EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM UPAYA PENANGGULANGAN ORGANIZED CRIME DI INDONESIA PADA MASA MENDATANG
on
EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM UPAYA PENANGGULANGAN ORGANIZED CRIME DI INDONESIA PADA MASA MENDATANG
Oleh :
Kadek Yolanda Zara Octavany Ni Ketut Sri Utari
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
Proof is one step in a legal process in court. In the case of disclosure of a case that is organized crime such as corruption, narcotics, psychotropic substances, money laundering, human trafficking, and many other, extremely difficult in the absence of the role of whistleblower and Justice Collaborator. The purpose of this paper is to determine the existence and the legal protection of whistleblowers and Justice Collaborator in prohibition organized crime in Indonesia. The research method used in this paper are included in the category or normative law research by outlining the problems that exist, to further discuss the study based on the theories of law is then associated with the legislation applicable in the practice of law. The conclusion of this paper is Whistle Blowers and Justice Collaborator textually and expressly stipulated in SEMA No. 4 in 2011, and one of the forms of protection are organized crime dealing with cases against whistleblowers and Justice Collaborator who feel threatened his life when the examination before trial is through examination teleconference.
Key words : organized crime, whistleblowers, justice collaborator.
ABSTRAK
Pembuktian adalah salah satu tahapan dalam suatu proses hukum di Pengadilan. Dalam hal pengungkapan suatu kasus yang bersifat organized crime seperti tindak pidana korupsi, narkotika, psikotropika, pencucian uang, perdagangan manusia, dan yang lain sabagainya, teramat sulit tanpa adanya peran whistleblower dan Justice Collaborator. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui eksistensi dan perlindungan hukum whistleblower dan Justice Collaborator dalam penaggulangan organized crime di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif dengan menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum. Kesimpulan dari penulisan ini yaitu Whistle Blowers dan Justice Collaborator secara tekstual dan tersurat diatur dalam SEMA No. 4 tahun 2011, dan salah satu bentuk perlindungan menangani perkara bersifat organized crime terhadap whistleblower dan
Justice Collaborator yang merasa terancam jiwanya ketika dilakukan pemeriksaan di depan persidangan adalah melalui pemeriksaan teleconference.
Kata kunci : kejahatan terorganisir, whistleblowers, justice collaborator.
Pembuktian adalah salah satu tahapan dalam suatu proses hukum di Pengadilan. Dalam hal pengungkapan suatu kasus yang bersifat organized crime seperti tindak pidana korupsi, narkotika, psikotropika, pencucian uang, perdagangan manusia, dan yang lain sabagainya, teramat sulit tanpa adanya peran whistleblower dan Justice Collaborator. Whistleblower dan Justice Collaborator sebenarnya lahir dari kondisi negara yang berangkat dari kesulitan penyidik dan penuntut umum dalam mengungkap, mengusut, dan menghukum para pelaku kejahatan terorganisir yang sangat merugikan kepentingan negara dan 1 kepentingan umum.
Dalam tataran kebijakan formulatif dan aplikatif pada masa kini (ius constitutum) terdapat banyak kekurangjelasan, kekurangtegasan, dan kekurangsempurnaan bentuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collaborator. Sehingga pada masa mendatang (ius constituendum) diperlukan adanya sebuah konsep ideal perlindungan hukum whistleblower dan Justice Collaborator dalam penanggulangan organized crime di Indonesia.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui eksistensi whistleblower dan Justice Collaborator dalam hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collaborator dalam penaggulangan organized crime di Indonesia.
