TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETENTUAN PASAL 28 AYAT (2) UU INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

(STUDI KASUS BUNI YANI)

Oleh:

Fransiskus Sebastian SitumorangIda Bagus Surya Dharmajaya∗∗ I Made Walesa Putra∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan salah satu pasal yang mengatur tentang penyebaran rasa kebencian di media sosial. Ketentuan pasal tersebut masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir terkait dengan pengertian dari rasa kebencian yang dimaksudkan oleh pasal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaturan rasa kebencian menurut hukum positif dan pengaturan pasal tersebut di masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Pengaturan terkait rasa kebencian di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun secara khusus rasa kebencian di media sosial di atur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE masih menimbulkan norma kabur terkait dengan penggunaannya dalam banyak kasus seperti kasus Buni Yani dan juga sulitnya untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dianggap melanggar pasal tersebut. Ketentuan pasal tersebut masih perlu perbaikan untuk lebih membatasi perbuatan pengguna media sosial. Perubahan terbaru UU ITE hanya berfokus pada sanksi dan perubahan pasal lainnya sedangkan untuk Pasal 28 ayat (2) tidak ada perubahan.

Kata Kunci : Rasa Kebencian, Media Sosial, UU ITE.

ABSTRACT

Article 28 paragraph (2) of the ITE Law is one of the articles that regulate the spread of hatred in social media. The provisions of that article still lead to a multi-faceted understanding of the sense of hatred that the passage refers to. This study aims to find out about the regulation of hatred according to positive law and the arrangement of the article in the future. This study uses normative legal research methods that are sourced from legislation. Hate-related arrangements are regulated in some legislation, but in particular a sense of hatred in social media is set in Article 28 paragraph (2) of the ITE Law. The use of Article 28

*Fransiskus Sebastian Situmorang adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected].

** Ida Bagus Surya Dharmajaya adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

*** I Made Walesa Putra adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

paragraph (2) of the ITE Law still creates a vague norm related to its use in many cases such as the Buni Yani case and also the difficulty of resolving cases that are considered to violate the article. The provisions of the article still need improvement to further limit the actions of social media users. The latest amendment of the ITE Law only focuses on sanctions and other article changes while for Article 28 paragraph (2) there is no change.

Keywords: Hatred, Social Media, UU ITE.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan salah satu peraturan dalam hukum positif Indonesia yang dipergunakan untuk membatasi perbuatan-perbuatan yang melanggar di media sosial terkait dengan rasa kebencian dan juga unsur suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)’. Terkait pemahaman dari kebencian itu sendiri, dalam pasal tersebut tidak ada pemahaman yang cukup jelas. Oleh karena itu, terkait dengan hal tersebut, dalam Pasal 156 KUHP lebih mengarah ke perbuatan yang menyatakan permusuhan (vijanschap) yaitu, perbuatan yang menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai memusuhi suatu golongan penduduk Indonesia. Perbuatan menyatakan kebencian (haat) adalah berupa perbuatan menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang atau dinilai oleh masyarakat umum sebagai membenci terhadap suatu golongan penduduk Indonesia. Perbuatan yang isinya dipandang oleh umum menyatakan ucapan

yang menghina, merendahkan, melecehkan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.1

Pada faktanya, adanya sebuah kasus yang dianggap telah melanggar ketentuan dari pasal tersebut yaitu kasus penyebaran video editan di media sosial Facebook oleh Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial. Melalui akun media sosialnya, Buni Yani menyebarkan sebuah video yang isinya tentang pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang pada pidatonya, Ahok mengucapkan Surat Al-Maidah 51. Akibat dari penyebaran video tersebut, sebagian umat muslim menganggap bahwa agamanya telah di nodai oleh Ahok yang pada faktanya terjadi demo yang menuntut Ahok untuk dipenjara atas dugaan penodaan agama.2

Dampak dari perbuatan penyebaran video tersebut, Buni Yani dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial yang menyebabkan dirinya dikenai pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Buni Yani telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial yang mengandung unsur SARA. Terkait dengan hal tersebut, keterangan dari Buni Yani sendiri mengatakan bahwa tujuan dari menyebarkan video tersebut adalah untuk mengajak para pengguna media sosial lainnya berdiskusi, bukan untuk menyebarkan rasa kebencian yang mengandung unsur SARA. Oleh karena berdasarkan keterangan dari Buni Yani tersebut,

menimbulkan adanya pemahaman yang multitafsir terkait ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut terhadap penggunaanya pada kasus Buni Yani yang dapat dikatakan mampu bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.

Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pada faktanya masih memerlukan penjelasan terkait maksud dari rasa kebencian tersebut dan juga terkait dengan perbuatan-perbuatan yang di anggap melanggar ketentuan pasal tersebut. Hal tersebut berguna untuk mencegah adanya pelanggaran terkait hak kebebasan berpendapat di media sosial dan juga untuk tidak menimbulkan kesan multitafsir atau norma kabur terhadapan ketentuan pasal tersebut di masa yang akan datang. Hal tersebut berdasarkan fakta yang terjadi banyaknya perbuatan-perbuatan yang belum tentu dapat dianggap melanggar peraturan perundang-undangan. Selain itu juga perlunya batasan-batasan terkait perbuatan di media sosial. Hal ini karena setiap perbuatan di media sosial, memungkinkan untuk memberikan pengaruh bagi opini publik yang berkembang di masyarakat.3 Salah satu kasus yang pernah terjadi yang dapat dikatakan merupakan suatu pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah kasus Prita Mulyasari terhadap Rumah Sakit Omni Internasional.4

  • 1.2    Permasalahan

  • 1.    Apakah makna kata “kebencian” menurut ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE ?

  • 2.    Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE di masa yang akan datang ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui dan memahami ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan pengaturannya terkait makna kata kebencian serta pengaturan yang diharapkan di masa yang akan datang. Hal tersebut untuk mencegah adanya pertentangan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penelitian jurnal ini menggunakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan pustaka    yakni dengan

mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum dan kaedah-kaedah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan.5 Perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan hukum positif khususnya ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan meliputi sumber hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, dan sumber hukum sekunder

yaitu buku-buku hukum yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Teknik analisa bahan hukum menggunakan teknik deskriptif kualitatif yaitu menguraikan dan mendeskripsikan hasil dari pengumpulan bahan dari hasil analisa bahan hukum

  • 2.2    Hasil dan Analisa

    • 2.2.1    Pengaturan Rasa Kebencian sesuai dengan Ketentuan Hukum Positif di Indonesia

Pengaturan terkait rasa kebencian dalam hukum positif di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Diantaranya yaitu, Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 16 juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Pasal 28 juncto 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan ada juga peraturan-peraturan lainnya yang terkait.

Pemahaman terkait rasa kebencian dalam Pasal 156 KUHP6, disebutkan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan ucapan yang berisi kata-kata atau kalimat tertentu. Oleh karena dinyatakan dengan ucapan, maka disebut menyatakan perasaan dengan lisan. Isinya pernyataan perasaan tersebut dinyatakan dalam tiga macam yaitu pernyataan mengenai permusuhan,

kebencian, dan penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia.7

Kriteria suatu ucapan agar dapat dipandang oleh umum sebagai pernyataan permusuhan, kebencian, atau menghina terhadap suatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat dijadikan pegangan adalah pada nilai-nilai moral, tata susila dan kepatutan dalam pergaulan hidup bermasyarakat sebagai suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia.8

Pemahaman terkait rasa kebencian dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak ada penjelasan lebih lanjut. Hal ini yang menimbulkan adanya pemahaman yang multitafsir dan banyaknya pandangan dan pendapat dari banyak pihak terkait dengan kebencian yang dimaksud dan juga ketentuan pasal tersebut. Pendapat pertama, mengatakan merupakan suatu tindak pidana formil. Selesainya tindak pidana terletak pada selesainya perbuatan. Alasannya dalam rumusan pasal, tidak secara tegas melarang menimbulkan akibat tertentu. Hal tersebut terletak pada frasa “ditujukan untuk” dalam rumusan pasal tersebut, yang bisa diartikan bahwa perbuatan menyebarkan informasi ditujukan agar timbul rasa kebencian. Berdasarkan penjelasan tersebut, membutuhkan pembuktian, bahwa perbuatan menyebarkan tersebut bertujuan untuk menimbulkan rasa benci. Caranya dengan melogikan wujud dari perbuatan tersebut menurut sifat dan keadaannya dapat menimbulkan kebencian

antar golongan dan sebagainya yang disadari dan dikehendaki si pembuat.9

Pendapat kedua, perbuatan tersebut termasuk tindak pidana materiil. Tindak pidana selesai sempurna jika akibat adanya rasa kebencian atau permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul. Alasan pendapat kedua adalah dalam hubungannya dengan pembuktian. Perasaan permusuhan dan kebencian, hanya ada dalam hati. Tidak bisa diketahui dan dibuktikan sebelum ada wujud nyata dari tindakan yang menggambarkan rasa ketidak senangan atau permusuhan tersebut. Dalam hal ini, jika perbuatan telah terwujud sementara akibat tidak timbul, kejadian itu termasuk percobaan, pelakunya sudah dapat dipidana.10

