PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PENYELENGGARA SARANA PERKERETAAPIAN TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN DALAM PENGANGKUTAN HEWAN
on
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
PENYELENGGARA SARANA PERKERETAAPIAN TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN DALAM PENGANGKUTAN HEWAN
Ketut Alit Suwarni , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Pande Yogantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i11.p5
ABSTRAK
Tulisan ilmiah ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap pertanggungjawaban pihak penyelenggara sarana perkeretaapian terhadap timbulnya kerugian dalam proses pengangkutan hewan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual dengan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat ketidakpastian hukum dalam pertanggungjawaban penyelenggara sarana perkeretaapian apabila terdapat kerugian dalam proses pengangkutan hewan. Hal ini disebabkan karena adanya kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang mengatur perihal perihal hak dan kewajiban serta tanggung jawab para pihak apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian dari Pihak pengirim hewan dan Ekspedisi.
Kata Kunci: Pengangkutan, Kereta Api, Hewan, Kepastian Hukum.
ABSTRACT
This scientific paper aims to conduct a study of the responsibility of the operator of railway facilities for the occurrence of losses in the process of transporting animals. This research uses normative research methods with legal and contextual approaches with legal materials consisting of primary and secondary legal materials. The results of the study show that there are lawsuits in the accountability of the railway facility operator if there is a loss in the process of transporting animal. This is due to the release of the law in Law Number 23 of 2007 concerning Railways which regulates the rights and obligations as well as the responsibilities of the parties in the event of an event that causes harm to the sender of animals and expeditions.
Keywords: Transportation, Trains, Animals, Legal Certainty.
Kondisi masyarakat yang semakin dinamis secara langsung berpengaruh pada meningkatnya arus perpindahan orang dan/atau barang untuk menunjang kebutuhan manusia. Seiring dengan meningkatnya arus tersebut, diperlukan alat transportasi yang dapat digunakan sebagai akomodasi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan suatu barang. Di tengah kondisi yang menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas
lalu lintas transportasi yang mensyaratkan adanya perpindahan orang dan barang, kereta api seiring waktu semakin dikenal sebagai pilihan moda transportasi darat. Kereta api sesuai perkembangannya memegang peranan yang besar dalam memberikan pelayanan terhadap arus pergerakan manusia dan/atau barang khususnya.1 Angkutan kereta api telah merangsang berbagai kegiatan masyarakat pada umumnya seperti industry dan perdagangan melalui mode transportasi angkutan kereta api yang menaawarkan jasa angkutan dengan harga yang murah dan jumlah angkutan yang besar. 2
Hukum pengangkutan memberikan kewajiban kepada pengangkut untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada penumpang seperti memberangkatkan penumpang sebagaimana jadwal yang telah disepakati dan ditetapkan, melakukan pengangkutan penumpang dan/atau barang sesuai dengan kesepakatan perihal kondisi dan tempat tujuan, hingga mencakup kepada pemberian ganti rugi apabila terdapat kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pengangkutan tersebut. Tidak hanya bagi pengangkut, penumpang maupun pemberi barang diwajibkan untuk membayar biaya atau ongkos pengangkutan yang besarannya sesuai dengan kesepakatan serta menaati segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh pengangkut yang berhubungan dengan pengangkutan.3 Pengangkutan suatu barang secara langsung membawa konsekuensi bahwa harus terdapat perlindungan hukum bagi pihak pengirim barang. Hal tersebut dikarenakan dalam pengangkutan suatu barang, terdapat kemungkinan bahwa kegiatan pengangkutan tidak berjalan dengan lancar dengan dua kemungkinan, yakni barang yang dikirim musnah atau barang yang dikirim mengalami kerusakan baik sebagian maupun seluruhnya saat sudah sampai ke tempat yang telah disepakati.4 Terkait pertanggungjawaban terhadap barang yang diangkut tidak sesuai dengan kesepakatan tersebut, Tanggungjawab yang dilakukan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian dimulai sejak adanya PT. KAI menerima barang sampai dengan penyerahan barang sesuai dengan kesepakatan kepada penerima.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat, telah banyak dilakukan kegiatan pengangkutan terhadap hewan oleh pihak yang berkepentingan. Pengangkutan hewan Sebagai salah satu moda transportasi, Kereta Api juga dapat melakukan kegiatan pengangkutan terhadap hewan. Pengangkutan hewan harus memperhatikan aspek pengaturan kesejahteraan hewan yang mengacu pada ketentuan perihal 5 (lima) “prinsip” (five freedom) l yang telah diakui oleh dunia hukum internasional. Prinsip tersebut mengatur bahwa hewan haruslah mendapat kebebasan dari perasaan haus serta lapar, terbebas dari rasa penderitaan, terbebas dari rasa kesakitan, cedera, dan berbegai penyakit, bebas dalam mengekspresikan perilaku norma, dan terkakhir harus dibebaskan dari perasaan akan ketakutan serta tekanan.
