KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH PENGIDAP SKIZOFRENIA
on
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH PENGIDAP SKIZOFRENIA
Oleh:
Muhammad Nanang Fajri∗ Ida Bagus Surya Dharma Jaya∗∗ I Gusti Ngurah Parwata∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Pada dasarnya setiap orang memiliki peluang untuk melakukan tindak pidana, tidak pandang usia, jenis kelamin dan status sosial. Para pelaku tindak pidana disini haruslah mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan dihadapan hukum, namun bagaimana apabila orang yang melakukan perbuatan tersebut mengalami gangguan jiwa berupa skizofrenia. Maka dari itu, dalam penulisan ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah sesungguhnya pengaturan terhadap pelaku tindak pidana pengidap skizofrenia dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dan apakah hukum pidana dimasa yang akan datang (Rancangan KUHP) perlu mengatur akan hal ini.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini digunakan karena terjadinya kekaburan norma disaat timbulnya suatu permasalahan hukum yang sukar untuk dicarikan jalan keluarnya mengingat perbedaan pendapat para ahli dan hakim dalam memutus perkara serupa.
Kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab diatur dalam Pasal 41 KUHP yang menyatakan “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.” Namun tidak dijelaskan secara rinci batasan-batasan orang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu diperlukan aturan yang lebih jelas, dan kajian komperhensif guna menghindari timbulnya multitafsir dikalangan para ahli dan penegak hukum.
Kata Kunci :Kebijakan Hukum Pidana, Skizofrenia, Pertanggungjawaban Pidana.
∗Muhammad Nanang Fajri adalah mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : nanangmochammad@yahoo.co.id
∗∗Ida Bagus Surya Dharma Jaya adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
∗∗∗ I Gusti Ngurah Parwata adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
ABSTRACT
Basically everyone has an opportunity to commit a crime, regardless of age, gender and social status. The perpetrators of criminal offenses here should be able to take responsibility for the actions that have been committed before the law. However, what if the person doing the act has a schizophrenic illness? Therefore, the issue raised in this paper is how the actual arrangement of the perpetrators of schizophrenia in positive law of Indonesia (KUHP) and whether future draft law (RKUHP) need to regulate this matter.
The research method used in this paper is the normative legal research. This method is used because of the refraction of norms when the emergence of a legal problem that is difficult to find a way out, given the differences of opinion of experts and judges in deciding similar cases.
The ability of a person to be in charge contained in article 41 positive law of Indonesia (KUHP), which states "Whoever does a deed that is not accountable to him, due to his soul defect in growth (gebrekkige ontwikkeling) or impaired due to illness (ziekelijke storing), not criminalized. "Further on are not described in detail limitations who could not be accounted for, and it therefore requires clearer rules and a comprehensive study in order to avoid the onset of multiple interpretations among experts and law enforcement officials.
Keywords: Criminal Law Policy, Schizophrenia, Criminal Accountability
I.PENDAHULUAN
Setiap orang dalam dirinya tentu terdapat potensi untuk melakukan kejahatan. Kejahatan merupakan polemik yang membayangi umat manusia yang senantiasa ada dalam masyarakat. Tentunya segala perbuatan (kejahatan) haruslah dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan keadilan, serta mencegah atau mengurangi perbuatan serupa diulangi kembali dikemudian hari.
Pelaku kejahatan bisa datang dari mana saja dan acap kali adalah orang terdekat korban. Tentunya banyak hal yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana, mulai dari masalah keluarga, lingkungan, ekonomi bahkan kondisi kejiwaan sekalipun turut memberikan andil mengapa seseorang melakukan perbuatan anti sosial. Disinilah kehadiran negara sangat diperlukan guna melindungi warga negaranya dari tindak kejahatan.
Dewasa ini banyak ditemukan kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh pengidap gangguan jiwa berupa skizofrenia, namun undang-undang disini tidak menyebutkan secara tegas batasan-batasan orang yang dikatakan mengalami gangguan jiwa, apakah orang yang tidak waras saja yang disebut demikian atau orang-orang yang mengalami tekanan mental yang menganggu fikirannya yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit mental sehingga ia melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan namun dipandang sebagai hal yang pantas untuk diperbuat.
