UPAYA MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PELANGGARAN HAK CIPTA

Dewa Gede Yudi Putra Wibawa*

I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati **

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pelanggaran terhadap hak eksklusif pencipta maupun pemilik hak terkait, akan berpengaruh buruk bagi motivasinya untuk berkreasi. Pengaturan penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta yang terdiri lebih dari satu dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 terdapat kekaburan mengenai pilihan penyelesaian sengketa yang sesuai dengan ranah pelanggaran Hak Cipta, terutama mengenai upaya mediasi yang dimaksud masih implisit, sehingga perlu untuk diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengaturan Pasal 95 penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta dalam ranah hukum perdata dapat diselesaikan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase, dan Pengadilan Niaga sedangkan dalam ranah hukum pidana dapat diselesaikan melalui Pengadilan Negeri. Khusus mengenai upaya mediasi dapat dilakukan upaya mediasi penal bagi pelanggaran Hak Cipta dalam ranah hukum pidana yaitu selain pembajakan dengan bantuan wewenang diskresi, dan mediasi sukarela apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta dalam ranah hukum perdata. Dengan demikian, penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta berdasarkan Pasal 95 disesuaikan dengan ranah hukum pelanggarannya, mengenai upaya mediasi dapat dilakukan mediasi penal untuk penyelesaian tindak pidana Hak Cipta selain pembajakan dan mediasi sukarela untuk penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta dalam ranah hukum perdata.

Kata kunci: Hak Cipta, Pelanggaran Hak Cipta, Mediasi.

Abstract

Violation to exclusive right of creator or owner related, will be bad impact to their creation motivation. The Copyright violation dispute resolution regulation consist of more than one in Copyright

Law Number 28 of 2014, there is obscurity about choice of dispute resolution according the kind of Copyright violaton, especially about mediaton effort intended, and need to researched. The research method used is normative legal research. Result of this research show the regulation in Article 95 that Copyright violation dispute resolution in civil law may be solved through Alternative Dispute Resolution, Arbitration, and Commercial Court, while Copyright violation in criminal law may be solved throught District Court. Espicially about mediation effort may be solved through penal mediation for Copyright violation in Criminal Law helped by discretion of Police, and voluntary mediation for Copyright violation in Civil Law. And then, the Copyright violation dispute resolution effort according to Article 95 must adjusted with kind of Copyright violation, about mediation effort there are penal mediation for Copyright violation in criminal law and voluntary mediation for Copyright violation in civil law.

Keywords: Copyright, Copyright violation, Mediation.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Popularitas, ekonomi, dan gaya hidup mendorong seseorang untuk bertindak yang kadang malah merugikan orang lain. Salah satunya dilihat dari perbuatan yang memenuhi unsur pelanggaran di bidang Hak Cipta (Copyright) yang mengabaikan hak eksklusif pencipta maupun pemilik hak terkait. Hal ini akan berpengaruh buruk bagi motivasi pencipta maupun pemilik hak terkait untuk berkreasi.

Langkah dari penguasa untuk lebih menjamin hak eksklusif pencipta dan pemilik hak terkait dengan mengganti Undang-Undang tentang Hak Cipta sebelumnya menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang selanjutnya disebut UU Hak Cipta. Terbentuknya UU Hak Cipta salah satunya dilandasi dengan konsideran UU Hak Cipta huruf b, dengan upaya meningkatkan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik Hak Terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni maupun sastra.

Setiap karya yang dihasilkan secara khas oleh seseorang atau beberapa orang sudah menjadi hak kekayaan intelektual baginya. Karya dari kekayaan intelektual di bidang Hak Cipta akan mendapatkan perlindungan hukum apabila diwujudkan maupun diekspresikan secara nyata bukan ide semata. Perlindungan hukum Hak Cipta bersistem perlindungan otomatis (automatically protection) sebagaimana dilandasi oleh Konvensi Berne. 1 Dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta bahwa:

“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’’

Hak eksklusif berdasarkan UU Hak Cipta adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Hak eksklusif terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hasil karya cipta yang mendapat perlindungan hukum diantaranya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta.

Upaya penguasa dalam menegakkan keadilan dalam menjamin hak eksklusif pencipta atau pemilik hak terkait, diatur mengenai penyelesaian sengketa pelanggaran di bidang Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) UU Hak Cipta, penyelesaian sengketa dapat melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, dan pengadilan yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 95 ayat (1) UU Hak Cipta adalah kompetensi absolut dari Pengadilan Niaga. Selain itu, juga terdapat ketentuan keharusan penyelesaian sengketa melalui mediasi yang ditegaskan dalam Pasal 95 ayat (4), bahwa:

“Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.”

Mediasi adalah salah satu bentuk dari penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. 2 Umumnya mediasi digunakan dalam penyelesaian sengketa dalam ranah hukum perdata. Dasar hukum mediasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut UU AAPS.