Kondisi fisik dan psikologi hewan merupakan hal yang akan terdampak apabila para pihak terutama pihak pengangkut gagal dalam memenuhi lima prinsip kesejahteraan hewan. Hal inilah yang menyebabkan terjadi suatu wanprestasi oleh karena kondisi hewan yang diangkut tidak sesuai dengan yang telah disepakati di dalam perjanjian. Untuk melihat pertanggungjawaban hukum terhadap kejadian yang merugikan pemilik hewan, maka diperlukan analisis untuk melihat hubungan hukum antar para pihak yakni dalam hal ini pengangkut, penumpang atau pengirim barang, dan ekspedisi yang dikaitkan dengan dasar hukum serta asas-asas yang berkait dengan proses pengangkutan hewan yang bersangkutan. Khusus terhadap pengangkutan hewan melalui moda transportasi kereta api dapat mengacu pada Undang-Undang tentang Perkeretaapian dan Peraturan Pemerrintahan Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Kereta Api (selanjutnya disebut dengan PP No.72 Tahun 2009. Namun baik Undang-Undang tentang Perkeretaapian maupun PP No. 72 Tahun 2009 tidak mengatur hak dan kewajiban dari para pihak khususnya pihak pengirim hewan dan ekspedisi dalam proses pengangkutan hewan melalui mekanisme transportasi kereta api. Sehingga hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Terkait dengan orisinalitas penelitian, penulis menghindari adanya plagiarism dalam bentuk apapun dan berkomitmen dalam melakukan penemuan serta pembaharuan hukum. Peneitian ini merupakan sebuah inovasi yang penulis kembangkan dari beberapa penelitian yang lain dengan judul:
-
1. Jurnal Ilmiah yang berjudul “Pertanggungjawaban Penyedia Jasa Pengangkutan Barang dalam Hal Terjadinya Kerusakan Objek Pengangkutan Pada Tiki”, disusun oleh Ida Bagus Putu Bayu Kumara Manuaba, I Ketut Markeling, Anak Agung Sukranatha pada tahun 2018, dipublikasikan di Jurnal Kertha Semaya. Penelitian ini lebih berfokus pada kajian terhadap perlindungan hukum bagi pengguna jasa Tiki apabila terjadi kerusakan barang serta pertaggungjawaban dari pihak ekspedisi yang dalam hal ini adalah Tiki. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Penelitian ini tidak membahas perihal hewan saebagai salah satu barang dalam angkutan kereta api. Selain itu terdapat perbedaan metode penelitian dengan penelitian yang penulis lakukan yakni menggunakan metode penelitian normative.
-
2. Jurnal Ilmiah berjudul “Tanggung Jawab PT KAI Terhadap Barang Bawaan Penumpang Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen”, disusun oleh OKtaviana Surya Putri dan I Made Dedy Priyanto pada Tahun 2018, dipublikasikan di Jurnal Kertha Semaya. Penelitian ini berfokus pada kahian terhadap Tanggungjawab PT KAI sebagai pihak penyelenggara sarana perkeretaapian terhadap barang bawaan penumpang dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal ini memliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan karena dalam penelitian penulis lebih menekankan perihal hewan sebagai angkutan abrang khusus beserta landasan hukumnnya yang lebih menekankan pada Undang-Undang tentang Perkeretaapian dan PP No. 72 Tahun 2009
Penulis melihat urgensi dari penelitian yang penulis lakukan karena terdapat kekosongan norma terhadap hak dan kewajiban dari para pihak dalam proses pengangkutan hewan dalam moda transportasi kereta api baik dalam Undang-Undang
tentang Perkeretaapian maupun PP No. 72 Tahun 2009. Hal ini akan berhubungan dengan kepastian hukum yang dirasakan oleh penumpang atau pemilik hewan dan pihak ekspedisi. Berdasarkan hal tersebut penulis mengangkat topik permasalahan dengan judul: “Pertanggungjawaban Hukum Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Terhadap Timbulnya Kerugian Dalam Pengangkutan Hewan”.
-
1. Bagaimana pengaturan pengangkutan hewan melalui kereta api di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban penyelenggara sarana perkeretaapian
terhadap timbulnya kerugian dalam proses pengangkutan hewan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji aspek hukum pertanggungjawaban penyelenggara sarana perkeretaapian apabila terdapat kerugian terhadap Hewan sebagai angkutan barang khusus dalam mode pengangkutan kereta api di Indonesia.
Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normative. Metode penelitian ini digunakan dalam tujuan untuk melakukan penelitian hukum dengan obyek penelitian berupa norma hukum itu sendiri. Penelitian hukum normative dapat digunakan untuk menemukan penyelesaian masalah terhadap adanya kekosongan, kekaburan, atau konflik norma melalui pemberian argumentasi yuridis perihal isu hukum yang sedang dikaji. 5 Jenis pendekatan yang digunakan daam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual dengan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder. Adapun terkait teknik pengumpulan bahan hukum, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bola salju yang mana teknik ini dapat diterapkan pada bahan hukum sekunder terutama buku hukum dan jurnal yang mencantumkan daftar pustaka. Penulisan jurnal ini menggunakan Teknik penulisan yakni analisis deskriptif untuk menjelaskan secara komperehensif pokok bahasan.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Pengangkutan hewan melalui Kereta Api di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian
Pengangkutan secara etimologis terdiri dari kata dasar “angkut” yang memiliki makna membawa atau mengangkat. Tercantum dalam kamus hukum, pengangkutan diartikan sebagai “suatu bentuk perjanjian secara timbal balik yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim, yang mana dalam hal ini pengangkut mengikatkan dirinya untuk melakukan pengangkatan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk
membayar uang angkutan”.6 Tujuan dari adanya suatu pengangkutan berkaitan dengan peningkatan dari nilai suatu barang. Dalam perkembangannya, fungsi dari pengangkutan tidak hanya berhubungan dengan perdagangan saja, tetapi juga berhubungan dengan bidang pemerintahan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, serta Pendidikan, dan lainnya.7
Undang-Undang tentang Perkeretaapian tidak mengatur perihal boleh atau tidaknya penumpang membawa hewan ke dalam kereta api. Namun ketentuan perihal penumpang yang membawa Binatang perliharaan diatur dalam PP Nomor 72 tahun 2009). Pasal 126 ketentuan a quo mengatur:
“(1) Atas persetujuan penyelenggara sarana perkeretaapian, penumpang diperbolehkan membawa Binatang peliharaann dengan syarat:
-
a. bebas penyakit;
-
b. tidak memakan tempat;
-
c. tidak mengganggu kenyamanan penumpang lain; dan
-
d. dimasukkan dalam tempat khusus.
-
(2) Tanggung jawab terhadap Binatang peliharaan yang dibawa penumpang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penumpang yang bersangkutan.”
Tidak terdapat ketentuan lebih lanjut lagi perihal Binatang perliharaan penumpang dalam PP Nomor 72 tahun 2009 seperti tata cara pengangkutan Binatang tersebut serta hak dan kewajiban baik dari penyelenggara sarana perkeretaapian maupun pemilik Binatang. Namun, penulis justru menemukan ketentuan yang bersifat kontradiktif terkait pengangkutan binatang tersebut yakni Pasal 127 ayat (1) huruf c yang mengatur bahwa setiap orang yang berada di kereta api dilarang membawa barang yang terlarang. Lebih lanjut dalam penjelasan aturan a quo, disebutkan bahwa salah satu barang yang dianggap dapat menganggu penempang lain karena kotor dan/atau berbau adalah Binatang.
Disharmoni norma dalam PP Nomor 72 Tahun 2009 tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum perihal boleh atau tidaknya pengangkutan Binatang peliharaan dalam moda kereta api di Indonesia. Kepastian Hukum menurut Peter Mahmud Marzuki memiliki 2 (dua) definisi, yakni adanya aturan yang bersifat mengikat secara umum sehingga individu-individu dalam suatu negara mengetahui perbuatan apa yang sejatinya diizinkan dan dilarang. Kedua, kepastian berupa jaminan atas keamanan bagi seseorang dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, karena dengan adanya pengaturan akan membuat orang tersebut mengetahui apa saja yang boleh dilakukan negara kepada seseorang.8 Dengan tidak adanya kepastian hukum, maka penumpang yang ingin membawa hewan peliharannya akan dirugikan.
