PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCATUTAN IDENTITAS OLEH PARTAI POLITIK

I Made Gede Raharja Maha Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: mahaputraaa12@gmail.com

I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: krisnadiyudiantara@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i12.p3

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah dimana penulis mengkaji seperti apakah pertanggungjawaban pidana bagi partai politik yang menyalahgunakan Data Pribadi untuk menguntungkan Partai tersebut dalam Pemilian Umum, Metode Penelitian yang digunakan yaitu Metode Penelitian Hukum Normatif yang berfokus metode pengkajian hukum yang berdasarkan analisisnya pada suatu undang-undang yang sedang berlaku dan relevan dengan masalah hukum yang menjadi fokusnya, pendekatan yang dipakai untuk melaksanakan penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis, serta pendekatan studi kasus. Hasil dari penelitian ini dimana dapat diketahui bahwa pengaturan terkait data pribadi di Indonesia telah diatur dalam UU ITE. Pertanggungjawaban pidana terkait pencatutan identitas oleh partai politik diatur dalam pasal 520 dan pasal 544 Undang-Undang Pemilu dan pasal 67-73 UU perlindungan data pribadi.

Kata Kunci: Pemilu, Perlindungan, Data Pribadi, Partai Politik

ABSTRACT

The purpose of writing this research is where the author examines what criminal liability is like for political parties who misuse personal data to benefit the party in general elections. The research method used is the Normative Legal Research Method which focuses on legal study methods based on analysis of a law. currently in force and relevant to the legal issues that are the focus, the approaches used to carry out this research are a statutory approach, an analytical approach, and a case study approach. The results of this research show that regulations regarding personal data in Indonesia are regulated in the ITE Law. Criminal liability related to identity harvesting by political parties is regulated in articles 520 and 544 of the Election Law and articles 67-73 of the personal data protection law.

Key Words: Elections, Protection, Personal Data, Political Parties

  • I.     Pendahuluan

    • 1.1.   Latar Belakang Masalah

Pergantian pemerintahan tetap menggunakan bentuk demokrasi di banyak negara karena dianggap paling legal dan dapat diterima semua pihak. Pergantian pemerintahan dilakukan melalui pemilihan umum, yang dapat disederhanakan menjadi pemilu. Meskipun pemilu dianggap sebagai simbol dan tolak ukur demokrasi di banyak negara demokrasi, namun pemilu merupakan instrumen atau sarana pelaksanaan demokrasi. Ramlan Surbakti menilai pemilu

merupakan salah satu dari 11 (sebelas) pilar bentuk politik demokrasi.1 Pelestarian dan jaminan Hak asasi manusia dan hak sipil termasuk dalam 11 (sebelas) kategori pilar demokrasi. Adapun 11 (sebelas) kategori pilar tersebut adalah jaminan perlindungan akan hak asasi manusia; seluruh warga negara berperan aktif dalam kehidupan politik dan sosial; sebuah bentuk dimana pemilihan umum luberjurdil digunakan untuk memilih dan menggantikan pengelolaan lembaga legislatif dan eksekutif negara di tingkat nasional dan daerah; negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum mensyaratkan agar pemerintahannya dijalankan berdasarkan hukum dan seluruh penduduknya harus tunduk pada peraturan dan perundang-undangan yang sama, apapun posisi atau keadaan ekonomi mereka; pembagian kekuasaan negara secara adil dan saling mengawasi; oposisi dan pemerintah yang efektif; sistem pemerintahan daerah berdasarkan desentralisasi yang merupakan landasan bentuk pemerintahan daerah baik dari segi penyelenggaraan pemerintahan maupun pendanaan; menyadari konstitusionalisme pemerintahan masyarakat demokratis yang bersifat pluralistik; pihak mayoritas menghormati hak-hak dasar kelompok minoritas; dan budaya demokrasi.

