EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ASING

DI INDONESIA DIKAJI DARI UNDANG-UNDANG NOMOR

30 TAHUN 1999

(Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010)

Oleh :

Ni Putu Rossica Sari

Dewa Nyoman Rai Asmara Putra

Nyoman A Martana

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

There are many ways to settle civil cases in Indonesia. Arbitration is one of the alternative disputes resolution which is chosen by some business people in order to settle the dispute among them. The clauses of arbitration can be made before or after disputes arise among the parties. The arbitration is settle out of the court with contribution of the third party such as arbiter as well as arbitration council which are pointed by the parties who will settle the final and binding punishment either in Indonesia or in other countries. The arbitration decision that is taken in a foreign country can propose the execution in any parties country as long as the parties are bound in an International Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award which is held in New York year 1958.

Key words : Alternative Disputes Resolution, Arbitration, Foreign Arbitral Award, Execution.

  • I.    Pendahuluan

Pembaharuan hukum dan sistem peradilan yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi beberapa bidang hukum diantaranya bidang hukum perniagaan.1 Kemajuan pesat di bidang perdagangan seperti penanaman modal (investment), joint venture maupun alih teknologi (transfer of technology) memerlukan sarana hukum

yang cepat dan tepat manakala terjadi persengketaan2. Para pelaku bisnis beranggapan bahwa sengketa-sengketa bisnis kurang dipahami oleh hakim-hakim di pengadilan sehingga para pelaku bisnis lebih condong menggunakan alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) sebagai jalur untuk menyelesaikan persengketaan bisnis yang mereka alami.

Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Selain bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengeta tersebut, dalam upaya penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa melalui badan-badan arbitrase.

Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesian sengketa lainnya hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Seiring dengan perkembangan dunia usaha, dunia penyelesaian sengketa juga mengalami perkembangan yaitu munculnya sengketa-sengketa internasional yang diselesaikan melalui badan-badan arbitrase internasional. Penyelesain sengketa melalui badan arbitrase internasional inilah yang nantinya menghasilkan putusan arbitrase asing yang akan dimohonkan eksekusi di negara lain. Permohonan eksekusi di negara lain, bukan di tempat putusan arbitrase dijatuhkan inilah yang sering kali menimbulkan permasalahan. Salah satu putusan arbitrase asing yang eksekusinya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia adalah Putusan Arbitrase Internasional yang dikeluarkan oleh SIAC Arbitration No. 062 Tahun 2008 (SIAC Arbitration No.062 of 2008).

  • II.    ISI MAKALAH

  • 2.1 .Metode Penulisan

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif dikatakan sebagai :

“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai prepenelitian dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….”3

  • 2.2    Pembahasan

    2.2.1. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung No.01 K/Pdt.Sus/2010

Astro Nusantara International B.V., Astro Nusantara Holdings B.V., Astro Multimedia Corporation N.V., Astro Multimedia N.V., Astro Overseas Limited (sebelumnya bernama AAAN (Bermuda) Limited), Astro All Asia Networks PLC, Measat Broadcast Network Systems SDN BHD dan All Asia Multimedia Networks FZ-LLC atau yang secara bersama-sama disebut sebagai “Astro Group” merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pertelevisian. Pada tanggal 6 Oktober 2008, Astro Group mengajukan permohonan arbitrase terhadap Ayunda Prima Mitra (APM), Perusahaan dan PT Direct Vision (DV) untuk proses arbitrase di Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Singapura. Permohonan Arbitrase sesuai Notice of Arbitration tertanggal 6 Oktober 2008 yang isinya adalah menuntut pembayaran restitusi dan/atau kuantum merit (quantum merit) sebesar lebih kurang US$ 245 juta kepada Ayunda Prima Mitra, Astro Group, dan Direct Vision berikut ganti rugi atas Gugatan Perdata di Indonesia.

Astro Group sebagai pihak Pemohon Arbitrase dengan PT Direct Vision selaku Termohon Arbitrase sebelumnya terikat dalam perjanjian Subscription and Shareholder Agreement (SSA) pada tahun 2005. Subscription and Shareholder Agreement (SSA) merupakan suatu perjanjian usaha patungan yang disepakati para pihak, dimana Astro Group sebagai pihak penyiar yang akan mendapatkan pasokan siaran dari PT. Direct Vision. Dalam perjanjian

tersebut juga dicantumkan bahwa selama perjanjian berlangsung, Astro Group merupakan pemegang saham PT. Direct Vision.

Permasalahan terjadi pada tahun 2007, para pihak memikirkan pilihan untuk keluar dari perjanjian, sehingga Astro menyatakan tidak akan melanjutkan pemberian dukungan berupa jasa maupun dana kepada PT. Direct Vision. Pada Agustus 2008, Astro mengirimkan tagihan pengembalian kepada PT. Direct Vision atas jasa maupun dana yang telah diberikan. Namun dilain pihak PT. Direct Vision tetap beranggapan bahwa Astro berkewajiban memberikan bantuan jasa maupun dana kepada PT. Direct Vision.