Berdasarkan penjelasan tersebut, terkait ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir. Namun pada faktanya, ketentuan dari pasal tersebut telah dipergunakan dalam menyelesaikan banyak kasus yang melanggar isi pasal tersebut diantaranya yaitu, kasus Sandy Hartono, Alexander Aan, Muhamad Rokhisun. Ketiga kasus tersebut, memiliki latarbelakang yang berbeda-beda dan sudah mendapatkan putusan akhir.

Pada pelaksanaan penggunaan pasal tersebut di lingkungan peradilan, para penegak hukum terkhusus hakim, harus menggunakan penafsiran hukum untuk memberikan pemahaman bahwa suatu perbuatan telah melanggar pasal tersebut. Penafsiran itu sendiri, menurut Profesor Mr. D. Simons, syarat

pokok untuk melakukan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan tersebut itu harus ditafsirkan berdasarkan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam menguraikan penafsiran tersebut, tidak boleh mencari bahan-bahan di luar peraturan tersebut. Pada faktanya, meskipun suatu peraturan perundang-undangan itu telah dibentuk dengan mempergunakan kata-kata dan istilah yang tegas, akan tetapi masih ada kemungkinan untuk memberikan penafsiran, bahkan dapat menimbulkan keraguan.11

Berdasarkan dari ketiga kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang dapat dikategorikan telah melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yaitu, 1) adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang berkaitan dengan unsur SARA, 2) Perbuatan tersebut memuat gambar-gambar tentang orang-orang yang disucikan dalam suatu agama yang bertentangan dengan gambar aslinya, 3) Membuat tulisan yang menjelek-jelekan isi dari kitab suci suatu agama yang berbeda dengan ajaran agama tersebut atau, 4) Menyebarluaskan hal-hal yang bersifat pribadi yang bertentangan atau melanggar norma-norma kesopanan dan kesusilaan, 5) Perbuatan yang dilakukan mengandung unsur SARA dan dilakukan di media sosial.

Terkait dengan perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE belakangan ini yang sedang terjadi dan masih dalam proses peradilan yaitu kasus Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial Facebook dengan menyebarkan video pidato Ahok di Kepulauan

Seribu yang menyebutkan Surat Al-Maidah 51. Berdasarkan keterangan dari saksi ahli bahwa perbuatan Buni Yani telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut. Hal tersebut berdasarkan keterangan tambahan pada caption video tersebut sebelum disebar. Namun berdasarkan penjelasan dari pelaku sendiri tidak bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian, dan hanya untuk mengajak para pengguna media sosial untuk berdiskusi. Hal tersebut menimbulkan pemahaman bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut menyebabkan norma kabur sehingga diperlukannya pembaharuan terkait pasal tersebut.

  • 2.2.2    Pengaturan Ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE di Masa yang Akan Datang

Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, pada masa sekarang telah dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Namun yang terkait dengan penggunaannya, menimbulkan permasalahan tersendiri di masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya perbuatan yang mengandung unsur SARA dan juga kebencian di media sosial namun tidak bisa ditindak. Selain itu, banyaknya perbuatan yang sebenarnya tidak melanggar ketentuan pasal tersebut, dianggap telah melanggar pasal tersebut. Hal ini menyebabkan banyaknya pihak-pihak yang melakukan aksi saling lapor ke pihak kepolisian terkait perbuatan-perbuatan tersebut yang menyebabkan pihak kepolisian sendiri kesusahan.

Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pada masa ini dianggap menyebabkan adanya pembatasan yang tidak jelas terkait dengan

hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.12 Hal tersebut melihat banyaknya perbuatan-perbuatan yang dianggap telah melanggar ketentuan pasal tersebut. Oleh karena itu, di masa yang akan datang diharapkan bahwa penggunaan pasal tersebut dalam kehidupan bermasyrakat lebih diperjelas batasan-batasannya.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru, masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir terkait maksud dari ketentuan pasal tersebut. Hal tersbut berkaitan dengan tidak adanya penjelasan lebih lanjut terkait hal-hal yang masih membutuhkan penjelasan sepertinya rasa kebencian yang dimaksud, bentuk penyebaran informasi dan hal lainnya. Adanya perbedaan pendapat terkait dengan perbuatan yang dapat dikatakan telah melanggar ketentuan pasal tersebut. Hal tersebut terkait dengan tindak pidana formil dan materiil dari yang perbuatan dimaksudkan oleh pasal tersebut. Tindak pidana formil jika dikaitkan dengan pasal tersebut, tidak secara tegas melarang menimbulkan akibat tertentu dari perbuatan tersebut. Selain itu, perbuatan tersebut memerlukan pembuktian bahwa perbuatan tersebut bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian, dan untuk tindak pidana materiil jika dikaitkan dengan pasal tersebut, berkaitan dengan pembuktian itu sendiri. Perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat yang wujudnya nyata, karena terkait dengan rasa kebencian dan lainnya merupakan sesuatu hal yang hanya ada dalam diri manusia.13

Terkait dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE di masa yang akan datang, diharapkan mampu memenuhi dan sesuai dengan harapan dari masyarakat. Hal tersebut agar masyarakat mengetahui batasan-batasan dalam menggunakan media sosial dan agar masyarakat mengetahui perbuatan-perbuatan yang dapat dianggap telah melanggar peraturan. Diperlukannya juga pemberian pemahaman dan pengertian terkait rasa kebencian dan unsur-unsur SARA.

Usulan-usulan lainnya terkait UU ITE dan juga Pasal 28 ayat (2) yaitu, perlunya dibuat bab khusus untuk perbuatan-perbuatan yang mengandung pelanggaran unsur SARA di media sosial. Kedepannya akan lebih baik dalam pembaharuan di masa yang akan datang menggunakan Surat Edaran Kepolisian terkait rasa kebencian. Dalam surat edaran tersebut, diberikan pemahaman terkait bentuk-bentuk ujaran kebencian yang berasal dari KUHP dan juga aturan-aturan lainnya di luar KUHP. Adapun bentuk-bentuknya yaitu, a) Penghinaan, b) Pencemaran nama baik, c) Penistaan, d) Perbuatan tidak menyenangkan, e) Memprovokasi, f) Menghasut, g) Menyebarkan berita bohong. Semua perbuatan tersebut berkemungkinan menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan juga konflik sosial. Ada juga dalam surat edaran tersebut media yang dapat dimungkinkan dipergunakan untuk melakukan ujaran kebencian yaitu, 1) Dalam orasi kegiatan kampanya, 2) Spanduk atau banner, 3) Jejaring media sosial, 4) Penyampaian pendapat di media sosial, 5) Ceramah keagamaan, 6) Media massa atau cetak atau elektronik, 7) Pamflet.14

  • III.    PENUTUP

    3.1    KESIMPULAN

  • 1.    Pengaturan tentang rasa kebencian diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan dalam hukum positif, secara khusus diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008. Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur secara khusus terkait rasa kebencian masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir atau norma kabur. Hal

tersebut melihat kenyataan yang ada di masyarakat bahwa dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan

kebencian di media sosial masih sulit untuk diatasi.

  • 2.    Pengaturan tentang rasa kebencian pada amandemen UU ITE terbaru yaitu Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Nomor 11 Tahun 2008. Dalam UU ITE terbaru tidak ada perubahan terbaru terkait dengan rasa kebencian yang menyebabkan tetap adanya pemahaman yang multitafsir karena dalam UU ITE terbaru tersebut lebih berfokus kepada sanksi dan perubahan pasal lainnya diluar Pasal 28 ayat (2).

  • 3.2    DAFTAR PUSTAKA

    1.    BUKU

Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Positif Penghinaan, Media Nusa Creative, Malang.

Chazawi, Adami dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan

Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Bayumedia Publishing, Malang.

Kasim, Ifdhal, 2001, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, Bandung: TARSITO Bandung.

Moeljatno, 2012, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif       Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI, 2014, Panduan Optimalisasi Media Sosial Untuk Kementerian Perdagangan RI, Cetakan I, Kementerian Perdagangan RI, Jakarta Pusat.

  • 2.    JURNAL

Watie, Errika Dwi Setya, Jurnal : Komunikasi dan Media Sosial (Communications and Social Media), Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang

  • 3.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

  • 4.    INTERNET

Rivki, Herianto Batubara, Jumat 4 November 2016 “Petisi Proses Hukum Buni Yani Muncul, Diteken Lebih dari 50 Ribu Orang”, URL:   http://news.detik.com/berita/d-3337863/petisi-proses-

hukum-buni-yani-muncul-diteken-lebih-dari-50-ribu-orang, diakses tanggal 6 November 2016

14