Karena kemajuan teknologi, siapa pun dapat menggunakan apa pun untuk mencuri identitas orang lain secara sembarangan,2 Kemudahan Internet memungkinkan penjahat di dunia maya melakukan kejahatan dengan lebih rapih, tersembunyi, terorganisasi, serta dapat menjangkau lebih jauh ke jangkauan yang lebih luas.3 Apabila suatu perangkat komputer melakukan kesalahan maka dapat menimbulkan dampak negatif yang menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi pengguna atau pihak berkepentingan lainnya. Kesalahan yang disengaja tersebut menimbulkan penyalahgunaan komputer, sehingga memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kejahatan dengan menggunakan media komputer dan internet.4 Penyalahgunaan hal tersebut kemudian merambah ke ranah partai politik, dimana pemilihan pemilih dilakukan dengan menyerahkan daftar anggota dan dukungan minimal guna mengidentifikasi partai politik sebagai peserta pemilu yang keanggotaan dan dukungannya telah sah.

Pada kenyataannya, bentuk informasi membantu penyerahan daftar anggota dan dukungan pemilih yang minim. Penggunaan bentuk informasi di era sekarang menimbulkan banyak peluang dan permasalahan, serta dampak baik dan buruk. Sistem informasi memungkinkan masyarakat saling terhubung antara satu dengan lainnya tanpa mengenai batas wilayah dengan waktu yang cepat dan acap kali salah dalam penggunaanya. Misalnya, penggunaan bentuk informasi ini mempermudah pengumpulan dan pengiriman data pribadi seseorang dari satu pihak ke pihak lain tanpa persetujuan subjek data.

Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disingkat Bawaslu adalah lembaga pelaksana pemilihan umum yang memiliki tugas yaitu mengawasi

penyelenggara pemilihan umum di semua wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pelaksana pemilihan umum yang menjalankan tugas dan wewenang dalam pengawasan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.

Bawaslu yang dalam hal ini adalah pengawas pemilu yang terdiri dari Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota wajib menerima temuan Pengawas Pemilu dan aduan masyarakat yang tercatut dalam keanggotaan partai politik atau dukungan minimal pemilih. Masyarakat yang menyampaikan pengaduan tersebut menerima tanda bukti pengaduan dan/atau dokumen lainnya yang menerangkan bahwa pengaduan telah disampaikan kepada Pengawas Pemilu untuk ditindaklanjuti. Terhadap pengaduan tersebut, Pengawas Pemilu wajib membuktikan kebenarannya dengan melakukan pengecekan secara langsung terkait pencatutan data diri masyarakat yang menyampaikan aduan dalam Sipol atau Silon dan menuangkan hasil pengecekan tersebut dalam Laporan Hasil Pengawasan Pengawas Pemilu.

Perlindungan data diri masuk dalam pelindungan hak asasi manusia. Pengaturan menyangkut perlindungan data diri merupakan manifestasi pengakuan dan perlindungan atas hak dasar manusia. Peraturan yang berkaitan dengan perlindungan informasi pribadi adalah contoh pengakuan dan pembelaan hak asasi manusia. Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan perlindungan data pribadi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang pada intinya menyoroti risiko penggunaan data pribadi tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, juga ditulis karena diyakini bahwa perlindungan data pribadi merupakan hal yang krusial. Namun karena perlu adanya tujuan yang harus ditetapkan agar dapat dianggap sebagai kejahatan yang dapat dikenai sanksi, peraturan perundang-undangan ini juga tidak secara tegas melarang penyalahgunaan informasi pribadi orang. Kekhawatiran terhadap pelanggaran data pribadi yang dapat menimpa setiap anggota masyarakat telah melahirkan permasalahan dalam pengamanan data pribadi.

Hanya satu bentuk tulisan dari JCAL, Haryanto, dan R. Ginting—yang mengangkat persoalan yang pada dasarnya sama dengan tulisan ini. TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMANIPULASIAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEHINGGA DIANGGAP SEBAGAI DATA YANG OTENTIK (Studi Putusan Nomor 155/Pid. Sus/2018/PN Cbn). RECIDIVE 11, No. 3 (2023): 296-311.5 Penelitian ini fokus membahas studi kasus suatu putusan, dimana membahas tentang ancaman pidana pemalsuan data pribadi pada suatu dokumen. Dalam hal ini penulis membahas hal yang hampir sama dalam penelitiannya dengan mengambil untung dari data pribadi orang lain. Yang membedakan penulis berfokus pencurian data yang dilakukan oleh partai politik

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Pokok serta inti dari permasalahan yang akan dibahas dalam Penelitian ini tertuang dalam rumusan sebagai berikut :

  • 1)    Bagaimanakah Pengaturan terkait perlindungan data Pribadi di Indonesia?