Dasar pemikiran ini diperoleh dari kajian beberapa kasus yang dilakukan oleh orang yang mengaku mendapat bisikan-bisikan dalam jiwanya, berhalusinasi, hingga timbulnya rasa curiga berlebih terhadap orang sekitar yang mengarahkan seseorang untuk melakukan perbuatan anti sosial seperti menganiaya, atau bahkan tidak segan untuk merenggut nyawa korbannya dengan sadis dan diluar batas-batas kewajaran sebagai mahluk sosial. Salah satu contoh kasus yang terjadi awal tahun 2016 lalu adalah tindakan yang dilakukan oleh anggota polres Melawi, Kalimantan Barat Brigadir Polisi Petrus Bakus. Anggota polisi yang tega membunuh dan memutilasi kedua anak kandungnya menjadi beberapa bagian, ia
mengaku mendapat “bisikan” gaib yang memerintahkannya untuk melakukan perbuatan keji tersebut.1
Kondisi yang demikian dalam hukum pidana diatur dalam pasal 41 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menyatakan bahwa: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Terdapat kekaburan dalam ketentuan pasal ini, dimana tidak ditentukannya batasan-batasan seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya dan juga ketentuan pasal ini dirumuskan secara negatif. Kekaburan norma ini tentu menimbulkan menyulitkan penerapannhya ditambah dengan perbedaan pendapat dikalangan para sarjana. Kebijakan hukum pidana mutlak diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan paling tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
dipertanggunngjawabkan menurut hukum positif di Indonesia (Ius constitutum)?
-
1.2.2. Bagaimana kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pengidap skizofrenia (Ius Constutuendum)?
-
1 “Apa kabar kasus Petrus Bakus Pemutilasi Anak Kandung?” Liputan 6, 18 Maret 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana pengidap skizofrenia dalam hukum positif di Indonesia dan juga bagaimana kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang terhadap mengatur hal tersebut.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, karena mengkaji permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dikaji dengan teori hukum yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.2
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis terhadap konsep hukum dan pendekatan kasus.
-
1. Sumber bahan hukum primer
-
2. Sumber bahan hukum sekunder
-
3. Sumber bahan hukum tersier
Mencatat melalui sistem kartu terhadap data kepustakaan, yaitu berupa undang-undang, artikel-artikel, putusan hakim, dan buku-buku referensi yang akan dibahas dalam penulisan.
-
1. Teknik deskripsi
-
2. Teknik evaluasi
-
3. Teknik argumentasi, dan
-
4. Teknik sistematisasi.
-
2.2. Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pengidap Skizofrenia.
-
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.3
Pertanggungjawaban pidana merupakan penilaian yang dilakukan setelah dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana, artinya harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi tindak pidana. Penilaian ini dilakukan secara objektif dan subjektif, penilaian secara objektif ini dilakukan atas dasar kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh norma hukum yang dilarangnya. Penilaian secara subjektif dilakukan dengan mendasar pada prinsip-prinsip keadilan bahwa keadaan psikologis pembuat yang sedemikian rupa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.4
Pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan kemampuan bertanggungjawab. Secara teoritis kemampuan bertanggungjawab adalah kondisi batin yang normal atau sehat dan
mampunyai akal dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan buruk;5 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.6
Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab, yang berhubungan dengan itu ialah pasal 44 ayat (1) yang pada intinya berbunyi: Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana.
Merujuk dari ketentuan pasal tersebut serta melihat kondisi kejiwaan seseorang yang mengidap skizofrenia tentu akan membawa pada kesimpulan bahwa pelaku tindak pidana pengidap skizofrenia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya, karena ia termasuk dalam katagori yang disebutkan dalam pasal 44 ayat (1) KUHP yang dalam teori hukum pidana disebut alasan pemaaf dimana alasan ini menghapus kesalahan dari si pembuat.
