HAK POLITIK PENYANDANG DISABILITAS DALAM MENGIKUTI PEMILIHAN UMUM

Ni Luh Tri Sintha Wedamayanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : sinthawedamayanti51@gmail.com

I Gusti Ayu Putri Kartika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : putri_kartika@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i12.p1

ABSTRAK

Tujuan penulisan studi ini untuk mengkaji mengenai pengaturan hukum, kedudukan hukum dan tantangan dalam mewujudkan hak politik penyandang disabilitas dalam mengikuti pemilihan umum dikaji dari hukum positif Indonesia. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif ialah jenis penelitian yang diterapkan untuk menyusun tulisan ini. Hasil studi menunjukan semua warga negara Indonesia, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, berhak untuk memilih dalam pemilu. Penyandang disabilitas selalu menjadi pertimbangan dalam pembuatan peraturan teknis penyelenggara pemilu. Artinya, seluruh warga negara yang memakai haknya harus dilakukan secara bebas (tanpa gangguan), tanpa intimidasi (tidak ada paksaan dari luar), dan bebas dari diskriminasi (tanpa larangan atau pembatasan di luar Peraturan Perundang-undangan). Hak dalam memilih serta hak untuk dipilih ialah jaminan perlindungan dan pengakuan atas hak-hak yang dijamin oleh UUD 1945.

Kata Kunci: Hak Politik, Pemilihan Umum, distabilitas.

ABSTRACT

The purpose of writing this study is to examine legal regulations, legal position and challenges in realizing the political rights of persons with disabilities in participating in general elections studied from Indonesian positive law. This study uses normative legal research methods, which is the type of research applied to prepare this article. The study results show that all Indonesian citizens, including those with physical limitations, have the right to vote in elections. Persons with disabilities are always taken into consideration in making technical regulations for election organizers. This means that all citizens who exercise their rights must do so freely (without interference), without intimidation (no external coercion), and free from discrimination (without prohibitions or restrictions outside of statutory regulations). The right to vote and the right to be elected is a guarantee of protection and recognition of the rights guaranteed by the 1945 Constitution.

Keywords: Political Rights, General Elections, disability.

  • I.     Pendahuluan

    1.1.   Latar Belakang Masalah

Banyak negara yang diidentifikasi sebagai negara demokrasi modern, termasuk Indonesia. Seperti yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar”. Selain itu, gagasan kedaulatan rakyat juga masuk dalam struktur pemerintahan daerah yang mengacu pada ketetapan Pasal 18 UUD 1945. Menurut Harmaily

Ibrahim dan Moh Kusnardi, konsep kedaulatan rakyat adalah pengakuan terhadap rakyat sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan yang paling tinggi di suatu bangsa.1

Kedudukan rakyat yang sangat penting dalam menentukan bentuk dan struktur pemerintahan untuk mencapai tujuan negara yang diinginkan, oleh karena itu ditekankan oleh konsep kedaulatan rakyat. Namun, implementasi sistem demokrasi langsung telah berubah saat ini. Kapasitas atau populasi suatu negara yang mengalami peningkatan tajam dalam jumlah penduduknya, keterjangkauan wilayah, dan taraf peningkatan kehidupan masyarakat yang kompleks dan dinamis, semuanya memiliki dampak yang signifikan.2 Maka dari itu, tidak mungkin untuk menjalankan kedaulatan rakyat secara murni. Karena kerumitan masalahnya, kedaulatan rakyat harus dilaksanakan melalui metode demokrasi tidak langsung, yaitu melalui perwakilan.

Sistem demokrasi diekspresikan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum digunakan oleh masyarakat untuk memilih perwakilan mereka di badan legislatif dan cabang pemerintahan lainnya. Pemerintah harus memastikan bahwasanya pemilihan umum diselenggarakan sesuai dengan hukum untuk memastikan bahwa hak-hak asasi warga negara terpenuhi. Untuk menegakkan kedaulatan rakyat, rakyat sekali lagi harus memiliki keputusan akhir atas semua hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pemilu. Inilah cara rakyat menjalankan kedaulatannya.3 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum, atau yang dikenal dengan UU Pemilu, dimaknai sebagai “sarana untuk menegakkan dan mendukung kedaulatan rakyat dalam memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Proses ini dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Semua rakyat negara Indonesia, diantaranya penyandang disabilitas, berhak memilih dalam pemilu. UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur bahwasanya setiap warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, diantaranya penyandang disabilitas, dijamin hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hak asasi manusia yang selaras dengan warga negara lainnya. Hal tersebut dianggap sebagai amanat dan anugerah Tuhan yang memungkinkan semua warga negara untuk maju dalam kehidupan dan berkembang secara bermartabat dan berkeadilan. Setiap orang memiliki hak yang tidak dapat dikurangi (underogble of right) untuk memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, memberikan suara dalam pemilu adalah hak universal yang tidak terpengaruh oleh prasangka. Meskipun demikian, diskriminasi struktural terhadap kelompok penyandang disabilitas (diffable) masih tetap ada dan kurang mendapat perhatian. Sebagai anggota masyarakat, penyandang disabilitas harus diperlakukan dengan pertimbangan khusus guna pengoptimalan perlindungan, penghormatan, pengembangan, serta pemenuhan hak asasi manusia secara keseluruhan.4

Penyandang disabilitas berhak atas partisipasi yang setara dalam kegiatan politik, termasuk pemilu, menurut Pasal 5 UU Pemilu. Semua individu dijamin mendapat hak politik yang sama oleh UUD 1945, yang ialah hukum tertinggi. Hal ini membuat cukup jelas bahwa prasangka dalam politik tidak dapat diizinkan atas dasar etnis, ras, kelas, jenis kelamin, gender, atau cacat. Dalam dunia politik, semua suara memiliki kedudukan yang sama. Artinya, semua warga negara memiliki kewajiban kepada pemerintah untuk menyediakan fasilitas untuk menggunakan hak-hak politiknya.

Salah satu prinsip pemilu, yaitu menegakkan keadilan, harus dijalankan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pemilu. Upaya untuk memungkinkan setiap individu menggunakan hak-hak konstitusional mereka. Tujuan dari pelaksanaan perbaikan aspek hukum dan teknis pelaksanaan pemilu adalah untuk menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara. Penyelenggara pemilu selalu mempertimbangkan kepentingan penyandang disabilitas ketika membuat persyaratan teknis. Kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu masih belum maksimal jika dilihat dari pelaksanaannya. Pemilih dengan disabilitas masih menghadapi sejumlah persoalan dan tantangan selama pelaksanaan Pemilu 2019. Hal ini dikarenakan KPU belum memberikan perhatian yang cukup dalam menyediakan fasilitas dan akses. Di sisi lain, pemilih penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan. Meskipun merupakan isu yang menarik untuk ditelusuri, realisasi kesetaraan politik bagi penyandang disabilitas masih belum ideal. Dengan memperhatikan hal tersebut, penulis mengangkat judul “Analisis Yuridis Hak Politik Penyandang Disabilitas Dalam Mengikuti Pemilihan Umum”.