  • 2)    Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana Pencatutan Identitas secara sembarangan oleh Partai Politik?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimankaah perlindungan data diri dalam bentuk hukum diindonesia dan pertanggungjawaban pencatutan data pribadi oleh Partai Politik sesuai dengan hukum Positif yang ada di Indonesia.

II.Metode Penelitian

Penelitian jurnal ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Metodologi penelitian hukum normatif adalah salah satu bentuk metode pengkajian hukum yang berdasarkan analisisnya pada suatu undang-undang yang sedang berlaku dan relevan dengan masalah hukum yang menjadi fokusnya dipakai untuk melaksanakan penelitian ini.6 Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan serta pendekatan analisis. Selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus merupakan pendekatan penelitian kualitatif yang mendalam mengenai kelompok individu, institusi dan sebagainya.7 Tujuan studi kasus merupakan berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam mulai dari individu, kelompok, atau situasi tertentu. Jenis data penelitian ini adalah data sekunder, di mana data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan berupa peraturan perundang-undangan, buku dan artikel. Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dalam hal ini, penulis membaca beberapa literatur berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumentasi lainnya serta sumber-sumber teoritis lainnya yang berhubungan dengan perlindungan data pribadi sesuai dengan Hukum yang ada di Indonesia.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Terkait Perlindungan Data Pribadi di Indonesia

Konstitusi kita dalam UUD NRI 1945 jelas mengatur bahwa Hak akan perlindungan data pribadi setiap orang. Dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.” Danvrianto Budhijanto menyatakan bahwa perlindungan hak milik pribadi memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan hubungan antara individu dan masyarakat, memberikan lebih banyak kemandirian atau otonomi untuk melakukan kontrol dan mencapai kecukupan, serta mendorong toleransi dan mencegah

diskriminasi. Danvrianto Budhijanto menganggap hak milik pribadi sebagai hak asasi manusia serta membatasi kekuasaan pemerintah”.8

Apabila mencermati paparan di atas, kita akan melihat bahwa terpeliharanya hak-hak pribadi atau perseorangan dan pembelaan diri pribadi mempunyai kaitan erat sebagaimana termuat di Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam perkembangannya, Privasi merupakan sebuah gagasan yang telah ada sepanjang sejarah dan dipahami di banyak negara yang berbeda, bisa berupa bentuk tertulis sebagai undang-undang ataupun bentuk tidak tertulis sebagai prinsip moral. Keinginan untuk mengakui perasaan, gagasan, dan perasaan serta hak untuk menikmati hidup atau yang disebut dengan hak untuk menyendiri, keduanya merupakan aspek dari hak yang berkaitan dengan kebutuhan spiritual manusia.9

Secara umum, data pribadi merupakan informasi mengenai identitas seseorang yang terkandung dalam data. Informasi ini dapat berupa simbol, karakter, atau angka pribadi unik yang dikaitkan dengan setiap orang. Berdasarkan undang-undang keamanan data di Indonesia sekarang, warga negara mempunyai hak konstitusional atas perlindungan informasi pribadinya, yang harus ditegakkan oleh pemerintah melalui hierarki peraturan perundang-undangan, antara lain UU HAM, UU Keterbukaan Informasi, dan UU ITE. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dikenal sebagai UU ITE, masih mengatur cara pengamanan data informasi elektronik secara umum atau khusus. UU ITE menetapkan tiga jenis keamanan data pribadi dalam bentuk elektronik. Perlindungan dari penggunaan yang melanggar hukum, perlindungan dari penyelenggara bentuk elektronik, dan perlindungan dari akses dan gangguan yang tidak diinginkan. Sistem elektronik sebagai serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisi, mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau meyebarkan informasi elektronik. Perbincangan mengenai perlindungan data pribadi kerap dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak privasi. Bahkan, dalam penjelasan Undang-Undang ITE tahun 2016, hak atas data pribadi dijelaskan sebagai salah satu bagian dari Privacy Right, yang mana mengandung pengertian sebagai berikut :10

  • a.    Hak Pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan;

  • b.    Hak Pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memaa-matai;

  • c.    Hak Pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan peribadi dan data seseorang.