Rumusan Pasal 95 ayat (4) mengharuskan upaya mediasi, melainkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2016 mengecualikan mediasi bagi sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga. Penegasan keharusan menempuh mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana juga terkesan termasuk lingkup proses peradilan pidana. Memperhatikan penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam UU Hak Cipta, penulis menemukan kekaburan norma mengenai penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta, khususnya upaya mediasi yang sebenarnya digunakan dalam UU Hak Cipta.

  • 1.2.    Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, permasalahan yang penulis temukan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta dalam UU Hak Cipta?

  • 2.    Bagaimanakah upaya mediasi dalam penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta yang dimaksud oleh UU Hak Cipta?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah dari penulis adalah untuk mengetahui dan menganalisa penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta, khususnya penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta melalui upaya mediasi.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian yang bertujuan meneliti kaidah atau norma.3 Penelitian ini didasari atas pengaturan upaya mediasi yang masih implisit sebagai penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta dalam UU Hak Cipta. Bahan hukum yang digunakan untuk mendukung analisa dalam penelitian ini diantaranya bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    2.2.1.    Pengaturan Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak dalam UU Hak Cipta

Berne Convention dan TRIPs Agreement merupakan konvensi internasional di bidang Hak Cipta yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Indonesia sebagai negara anggota konvensi, sudah menjadi kewajiban untuk menghormati standar-standar pengaturan perlindungan Hak Cipta di dalam konvensi untuk diberlakukan secara nasional.

Pada Article 9 angka 1 TRIPs Agreement mengatur bahwa anggota konvensi diwajibkan untuk mematuhi Pasal 1 hingga Pasal 21 Konvensi Berne 1971. Article 9 juga mengatur cakupan perlindungan Hak Cipta yang diperluas ke ekspresi bukan ide. Ekspresi yang dimaksud adalah diekspresikan secara nyata bukan ide semata, dalam artian suatu karya dapat dilihat, dibaca, didengar, maupun sebagainya.4

Hak eksklusif pencipta atau pemilik hak terkait yang timbul dari ciptaan yang diwujudkan atau diekspresikan tersebut terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilangkan, dan seseorang atau badan hukum tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan terhadap hasil karya cipta. 5 Hak moral meliputi hak untuk menentukan suatu ciptaan diumumkan atau tidak diumumkan oleh pencipta, untuk menarik atau membuat izin penayangan ciptaannya yang telah diungkapkan, untuk tetap dicantumkan nama penciptanya, walaupun ciptaannya telah dialihkan kepada pihak lain, dan untuk memberi/menolak perubahan atas ciptaannya.6 Sedangkan hak ekonomi yaitu hak seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya.7

Penguasa diharapkan bisa mengatasi permasalahan-permasalahan dalam menjamin kepastian hukum dan keadilan terutama dalam konteks pelanggaran Hak Cipta terkait hak

eksklusif melalui produk hukumnya yaitu UU Hak Cipta. Lingkup pelanggaran Hak Cipta dibatasi oleh ketentuan pada Bab VI UU Hak Cipta tentang Pembatasan Hak Cipta. Pelanggaran terhadap di bidang Hak Cipta dapat ditemui dalam ranah Hukum Perdata atau Hukum Pidana. Pelanggaran Hak Cipta dalam ranah Hukum Perdata, misalnya dalam perjanjian lisensi antara pencipta atau pemilik hak terkait dengan penerima lisensi, yang kemudian terjadi wanprestasi perjanjian lisensi yang dilakukan penerima hak cipta atau pemegang hak cipta berupa prestasi pemberian royalti. Lisensi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 20 adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemilik hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas karyanya dengan syarat tertentu. Hal itu akan merugikan pencipta atau pemilik hak terkait atas hak ekonominya, serta pelanggaran hak cipta dalam ranah hukum perdata lainnya sebagaimana yang diatur dalam UU Hak Cipta. Sedangkan, pelanggaran Hak Cipta dalam ranah Hukum Pidana dapat dilihat dalam ketentuan pidana UU Hak Cipta seperti pembajakan ciptaan, menghilangkan atau mengubah informasi suatu ciptaan dan pelanggaran hak cipta lainnya dalam ketentuan pidana Hak Cipta.

Individual Right menitikberatkan perlindungan hukum kepada siapa saja yang menghasilkan karya intelektual dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi, dan lahir dari pengorbanan berupa waktu, fikiran, intelektualitas, keluarga maupun uang.8 Maka dari itu, pencipta maupun pemilik hak terkait pantas mendapatkan perlindungan hukum atas segala pelanggaran Hak Cipta yang merugikan dirinya.