PP 72 Tahun 2009 secara lebih lanjut kemudian mengatur terkait dengan pengangkutan hewan yang diklasifikasikan sebagai angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf e. Tidak terdapat ketentuan yang jelas perihal perbedaan dari frasa “hewan” dalam ketentuan a quo dengan “Hewan” sebagaimana diatur dalam Pasal 126 PP 72 Tahun 2009. Namun dalam prakteknya, PT. KAI telah bekerjasama dengan beberapa pihak ekspedisi untuk pengangkutan hewan dengan menggunakan gerbong khusus, tidak diperkenankan bersamaan dengan gerbong penumpang. Hal tersebut bersesuaian dengan Pasal 138
Ayat (7) PP 72 Tahun 2009 yang mengatur: “Pengangkutan hewan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f menggunakan gerbong harus disediakan air dan makanan, hewan harus diikat dan/atau diIkat serta dijaga seorang atau lebih pemelihara hewan.” Sehingga, pengertian “Hewan” dalam prakteknya disamakan dengan hewan sebagaimana Pasal 138 ayat (1) huruf e yang merupakan angkutan barang khusus.
Berkaitan dengan kekhususan tersebut, maka pengangkutan hewan juga wajib mempertimbangkan aspek ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satunya adalah ketentuan perihal pengangkutan binatang sebagaimana diatur dalam Pasal 89 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan mengatur lebih lanjut terkait pengangkutan hewan, yang menyebutkan:
“(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf d paling sedikit harus dilakukan dengan:
a Cara yang tidak menyakiti, melukai, dan/atau mengakibatkan stress;
b menggunakan alat angkut yang layak, bersih, sesuai dengan kapasitas alat angkut, tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stress; dan
c memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan.
-
(2) Dalam hal pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kandang, kandang harus memungkinkan Hewan dapat bergerak leluasa, bebas dari predator dan Hewan pengganggu, serta terlindung dari panas matahari dan hujan.
-
(3) Pengangkutan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan di bawah penyeliaan dan/atau setelah mendapat rekomendasi dari Dokter Hewan Berwenang”
Dewasa ini terdapat beberapa pihak yang berhubungan dalam proses pengangkutan hewan dalam mode transportasi kereta api. Pihak tersebut diantaranya pihak pengirim, pihak pengangkut, dan pihak ekspedisi. Pihak pengirim barang merupakan pihak yang mengikatkan dirinya ke dalam sebuah perjanjian dengan memberikan upah kepada ekspeditur ataupun pengangkut dan meminta barangyang dimilikinya agar dikirim ke suatu tempat.9 Sedangkan untuk Ekspeditur telah diatur dalam Pasal 86 KUHD yakni “Ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan. Ia diwajibkan membuat catatan- catatan dalam register harian secara berturut-turut tentang sifat dan jumlah barang-barang atau barang-barang dagangan yang harus diangkut dan bila diminta, juga tentang nilainya.”
Undang-Undang tentang Perkeretaapian maupun PP 72 Tahun 2009 hanya mengatur hak dan kewajiban pengangkut yang penyelenggara sarana perkeretaapian. Sehingga hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka penting dilakukan suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban secara komperehensif bagi para pihak terkait pengangkutan hewan dalam moda kereta api. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam proses pengangkutan barang melalui mode kereta api, pihak ekspedisi merupakan pihak yang bertindak atas nama pengirim dikarenakan pihak ekspedisi merupakan perantara antara pengirim dengan pengangkut. Pengirim melakukan perjanjian dengan pihak ekspedisi sebagai yang mana pihak ekspedisi sebagai penyedia jasa pengiriman akan mencarikan atau memuat barang yang akan dikirim ke alat angkut yang ada.
-
3.2 Tanggung Jawab penyelenggara sarana perkeretaapian terhadap Hewan sebagai angkutan barang khusus.
Dalam proses pengangkutan, sering terjadi permasalahan wanprestasi berupa kecelakaan, kerusakan, dan kehilangan barang yang sejatinya tidak hanya disebabkan oleh kesalahan dari pengangkut saja, tetapi bisa disebabkan oleh kesalahan pihak pengirim maupun pihak ekspedisi. Pasal 138 ayat (1) huruf f PP 72 Tahun 2009 telah mengklasifikasikan hewan sebagai barang khusus. Secara mutatis mutandis apabila terjadi suatu permasalahan perihal pengangkutan hewan hidup tersebut, para pihak akan mengacu pada Undang-Undang tentang Perkeretaapian beserta PP 72 Tahun 2009 sebagai dasar hukum sistem pertanggungjawaban dalam mode transportasi kereta api.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memerikan definisi tanggung jawab sebagai “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya”. Dalam hukum pengangkutan, tanggung jawab dibagi menjadi 2 bagian, yakni:10
-
1. Liability, merupakan bentuk dari pertanggungjawaban yang berhubungan dengan adanya kewajiban pengangkut untuk memberikan ganti rugi oleh karena adanya kelalaian pengangkut dalam kegiatan pengangkutan yang telah diselenggarakannya;
-
2. Responsibility, merupakan bentuk pertanggungjawaban yang berkaitan dengan adanaya kewajiban individu dalam kehidupan seharai-hari.