Dari ketiga hal tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu pengertian dari Privacy Rights berdasarkan Penjelasan UU ITE mencakup hak untuk engawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Pengertian tersebut secara impilisit menunjukan bahwa subyek data (individu) pada dasarnya memiliki kontrol penuh atas informasi tentang dirinya.

Pelanggaran terhadap penyalahgunaan data pribadi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu sering teradi pada tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu. Pada tahapan ini, data masyarkat banyak digunakan untuk mempermudah

jalan calon partai politik agar dapat ditetapkan sebagai menjadi peserta pemilu. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa data dirinya dicatut untuk memenuhi syarat keanggotaan partai politik. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan terus berlanjut tanpa adanya pergerakan untuk merubah pola agar setiap pihak mengetahui bahayannya pencatutan data diri. Berdasarkan fakta yang ada, Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau menerima 1 (satu) laporan mengenai adanya eksploitasi masyarakat atas informasi pribadinya terhadap pengumpulan data partai politik pasca penentuan partai politik, dan didapati pula data 16 (enam belas) laporan tambahan. Nama Pengawas Pemilu diambil dari dukungan pemilih minimal. DPD. Sebenarnya, daftar partisipasi pemilih minimum harus memuat informasi mengenai orang-orang yang benar-benar mendukung calon DPD, dan daftar keanggotaan partai politik harus memuat informasi tentang mereka yang sah menjadi anggota partai politik tersebut.

Pencatutan data sering terjadi di pos pemeriksaan yang memerlukan verifikasi, termasuk sertifikasi keanggotaan partai politik dan bukti tingkat dukungan pemilih DPD yang diperlukan. Verifikasi adalah proses yang berupaya untuk menetapkan kebenaran suatu klaim. Memverifikasi keanggotaan atau dukungan anggota atau pendukung adalah proses untuk memastikan mereka adalah peserta yang sah dalam lingkungan. Memanfaatkan alat dan teknik yang terbukti benar dapat membantu tugas verifikasi. Sebelum membahas lebih jauh mengenai gambaran umum mekanisme verifikasi baik keanggotaan partai politik maupun dukungan minimal pemilih DPD, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai minimal keanggotaan partai politik dan minimal dukungan pemilih DPD agar dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu.11

Merujuk pada Pasal 177 huruf f Undang-Undang Pemilu, dinyatakan secara eksplisit bahwa bukti keanggotaan partai politik paling sedikit 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kabupaten/kota.Lebih lanjut, pada Pasal 8 ayat (1) huruf g angka 6 Peraturan KPU Tentang Pendaftaran, Verifikasi,dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD juga mengatur terkait minimal keanggotaan partai politik harus memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000(seribu) orang atau 1/1.000 (satu per seribu)orang dari jumlah Penduduk padakepengurusan Partai Politik tingkatkabupaten/kota dengan kepemilikan KTA danKTP-el atau KK anggota Partai Politik. Selain Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU, lebih lanjut KPU juga mengatur secara detail angka minimal keanggotaan partai politik dalam Keputusan KPU Nomor 274 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Keputusan KPU Nomor 258 Tahun 2022 Tentang Penetapan Jumlah Kabupaten/Kota dan Kecamatan Serta Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Setiap Provinsi Sebagai Pemenuhan Persyaratan Kepengurusan dan Keanggotaan PartaiPolitik. Hal-hal seperti inilah yang kemudian Partai Politik menghalalkan segala cara untuk memenangkan dirinya dalam pemilu.

