yang berlaku. Penelitian ini menggunakan sumber hukum primer berupa peraturan dalam Undang-Undang Tentang Narkotika, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak dan sumber hukum sekunder yakni buku hukum maupun jurnal hukum.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Jenis Sanksi Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika

Dalam hukum pidana, tindak pidana narkotika merupakan salah satu perbuatan melawan hukum yang bersifat khusus. Pengaturan terhadap tindak pidana narkotika ini dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika). Sanksi pidana yang digunakan dalam UU Narkotika yaitu:

  • a.    Sanksi pidana pokok berupa pidana mati, penjara seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, denda serta pidana tambahan lainnya;

  • b.    Sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan sosial. Pemberatan terhadap tindak pidana berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika, akibat yang ditimbulkan, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive) dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. 2

Kejahatan di bidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama dengan anak. Anak yang belum dewasa cenderung mudah dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berhubungan dengan narkotika, karena jiwanya belum stabil yang diakibatkan oleh perkembangan fisik dan psikis. Perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur untuk melakukan kegiatan narkotika merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 133 undang-undang narkotika. Ketentuan dari pasal tersebut di atas hanya dikenakan terhadap orang yang memanfaatkan anak atau mengeksploitasi anak yang belum dewasa saja, sedangkan anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika tersebut tetap dapat diproses melalui jalur hukum yang sebagaimana mestinya untuk anak.

Anak merupakan subyek hukum yang bersifat khusus, yang dimana hak-hak nya dilindungi dan diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang khusus pula. Terkait dengan kasus anak yang melakukan tindak pidana narkotika, didalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka dalam hal ini sanksi orang dewasa dan anak pun berbeda.3

Berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, di dalam Pasal 71 UU SPPA terdapat ketentuan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu:

  • 1.    Pidana Pokok, berupa :

  • a.    Pidana peringatan

  • b.    Pidana dengan syarat :

  • i.    Pembinaan di luar lembaga

  • ii.    Pelayanan masyarakat

  • iii.    Pengawasan

  • c.    Pelatihan kerja

  • d.    Pembinaan dalam lembaga

  • e.    Penjara

  • 2.    Pidana Tambahan, berupa :

  • a.    Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

  • b.    Pemenuhan kewajiban adat. 4

Adapun suatu putusan yang berkaitan dengan anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dapat dilihat dalam kasus di Gianyar, dimana seorang anak yang dimintai ayahnya untuk mengantarkan narkotika atau menjadi kurir narkotika. Kasus ini telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar dengan Putusan Nomor 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin, menyatakan bahwa seorang anak yang masih berusia 14 tahun dijatuhi pidana penjara 2 tahun 6 bulan dan pelatihan kerja selama 2 bulan dikarenakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum

melakukan percobaan atau permufakatan jahat untuk menyerahkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman” dan anak tersebut ditahan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Karangasem.

Berdasarkan kasus tersebut, putusan yang diberikan oleh hakim adalah menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai kurir narkotika. Dasar pertimbangan hakim untuk menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara terhadap anak adalah Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dibarengi pula dengan mempertimbangkan ketentuan pidana dalam UU SPPA sebagai landasan khusus dalam peradilan pidana anak.

Berdasarkan Putusan Nomor. 2/PID SUS-ANAK/2015/PN Gin, diketahui bahwa terdakwa yang pada saat itu berusia 14 tahun, dijatuhi pidana penjara 2 tahun 6 bulan dan pelatihan kerja selama 2 bulan. Hal tersebut telah sesuai jika dilihat dari ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU SPPA saja, yang mengijinkan penjatuhan sanksi pidana hanya kepada anak yang telah berumur 14 tahun.