Upaya penguasa dalam menegakkan keadilan di bidang hak

cipta dilihat dari penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal 95 UU Hak Cipta, diantaranya dapat melalui:

  • 1.    Alternatif Penyelesaian Sengketa

Alternatif Penyelesaian Sengketa berdasarkan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) UU Hak Cipta hanya sebatas Mediasi, Negosiasi, dan Konsiliasi. Jika diuraikan pengertian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa berdasarkan UU Hak Cipta adalah sebagai berikut:

  • a)    Mediasi, menurut Moore dalam Joni Emirzon bahwa mediasi adalah intervensi oleh pihak ketiga yang tidak berpihak dan netral dalam membantu penyelesaian sengketa para pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan secara sukarela.9

  • b)    Negosiasi, menurut Munir Faudy adalah penyelesaian masalah antara para pihak dengan suatu proses tawar menawar untuk mencapai suatu kesepakatan.10

  • c)    Konsiliasi, adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yaitu konsiliator. Namun, kesepakatan dan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh para pihak. Konsiliator melakuan tindakan-tindakan diantaranya mengatur waktu maupun tempat, mengarahkan subjek pembicaraan, dan menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak lain jika tidak memungkinkan disampaikan langsung oleh pihak yang bersengketa.11

  • 2.    Arbitrase

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis yang dibuat

oleh para pihak dengan memuat klausula arbitrase sebelum terjadinya sengketa (Pactum Compromitendo) maupun setelah terjadinya sengketa (Acta Compromise). Landasan hukum arbitrase di Indonesia diatur dalam Pasal 377 HIR. 12 Produk hukum nasional yaitu UU AAPS, menegaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya diperuntukkan bagi sengketa perdata.

  • 3.    Pengadilan

Lembaga peradilan umumnya merupakan pilihan terakhir bagi para pihak yang bersengketa. Memperhatikan Pasal 24 ayat (1) j.o Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara merdeka, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa pelanggaran Hak Cipta adalah Pengadilan Niaga (Pasal 95 ayat (2) UU Hak Cipta) dalam hal pengajuan gugatan. Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Tuntutan pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri. 13 Hal tersebut tidak diatur secara eksplisit dalam UU Hak Cipta.

  • 2.2.2.    Upaya Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak Cipta yang Dimaksud Oleh UU Hak Cipta

Mediasi merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui proses di luar pengadilan (non litigasi) dengan bantuan mediator. Alternatif Penyelesaian Sengketa belum begitu dikenal oleh masyarakat secara mendalam. 14 Keberadaan Alternatif Penyelesaian Sengketa dilihat dari beberapa kritikan terhadap lembaga peradilan (litigasi) diantaranya waktu proses persidangan yang berlarut, kesulitan mendapatkan putusan yang final dan binding, biaya mahal, proses beracara seakan para pihak saling menyerang, putusan yang Win Lose Solution (kalah-menang) yang mengakibatkan hubungan para pihak menjadi putus, menimbulkan sengketa/konflik baru.15

Dari kritikan-kritikan tersebut, dirasa penyelesaian sengketa litigasi secara praktiknya tidak mencerminkan perdamaian dan kekeluargaan. Kebaikan dari mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa dibandingkan lembaga peradilan menurut Christoper W. Moor dalam Joni Emirzon yaitu prosesnya bersifat sukarela, prosedur cepat, keputusan yang non-judicial, hemat waktu, hemat biaya, dan perlindungan dan pemeliharaan hubungan.16

Mediasi umumnya digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata. Dalam hukum pidana juga mengenal mediasi yang dinamakan mediasi penal. Menurut Umi Rozah mediasi penal adalah proses yang mempertemukan korban dan pelaku tindak pidana yang telah dikehendaki oleh para pihak untuk berpatisipasi dalam menyelesaikan masalah melalui bantuan mediator.17 Mediasi penal merupakan perwujudan dari keadilan

resotratif (restorative justice) yang menekankan pada pemenuhan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana dan menempatkan posisinya menjadi pihak penting untuk dipulihkan. 18 Mediasi penal sebagai lembaga penyelesaian perkara pidana dalam proses peradilan pidana di Indonesia kurang populer. Karena pada prinsipnya, seluruh tindak pidana tidak dapat didamaikan, kecuali tindak pidana yang berupa delik aduan.19 Di samping itu belum terdapat pengaturan mengenai mediasi penal dalam hukum positif.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 120 UU Hak Cipta bahwa tindak pidana mengenai Hak Cipta merupakan delik aduan, sehingga keharusan mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran selain pembajakan yang dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) merupakan mediasi penal. Penggunaan mediasi penal di dalam Hak Cipta didasari penyelesaian tindak pidana mengedepankan ganti rugi yang sepadan dengan karya cipta dari pencipta. Selain itu memungkinkan pelaku untuk menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi tindakannya tanpa harus dikenai sanksi pidana.20

Dalam prakteknya mediasi penal dapat dilakukan dengan menggunakan diskresi kepolisian. 21 Pengertian diskresi diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa diskresi adalah keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret apabila peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap,

tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan. Dasar kepolisian dalam menerapkan mediasi penal di Indonesia juga diatur dalam Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution.