  • 3.2    Pertanggungjawaban Pidana Pencatutan Identitas secara sembarangan oleh Partai Politik

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Ini berarti bahwa rakyat memiliki penuh kontrol atas pemerintahan, serta tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahannya. Mereka juga memiliki hak untuk memilih wakil rakyat yang akan mengawasi jalannya pemerintahan. Kedaulatan rakyat

diwujudkan melalui proses Pemilu, di mana rakyat dapat memilih pemimpin melalui pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung dalam satu pasangan. Mereka juga dapat memilih wakil rakyat yang akan menjalankan fungsi pengawasan, mewakili aspirasi politik rakyat, merumuskan undang-undang sebagai landasan bagi seluruh pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan tugas mereka, dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

Pertanggungjawaban tindak pidana terhadap seseoraang yang melakukan pelanggaran atau suatu perbuatan tindak pidana diperlukan asas-asas hukum pidana. Salah satu asas hukum pidana adalah asas hukum nullum delictum nulla poena sine pravia lege atau yang sering disebut dengan asas legalitas. Asas tersebut menjadi dasar pokok yang tidak tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana tidak dipidana jika asas tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseornag atas perbuatan yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan.

Secara prinsipil, UU Pemilu dibentuk dengan tujuan untuk menggabungkan dan menyatukan peraturan-peraturan yang terkait dengan pemilu yang sebelumnya terdapat dalam tiga UU yang berbeda, yakni UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, UU Pemilu ini juga bertujuan untuk merespons perkembangan dinamika politik terkait regulasi penyelenggaraan dan peserta Pemilu, sistem pemilihan, manajemen Pemilu, serta penegakan hukum dalam satu Undang-Undang tunggal, yaitu UU mengenai Pelaksanaan Pemilihan Umum.

Sejak semula Bawaslu menjadi lembaga yang dimandatkan undang-undang untuk menerima setiap laporan pelanggaran administrasi pemilu. Namun, berdasarkan UU Pemilu kewenangan Bawaslu tidak hanya sebagai lembaga yang menerima saja, tetapi bertransformasi menjadi lembaga yang juga memutus setiap pelanggaran administrasi pemilusebagaimana perintah Pasal 461 ayat (1) Undang-Undang Pemilu.12 Saran perbaikan terhadap temuan awal hasil dari pengaduan masyarakat dan pengecekan secara langsung dalam Sipol atau Silon sebagaimana Pasal 18 ayat (1) Peraturan Bawaslu Tentang Pengawasan Pemilu dapat disampaikan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatan masing-masing Pengawas Pemilu. Hal ini selaras dengan perintah Pasal 261 ayat (2) Undang-Undang Pemilu yang menyatakan bahwa Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berakibat, merugikan atau menguntungkan bakal calon anggota DPD, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

KPU Kabupaten/Kota dan/atau KPU Provinsi wajib menindaklanjuti temuan awal yang disampaikan oleh Pengawas Pemilu. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota akan menyampaikan pencatutan data tersebut kepada KPU RI untuk diitndaklanjuti. KPU RI akan melakukan pengecekan terhadap data

pencatutan tersebutdan jika terbukti benar adanya pencatutan data diri maka KPU RI akan menyatakan bahwa pencatutan data diri masyarakat tersebut menjadi dukungan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Data diri masyarakat yang tercatut sebelumnya yang dinyatakan TMS tidak akan muncul lagipada Info Pemilu dan tidak tercatat dalam keanggotaan partai politik atau dukungan minimal pemilih DPD. Berdasarkan penyampaian temuan dan aduan masyarakat tersebut, KPU Provinsi Kepulauan Riau menindaklanjuti saran perbaikan dengan membuat status keanggotaan partai politik menjadi anggota tidak memenuhi syarat dan data pengawas pemilu menjadi dukungan tidak memenuhi syarat

Dalam hal saran perbaikan hasil temuan awal ditindaklanjuti oleh jajaran KPU, maka Pengawas Pemilu harus menyampaikan kepada masyarakat yang menyampaikan aduan bahwa pengaduan telah ditindaklanjuti. Dalam hal saran perbaikan hasil temuan awal tidak ditindaklanjuti oleh jajaran KPU hingga sampai waktu yang telah ditentukan, maka Pengawas pemilu dapat mencatat peristiwa tidakditindaklanjutinya pencatutan data diri tersebut sebagai temuan dugaan pelanggaran administratif pemilu sebagaimana Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum dan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum.