Mengeanai state of art, menurut penelitian yang ditulis oleh Hilmi Ardhani dengan judul “Memilih Dan Dipilih, Hak Politik Penyandang Disabilitas Dalam Kontestasi Pemilihan Umum: Studi Daerah Istimewayogyakarta” konsep perlindungan pemenuhan hak politik diatur dalam mekanisme ketatanegaraan Indonesia bermuara dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep perlindungan hak memilih dan dipilih sebagai bagian dari hak asasi manusia merupakan constitutional rights karena diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat, Pasal 28D ayat (3) Pasal 28E ayat (3), dan diatur juga dalam Undang-undang HAM Nomor 39 tahun 1999, Pasal 43 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 28 H ayat 2 dan Pasal 28 I ayat (2). Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian, mekanisme perlindungan hukum dapat dilakukan dengan mengajukan uji materiil (judicial review) bila ada peraturan perundangan-undangan merugikan hak-hak konstitusional warga negara.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Ada dua cara untuk merumuskan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan:

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum dan kedudukan hukum terhadap hak politik penyandang disabilitas dalam mengikuti pemilihan umum dikaji dari hukum positif Indonesia?

  • 2.    Bagaimana tantangan dan upaya negara dalam mewujudkan hak politik bagi penyandang disabilitas dalam mengikuti pemilihan umum?

Kerja, E-Journal Hukum Kertha Negara Universitas Udayana Volume 5 Nomor 2, Denpasar, h.

  • 2.

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Berlandaskan pada latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, adapun penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai pengaturan hukum dan kedudukan hukum terhadap hak politik penyandang disabilitas dalam mengikuti pemilihan umum dikaji dari hukum positif Indonesia dan mengenai tantangan dan upaya negara dalam mewujudkan hak politik untuk penyandang disabilitas ikut di pemilu.

  • II.    Metode Penelitian

Metode Penelitian hukum normatif yang mana jenis penelitian yang diterapkan untuk menyusun tulisan ini. Berdasarkan pandangan dari ahli hukum Bagir Manan, penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai “penelitian yang dilakukan terhadap suatu peraturan hukum yang berlaku serta kaedah hukum itu sendiri seperti peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat atau hukum tidak tertulis lainnya termasuk pada asas-asas hukum”.5 Studi kepustakaan, yang menguraikan penerapan sejumlah asas hukum yang terkandung ke dalam norma-norma, analisis, yang memberikan landasan teoritis terhadap keputusan-keputusan penegak hukum yang berkaitan dengan isu norma, sistematisasi, yang mencakup penjabaran norma-norma hukum ke dalam sejumlah cabang ilmu hukum pada kerangka hukum, dan interpretasi, yang mencakup penafsiran sejumlah norma yang berlaku yang tidak berbanding terbalik dengan cita-cita hukum (recht idea), menjadi hal yang diprioritaskan dan ditekankan di dalam. Ada dua jenis pendekatan yang diterapkan saat melakukan penelitian ini yakni dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan yakni dimaksudkan dengan melaksanakan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dan dijadikan sebagai acuan, dasar, dan/atau sumber dalam mengkaji penelitian hukum terhadap persoalan atau isu hukum yang dikaji. Pada penelitian ini juga menggabungkan dengan menerapkan pendekatan analisis konsep hukum yakni dimaksudkan dengan melakukan analisa terhadap bahan hukum untuk mengetahui arti atau makna yang termaktub dalam suatu peraturan secara konsepsional.6

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pengaturan Hukum Hak Politik Penyandang Disabilitas Dalam Mengikuti Pemilihan Umum Dikaji Dari Hukum Positif Indonesia

Hak asasi manusia selalu dilindungi oleh negara Indonesia, yang didirikan atas dasar prinsip keadilan dan kemanusiaan, bahkan sebelum ada undang-undang resmi yang mengaturnya, seperti yang tercantum dalam Pembukaan dan setiap pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijiwai oleh ideologi Pancasila. Pada Pasal 28 A-J UUD NRI Tahun 1945, terdapat ketentuan perihal perlindungan dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas untuk bisa melangkah secara mandiri, yang mengatur tentang keharusan adanya pemilu yang inklusif atau pemilu yang mengikutsertakan semua orang.7 Sementara itu, perlindungan terhadap hak-hak politik dan kesetaraan di dalam hukum dan pemerintahan diatur dalam Pasal 27 ayat (1). Setiap warga negara dijamin kesetaraan

dalam kehidupan politik oleh pasal ini. Doktrin hak asasi manusia universal telah berkembang secara positif, oleh karena itu hak yang penyandang disabilitas miliki tidak dinyatakan secara langsung.8 Seseorang sering dianggap memiliki disabilitas jika mereka tidak dapat melakukan tugas sehari-hari karena suatu kelainan, menurut John C. Maxwell.9 Sebaliknya, Pasal 1 angka 1 UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan penyandang disabilitas sebagai “setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan kesamaan hak”. Mengutip dari UU No. 8/2016 Pasal 4 ayat (1), “penyandang disabilitas terdiri atas empat kategori:

  • 1.    Penyandang Disabilitas fisik;

  • 2.    Penyadang Disabilitas intelektual;

  • 3.    Penyandang Disabilitas mental; dan/atau

  • 4.    Penyandang Disabilitas sensorik”

Seseorang dianggap memiliki disabilitas mental jika pemikiran, emosi, atau perilakunya terganggu. Disabilitas ini dapat berupa psikososial, misalnya skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian, atau dapat juga berupa gangguan perkembangan, seperti autisme atau hiperaktif, yang memengaruhi keterampilan sosial.