Sebelum permasalahan tersebut diajukan kepada Singapore International Arbitration Centre (SIAC), pada tanggal 4 September 2008 PT. Astro All Asia Network PLC telah menggugat PT. Direct Vision di Pengadilan Jakarta Selatan atas dasar perbuatan melawan hukum. Atas pengajuan gugatan tersebut, pada tanggal 13 Mei 2009 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan Putusan Sela No. 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL yang menyatakan menolak eksepsi yang dikemukakan oleh Tergugat serta menyatakan bahwa Pengadilan Jakarta Selatan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Beberapa waktu sebelum keluarnya Putusan Sela Pengadilan Jakarta Selatan No. 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL tertanggal 13 Mei 2009 yaitu pada tanggal 7 Mei 2009, Tribunal SIAC telah menerbitkan Award on Preliminary Issues of Jurisdiction, Interim Anti-Suit Injunction and Joinder ARB No. 062 of 2008. Putusan SIAC No 062/2008 ini kemudian dimohonkan Pelaksanaan Putusan Arbitrasenya kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat No. 209/LSM-TMLIPM/UVII/09.

Atas Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase SIAC No. 062/2008 tertanggal 7 Mei 2009, pihak Termohon dalam Putusan SlAC Arbitration No.062/08 yaitu PT First Media, Tbk, PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision telah mengajukan surat perihal Penolakan Pelaksanaan Putusan SlAC Arbitration No. 062/08 (ARB062/08/JL) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diterima oleh Bagian umum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 3 Agustus 2009.

Kemudian pada tanggal 2 September 2009 PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision kembali mengajukan Permohonan Penolakan Atas Pelaksanaan Putusan Arbitrase SlAC No. 062/2008 tertanggal 7 Mei 2009, masing-masing terdaftar dengan nomor register perkara No.177/PDT.P/2009/PN.JKT.PST dan No.178/PDT.P/ 2009/PN.JKT PST, yang mana permohonan tersebut kemudian dicabut oleh PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision secara bersamaan pada tanggal 30 September 2009.

Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memeriksa secara substantif Putusan SIAC Arbitration No. 062/2008 terkait ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan mempertimbangkan beberapa hal, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan Keputusan berupa Penetapan No.05/PPdt.ARB.INT/2009 tanggal 28 Oktober yang isinya berupa Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase SIAC No.062/08, dengan amar sebagai berikut :

  • -    Menyatakan permohonan Pemohon tersebut di atas tidak dikabulkan ;

  • -    Menyatakan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor : 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07 Mei 2009, Non Eksekuatur (tidak dapat dilaksanakan) ;

  • -    Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengirimkan turunan Penetapan non eksekuatur ini kepada para pihak yang berperkara ;

Atas Keputusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, pihak Pemohon Eksekusi merasa tidak puas sehingga mengajukan permohonan Kasasi pelaksanaan eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia ke Mahkamah Agung.

  • 2.2.2.    Analisis Kasus

Berdasarkan Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 199, suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dieksekusi di Indonesia tentunya harus memenuhi prosedur :

  • 1.    Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik

secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional

Ketentuan ini merupakan penerapan asas Resiprositas atau asas timbal balik. Artinya bahwa antara negara tempat dijatuhkannya putusan dengan negara tempat dimohonkan pelaksanaan eksekusi memiliki hubungan kerjasama mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Putusan Arbitrase Asing yang dimaksud adalah Putusan SIAC No. 062/2008 yang dijatuhkan di Singapura. Persoalan selanjutnya adalah apakah Singapura sebagai tempat dijatuhkannya putusan dengan Indonesia sebagai negara tempat dimohonkannya eksekusi terikat dalam hubungan kerjasama mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Untuk menjawab persoalan tersebut, dalam e-book Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional karya Ramlan Ginting terdapat sebuah kalimat yang menyatakan bahwa “Putusan Arbitrase yang dibuat di Indonesia dapat diakui dan dilaksanakan di Singapura dan di seluruh negara anggota Konvensi New York lainnya, demikian sebaliknya.”4 Dari kalimat ini dapat diketahui bahwa Indonesia dan Singapura terikat dalam perjanjian internasional dalam hal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu Konvensi New York Tahun 1958.

  • 2.    Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan

Adanya asas pembatasan ini menyebabkan sangat terbatasnya putusan arbitrase asing yang dapat dieksekusi di Indonesia. Untuk menentukan apakah suatu kasus yang terdapat dalam putusan termasuk atau tidak dalam lingkup Hukum Dagang, berpatokan pada ketentuan sistem tata hukum Indonesia. Berdasarkan Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999, yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, serta hak kekayaaan intelektual.

Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan suatu batasan sempit mengenai ruang lingkup hukum dagang. Dengan berkembangnya dunia bisnis internasional, definisi hukum perdagangan kini semakin luas dan tidak hanya terbatas pada transaksi yang dapat dilihat secara kasat mata.