Adami Chazawi dalam bukunya menguraikan dasar-dasar tidak dapat dipidananya seseorang walaupun orang tersebut telah melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang. Diantara dasar-dasar tersebut antara lain:
-
A. Dasar peniadaan pidana dalam undang-undang yang bersifat umum
-
1. Dasar peniadaan pidana dalam undang-undang yang bersifat umum
-
a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwa cacat dalam pertumbuhannya, dan jiwa terganggu karena penyakit;
-
b. Daya paksa (Overmacht)
-
c. Pembelaan terpaksa (Noodweer)
-
d. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Exces)
-
e. Menjalankan perintah undang-undang (Wettelijk Voorscbrift)
-
f. Menjalankan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel)
-
g. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik
-
2. Dasar peniadaan pidana khusus
-
B. Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang
-
1. Kehilangan sifat melawan hukum dari perbuatan (secara materiil dalam fungsinya yang negatif)
-
2. Dasar peniadaan pidana karena ketiadaaan unsur
kesalahan pada si pembuat.7
Moeljatno menyatakan bahwa indikator seseorang untuk
dikatakan mampu bertanggungjawab adalah:
-
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
-
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.8
Jadi paling tidak ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Artinya pengidap gangguan jiwa skizofrenia tidak mampu dipertanggungjawabkan karena dalam diri pembuat adanya gangguan mental yang menyebabkan tidak
bekerjanya akal secara normal sehingga pembuat tidak mampu menginsyafi perbuatannya.
Dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan tersebut ia mempunyai kesalahan dan apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia akan dipidana.9 Sebagai tambahan, Apabila pelaku terbukti mengidap skizofrenia dan skizofrenia tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatannya, maka sudah barang tentu pelaku disini tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan hakim memerintahkan kepada jaksa agar pelaku dimasukkan ke rumah sakit jiwa, mengacu pada pasal 44 ayat (1) KUHP.
Hal ini senada dengan pendapat Simons, seperti yang dikutip oleh Lamintang, yang menyatakan bahwa dalam usaha untuk mengambil keputusan tentang ada atau tidaknya pertanggungjawaban secara pidana dari seseorang pelaku itu, hakim harus memperhatikan kenyataan, yaitu sampai berapa jauh gangguan penyakit itu mempunyai pengaruh terhadap keadaan psikis dari si pelaku, dan harus mempertimbangkan apakah pengaruh tersebut sedemikian rupa hingga pelakunya itu menjadi tidak mampu untuk menyadari tentang arti dari perbuatannya itu atau tidak, dan sesuai dengan kesadarannya itu juga mampu untuk menentukan apa yang ingin ia lakukan ataupun tidak.10 Artinya apabila antara keadaan jiwa pembuat dengan perbuatannya tidak memiliki hubungan kausalitas, maka dalam hal ini hakim bisa saja
menjatuhkan pidana kepada pelaku. Hal ini pula yang berlaku pada kasus Rodrigo Gularte warga Negara Brazil seorang terpidana mati kasus tindak pidana Narkotika, sejauh ini pengidap skizofrenia yang melakukan tindak pidana identik dengan kejahatan terhadap tubuh baik berupa penganiayaan dan pembunuhan, walaupun tidak menutup kemingkinan terjadinya tindak pidan lain, namun untuk sekelas tindak pidana narkotika sulit ditemukan adanya hubungan kausalitas antara keadaan mental pembuat yang menderita skizofrenia dengan perbuatannya, mengingat tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang besar dan terorganisir.
Persoalan yang tidak kalah penting dalam pembaharuan sistem hukum pidana di indonesia adalah pertanggungjawaban pidana. Secara konvensional asas ini lazim disebut asas culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan).11
Konsep KUHP mengatur masalah ini pada pasal 36 Konsep 2012 atau pada pasal 37 konsep 2015 yang menyatakan bahwa “Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yeng memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”. konsep ini tentunya secara tegas memberikan batasan tentang hal yang selama ini dikembangkan oleh para ahli hukum pidana melalui doktrinnya. Pertanggungjawaban pidan secara objektif meliputi frasa “celaan yang objektif”, artinya perbuatan itu secara objektif melawan hukum. Selain itu ada syarat subjektif yang
harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang, yakni harus adanya kesalahan dalam berbagai bentuknya (sengaja dan alpa).
Terdapat hal menarik yang diatur dalam konsep KUHP 2015 ini, yaitu dimungkinkannya seseorang yang mengalami gangguan jiwa, penyakit jiwa, retradisi dan disabilitas mental lainnya, yang diistilahkan sebagai kurang mampu bertanggungjawab yang mana orang yang bersangkutan dapat dipidana dengan catatan pidananya dikurangi, seperti disebutkan dalam Pasal 42 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa:
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental lainnya pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan.