Hak Politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a) memilih dan dipilih dalam jabatan publik; b) menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun tidak tertulis; c) ….” Hal tersebut merupakan versi ringkas dari UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 13, yang mengatur hak-hak politik penyandang disabilitas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru memfasilitasi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi di pemilu sejak UU tersebut disahkan pada tahun 2019. KPU Pusat menginginkan seluruh KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mendata penyandang disabilitas atau gangguan jiwa dan menambahkannya ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 lewat Surat Edaran Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/CI/2018.10

Berbagai peraturan nasional juga memuat ketentuan yang ada kaitannya dengan hak-hak politik penyandang disabilitas. Sebagai contoh, Pasal 42 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak untuk hidup bermartabat yang terjamin, termasuk bantuan khusus untuk lansia dan mereka yang menyandang keterbatasan fisik atau mental, serta perawatan, pendidikan, dan pelatihan dengan biaya publik. Dalam UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 13, semua penyandang disabilitas mempunyai hak yang setara dalam mendapatkan dan menggunakan hak politiknya, termasuk hak untuk menentukan, menyalurkan aspirasi, ambil posisi pada pemilu, masuk dalam parpol, dan mendapatkan aksesibilitas pada saat pemilihan umum dan pendidikan politik. Terakhir, UU No. 8/2012 tentang Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD memuat ketentuan pada Pasal 142 ayat (2) terkait penyediaan aksesibilitas yang baik bagi penyandang disabilitas netra. Akan tetapi, definisi aksesibilitas dalam pasal tersebut tidak mencakup penyandang disabilitas lainnya karena hanya membahas tunanetra. Hal ini bertentangan dengan pengertian penyandang disabilitas pada UU No. 8 /2016 Pasal 1 Angka 1 yang menyebutkan bahwasanya “penyandang disabilitas ialah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama”.11

Sebuah naskah perundang-undangan yang mengabadikan kedaulatan rakyat, yang harus diakui untuk mewujudkan hak rakyat atas pemerintahan yang demokratis. Artinya, pemilihan umum wajib dilangsungkan dengan dasar kedaulatan rakyat. Keinginan agar kedaulatan rakyat dapat dilaksanakan melalui penyelenggaraan pemilihan umum didasarkan pada gagasan yang telah tertanam kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan dijadikan landasan yang sangat krusial untuk mempertahankan pelaksanaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memberikan jaminan hak warga negara untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat. Hal ini mengimplikasikan bahwa tanpa adanya penyebutan diskriminasi terhadap kelompok tertentu pun, pelangsungan pemilu yang sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan dapat menjadi bukti bahwa negara hukum yang demokratis telah ditegakkan.

Kesetaraan di antara warga negara dalam hal status, hak, kewajiban, dan kesempatan di dalam negara dan masyarakat adalah keinginan mendasar yang dimiliki oleh semua individu atau masyarakat. Hal ini merupakan tujuan sosiologis dan konstitusional bahwa semua tingkat masyarakat berusaha untuk mencapai kesetaraan posisi dan untuk menghindari perlakuan diskriminatif. Pengakuan de facto adalah bentuk penguatan tambahan yang digunakan dalam masyarakat untuk menarik perhatian pada dinamika kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kepastian yang absolut dan benar memiliki dampak besar pada masyarakat yang menginginkan kekayaan dan kehidupan yang paling baik bagi setiap warga negara.12

Konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menunjukkan betapa pentingnya sila ke-5 Pancasila, yang dijadikan filosofi dasar negara ini. Setiap warga negara dijamin memiliki kehidupan yang terhormat dan sarana penghidupan yang layak oleh sejumlah nilai yang termuat pada sila ini. Selain itu, menghormati dan menjaga harkat dan martabat manusia tanpa terkecuali diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan tertinggi di Republik Indonesia, yaitu Pasal 28 Huruf A-J Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Republik Indonesia mengakui hak-hak setiap individu. Pengakuan atas hak-hak tersebut merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kepada semua orang di masyarakat bahwa tidak ada ruang untuk perpecahan.

Dalam rangka memastikan bahwa rakyat memiliki keputusan akhir tentang bagaimana pemerintahan dilaksanakan di negara ini, yang terkait erat dengan demokrasi, Pasal 1 Ayat 2 Konstitusi secara tegas mengatakan kedaulatan yang besar di tangan rakyat. Hal ini berfungsi sebagai jaminan hukum atas hak untuk memilih, yang tertanam dalam semua anggota masyarakat atau warga negara pada

khususnya. Hal ini juga dapat dipahami sebagai jenis keterlibatan masyarakat yang diperlukan untuk pengoperasian undang-undang yang efektif dan efisien.

Perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak yang tercantum dalam UUD 1945 diberikan melalui jaminan hak untuk memilih dan dipilih. Dengan demikian, pelaksanaan hak-hak ini oleh masing-masing warga negara wajib dilakukan secara bebas (tanpa campur tangan), terintimidasi (tidak ada paksaan dari luar), dan didiskriminasi (tanpa batasan atau larangan di luar hukum). UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada pemilu. Hak ini dilandaskan pada persamaan hak dan diperoleh dengan mengikuti persyaratan hukum dan peraturan untuk pengambilan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pokok permasalahannya adalah bahwa persyaratan yang diuraikan dalam Pasal tersebut memungkinkan pengurangan lingkungan negara hukum yang demokratis. Maka dari itu, peraturan perundang-undangan harus menjadi dasar bagi semua pemilihan umum, dengan persyaratan tambahan bahwa peraturan perundang-undangan secara khusus mengatur pengecualian bagi para pemilih. Tidak seorang pun dapat mengganggu, mengurangi, atau bahkan menghapuskan kemampuan warga negara untuk memilih kecuali jika hal tersebut diharuskan oleh UU dan peraturan lain yang diberlakukan sesuai dengan aturan dasar hukum.

Seluruh warga negara Indonesia, diantaranya penyandang disabilitas, mendapat hak menyumbangkan suara pada pemilu. Berdasarkan tataran regulasi yang digariskan dalam UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwasanya “Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga Negara Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat”.

Individu yang termasuk dalam kelompok tertentu yang mengalami kerusakan, penyimpangan, memiliki organ tubuh yang hilang atau tidak berfungsi, disebut "penyandang cacat", frasa yang masih kerap dipakai untuk mendeskripsikan individu-individu ini. Pemerintah masih menggunakan istilah ini secara resmi, selain beberapa anggota masyarakat lain yang menggunakannya untuk menggambarkan situasi yang sama. Hal ini semakin diperkuat dengan diadopsinya “Convention on the Rights of Persons with Disabilities” yang menetapkan istilah “person with disability”. Kementerian Sosial Republik Indonesia mempergunakan istilah ini untuk mendeskripsikan Orang Dengan Kecacatan (ODK). Penggunaan istilah penyandang disabilitas oleh Pemerintah Indonesia didasarkan pada UU No. 19/2011, yang mana telah merujuk pada “Convention on the Rights of Persons with Disabilities”.13

Berikut ini adalah garis besar dan analisis dari tujuan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang sudah disahkan oleh Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 dan 2:14

  • 1.    Tujuan dari Konvensi ini, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1, adalah untuk melestarikan harga diri yang ada pada individu para penyandang disabilitas dan untuk pemastian bahwasanya setiap penyandang disabilitas bisa merasakan semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar dengan penuh dan sama. Orang yang menyandang keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang mengganggu kemampuan

mereka untuk melakukan interaksi dengan yang lain pada kurun waktu yang lama diklasifikasikan sebagai penyandang disabilitas. Hal ini diharapkan bisa mengembangkan keterlibatan penuh dan efektif mereka dalam masyarakat, yang didasarkan pada kaidah kesetaraan dengan orang lain.