Kembali pada penyelesaian sengketa perdata di bidang Hak Cipta, diintegrasikannya mediasi ke dalam penyelesaian sengketa di pengadilan diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016. Landasan diintegrasikannya mediasi tersebut dilihat dari pengaturan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg bahwa sejatinya hakim harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, dan mediasi di rasa sebagai penyelesaian yang paling efektif. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a angka 1 Perma No. 1 Tahun 2016 terdapat pengecualian sengketa yang diwajibkan melalui penyelesaian mediasi yaitu sengketa yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga. Memperhatikan Pasal 95 ayat (2) UU Hak Cipta, bahwa pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa Hak Cipta adalah Pengadilan Niaga. Dengan demikian, upaya mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata Hak Cipta bukanlah mediasi di pengadilan melainkan dengan upaya mediasi secara sukarela sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2016 bahwa berdasarkan kesepakatan para pihak sengketa yang dikecualikan kewajiban Mediasi tetap dapat diselesaikan melalui Mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan analisis dari permasalahan, dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Pengaturan penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta

diatur dalam Pasal 95 UU Hak Cipta dengan menyesuaikan ranah dari pelanggaran Hak Cipta tersebut. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdiri dari mediasi, negosiasi, dan konsiliasi, Arbitrase, dan Pengadilan yang dalam konteks pengajuan gugatan adalah kompetensi absolut dari Pengadilan Niaga, sedangkan pengajuan tuntutan pidana melalui Pengadilan Negeri.

  • 2.    Mediasi yang dimaksud dalam UU Hak Cipta sebagai penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta adalah mediasi penal dan mediasi sukarela. Mediasi penal dilakukan apabila sengketa pelanggaran hak cipta yang merupakan suatu tindak pidana yaitu selain pembajakan dengan cara melibatkan korban dan pelaku tindak pidana yang dibantu oleh kepolisian dengan wewenang diskresinya. Sedangkan, mediasi sukarela dilakukan oleh para pihak di luar pengadilan dalam penyelesaian sengketa pelanggaran Hak Cipta dalam ranah hukum perdata.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Bagi pembentuk undang-undang seharusnya diatur secara tegas mengenai penyesuaian antara upaya penyelesaian sengketa yang disediakan dengan jenis dari pelanggaran hak cipta dalam UU Hak Cipta, misalnya dalam hal terjadi tindak pidana Hak Cipta tidak terdapat pengaturan mengenai kompetensi absolut pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutusnya, hanya ditegaskan Pengadilan Niaga saja.

  • 2.    Mediasi yang tidak hanya dalam ranah hukum perdata tetapi ada juga dalam ranah hukum pidana, pembentuk undang-undang perlu menegaskan upaya mediasi yang dimaksud dalam UU Hak Cipta sebagai penyelesaian sengketa

pelanggaran Hak Cipta selain pembajakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 95 ayat (4) maupun prosedur dari mediasi tersebut yang terkesan lingkup dari proses peradilan pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

I Wayan Wiryawan dan I Ketut Artadi, 2017. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan: Keterampilan Nonlitigasi Aparat Hukum, Udayana Press, Denpasar.

Joni Emirzon, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsoliasi, dan Arbitrase), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Maskur Hidayat, 2016, Strategi dan Taktik Mediasi Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Kencana, Jakarta.

Muhammad Djumhana dan R Djubaidilah, 1997, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Munir Faudy, 2003, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. Yahya Harahap, 2003, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta.

Ni Ketut Supasti Dharmawan, et. al, 2018, Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, Swasta Nulus, Denpasar.

Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

S. Soetrisno, 2010, Malpraktik Medik dan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu, Tangerang.

Otto Hasibuan, 2008, Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, PT. Alumni, Bandung.

Hasil Penelitian dan Jurnal:

Diah Ratna Sari Hariyanto, 2018, “Konstruksi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Indonesia“, Disertasi Universitas Udayana, Denpasar.

Renni Sartika dan Marcus Priyo Gunarto, 2018, “Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak Cipta yang Berunsur Tindak Pidana

Melalui Proses Mediasi Penal”, Tesis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ni Putu Utami Indah Damayanti, A.A. Sri Indrawati, dan A.A. Sagung Wiratni Darmadi, 2018, “Karya Cipta Electronic Book (E-Book): Studi Normatif Perlindungan Hak Ekonomi’’, Jurnal Kertha Semaya Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 06, No. 03.

Instrumen Internasional/Peraturan Perundang-Undangan:

TRIPs Agreement

Herzine Inlands Reglement

Recht Reglement Voor De Buitengewesten

Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution.

15