  • 2.2.2 Tinjauan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang

    Melakukan Tindak Pidana Narkotika

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat asas-asas yang perlu diperhatikan dalam hal perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:

  • a.    Perlindungan

  • b.    Keadilan

  • c.    Nondiskriminasi

  • d.    Kepentingan yang terbaik bagi anak

  • e.    Penghargaan terhadap pendapat anak

  • f.    Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang

  • g.    Pembinaan dan pembimbingan Anak

  • h.    Proporsional

  • i.    Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir

  • j.    Penghindaran pembalasan

Jika dilihat dari penjatuhan sanksi dari Putusan Nomor 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin, memang sudah tepat dan sesuai jika dilihat dari Pasal 69 ayat (1) UU SPPA yang mengijinkan penjatuhan sanksi pidana hanya kepada anak yang telah berumur 14 tahun, tetapi hal ini jelas bertentangan dengan pasal 64 ayat (2) huruf e Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya, serta pasal 64 ayat (2) huruf g yaitu penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Hukuman penjara 2 tahun 6 bulan merupakan waktu yang cukup lama dan sangat berat untuk dijalani oleh anak, dan akan berimbas pada pertumbuhan dan perkembangan di usianya. 5

Walaupun anak yang disebutkan dalam putusan tersebut secara sah dikatakan melanggar hukum, anak tersebut wajib mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam UU SPPA dan UU Perlindungan Anak. Mengingat bahwa sesungguhnya anak tersebut hanya menuruti perintah ayahnya tanpa ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Ia melakukan perbuatan tersebut sebagai wujud sikap menghormati orang tuanya. Justru letak kesalahannya terdapat pada ayahnya yang telah menjerumuskan anaknya ke dalam disituasi yang membahayakan anaknya.

Di dalam UU SPPA dikenal istilah diversi, yang merupakan pengalihan dari proses penyelesaian perkara di peradilan ke proses penyelesaian di luar pengadilan. Meninjau pada pasal 9 ayat (2) UU SPPA, disebutkan bahwa pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak harus selalu diupayakan, mengingat di pasal tersebut menyatakan bahwa diversi tetap dapat diterapkan pada tindak pidana tanpa korban, dimana tindak pidana narkotika merupakan kejahatan tanpa korban (crime without victim), maka anak sebagai pelaku disini, juga sekaligus menjadi korban. Terkait hal ini, diversi hanya dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pebimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan atau yang lebih dikenal dengan istilah pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Kesepakatan diversi yang tercantum dalam pasal 11 UU SPPA dapat berbentuk penyerahan kembali kepada orang tua/wali, rehabilitasi medis dan psikososial, serta mengikuti pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling lama 3 (tiga) bulan. Penyelesaian di luar proses peradilan tersebut diharapkan mampu memberikan rasa keadilan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan dengan mengutamakan

kepentingan yang terbaik bagi anak.6

Penjatuhan sanksi terhadap anak patut diperhatikan, mengingat anak adalah subyek hukum yang bersifat sangat khusus yang berbeda dengan subyek hukum orang dewasa pada umumnya yang membutuhkan perlakuan yang khusus pula. Artinya, apabila penerapan sanksi pada orang yang sudah dewasa dianggap tidak efektif sebagai sarana penanggulangan kejahatan oleh karena berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, maka penerapan sanksi terhadap anak justru akan menimbulkan dampak negatif yang jauh lebih luas.

Menurut Made Sadhi Astuti, penerapan sanksi khususnya pidana perampasan kemerdekaan terhadap anak akan menimbulkan berbagai dampak yang negatif sebagai berikut :

  • a.    Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan

  • b.    Anak diberi cap jahat oleh masyarakat yang disebut stigma

  • c.    Masyarakat menolak kehadiran mantan narapidana anak

  • d.    Masa depan anak menjadi suram.

Adapun dalam penerapan pidana penjara terhadap anak mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pembinaan anak di masyarakat, antara lain:

  • 1.    Dehumanisasi

Dehumanisasi merupakan proses pengasingan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap mantan narapidana (anak). Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya sikap sinis terhadap mantan narapidana anak, sikap penolakan terhadap kehadiran mantan narapidana

anak baik secara langsung maupun secara tidak langsung, pengejekan, dan semua perilaku yang dapat menempatkan anak dalam keterasingan baik secara psikis maupun sosial.