  • 2.    Istilah "diskriminasi berdasarkan disabilitas" mengacu pada segala wujud perlakuan yang mengakibatkan pembedaan, pengucilan, atau pembatasan berdasarkan keterbatasan, dan yang mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, dan pelaksanaan semua kebebasan dan hak asasi manusia yang mendasar dalam berbagai konteks, termasuk konteks sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Semua komponen perilaku diskriminatif termasuk di dalamnya, termasuk penolakan akomodasi yang wajar. Tindakan diskriminatif dilakukan meskipun hak-hak penyandang disabilitas hanya dibatasi sedikit atau tidak sama sekali. Ketika pesta demokrasi mengambil sikap menentang penyandang disabilitas, maka pesta ini melakukan diskriminasi langsung terhadap mereka.

Secara khusus, penyandang disabilitas mempunya hak yang setara untuk ikut andil dalam pengambilan keputusan dan dipilih dalam pemilihan umum, yang mengindikasikan bahwa tuntutan ini telah mendorong suatu bentuk penerimaan negara terhadap hak-hak yang serupa bagi warga negara. Hal tersebut berkaitan dengan dan didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menetapkan bahwasanya hak-hak penyandang disabilitas untuk terlibat secara langsung dalam pemilihan umum dilindungi dan dihormati. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat 1 yang menjamin hak-hak politik dan kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan. Paling tidak, klausul ini menawarkan interpretasi “kesetaraan” sebagai sarana ketidakberpihakan atau keseimbangan dalam hal hak-hak warga negara, yang merupakan maksud utama di balik pembuatan konstitusi. Kesetaraan adalah isu yang mempengaruhi setiap kelas sosial secara setara.

Pada Pasal 28 D ayat 3, semua warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang sepadan di mata hukum. Kehendak semacam ini telah menunjukkan upaya nyata untuk mengikutsertakan setiap lapisan masyarakat dalam pesta demokrasi, yang menjadi esensi dari sebuah negara demokratis. Terdapat perdebatan mengenai makna frasa setiap orang berdasarkan. Definisi “setiap orang” yang digunakan dalam Pasal tersebut telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sudah membuat tiga putusan yang mendukung penafsiran ini: “Putusan Mahkamah Konstitusi No. 143/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10-17-23/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU-VIII/2010”. Putusan-putusan ini berbicara tentang hak-hak konstitusional warga negara yang menghadapi peminggiran, keterbelakangan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, dan ketidaksetaraan dalam kehidupan publik dan partisipasi politik sebagai akibat dari ketimpangan struktural dan sosiokultural yang terus berlangsung dalam masyarakat.

Seperti yang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 nyatakan, setiap tindakan yang dianggap diskriminatif terhadap suatu kelompok tidak diakui, dan hal ini merupakan jaminan yang tidak tergoyahkan yang tercantum dalam substansi konstitusi. Frasa "setiap orang" menunjukkan keinginan kuat untuk memastikan bahwa hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi ditegakkan, baik dalam masyarakat luas maupun dalam pembentukan undang-undang, terlepas dari fakta

bahwa konstitusi itu sendiri harus menjadi hukum tertinggi dalam hierarki hukum. Maka dari itu, frasa setiap orang setidaknya juga memastikan bahwa para penyandang disabilitas memperoleh jaminan perlindungan dan hak-hak dasar mereka harus ditegakkan.

Konstitusi membahas penelitian terhadap warga negara secara umum, apalagi penelitian terhadap penyandang disabilitas, namun tidak membahas secara mendalam mengenai hak-hak politik yang diuraikan di dalamnya. Diperlukan lebih banyak dukungan atau panduan dalam peraturan perundang-undangan yang diundangkan di bawah UUD untuk pelaksanaannya. Pasal 5 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwasanya “penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama sebagai pemilih, calon anggota DPD dan DPR, calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPRD, dan calon penyelenggara pemilu”. Keberadaan UU tersebut sebagai kerangka hukum yang mengatur pelaksanaan pemilu di Indonesia dan menetapkan bahwasanya kemungkinan yang sepadan untuk terlibat dalam politik harus disediakan ialah indikasi yang jelas dari pengakuan normatif.

Semua hak warga negara pada dasarnya diwujudkan melalui perwujudan hak-hak di semua tingkat masyarakat, yang merupakan prinsip dasar keadilan pemilu. Oleh karena gagasan bahwa penyandang disabilitas tidak mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara karena keterbatasan mereka telah tertanam dalam hukum, maka negara tidak pernah menjunjung tinggi premis untuk mengutamakan satu kelompok di atas kelompok lainnya.15 Tentu saja, negara demokratis bercita-cita untuk memiliki hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan. Pemilu adalah simbol demokrasi, sehingga mengimplementasikannya dengan gagasan keadilan adalah konsekuensi yang diperlukan dari gagasan negara hukum yang demokratis. Ketika orang tidak menerima penghormatan dan perlakuan yang sama karena berbagai keadaan mereka, jaminan negara yang dinyatakan dalam kata-kata dalam undang-undang dan peraturannya tidak cukup untuk diidentikkan dengan demokrasi.

Masyarakat mengantisipasi bagaimana tindakan penyelenggara yang sesuai hukum akan menopang kepercayaan publik terhadap prosesnya, serta bagaimana pemerintah akan memastikan keadilan dalam tahap pelaksanaannya, demi mewujudkan keinginan kuat untuk menyelenggarakan pemilu yang berlandaskan aspek konstitusional yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Namun hal ini merupakan titik awal untuk mengembangkan paradigma kewarganegaraan, yang diwujudkan dengan memastikan penyandang disabilitas mendapatkan hak-hak politiknya tanpa harus merusak keyakinan ideal masyarakat akan tegaknya prinsip-prinsip demokrasi. Hingga saat ini, keraguan masyarakat terhadap realisasi hak pilih penyandang disabilitas masih menjadi penghalang utama dalam pemenuhan sejumlah hak penyandang disabilitas. Paradigma masyarakat akan sangat berat pada penegakan prinsip-prinsip demokrasi yang sesuai, dan pemikiran idealis yang pada dasarnya akan menentang perwujudan hak-hak yang dapat diterapkan oleh kepada seluruh warga negara secara menyeluruh.

