SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPRODUKSI ATAU MENGEDARKAN VAKSIN PALSU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
on
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPRODUKSI ATAU MENGEDARKAN VAKSIN PALSU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Oleh:
Nitias Satvica Suryaningrat Ida Bagus Wyasa Putra
Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
The title of this journal is the Criminal Sanctions Against Perpetrators who Producing Fake or Distribute Vaccines Seen From Law of the Republic of Indonesia Number 36 Year 2009 on Health. The purpose of this paper is to investigate criminal sanctions perpetrators who produce or distribute fake vaccines in terms of the Health Law. The method used in this paper is a normative juridical research. Criminal sanctions against the perpetrators who produce or distribute fake vaccines in the form of imprisonment and also criminal fines as stated in the Article 196 and Article 197 of the Health Law.
Keywords : Criminal Sanction, Actors, Fake Vaccines
ABSTRAK
Judul dari jurnal ini adalah Sanksi Pidana Terhadap Pelaku yang Memproduksi atau Mengedarkan Vaksin Palsu Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu ditinjau dari UU Kesehatan. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah penelitian yuridis normatif. Sanksi pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu yaitu berupa pidana penjara dan juga pidana denda yang sebagaimana tercantum dalam Pasal 196 dan Pasal 197 UU Kesehatan.
Kata Kunci : Sanksi Pidana, Pelaku, Vaksin Palsu
Vaksin adalah suatu produk biologi yang terbuat dari kuman, komponen kuman yang telah dilemahkan, dimatikan, atau rekayasa genetika dan berguna untuk merangsang kekebalan tubuh secara aktif.1 Pemberian vaksin atau yang disebut dengan vaksinasi pada umumnya diberikan kepada balita usia 0-6 tahun yang dilakukan secara bertahap. Pasca kematian bayi setelah vaksinasi pada Juni 2016 memunculkan isu adanya vaksin palsu yang beredar di tengah masyarakat. Pengungkapan vaksin palsu
berawal dari informasi masyarakat yang kemudian ditelusuri oleh Direktorat Tipideksus Bareskrim dalam mengumpulkan data-data dan fakta dilapangan untuk dijadikan bahan penyelidikan.2
Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan analisis sejauh mana sanksi pidana terhadap pelaku pembuatan vaksin palsu ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut sebagai UU Kesehatan).
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu ditinjau dari UU Kesehatan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah penelitian yuridis normatif. Sumber data yang digunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bahan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum 3 tersier.
Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.4 Sedangkan pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-
undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya); tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu negara;Hukum, a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum.5
Pelaku tindak pidana yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu dapat dijatuhi pidana berupa pidana penjara dan juga pidana denda sebagaimana dimaksud dalam UU Kesehatan. Pasal yang berkaitan dan dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu adalah sebagai berikut:
-
a. Pasal 196 UU Kesehatan menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
-
b. Pasal 197 UU Kesehatan menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
-
2.2.2 Syarat pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.6 Masalah pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Hal ini bisa
dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Dari ketentuan pasal tersebut jelas bahwa unsur kesalahan merupakan unsur yang sangat menentukan akibat dari suatu perbuatan seseorang yakni berupa penjatuhan pidana. Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu:
-
1) adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat,
-
2) hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk kesalahan,
7
-
3) tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.7
Berdasarkan hal tersebut maka syarat pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu harus memenuhi ketiga unsur pertanggungjawaban pidana. Hal yang pertama adalah si pelaku memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab yaitu ia mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya.
Selanjutnya si pelaku melakukannya dengan kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-undang.8 Berkaitan dengan hal ini UU Kesehatan melarang perbuatan memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan (Pasal 196) dan yang tidak memiliki izin edar (Pasal 197). Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika, maka dari itu vaksin dapat dikategorikan sebagai sediaan farmasi. Mengenai kealpaan akan terjadi jika si pelaku tidak menggunakan pikiran atau pengetahuannya dengan baik, yang dalam hal ini si pelaku yang memproduksi dan mengedarkan vaksin palsu sadar akan akibat yang ditimbulkan atau akibat yang tidak diduga akan timbul dikemudian hari dari
memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu. Unsur yang terakhir adalah tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf, jadi si pelaku tidak sakit atau terganggu jiwanya sesuai dengan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta tidak adanya alasan pembenar, dimana perbuatan pelaku itu tidak dibenarkan oleh undang-undang.
Sanksi pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu yaitu berupa pidana penjara dan juga pidana denda yang sebagaimana tercantum dalam Pasal 196 dan Pasal 197 UU Kesehatan. Syarat pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu adalah harus memenuhinya unsur kesalahan yakni adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk kesalahan, dan tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf, serta memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 196 dan Pasal 197 UU Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana (Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan), Rangkang Education & Pukap Indonesia, Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2009, Pedoman Pengelolaan Vaksin, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Fustaka, Jakarta.
Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa,
Visimedia Pustaka, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
INTERNET
Hotman Siregar, 2016, Pengungkapan Vaksin Palsu Berawal dari Kematian Bayi, URL: http://www.beritasatu.com/hukum/371553-pengungkapan-vaksin-palsu-berawal-dari-kematian-bayi.html, diakses tanggal 13 Februari 2017
6
Discussion and feedback