  • 2.    Stigmatisasi

Stigmatiasasi pada dasarnya merupakan pemberian label atau cap jahat kepada mereka yang pernah mengalami penerapan pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan.7

Penjatuhan pidana berupa pidana penjara terhadap anak, bukanlah satu-satunya cara atau solusi yang dapat dilakukan jika ditujukan sebagai upaya preventif atau pencegahan untuk memperbaiki anak agar menjadi manusia yang lebih baik kedepannya dan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Masih ada cara lain seperti Rehabilitasi Sosial yang dilakukan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) untuk anak, Instansi atau lembaga yang menangani perlindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak, dan di lingkungan keluarga/keluarga pengganti. Rehabilitasi sosial merupakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Rehabilitasi sosial jauh lebih bermanfaat bagi masa depan anak.8

  • III. Penutup

    3.1.1    Kesimpulan

  • 1.    Undang-Undang tentang Narkotika tidak mengatur ketentuan secara khusus berkaitan dengan anak sebagai subyek hukum khusus di dalam tindak pidana narkotika, maka ketentuan pidananya lebih lanjut diatur dalam UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Perlindungan Anak dengan tidak mengesampingkan UU Narkotika. Putusan yang terkait dengan pemidanaan anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dapat dilihat dalam kasus di Gianyar,    dengan    Nomor   Putusan    2/PID.SUS-

ANAK/2015/PN Gin dimana seorang anak yang dimintai ayahnya untuk mengantarkan narkotika. Putusan ini menyatakan bahwa seorang anak yang masih berusia 14 tahun terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika dan dijatuhi pidana penjara 2 tahun 6 bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan pelatihan kerja selama 2 bulan dan anak.

  • 2.    Melihat Putusan Nomor 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin, pidana penjara yang diberikan kepada anak sebagai kurir narkotika adalah keputusan yang kurang tepat. Penerapan pidana penjara terhadap anak mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pembinaan anak di masyarakat, antara lain: Dehumanisasi dan Stigmatisasi. Dalam UU SPPA

mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum wajib mengupayakan diversi terlebih dahulu. Syarat agar upaya diversi yang tercantum dalam pasal 9 ayat (2) terpenuhi, terlihat dari jenis tindak pidana itu sendiri yaitu narkotika termasuk dalam tindak pidana tanpa korban (crime without victim) yang berarti anak sebagai pelaku

disini, juga sebagai korban. Kesepakatan diversi dalam perkara anak sebagai kurir narkotika yang berbentuk rehabilitasi sosial merupakan upaya preventif yang tepat. Rehabilitasi sosial akan memulihkan fisik, mental dan sosial anak agar masa depan anak menjadi lebih bermanfaat bagi masa depannya.

  • 2.2.3 Saran

  • 1.    Seharusnya anak  yang melakukan  tindak  pidana

narkotika di dalam Putusan Nomor 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin tidak diberi pidana penjara, karena mengingat kesalahan ayahnya yang menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam bahaya narkotika.

  • 2.    Sebaiknya, penjatuhan pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diberi upaya diversi dahulu. Kesepakatan antara keluarga pelaku, pelaku dan para pihak terkait harus mementingkan kepentingan terbaik anak dengan menyerahkan anak tersebut ke Rehabilitasi Sosial demi masa depan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku

Adi, Koesno, 2015, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Setara Press, Malang.

Dirjosisworo, Soedjono, 1990, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung.

Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Siswantoro, Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika, Rajawali Pers, Jakarta.

Syamsuddin, Aziz, 2004, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.

  • 2.    Jurnal

Fredyan Priambodo dan Ida Ayu Sukihana, 2013, Pidana Dan Tindakan Terhadap Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak, Kertha Wicara, Vol. 01, No. 03, ojs.unud.ac.id, URL                                                 :

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /6150 , Diakses pada tanggal 21 September 2019 pukul

3:37

Ni Made Kusuma Wardhani dan I Gusti Ngurah Wairocana, 2018, Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Dengan Ancaman Pidana Penjara Tujuh Tahun Atau Lebih, Kertha Wicara, Vol. 07, No. 03, ojs.unud.ac.id, URL :

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /40888 , Diakses pada tanggal 21 September 2019 pukul 3:43

  • 3.    Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 5606)

15