  • 3.2.    Tantangan Negara Dalam Mewujudkan Hak Politik Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Mengikuti Pemilihan Umum

Penyandang disabilitas menghadapi beberapa halangan yang menghambat kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hambatan-hambatan ini termasuk ketersediaan informasi yang terbatas, pengetahuan yang kurang memadai, tidak tersedianya alat bantu teknis tertentu, dan sikap masyarakat yang meremehkan pemilih disabilitas. Masyarakat cenderung meremehkan hak untuk memilih karena keterbatasan yang dipunyai penyandang disabilitas. Hak-hak politik penyandang disabilitas untuk terlibat pada pemilu, seperti kemampuan untuk mendaftar untuk memilih, mengunjungi tempat pemungutan suara, memberikan suara secara rahasia, ditunjuk sebagai anggota legislatif, menerima informasi pemilihan umum, dan mengorganisir pemilihan umum, masih belum sepenuhnya terpenuhi.16

Pasal 5 UU No. 7/2017 tentang Pemilu menyatakan bahwasanya “penyandang disabilitas yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama sebagai pemilih, calon anggota DPD, calon anggota DPR, calon Presiden dan Wakil Presiden, calon anggota DPRD, dan calon Penyelenggara Pemilu”. Amanat undang-undang tersebut memberitahukan bahwasanya penyandang disabilitas berhak untuk berkompetisi pada pemilihan anggota legislatif dan jabatan politik lainnya, yang secara tegas menolak praktik diskriminasi terhadap hak-hak politik penyandang disabilitas. Pemerintah jelas sudah membuat ketentuan bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti pemilu, terbukti dengan adanya beberapa peraturan yang menyebutkan adanya hak politik bagi mereka. Namun, tidak ada jaminan bahwa hak-hak ini akan dilaksanakan secara efektif dalam situasi khusus ini, karena kata-kata dalam pasal tersebut mempunyai sifat yang general dan tidak memiliki kejelasan mengenai tujuan pasal tersebut, dan ada banyak peraturan yang ada yang tidak menjelaskan bagaimana pemilu khusus akan dilaksanakan untuk penyandang disabilitas.

Sebuah peraturan perundang-undangan harus memiliki sejumlah asas, seperti yang tertuang dalam Pasal 5 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Asas-asas ini ialah:

  • 1.    “Kejelasan tujuan”, asas ini membertahukan bahwasanya tujuan yang spesifik harus ditetapkan sebelum peraturan dan perundang-undangan dibuat.

  • 2.    “Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”, Asas ini menegaskan bahwa lembaga negara atau personel pembuat undang-undang yang berwenang adalah pihak yang membuat semua peraturan perundang-undangan. Jika ada pihak yang tidak berwenang membuat peraturan dan regulasi tersebut, maka peraturan dan regulasi tersebut dapat dicabut atau dinyatakan tidak berlaku.

  • 3.    “Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan”, asas tersebut mendefinisikan bahwasanya sifat dan hirarki peraturan dan regulasi tidak bisa berlawanan dengan bagaimana peraturan dan regulasi tersebut dirumuskan.

  • 4.    “Dapat dilaksanakan”, asas ini menetapkan bahwasanya keampuhan peraturan dan regulasi pada lingkungan, baik dari perspektif filosofis,

sosiologis, ataupun hukum, harus dipertimbangkan dalam pembuatannya.

  • 5.    Kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas tersebut menguraikan bahwasanya semua hukum dan peraturan didasarkan pada kebutuhan dan keuntungan yang dibutuhkan masyarakat.

  • 6.    Kejelasan rumusan, untuk mencegah terjadinya penafsiran yang berbeda pada saat implementasi, asas ini menekankan bahwa semua peraturan wajib selaras dengan standar metod penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pemilihan bahasa hukum yang tegas dan sederhana, serta pemilihan kata.

  • 7.    Keterbukaan, proses perancangan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan peraturan perundang-undangan yang transparan dan terbuka ialah amanat dari asas keterbukaan.

Terlihat bahwa asas kejelasan tujuan dalam kaitannya dengan asas-asas tersebut tidak sepenuhnya tertuang dalam Pasal 5 UU No. 17/2017 tentang Pemilu karena baik peraturan pemerintah ataupun bagiannya, yakni peraturan kementerian/lembaga, khususnya peraturan KPU, tidak memberikan tindak lanjut dalam bentuk peraturan penjelas yang berkaitan dengan item tersebut. Hasilnya antara lain rendahnya jumlah calon anggota legislatif dengan disabilitas, kurangnya keterlibatan penyandang disabilitas dalam kontestasi pemilu, dan tidak memadainya akomodasi bagi pemilih dengan disabilitas selama penyelenggaraan pemilu. Kesenjangan hukum yang ada dalam hal mengalokasikan porsi anggota legislatif penyandang disabilitas di ranah politik harus diperhitungkan. Penyandang disabilitas biasanya wajib menjadi bagian dari partai politik supaya bisa mengajukan diri menjadi calon anggota legislatif. Mereka kemudian dicalonkan oleh partai politik yang bersangkutan. Hak untuk menduduki jabatan politik bagi penyandang disabilitas tidak dapat dicapai karena tidak adanya bagian khusus yang mendukung penyandang disabilitas dalam proses pencalonan. Sudah pasti para penyandang disabilitas akan kesulitan untuk mendapatkan haknya jika pencalonan tetap diupayakan karena selama proses pencalonan, mereka akan terhambat dalam kampanye dan mendapatkan simpati dari masyarakat.

Persoalan yang dihadapi berbeda secara signifikan dengan jaminan hak politik perempuan dalam kontestasi pemilu. Selaras UU No. 7/2017 tentang Pemilu, partisipasi dalam pemilu bergantung pada partai politik yang memenuhi kriteria tertentu, termasuk minimal tiga puluh persen (30%) delegasi wanita dalam pengurus partai di taraf pusat. Ketentuan ini memberikan kejelasan hukum yang paling baik dalam menjamin hak-hak politik perempuan dalam kontestasi pemilu. Hal ini juga terlihat jelas dalam proses pendaftaran partai politik untuk berpartisipasi dalam pemilu. Untuk melakukan hal ini, mereka harus menyerahkan sertifikat kepada pengurus pusat partai yang membuktikan bahwa mereka telah menyertakan minimal 30% keterwakilan perempuan selaras dengan semua peraturan perundang-undangan yang masih berjalan.