Dalam kaitannya dengan kasus posisi adalah bahwa antara Pihak Pemohon dengan Termohon arbitrase terikat dalam sebuah perjanjian SSA (Subscription and Shareholder Agrrement) yaitu perjanjian terkait usaha patungan yang telah disepakati pada tahun 2005.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beranggapan bahwa Putusan SIAC tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang dikarenakan salah satu amar dalam Putusan SIAC No. 062/08 menyatakan agar menghentikan proses perkara di Indonesia, yaitu gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal inilah yang dijadikan dasar pertimbangan dalam Penetapan No.05/PDT/ARB-INT/2009/ PN.JKT.PST dan Putusan Mahkamah Agung No. 01 K/Pdt.Sus/2010 sehingga berpendapat bahwa Putusan SIAC No. 062/08 merupakan lingkup Hukum Acara dan bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.

Menurut penulis disini bahwa pertimbangan tersebut telah keliru karena tidak melihat terlebih dahulu perjanjian awal yang disepakati para pihak. Sudah jelas bahwa perjanjian awal para pihak adalah perjanjian dalam ruang lingkup perdagangan yaitu dalam bentuk usaha patungan. Sehingga jelas Putusan SIAC No.062/08 tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum acara, namun berada dalam lingkup hukum dagang.

  • 3.    Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/2010 menyatakan bahwa Putusan SIAC No. 062/08 melanggar

ketertiban umum sehingga tidak dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia.

Dalam Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No. 01 K/Pdt.Sus/2010 disebutkan bahwa ketertiban umum yang dimaksud disini tentunya ada pelanggaran terhadap asas hukum acara perdata yang selama ini berlaku di Indonesia. Indonesia menganut asas souvereignty atau prinsip kedaulatan, yang mana bahwa tidak ada suatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Termasuk di dalamnya bahwa asas hukum perdata Indonesia yang mengenal adanya pemberikan hak kepada setiap orang yang berkepentingan yang merasa haknya dilanggar untuk mempertahankan hak-haknya yang merasa dilanggar tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan proses beracara secara arbitrase terutama lembaga Arbitrase Internasional.

Agak sulit kiranya memang untuk mengukur seberapa jauh suatu putusan arbitrase asing dapat dikatakan melanggar ketertiban umm di Indonesia. Mengingat bahwa sampai saat ini belum adanya kejelasan mengenai pengertian dan batasan ketertiban umum sendiri.

Barangkali tidak hanya hal-hal mendasar yang merupakan sendi-sendi dalam suatu kehidupan bernegara saja yang dilanggar kemudian dikatakan melanggar ketertiban umum, tetapi bisa saja kesalahpahaman ataupun ketersinggungan antar negara dapat dikatakan melanggar ketertiban umum. Sangat sulit memang menentukan hal ini. Sehingga menurut penulis bahwa melanggar atau tidaknya suatu ketertiban umum dilihat dari siapa yang menilai dan memeriksa putusan tersebut.

Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 seharusnya tidak adalagi Putusan Arbitrase asing yang tidak dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia khususnya yang memiliki hubungan bilateral maupun multilateral dengan Indonesia, namun faktanya ketidakjelasan terhadap batasan suatu aturan dapat menyebabkan masih ada Putusan Arbitrase Asing yang tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

  • III.    Kesimpulan

    • 3.1.    Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia yaitu :

      • 3.1.1.    Putusan arbitrase asing yang sudah final and binding didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dimohonkan eksekusi.

      • 3.1.2.    Putusan arbitrase asing yang sudah didaftarkan kemudian diperiksa secara substantif oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait ketentuan Pasal 66 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu asas resiprositas, berada dalam lingkup hukum dagang, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Apabila putusan arbitrase asing memenuhi ketiga syarat tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat mengeluarkan Penetapan eksekusi. Sebaliknya apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat mengeluarkan Penetapan Non Executorial.

    • 3.2.    Hal-hal yang menjadi kendala utama dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah tidak adanya pembatasan terhadap pengertian dan pemahaman asas ketertiban umum serta adanya ketumpangtindihan kewenangan antara badan arbitrase dengan Pengadilan Negeri.

Daftar Pustaka

Catur Iriantoro, 2007, Pelaksanaan Klausula-Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Bisnis, Jilid I, Ini Media Pustaka Bandung.

Cicut Sutiarso, 2011, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Jilid I, Yayasan Pustaka obor Indonesia Jakarta

Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ramlan Ginting, 2007, Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, Salemba Empat

Jakarta, h. 159, available from : http://books.google.co.id/books? id=9NqvCsVGt0UC&pg=PA159&lpg=PA159&dq=singapura+anggota+konvensi +new+york&source=bl&ots=Vzkv97fnnH&sig=XFkOdSHh0cfm9Om1G9gEQ8f

wOHQ&hl=id&sa=X&ei=4FcFUMPFE5DPrQehk6S3Bg&ved=0CEUQ6AEwAA #v=onepage&q=singapura%20anggota%20konvensi%20new%20york&f=false.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).

10