Jika penanganan pelanggaran secara administrastif pemilu berdasarkan putusan Bawaslu atau Bawaslu Provinsi tidak ditindaklanjuti, maka terdapat upaya terakhir yaitu dapat menjadikan peristiwa tersebut sebagai dugaan tindak pidana pemilu sebagaimana Pasal 520 Undang-Undang Pemilu yang menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, untuk menjadi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 dan Pasal 260 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) atau Pasal 544 Undang-Undang Pemilu yang berbunyi bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih, dipidana denganpidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Berdasarkan makna pembacaan unsur “setiap orang”, maka pasal tersebut dapat dikenakan bagi siapa pun yang berdasarkan pembuktian dan fakta merupakan pelaku pencatutan. Hal ini jika dilakukan oleh pihak diluar penyelenggara pemilu baik penghubung partai politik, penghubung bakal calon DPD maupun masyarakat. Sementara dalam hal jika penyelenggara pemilu terlibat atas peristiwa pencatutan data diri masyarakattersebut, maka ancaman hukumannya dapat ditambah 2 (dua) tahun.

Sesungguhnya hal tersebutlah yang akan diperoleh oleh partai politik Jika melakukan penyalahgunaan data pribadi. Hal diatas adalah pemidanaan asal dari segi UU Pemilu saja, kita perlu melihat pemidanaan dari sudut pandang lain dimana mampu kita lihat berasal UU prerlindungan data pribadi Bahwa di BAB XIV tentang ketentuan Pidana ditur pada Pasal 67-73 Undang-Undang Perlindungan data pribadi ancaman penjara serta dendannya pun sangat besar contoh dalam Pasal 67 ayat (1) diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda 5 Miliar Rupiah. Serta yang perlu diperhatikan dimana pada dan juga hal ini yang perlu diperhatikan dimana dalam Pasal 70 ayat (4) huruf a-h dimana disana diatur jika data pribadi tersebut disalahgunakan suatu koorporasi maka akan dikenakan sanksi bahwan sampai kepada

pembubaran koorporasi tersebut. Hal tersebut menentukan bawasanya pemidanaan sekarang dengan dikeluarkannya UU PDP ini sekiranny bisa embuat efek jera bagi pemanipulasi data orang dengan sembarangan.

Namun bila penjeratan terkait hal ini diliat dalam KUHP Pasal 378 yang kasus ini masuk ke lingkup tindak pidana penipuan dan/atau pemalsuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Dan sebelum diproses aparat penegak hukum harus mendapat laporan terlebih dahulu. Hal-hal diataslah yg menjadi jerat pemidanaan dari pencatutan Data pribadi.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Sampailah kepada penulisan ini, dimana penulis berkesimpulan bawasannya secara aturan, pengaturan terkait data pribadi di Indonesia telah diatur dalam UU ITE. UU ITE menetapkan tiga jenis keamanan data pribadi dalam bentuk elektronik yaitu, perlindungan dari penggunaan yang melanggar hukum, perlindungan dari penyelenggara bentuk elektronik, dan perlindungan dari akses dan gangguan yang tidak diinginkan. Pertanggungjawaban pidana terkait pencatutan identitas oleh partai politik diatur dalam pasal 520 dan pasal 544 Undang-Undang Pemilu dengan pidana oenjara 6 (enam) dan denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Selanjutnya UU prerlindungan data pribadi menjelaskan pada BAB XIV tentang ketentuan Pidana ditur pada Pasal 67-73, menurut pasal 67 ayat (1) acaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda 5 Miliar Rupiah. Serta pasal 70 ayat (4) huruf a-h dimana diatur jika data pribadi tersebut disalahgunakan suatu koorporasi maka akan dikenakan sanksi bahwan sampai kepada pembubaran koorporasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budhijanto, Danrivanto. Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi,. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Ramlan Surbakti, Didik Suriyati, Hasyim Asyari. Merancang Bentuk Politik Demokratis, Menuju Pemerintahan Presidensial yang Efektif . Jakarta, 2011.