Pengakuan normatif tersebut diharapkan bisa diterapkan pada penyandang disabilitas, yang akan menjadi jaminan dan perlindungan hukum bagi mereka untuk memiliki hak pilih yang mengikat. Hal tersebut sangatlah berkaitan dengan gagasan persamaan hak di hadapan hukum (Equality Before The Law), yang tercakup dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43, yang berbunyi “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” yang dijadikan landasan hak politik untuk semua rakyat indonesia. Dengan demikian, berlandaskan pada teori tersebut, UU No. 7/2017, Pasal 5, membutuhkan penegasan tambahan dalam bentuk Peraturan KPU maupun Peraturan Pemerintah untuk memberikan kejelasan yang lebih besar terkait perlindungan dan jaminan bagi penyandang disabilitas dalam kontestasi politik. karena, mengingat posisinya di masyarakat, punya disabilitas berhak atas hak yang sama dengan orang lain, maka implementasi hukum yang berkaitan dengan hak-hak politik mereka harus lebih tepat. Selain itu, hal ini akan mempermudah para penyandang disabilitas untuk memperoleh hak-hak politik mereka dengan memperkuat perlindungan hukum.

Selain hambatan-hambatan tersebut, terdapat hambatan teoritis terkait variasi cara para ahli teori mempelajari penyandang disabilitas, yang berakibat pada kesenjangan dalam keputusan kebijakan di seluruh dunia terkait pelestarian dan pemenuhan hak dasar penyandang disabilitas untuk memilih. Penyandang disabilitas dianggap ibarat sebuah masalah dan diabaikan, menurut berbagai penelitian ini. Para sosiolog tidak berfokus pada sisi dalam dari disabilitas, melainkan hanya meneliti definisi dari istilah tersebut sebagai topik yang tidak biasa. Secara teoritis, studi dan wacana tentang individu dengan disabilitas merupakan hal yang menghina. Penyandang disabilitas sering kali digambarkan oleh para peneliti sebagai subjek yang membutuhkan bantuan.17 Para penyandang disabilitas menanggapi temuan penelitian ini dengan melihatnya sebagai mitos sosial yang merusak berdasarkan stereotip.

Dari sisi aspek sosial, kelompok-kelompok sosial di palebelan telah menekan gagasan disabilitas dan mendominasi bahasa dan terminologi yang terkait dengan hal tersebut sebagai cara untuk merujuk pada kelompok sosial yang berbeda. Bahasa tersebut berdampak pada bagaimana pemerintah dan masyarakat memandang dan berinteraksi dengan individu dengan disabilitas. Sikap dan keyakinan yang secara langsung bertanggung jawab atas penindasan terhadap penyandang disabilitas dikembangkan oleh kebiasaan masyarakat yang membentuk sebuah budaya. Penyandang disabilitas diasosiasikan dengan rasa kasihan, ketidakmampuan, dan ketidaknormalan dalam budaya ini.18 Hal ini berfungsi sebagai norma sosial dalam sistem klasifikasi sosial masyarakat yang membagi mereka yang memiliki keterbatasan.

Tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang berkuasa untuk melangsungkan pemilu menjadi tantangan lain bagi pemenuhan hak politik masyarakat, khususnya bagi penyandang disabilitas untuk memakai hak pilihnya. Hal tersebut merupakan akibat dari pengabaian yang dilakukan oleh KPU. Di sisi lain, pemilih dengan disabilitas merupakan kategori yang rentan. Dalam informasi yang dipublikasikan oleh Asosiasi Jiwa Sehat, 3.000 penyandang disabilitas tidak terdaftar secara permanen untuk memberikan suara pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sebanyak 400 orang di Sukabumi dan 200 orang di Bekasi. Hal ini disebabkan karena e-KTP, yang dibutuhkan untuk terdaftar sebagai pemilih tetap, tidak tersedia, dan KPU serta lembaga-lembaga sosial tidak menyadari bahwasanya hak untuk memilih dalam pemilu berlaku setara bagi penyandang disabilitas.

Sebagaimana temuan Regu Pemantauan Pileg dan Pilpres 2019 Komnas HAM di lima provinsi, kapasitas KPU ketika melakukan sosialisasi kepada penyandang

disabilitas belum maksimal. Terpantau di beberapa komunitas penyandang disabilitas di lima provinsi (Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten), sosialisasi secara langsung tidak dilakukan. Ditemukan juga bahwa para penyandang disabilitas tidak mengetahui dengan jelas tentang lima jenis kertas suara yang berbeda. Selain itu, tempat pemungutan suara dianggap tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Diperkirakan 1,2 juta pemilih penyandang disabilitas berpartisipasi dalam Pemilu 2019 selama pelaksanaannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan bahwa banyak tempat pemungutan suara yang sulit dijangkau oleh para pemilih disabilitas. Sekitar 2.366 tempat pemungutan suara dilaporkan mempunyai anak tangga dan tangga yang menjadikan pengguna kursi roda sulit untuk menggunakannya, sehingga tidak ramah bagi penyandang disabilitas. Sekitar 20.834 tempat pemungutan suara juga ditemukan tidak memiliki bantuan huruf braille untuk tunanetra, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk menggunakan hak pilihnya. Dengan dalih tempat pemungutan suara sudah tutup, sejumlah orang dengan gangguan jiwa juga tidak diberi kesempatan untuk memakai hak pilihnya dan diminta untuk kembali ke rumah.19

Penyandang disabilitas menghadapi inhibisi dalam meraih hak politik mereka, seringkali dari keluarga mereka sendiri. Beberapa keluarga mengakui bahwasanya penyandang disabilitas tidak diwajibkan untuk ikut serta dalam proses pemberian suara. Namun, pada tingkat yang lebih spesifik, ditemukan bahwa pemilih dengan keterbatasan fisik, mental, atau penglihatan dapat meminta bantuan untuk menggunakan suara mereka di lokasi pemilu. Namun, mereka tidak bisa memberikan hak pilihnya karena berbagai masalah kesenjangan akses, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan jumlah golput.