Secara tidak lansung ketentuan pasal ini memberikan peluang kepada para penegak hukum untuk dapat menjatuhi pidana atau dimintakan pertanggungjawaban pidana pada pelaku pidana apabila hal itu dipandang perlu untuk dilakukan. Artinya disamping konsep mengatur masalah tidak mampu bertanggungjawab sebagai alasan pemaaf, konsep juga mengatur masalah kurang mampu bertanggungjawab sebagai alasan pengurangan pidana.12 Hal ini tentunya diilhami dari doktrin hukum pidana yang sudah ada dimana seseorang yang dikatakan kurang mampu bertanggungjawab masih tetap dianggap mampu bertanggungjawab. Kekurangmampuan bertanggungjawab tersebut dipandang sebagai faktor yang meringangakn pembuat, selain itu juga dilihat sejauh mana keadaan
jiwa pembuat memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatan yang dilakukan.
Lebih jauh, ketentuan dalam pasal 42 ini seakan memberikan celah yang memungkinkan bagi para penegak hukum untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang mengidap gangguan jiwa, seperti dalam hal ini adalah skizofrenia, walaupun sudah ditentukan dalam pasal 41 bahwa seseorang yang mengalami sakit ingatan (gangguan kejiwaan) tidak dapat dipidana melainkan dikenakan tindakan berupa penempatan pelaku tindak pidana di rumah sakit jiwa.
Hal ini tentunya tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi bertentangan, justru sebaliknya seperti yang diungkapkan oleh Barda Nawawi bahwa pengecualian atau penyimpanagn dari suatu asas jangan dilihat semata-mata sebagai suatu pertentangan (kontradiksi) tetapi dapat juga dilihat sebagai pasangan atau pelengkap (complement) dalam mewujudkan asas keseimbangan. Sama halnya dengan pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung asas non-retroaktif, namun ayat (2)-nya memungkinkan adanya retroaktif.13
Lebih jauh, dengan adanya ketentuan tentang orang yang disebut sebagai kurang dapat dipertanggungjawabkan, menegaskan kembali bahwa seseorang dengan skizofrenia memiliki kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Merupakan kabar baik tentunya karena bagaimanapun juga rasa adil yang dikehendaki oleh masyarakat luas harus dipenuhi terlepas dari abstraknya rasa adil tersebut, namun paling tidak pelaku mendapat ganjaran atas perbuatannya.
Kesimpulan
Dalam hukum positif di indonesia pelaku tindak pidana pengidap skizofrenia secara umum tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Hal ini merujuk pada ketentuan pasal 44 ayat (1) KUHP yang tidak menghendaki hal tersebut. Lebih jauh, haruslah dilihat hubungan kausalitas antara perbuatan yang dilakukan dengan keadaan jiwanya yang tidak normal.
Dalam Rancangan KUHP pelaku tindak pidana pengidap gangguan jiwa skizofrenia, dimungkinkan untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Hal ini termaktub dalam pasal 42 Rancangan KUHP, dimana seseorang dengan gangguan jiwa atau retradisi mental lainnya dapat dipidana, karena pada keadaan tertentu pelaku dipandang sebagai orang yang mampu bertanggungjawab sebagian. Artinya alasan pemaaf yang ada pada pelaku dipandang sebagai hal yang meringankan/mengurangi pidana
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana,
Jakarta.
Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 2), Rajawali Pers, Jakarta.
Kholiq, M. Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univeristas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Lamintang, 2003, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Rusianto, Agus, 2016, Tindak Pidana dan Pertangungjawaban Pidana: Tinjauan kritis melalui konsistensi antara asas, teori dan penerapannya, Prenda Media Group, Jakarta.
Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, jakarta, bina aksara.
Zaidan, M. Ali 2016, Kebijakan kriminal, Sinar Grafika, Jakarta Timur.
JURNAL ILMIAH
Yudhiati Ega Septianing, Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Bagi Seorang Psikopat Dalam Tindak Pidana Pembunuhan, Jurnal Ilmiah, Universitas Riau, Volume III Nomor I Februari 2016.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
14
Discussion and feedback