TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGATURAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN DI MEDIA SOSIAL
on
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGATURAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN
DI MEDIA SOSIAL*
Oleh :
Gusti Ayu Made Gita Permatasari** Komang Pradnyana Sudibya*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tertulis dan lisan telah menjadi hak setiap Warga Negara Indonesia yang telah diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada era ini orang bisa dengan mudah mengakses media sosial dan mengekspresikan pendapatnya. Setiap pendapat harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang ada. Kebebasan berpendapat yang tidak terbatas bisa mengakibatkan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech). Tindak pidana ujaran kebencian di Indonesia belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan pertanggungjawaban serta pembuktian tindak pidana ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian dengan menganalisa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum. Dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru mengakibatkan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana ujaran kebencian menjadi lebih memiliki kepastian hukum dan meminimalisir terjadinya multi tafsir serta sudah mengakomodir alat bukti baru untuk pembuktian tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech).
Kata Kunci : Ujaran Kebencian, Pertanggungjawaban Pidana, Media Sosial
ABSTRACK
The freedom to express written and oral opinion has become the right of every Indonesian citizens which has been regulated in the Article 28 of the Constitution of the Republic of Indonesia. In this era people could easily access social media and express their opinion. Any expression of opinion should be accountable and should not be contradicted with the standing norms. Indiscriminate opinion could cause a criminal act called hate speech. Hate speech is not yet been regulated in specific regulation in Indonesia. Nevertheless, criminal liability to offenders of hate speech in social media has been generally regulated in the Criminal Code and in Law Number 19 Year 2016 on the Amendment of Law Number 11 Year 2008 about Information and Electronic Transactions. The aims of this writings is to know the regulation, determine the responsibility and how to proof hate speech through social media. The method used in this writings is normative juridical in which the writer will analyze the existing regulation and legal materials. The existence of the new law about Information and Electronic Transaction allows criminal responsibility of criminal act coursed by hate speech having legal status as well as minimizes the multi-interpretation and has accommodated new evidence of hate speech provision.
Keywords : Hate Speech, Criminal Responsibility, Social Media.
Indonesia adalah salah satu Negara demokrasi di dunia. Di Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, kemerdekaan berpendapat secara lisan maupun tulisan dijamin oleh konstitusi dan Negara. Kebebasan berpendapat telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum. Menurut Undang-undang ini setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang ini merupakan pelaksana dari Pasal 28 UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Kemudahan dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dewasa ini berjalan seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi sudah sangat canggih, cepat dan mudah, sehingga menjadi gaya hidup (life style) bagi masyarakat di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia yang juga terkena pengaruh perkembangan teknologi informasi di era globalisasi ini. Salah satu pemanfaatan teknologi informatika dengan munculnya berbagai macam situs jejaring sosial ini menyebar luas ke berbagai macam kalangan anak-anak, mahasiswa, ibu rumah tangga, ekonomi atas sampai ekonomi bawah dan masih banyak yang lainnya dapat menggunakan situs jejaring sosial untuk kebutuhan masing-masing pengguna.1 Hal ini mengakibatkan setiap orang dapat berekspresi dan bebas mengeluarkan pendapat, kritik ataupun saran melalui jejaring sosial yang dimiliki. Penggunaan media sosial secara meluas ini memiliki dampak yang diibaratkan sepertia dua sisi mata uang. Di satu sisi dapat memberi dampak positif pada bidang sosial, pendidikan, politik, ekonomi dan sebagainya. Namun di sisi lain dapat menyebabkan munculnya jenis kejahatan baru.
Secara khusus, perkembangan teknologi komputer dan internet memberikan implikasi-implikasi yang signifikan terhadap pengaturan atau pembentukan regulasi dalam ruang siber dan hukum siber serta terhadap perkembangan kejahatan dalam dunia maya (cyberspace), (cybercrimes).2 Salah satu dampak negatif yang sering terjadi dengan semakin mudahnya komunikasi dan bertukar informasi melalui media sosial antara sesama
pengguna adalah mudahnya suatu pendapat yang memiliki muatan penghinaan, pencemaran nama baik atau ujaran kebencian (Hate Speech) tersebar dan di akses oleh semua orang.
Tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech) saat ini semakin menjadi perhatian masyarakat nasional maupun internasional seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia. Wadah terbesar yang memudahkan munculnya tindak pidana ujaran kebencian adalah melalui media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan jaringan sosial lainnya. Penyebaran ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antara individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang mampu mengakibatkan perubahan besar dan sering digunakan untuk kepentingan politik beberapa kalangan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang ditandatangani oleh Kapolri Badrodin Haiti. Ini menunjukan bahwa tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech) adalah suatu bentuk kejahatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat bentuk ujaran kebencian dan media penyebarannya yang kompleks serta akibat yang ditimbulkannya dapat mengganggu keutuhan bangsa dan negara.
Pengaturan hukum mengenai tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech) di Indonesia memang belum diatur secara khusus dan jelas seperti di negara-negara lain. Namun beberapa instrument HAM dan Undang-undang yang tersedia telah memberikan payung hukum terhadap permasalahan ini.
-
1. Bagaimana pengaturan dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana ujaran kebencian melalui media sosial ?
-
2. Bagaimana pembuktian tindak pidana ujaran kebencian melalui media sosial ?
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana serta pembuktian tindak pidana ujaran kebencian melalui media sosial didalam KUHP maupun diluar KUHP.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum.3 Sumber penelitian karya ilmiah ini menggunakan data yang diperoleh dengan cara menelaah bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa doktrin atau teori yang diperoleh dari literatur hukum dan penelitian ilmiah . Selanjutnya akan dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu pertanggungjawaban pidana serta pembuktian terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan dan Pertanggungjawaban Pidana terhadap
-
Tindak Pidana Ujaran Kebencian melalui Media Sosial
Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, agama, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain sebagainya. Dalam arti hukum, Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) disebutkan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk :
-
1. Penghinaan
-
2. Pencemaran nama baik
-
3. Penistaan
-
4. Perbuatan tidak menyenangkan
-
5. Memprovokasi
-
6. Menghasut
-
7. Menyebarkan berita bohong
Tindakan yang disebut diatas memiliki dampak akan terjadinya penghilangan nyawa, kekerasan, diskriminasi, atau konflik sosial. Tujuan dari ujaran kebencian sebagaimana yang disebutkan di atas adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas. Dalam huruf (h) Surat Edaran
tersebut, Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain :
-
1. Dalam orasi kegiatan kampanye
-
2. Spanduk atau banner
-
3. Jejaring media sosial
-
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi)
-
5. Ceramah keagamaan
-
6. Media masa cetak atau elektronik
-
7. Pamflet4
Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) mengacu pada ketentuan :
-
1. Pasal 156 KUHP
-
2. Pasal 157 KUHP
-
3. Pasal 310 KUHP
-
4. Pasal 311 KUHP
-
5. Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
-
6. Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.5
Pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 unsur persyaratan sebagai berikut :6
-
1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku
-
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undang-undang
-
3. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful
-
4. Pelakunya harus bisa dipertanggungjawabkan
Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali mengacu kepada ketentuan Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Unsur-unsur tindak pidana ITE dalam Pasal 28 ayat (2) yaitu7 :
-
1. Kesalahan : dengan sengaja
-
2. Melawan hukum : tanpa hak
-
3. Perbuatan : menyebarkan
-
4. Objek : Informasi
-
5. Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 28 ayat (2) ITE berdasarkan Pasal 45A ayat (2) ITE adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut Riduan Syahrani8 yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada Hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
Keberadaan alat bukti sangat penting terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat mengetahui adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang. Tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi. Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan dirinya membuat putusan atas suatu perkara.9
Dalam ketentuan Pasal 42 UU ITE diatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana UU ITE dilakukan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
ketentuan dalam UU ITE itu sendiri. Alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP yaitu :
-
1. Keterangan saksi;
-
2. Keterangan ahli;
-
3. Surat;
-
4. Petunjuk; dan
-
5. Keterangan terdakwa.
Berkaitan dengan kasus-kasus kejahatan di media sosial atau elektronik, UU ITE mengatur tentang alat bukti selain yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menegaskan bahwa yang termasuk alat bukti adalah :
-
1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
-
2. Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE diatur bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (2) ini diketahui bahwa alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik bukanlah alat bukti yang lain dan terpisah dengan alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP akan tetapi UU ITE tidak menjelaskan perluasan dari alat bukti yang mana diantara 5 (lima) alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.