Salah satu kendala yang dihadapi penyandang disabilitas saat pelaksanaan pemilu adalah ketidakmampuan mereka untuk masuk ke ruang publik, khususnya tempat pemungutan suara (TPS). Padahal, UU No.7/2017 Pasal 350 ayat (2) telah mengatur perlindungan hak pilih untuk penyandang disabilitas kategori tertentu. Pasal tersebut mengatur bahwa tempat pemungutan suara wajib dilangsungkan di tempat yang tidak sulit didatangi, misalnya oleh penyandang disabilitas, menghindari penggabungan desa, mencermati pertimbangan geografis, dan memastikan seluruh pemilih bisa mengutarakan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Kemudian, Pasal 356 ayat (1) menjelaskan bahwasanya pemilih dapat, berdasarkan permintaan, mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menyumbangkan suara mereka pada lokasi pemungutan suara jika mereka memiliki keterbatasan fisik atau penglihatan atau hambatan fisik lainnya. Siapa pun yang membantu pemilih memberikan suara berkewajiban untuk menghormati keputusan pemilih.

Namun, di lapangan, masih banyak tempat pemungutan suara yang tidak bisa dilalui oleh penyandang disabilitas, sehingga menyulitkan mereka untuk memakai hak pilihnya. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas selama pemilu merupakan masalah yang umum terjadi. Pertama, penyandang disabilitas masih dianggap tidak memenuhi syarat untuk memilih oleh beberapa petugas pemilu. Di satu sisi, banyak penyandang disabilitas dan keluarga mereka yang masih merasa canggung untuk mendaftarkan diri untuk memilih dan enggan mengunjungi tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung. Kedua, Pemilih dengan gangguan penglihatan

masih belum terlayani dengan baik oleh ketersediaan alat bantu pemungutan suara (template braille). Sehingga pada akhirnya mereka memilih secara asal. Ketiga, ketersediaan tempat pemungutan suara pada hari pemilihan. Untuk individu yang menggunakan kursi roda dengan keterbatasan fisik, banyak ditemukan TPS yang bertangga dikarenakan kebanyakan TPS di desa menggunakan balai pertemuan desa yang pada umumnya bentuk bangunannya tinggi (panggung). Hal ini tentunya menyulitkan untuk diakses atau dilalui para penyandang disabilitas. Keempat, Para penyandang disabilitas masih minim mendapatkan informasi terkait isu-isu kepemiluan. Beberapa penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi bagi mereka dan kesulitan akses untuk mendapatkan informasi seputar pemilu. Dengan adanya pemilu yang diyakini dapat menciptakan ruang politik di mana para penyandang disabilitas dapat mengekspresikan hak-hak mereka, sangat penting bagi penyandang disabilitas untuk memakai hak-hak politik mereka dan mendapatkan akses yang mudah. Dalam hal menggunakan hak pilih, aksesibilitas dapat dipahami sebagai kesempatan, atau sebagai cara untuk mempermudah mendapatkan layanan. Jaminan-jaminan seperti di bawah ini diperlukan untuk mendukung hak-hak politik dan menaikkan keterlibatan penyandang disabilitas di pemilu serentak 2024:

  • 1.    Pertama, mengedukasi para penyandang disabilitas tentang pemungutan suara dan memberikan sosialisasi yang berkelanjutan.

  • 2.    Kedua, menerima dan mengikutsertakan penyandang disabilitas pada penyelenggaraan pemilu ad hoc. Pelaksana pemilu ad hoc penyandang disabilitas tidak diragukan lagi akan diikutsertakan sebagai bagian dari rencana dan upaya untuk meningkatkan partisipasi, terutama di antara mereka yang memiliki keterbatasan.

  • 3.    Ketiga, meningkatkan pemahaman penyelenggara ad hoc untuk memfasilitasi keterlibatan penyandang disabilitas pada seluruh mekanisme penyelenggaraan pemilu.

  • 4.    Keempat, mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu lokal sebagai relawan dan advokat demokrasi. Hal ini diperlukan, terutama bagi populasi penyandang disabilitas, agar dapat menyampaikan informasi kepemiluan dan tahapan-tahapan pemilu.

  • 5.    Kelima, meningkatkan pemahaman tentang nilai partisipasi, dan mendorong investor, masyarakat, dan keluarga penyandang disabilitas untuk berpartisipasi tanpa rasa malu. Selain itu, bantuan juga dapat diberikan kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses terhadap informasi mengenai pemilu dan layanan lainnya.

  • 6.    Keenam, memanfaatkan pendaftaran pemilih bagi penyandang disabilitas. KPU saat ini telah mengkategorikan semua bentuk disabilitas berdasarkan kecamatan ke dalam lima kelompok: “tuna grahita, tuna netra, tuna daksa, tuna rungu/wicara, dan tuna lainnya”. Layanan pendataan pemilih yang diberikan kepada penyandang disabilitas di lapangan tentu saja perlu ditingkatkan.

  • 7.    Ketujuh, aksesibilitas yang disediakan bagi penyandang disabilitas. Tujuan dari penyediaan prasarana dan sarana yang aksesibel selama pemilu adalah untuk menjamin bahwa pemilih penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam proses pemungutan suara tanpa kesulitan. Pertimbangan aksesibilitas dan kenyamanan bagi penyandang disabilitas juga harus dilakukan saat memilih tempat pemungutan suara.

Pemilu merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakilnya dalam pemerintahan. Karenanya semua golongan masyarakat harus tercakup untuk dapat menggunakan hal pilih, tanpa terkecuali termasuk penyandang disabilitas. Perlu dikembangkan pemilu akses untuk memfasilitasi pemungutan suara bagi mereka yang memiliki keterbatasan. Selain itu, melibatkan para penyandang disabilitas dalam setiap tahapan juga sangat penting. Maka dari itu, diharapkan mereka yang menyandang disabilitas dapat menggunakan hak pilihnya dengan cara yang paling tepat dengan keperluan dan pengumataan mereka.