Jurnal

Antoni. "Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) Dalam Simak Online". Jurnal Raden Fatah 17, no. 2 (2017). DOI : https://doi.org/10.19109/nurani.v17i2.1192

Benuf, Kornelius, Muhamad Azhar. "Metode Penelitan Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer". Gema Keadilan E-Jurnal Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 7, no. 1    (2020). DOI:

https://doi.org/10.14710/gk.2020.7504

Bunga, Dewi. "Politik Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cybercrime". Jurnal Legislasi Indonesia 16, no. 1 (2019). DOI: https://doi.org/10.54629/jli.v16i1.456

CAL, Haryanto,R.Ginting. "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMANIPULASIAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEHINGGA DIANGGAP SEBAGAI DATA YANG OTENTIK (Studi Putusan Nomor 155/Pid. Sus/2018/PN    Cbn).".    RECIDIVE 11,    no. 3    (2023). DOI:

https://doi.org/10.20961/recidive.v11i3.67462

Disemadi, Hari Sutra. "Urgensi Regulasi Khusus dan Pemanfaatan Artificial Intelligence dalam Mewujudkan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia." Wawasan Yuridika 5, no. 2 (n.d.). DOI: https://doi.org/10.25072/jwy.v5i2.460

Laili, Wahyu Nur, and Muhammad Afandi. "ANALISIS PENCATUTAN DATA DIRI DALAM KEANGGOTAAN PARTAI POLITIK DAN DUKUNGANMINIMAL PEMILIH DEWAN PERWAKILAN DAERAH.". Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau 5, no. 1 (2023). DOI: https://doi.org/10.55108/jbk.v5i01.305

Niffari, Hanifan. "PERLINDUNGAN DATA PRIBADI SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA ATAS PERLINDUNGAN DIRI PRIBADI (SUATU TINJAUAN KOMPARATIF DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA LAIN)." Jurnal Yuridis V 7, no. 1 (n.d.). DOI: https://doi.org/10.35586/jyur.v7i1.1846

Novyanti, Heny, PudjiAstuti. "Jerat Hukum Penyalahgunaan Aplikasi Deepfake Ditinjau Dari Hukum Pidana". Novum: Jurnal Hukum 1, no. 1 (2021). DOI: https://doi.org/10.2674/novum.v0i0.43571

Samuel Warren, Louis D. Brandeis. "The Right To Privacy"." Harvard Law Review, no. 4 (n.d.). DOI : https://doi.org/10.2307/1321160

Sinaga, Erlina Maria Christin. "FORMULASI LEGISLASI PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM REVOLUSI 4.0." Jurnal RechtsVinding 9, no. 2 (n.d.). DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i2.428

Suminta., Kaka. "Keadilan Pemilu dan Pergeseran Demokrasi, Sebuah Analisa Atas Pelaksanaan Pemilu 2019 dan Masa Depan Pemilu". Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau 1, no. 1 (2019). https://doi.org/10.55108/jbk.v1i1.222

Veri Junaidi, Muhammad Ishan Maulana. "Menata Kelembagaan Penegakan Hukum Pemilu Serentak Tahun 2024." JurnalBawaslu Provinsi Kepulauan Riau Edisi III" 2, no. 2 (2020). DOI: https://doi.org/10.55108/jbk.v2i2.240

Yuniarti, Siti. "PERLINDUNGAN HUKUM DATA PRIBADI DI INDONESIA." JURNAL BECOSS 1, no. 1 (n.d.). DOI: https://doi.org/10.21512/becossjournal.v1i1.6030

Website

URL : https://langgam.id/pakar-hukum-pencatutan-identitas-orang-lain-oleh-parpol-bisa-dipidana/, Diakses tanggal 12 September 2023

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 12 Tahun 2023, hlm. 624-633