Meskipun demikian, Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik seperti yang didefinisikan oleh Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE, mempunyai sifat yang sama dengan alat bukti surat. Sifat yang sama tersebut terletak pada tulisan dan/atau gambar yang dapat dilihat dan dibaca serta mengandung makna tertentu, maka frasa “merupakan perluasan” dalam kalimat
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, harus diartikan sebagai perluasan alat bukti surat.10
Oleh karena itu dalam hubungannya dengan alat bukti petunjuk, maka alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai perluasan alat bukti surat, atau sama kedudukan dan fungsinya sebagai alat bukti surat, maka juga berkedudukan dan berfungsi sama dengan alat bukti surat dalam hal digunakan sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk. Meskipun kedudukan dan fungsi alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sama dengan alat bukti surat namun ada batas-batas keberlakuannya. Dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE ditentukan bahwa mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk11 :
-
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
-
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notarial atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Berdasarkan hal tersebut dalam pembuktian perkara pidana ujaran kebencian yang merupakan alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, informasi elektronik dan dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya. Namun yang harus tetap diperhatikan dalam pengajuan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan adalah :
-
1. Keaslian atau keotentikan alat bukti;
-
2. Isi atau substansi alat bukti;
-
3. Kesesuain antara alat bukti yang satu dengan yang lain.
-
III. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu :
-
1. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian adalah :
-
a. Pasal 156 KUHP
-
b. Pasal 157 KUHP
-
c. Pasal 310 KUHP
-
d. Pasal 311 KUHP
-
e. Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
-
f. Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali pertanggungjawaban tindak pidana ujaran kebencian di media sosial mengacu pada ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik berupa pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
-
2. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU ITE. Alat bukti Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut bukanlah alat bukti yang lain dan terpisah dengan alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP melainkan berkedudukan dan berfungsi sama dengan alat bukti surat sekaligus dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk.
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :
-
1. Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial harus mengacu kepada undang-undang yang bersifat khusus. Kenyataannya sampai saat ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang penanganan terhadap tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech) secara khusus. Meskipun tindak pidana ini sudah terakomodir dalam UU ITE, namun mengingat perkembangan zaman dan teknologi yang semakin maju sehingga jenis kejahatan semakin berkembang pemerintah diharapkan dapat menciptakan aturan yang lebih khusus agar tidak terjadi multitafsir dalam penegakan hukumnya.
-
2. KUHAP secara utuh tidak lagi dapat menjadi landasan hukum pembuktian dalam perkara cyber crime di masa sekarang. UU ITE pun masih memiliki keterbatasan dalam hal pembuktian apalagi ditambah jika aparat penegak hukum sendiri tidak memiliki kemampuan dalam bidang teknologi informasi. Sangat penting adanya upaya
optimalisasi terhadap peraturan yang mengatur pembuktian terhadap kejahatan teknologi informasi serta kesiapan aparat penegak hukum dalam menghadapi kejahatan di media sosial.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Chazawi, Adami dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Banyumedia Publishing, Malang.
Diantha, I Made Pasek, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Huku, Prenada Media Group, Jakarta.
Halim, Ridwan. 1986, Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Marpaung, Leden, 2010, Tindak Pidana Terhadap Kehormata,
Sinar Grafika, Jakarta.
Sitompul, Josua, 2002, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta.
Soesilo, R, 2010, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.
Suhariyanto, Budi, 2014, Tindak Pidana Teknologi Informasi
(CYBERCRIME, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sunarso, Siswanto, 2009, Hukum Infornasi dan Transaksi Elektronik: Studi Kasus “Prita Mulyasari”, Rineka Cipta,
Jakarta.
Surya Dharma Jaya, Ida Bagus, dkk, 2016, Klinik Hukum Pidana Komponen Persiapan dan Praktek, Udayana University Press, Denpasar.
Syahrani, Riduan, 2000, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Isma, Nur Laila. 2014. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak Pidana. URL:
http//jurnal.ug.ac.id/. Diakses pada tanggal 5 Februari 2018.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 3789, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4558, Jakarta.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4919, Jakarta.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5952, Jakarta.
15
Discussion and feedback