  • IV.   Kesimpulan sebagai Penutup

    4.    Kesimpulan

UUD 1945 menjamin hak memilih dan dipilih, yang mempunyai arti bahwasanya seluruh warga negara yang menggunakan hak tersebut harus melakukannya secara bebas (tanpa campur tangan), tanpa intimidasi (tidak ada paksaan dari luar), dan tanpa diskriminasi (tanpa batasan atau larangan di luar hukum). Negara menjamin kemampuan penyandang disabilitas untuk menggunakan hak-hak politiknya. Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 A-J UUD 1945 memuat aturan yang dibuat oleh negara untuk melindungi dan menghormati penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam beberapa hal, termasuk dalam hal mendaftar untuk memilih, pergi ke tempat pemungutan suara, memberikan suara secara rahasia, mendapatkan informasi pemilu, dan penyelenggaraan pemilu. Kurangnya konsistensi di antara para ahli teori dalam studi disabilitas merupakan hambatan teoritis. Stigma yang terkait dengan pemilih penyandang disabilitas menjadi penghalang di ranah sosial. Selain tantangan-tantangan tersebut, efektivitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memastikan bahwa masyarakat dapat menggunakan hak politiknya (khususnya hak pilih bagi penyandang disabilitas) juga dianggap masih di bawah harapan. Jangkauan ke tempat TPS dan kurangnya alat bantu hanyalah dua dari sekian banyak hambatan yang ditemukan Bawaslu RI yang menghalangi penyandang disabilitas untuk ikut andil pada pemilu kali ini. Penyandang disabilitas tidak dapat menggunakan hak pilih mereka karena kesenjangan akses, yang juga meningkatkan angka golput. Beberapa upaya yang dilakukan untuk membantu hak politik dan menaikkan keikutsertaan penyandang disabilitas dalam pemilu antara lain dengan melakukan penjangkauan dan pendidikan pemilih secara berkesinambungan kepada penyandang disabilitas, menerima dan mengikutsertakan penyandang disabilitas sebagai penyelenggara ad hoc, meningkatkan kesadaran penyelenggara adhoc, melibatkan penyandang disabilitas sebagai relawan pemilu dan agen demokrasi di lingkungannya, meningkatkan kesadaran akan pentingnya partisipasi dan peran serta pemegang saham, masyarakat, dan keluarga dalam membantu penyandang disabilitas untuk memberikan akses dan informasi terkait pemilu, memanfaatkan sebaik-baiknya penyandang disabilitas yang sudah terdaftar sebagai pemilih, dan menyediakan aksesibilitas yang bisa didatangi oleh penyandang disabilitas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anton M. Moeliono, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

I Made Pasek Diantha, 2019, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori

Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta Timur

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Raja Grafindo Persada Jakarta, 2015)

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Ke empat, (Departemen Pendidikan Nasional: Gramedia, Jakarta,2008)

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Cetakan Kelima), Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum universitas Indonesia, Jakarta

Muliadi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum & Masyarakat (Bandung: Refika Aditama, 2005)

Muhadam Labolo, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta Bumi Aksara, 2018)

Muh. Yahdi, Pendidikan Kewarganegaraan Kontemporer, Membangun Kearifan Berbangsa (Makassar: Alauddin Press, 2014)

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Penada Media, Jakarta

Romi Librayanto, 2010, Ilmu Negara (Suatu Pengantar), Pustaka Refleksi, Makassar

Tedi Priatna, 2017, Prosedur Penelitian Pendidikan, CV Insan Mandiri, Bandung

T. May Rudy, 2007, Pengantar Ilmu Politik (wawasan pemikiran dan kegunaannya), PT Refika Aditama, Bandung

Wika Nasiro, Pemenuhan Hak Politik Terhadap Penyandang Disabilitas pada Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta (Yogyakajrta: 2019)

Jurnal

Ade Rio Saputra, Jendrius, dan Bakaruddin Rosyidi. Tata Kelola Pemilu dalam Pemenuhan Hak-Hak Pemilih Penyandang Disabilitas/ 05/ Vol. 7. No.1. Tahun 2019

Agus Riwanto, 2018, Pemenuhan Hak Asasi Manusia Kaum Disabilitas dalam Pelaksanaan Pemilu Daerah Melalui Peningkatan Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah Guna Ppenguatan Demokrasi Lokal, Jurnal Hukum Universitas Negeri Semarang Volume 4 Nomor 3, Semarang

Anak Agung Istri Atu Dewi, 2018, Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Jurnal Pandecta Volume 13 Nomor 1, Bali

Aseh & Fine, 1988, Disability beyond Stigma: Social Interaction, Discrimination, and Activism, Journal of Social Issues, Volume 4 Number 1

I Gede Kusnawan, Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Penerimaan Tenaga Kerja, E-Journal Hukum Kertha Negara Universitas Udayana Volume 5 Nomor 2, Denpasar

Ishak Salim, 2015, Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia, Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Jazim Hamidi, 2016, Perlindungan Hukum Terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan, Jurnal Hukum Universitas Islam Indonesia, IUS QUIA IUSTUM Volume 23 Issue 4

Moh. Syaiful Rahman dan Rosita Indrayati, 2019, Hak Pilih Penyandang Disabilitas Dalam Pemilihan Umum di Indonesia, Jurnal Lentera Hukum, Volume 6 Nomor 1

Nikita Desverose. Priyatmoko. 2020, Keadilan Elektoral Bagi Pemilih Penyandang Disabilitas Mental Pada Pemilu Serentak 2019 di Surabaya, Jurnal Politik Indonesia, Volume 6 Nomor 2

Nur Syarif Ramadhan, 2016, Efektifitas Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2013 Dalam Pemenuhan Hak Dasar Pendidikan Penyandang Disabilitas di Kota Makassar, Jurnal Universitas Negeri Makassar Jurusan PPKn FIS

Stone & Priestly, 1996, Parasites, Prawn, and Partners: Disability Research and the Role of Non-Disabled Researchers, British Journal of Sociology

Sugiono, S., Ihamuddin, I., & Rahmawan, A. 2014. “Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance.” Indonesian Journal of Disability Studies, Vol. 1 (1)

Tony Yuri Rahmanto. 2019. “Hak Pilih Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal HAM, Vol. 10 (1), Juli 2019

Waisnawa, I. K. G. S., and A. A. I. A. A. Dewi. "Pemenuhan Hak Pilih Penyandang Disabilitas sebagai Perwujudan Kesetaraan HAM Politik." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7, No. 11 (2019)

Sulistyoko, Arie, dkk. “Perlindungan Hukum Bagi Kaum Disabilitas Dalam Pemilu Di Indonesia”, Journal of Law and Nation 2, No 1(2023)

Sirman, Muh. Yusril dan Andi Tenri Famauri. “Implementasi Dan Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Pemilihan Umum, Universitas Hasanuddin

Pranata, Kadek Yogie Adi, dkk. “Pemenuhan Hak Politik Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu”, Jurnal Konstruksi Hukum 4, No. 3 (2023)

Sanusi, dkk. “Peran Negara Melindungi Hak Pilih Disabilitas Kategori Orang Dengan Gangguan Jiwa Terhadap Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu”, Jurnal Riview Pendidikan dan Pengajaran 7, No 1 (2024)

Nursyamsi, Fajri dan Muhammad Nur Ramadhan. “Pelindungan Hak Pilih Penyandang Disabilitas Mental Dalam Pendekatan Rangkaian Proses Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomo 135/PUU-VIII/2015”, Jurnal Adhyasta Pemilu 3, No. 1 (2020)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 12 Tahun 2023, hlm. 595-611