PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN DALAM KEADAAN DIBAWAH SADAR (TRANCE)

(STUDI KASUS PEMBUNUHAN DI SUBAGAN KARANGASEM)

Oleh :

Gandi Utama Putra

A.A.Sg. Wiratni Darmadi, SH,.MH.

Program Khusus Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract:

This paper takes the title of the criminal responsibility of the perpetrators of murder committed in a state of unconscious . The method used in this paper is an empirical juridical done by examining evektifitas law in society . Basic occurrence due to the ritual murder committed by the victim's family . eliminating the life of another person can deliberately meshes in Article 338 of the Criminal Code if it can be proved by the element of intent and conscious by the perpetrator . An action can only accounted perbuatanya if the perpetrators are admitted will act and be strengthened by the testimonies of witnesses .

Keywords : Criminal Responsibility , Actors , murder , a state of unconscious

Abstrak:

Paper ini mengambil judul tentang pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan dibawah sadar. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti evektifitas hukum yang terjadi dalam masyarakat. Dasar terjadinya pembunuhan dikarenakan adanya upacara ritual yang dilakukan oleh keluarga korban. menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dapat di jerat dalam pasal 338 KUHP bilamana dapat dibuktikan dengan unsur kesengajaan dan dilakukan dengan sadar oleh pelaku. Suatu perbuatan hanya dapat di pertanggung jawabkan perbuatanya apabila pelaku kejahatan mengakui akan perbuatan dan di perkuat oleh kesaksian-kesaksian dari saksi.

Kata Kunci : Pertanggung Jawaban Pidana, Pelaku, pembunuhan, keadaan dibawah sadar

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat

dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu bertanggung jawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan tindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana.1

Pertanggungjawaban  pidana  lahir dengan diteruskannya celaan

(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana 2 yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.2 umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggung jawabkan.3 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.

  • 1.2    Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk Untuk menambah pengetahuan mengenai hukum terhadap pertanggung jawaban pidana dalam suatu tidak pidana yang dilakukan dengan kondisi Trance (Tidak sadarkan diri /di luar nalar seseorang) dalam aturan hukum menurut pendapat ahli hukum, undang-undang dan penjelasan Pasal 44 Kitab Undang Undang Hukum Pidana..

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum empiris yaitu hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

evektifitas hukum yang terjadi dan beroprasi dalam masyarakat. Disamping mengetahui ilmu hukum juga mengetahui ilmu sosial, dan memiliki pengetahuan dalam penelitian ilmu sosial (social science research).

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Kasus pembunuhan dalam keadaan tidak sadar (trance)

Pada dasarnya terjadinya kasus pembunuhan di Subagan Karangasem awalnya dimulai dari adnya upacara ritual penyucian tapakan (pratima) rangda di setra (kuburan) Desa Pakraman Subagan, Karangasem Kota, yang diselenggarakan oleh keluarga korban, pelakunya adalah anak kandungnya sendiri yang mengaku dengan tidak sadar melakukan suatu penusukan kepada ayahnya sendiri. Pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar pernah terjadi di daerah Subagan Kab. Karangasem sebagaimana yang termuat dalam harian Denpost tanggal 15 Desember 2013 dengan kasus sebagai berikut :