-
1 Firman Wijaya, 2012, Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, hlm. 16.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian normatif karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.2 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
-
2.2. Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1. Eksistensi Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Hukum Positif di Indonesia
-
Whistle Blowers secara tekstual dan tersurat diatur dalam SEMA No. 4 tahun 2011. Dalam SEMA tersebut Whistle Blowers diartikan sebagai pelapor tindak pidana. Pelapor tindak pidana yang dimaksud oleh SEMA ini adalah mereka yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.3 Pelapor tindak pidana (whistleblower) sebagaimana dijelaskan SEMA memiliki dua kapasitas atau peran, yaitu sebagai pelapor yang hanya sebatas melaporkan suatu tindak pidana tertentu dan bisa juga pelapor tersebut tidak hanya sebatas bertugas melaporkan saja, tetapi juga berperan sebagai saksi.4 Whistleblower yang hanya berperan sebagai pelapor, berarti yang bersangkutan tidak secara langsung mendengar, melihat ataupun mengetahui pelaksanaan suatu tindak pidana. Selain diatur dalam pasal 1 angka 24 KUHAP, beberapa peraturan perundang-undangan juga mengatur mengenai pelapor secara khusus, seperti Pelapor Tindak Pidana Korupsi, Pelapor Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat, Pelapor Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pelapor Tindak Pidana Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dan sebagainya. Sedangkan, whistleblower yang berperan sebagai saksi pelapor berarti yang bersangkutan adalah pengungkap fakta yang melaporkan dan
secara langsung mengetahui, melihat dan mengalami sendiri telah, sedang atau akan terjadinya suatu tindak pidana yang secara aktif melaporkannya pada aparat penegak hukum yang berwenang. Secara umum, terkait pengaturan saksi ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP dan diatur pula secara khusus dalam UU yang juga mengatur pelapor seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Sedangkan secara tersurat, penyebutan Justice Collaborator belum ada dalam undang-undang, hanya saja SEMA No. 4 tahun 2011 secara terperinci menjelaskan definisi dan bentuk perlindungan terhadap Justice Collaborator. Namun secara tersirat, perlindungan hukum terhadap orang-orang yang berperan sebagai Justice Collaborator telah diatur dalam beberpa undang-undang seperti UU no. 8 tahun 1981 tentang KUHAP mengakui eksistensi pelaku yang bekerjasama lazim disebut dengan istilah saksi mahkota.5 Pada dasarnya, eksistensi Justice Collaborator selain disamakan dengan eksistensi saksi mahkota, dalam peraturan perundang-undangan khusus, juga diatur secara tersirat. Salah satunya adalah pada Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 jo. UU Nomor 31 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebankan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
-
2.2.2. Perlindungan Hukum terhadap whistleblower dan Justice Collaborator dalam Penaggulangan organized crime di Indonesia pada Masa Mendatang
Konsep pendekatan keadilan restorative (Restorative Justice Approach) kiranya relatif cocok untuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia masa mendatang.6 Argumentasinya adalah karena pengungkapan kasus-kasus yang pelik dengan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime melalui pendekatan keadilan restoratif akan memberikan rangsangan, berani mengungkapkan kebenaran, serta perasaan tidak takut sehingga diharapkan nantinya
berdampak pada banyaknya orang yang ingin menjadi whistleblower dan Justice Collaborator. Selain itu, dengan adanya reward dan sekaligus melekat tanggungjawab bagi whistleblower dan Justice Collaborator diharapkan dapat mengungkapkan secara signifikan terhadap perkara yang berdimensi organized crime. Dalam dimensi ini, memang diperlukan perlindungan khusus bagi whistleblower dan Justice Collaborator, karena mereka tidak akan berani memberi keterangan apa yang dilihat dan dialami jika ada ancaman, tekanan, dan intimidasi bahkan dapat mengancam keselamatan jiwanya. Organized crime menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan, ancaman dan ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi dan keadilan yang dapat membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Pemidanaan yang berdimensi keadilan di satu sisi, pararel dengan pengungkapan kasus yang bersifat organized crime di sisi lainnya, membawa pemidanaan seseorang sesuai asas pemasyarakatan, memanusiakan narapidana atau pelaku tindak pidana menjadi manusia yang baik.
Whistle Blowers dan Justice Collaborator secara tekstual dan tersurat diatur dalam SEMA No. 4 tahun 2011. Konsep pendekatan keadilan restoratif membangun dimensi agar seseorang berani untuk menjadi seorang whistleblower dan Justice Collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia, Alumni, Bandung.
Firman Wijaya, 2012, Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
5
Discussion and feedback