‘’...Pemundut (pengusung/penari) rangda, I Gede Sudiarta 48th, warga Banjar Subagan, tewas tertusuk keris saat prosesi ngereh. Ironisnya, guru SDN 3 Pertima, Karangasem ini, tewas di tangan anaknya sendiri, I Putu Putrawa 25th. Ritual ngereh yang dimulai tepat tengah malam itu bukanlah ritual yang dilaksanakan Desa Pakraman Subagan, melainkan dilakoni keluarga korban untuk menyucikan petapakan rangda yang di-sungsung secara pribadi. Prosesi penyucian dilaksanakan di dua tempat. Pertama: sekitar pukul 20.00 di Pura Dalem, Desa Pakraman Subagan. Setelah di Pura Dalem, sekitar pukul 24.00 barulah dilaksanakan ritual puncak di areal kuburan. Mengingat bersifat pribadi, pecalang, jro mangku desa, prajuru dan warga, hanya menyaksikan dari luar setra. Setelah melalui serangkaian proses ritual, beberapa saat kemudian, I Gede Sudiarta yang telah mengenakan topeng dan pakaian rangda kerauhan (kesurupan). Tak berselang lama, anaknya yakni Putu Putrawa juga mengalami hal serupa. Putu Putrawa yang sebelumnya duduk bersila, seketika bangun lalu mengambil keris yang ditempatkan di tempat sarana upakara/ritual. Dalam kondisi sama-sama kerauhan, Putu Putrawan yang penyiar sebuah radio FM di Kota Amlapura itu kemudian menusukkan keris tersebut ke dada kiri ayahnya. Saat itulah tragedi terjadi. Keris Putrawa menghujam dan menembus dada sang ayah hingga mengoyak bagian paru-parunya. Saat Putrawa masih kesurupan, korban (ayahnya seketika ambruk dengan darah segar yang muncrat dari lukanya. Kejadian tidak biasa itu kontan membuat semua orang, termasuk pembimbing spiritual korban, IB Sudiksa, geger. Dibantu pecalang dan sejumlah polisi yang juga memantau prosesi ritual tersebut, korban kemudian dilarikan ke RS

Karangasem. Namun dalam perjalanan, korban menghembuskan napas terakhirnya’’.4

  • 2.2.2    Analisis Pertanggung Jawaban Pidana Pelaku Dalam Keadaan Dibawah Sadar (trance)

Berdasarkan ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan yang dapat menghapuskan pidana cukup banyak diatur. Baik yang diatur dan yang dirumuskan secara formal dalam peraturan perundang-undangan maupun alasan penghapusan pidana yang tidak tertulis diluar peraturan perundang-undangan. Menurut Fleccher mengemukakan adanya teori hukuman yang tidak perlu ‘’Theory of pointless punishment’’ dalam teori ini ia mengemukakan pendapatnya tentang perbuatan yang terjadi yang dilakukan diluar kesadaranya tidak dapat dipidana, karena tidak perlunya menghukum seseorang yang melakukan sesuatu tanpa disadarinya.5.

Kasus yang terjadi diatas terjadi suatu tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya suatu nyawa seseorang ,yang melanggar hukum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II, Bab XIX Kejahatan Terhadap Nyawa. Pasal 338 yang berbunyi ‘’ barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama limabelas tahun.

Untuk menentukan adanya kesalahan perlu diperhatikan dua hal, yaitu :

  • a.    Keadaan batin seseorang yang melakukan perbuatan yang lazim dalam ilmu hukum pidana tersebut kemampuan bertanggungjawab.

  • b.    Hubungan antara keadaan batin dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan kesalahan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.

Mempunyai kesengajaan, kealpaan, dan tidak adanya alasan-alasan pemaaf merupakan unsur kesalahan.6

Hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab atas perbuatanya antara lain :

  • a.    Dapat menginsyafi makna senyatanya dari pada perbuatanya.

  • b.    Dapat menginsyafi bahwa perbutanya itu tidak dapat dipandang patut dalam masyarakat.

7

  • c.    Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.7

  • III.    KESIMPULAN

Suatu pertanggung jawaban pidana hanya dapat dipertanggung jawabkan apa bila seseorang atau pelaku memiliki kemampuan bertanggung jawab, tetapi dalam kasus yang terjadi pelaku pembunuhan melakukan perbuatan pidana dengan keadaan yang tidak sadarkan diri (Trance). Dalam KUHP kondisi tidak sadarkan diri tersebut tidak diatur oleh aturan hukum positif Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, mengakibatkan seseorang tidak dapat dipidana sebab terdapat teori yang dikenal dengan ``teori hukum yang tidak perlu`` (Theory of Pointless Punishment). Teori ini mengemukakan pendapat tentang perbuatan yang dilakukan oleh seseorang di luar kesadaranya tidak dapat dipidana. Jadi, tidak dilakukan tindakan yang bersifat menghukum seseorang yang melakukan suatu tindakan pidana karena orang tersebut dalam keadaan tidak sadarkan diri (Trance).

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin, Andi Zaenal, 1983, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamdan.M, 2012, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), PT.Refika Aditama, Medan.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

P.Martiman, 2006, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana  Indonesia,

PT.Sapdodadi, Jakarta.

RM, Soeharto, 2004 , Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafik, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan Buku II Tahun 2004/2005 (Penjelasan)

5