Pengangkut dibebankan tanggung jawab atas berbagai bentuk kerugian yang timbul selama proses pengangkutan berlangsung. Proses tersebut apabila dirinci lebih dalam lagi, dimulai sejaknya adanya pemuatan barang ke kereta api sampai dengan pembongkaran di tempat tujuan yang telah disepakati antara pengangkut dan pengirim, kecuali apabila terdapat perjanjian lain.11 Namun, tanggung jawab tersebut hanya secara limitative diatur oleh Undang-undang tentang Perkeretaapian yang diantaranya adalah sebagai berikut: Pasal 158
“(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawabatas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
-
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diterima oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sampai dengan diserahkannya barang kepada penerima.
-
(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami, tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah digunakan.
-
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.”
Pasal 159
“(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.”
Lebih lanjut Pasal 177 PP 72 Tahun 2009 mengatur:
“Penyelenggara sarana perkeretaapian dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian apabila:
-
a. penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang setelah diberitahukan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian;
-
b. kerugian tidak disebabkan kelalaian dalam pengoperasian angkutan kereta api oleh penyelenggara sarana perkeretaapian; dan
-
c. kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.”
Peraturan di atas menjadi dasar hukum yang dapat dijadikan acuan oleh pihak pengirim maupun ekspedisi dalam menuntut ganti kerugian kepada pihak kereta api apabila terjadi wanprestasi dalam proses pengangkutan yang diantaranya seperti kematian pada hewan, luka-luka, hewan sakit atau termasuk pada hewan yang diangkut tidak datang sesuai dengan waktu yang sudah disepakati. Dalam hal terjadinya permasalahan perihal pengangkutan hewan, maka tidak akan terlepas dari hak dan kewajiban para pihak dalam proses pengangkutan. Dalam prakteknya, hak dan kewajiban para pihak akan dimuat dalam suatu perjanjian antara pihak pengangkut hewan dengan pihak pengirim. Perjanjian ini akan bersifat mengikat sesuai dengan prinsip dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yakni “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Hak dan kewajiban para pihak terkait yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian akan termuat dalam dokumen pengangkutan. Namun, dalam hal dokumen pengangkutan tidak memuat hak dan kewajiban, maka secara mutatis mutandis akan merujuk dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sampai saat ini, baik Undang-Undang tentang Perkeretaapian maupun PP PP 72 Tahun 2009 sebagai dasar hukum penyelenggaraan pengangkutan hewan dalam mode transportasi kereta api di Indonesia hanya mengatur perigal hak dan kewajiban dari penyelnggara sarana kereta api. Sehingga hak dan kewajiban bagi para pihak akan didasarkan pada kebiasaan yang terjadi dalam pengangkutan kereta apu maupun pengagkutan secara umumnya. Hal ini akan membawa konsekuensi terjadinya ketidakpastian hukum mengingat untuk menentukan kesalahan dan pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kerugian dalam pengangkutan hewan harus didasarkan dengan pemenuhan hak dan kewajiban dari Pihak. Ketidakpastian hukum yang terjadi lebih berdampak bagi pihak pengirim hewan apabila ditelaah berdasarkan sistem pertanggungjawaban yang dianut oleh perundang-undangan di bidang perkeretaapian.
Ketentuan tersebut menandakan bahwa prinsip tanggung jawab yang digunakan didasarkan pada adanya kesalahan (fault of liability principle). Makna yang
terkandung dalam prinsip ini adalah pengangkut baru dapat dikenakan pertanggungjawaban apabila terbukti bahwa pengangkut memiliki unsur kesalahan yang berkaitan dengan peristiwa yang menjadi penyebab timbulnya suatu kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa unsur-unsur yang dapat ditarik dari sistem pertanggungjawaban tersebut yakni Pertama, adanya kesalahan atau kelalaian pengangkut; Kedua, adanya pembuktian dari pihak yang dirugikan bahwa pihak pengangkut memiliki kesalahan atau lalaian; dan Ketiga, adanya hubungan kausalitas ada perbuatan yang dilakukan oleh pengangkut dengan kerugian yang timbul.12
Bahwa kemudian baik pihak ekspedisi maupun pemilik/penerima hewan diminta untuk membuktikan bahwa pihak pengangkut memiliki kesalahan tentunya merupakan hal yang tidak mudah. Kedudukan antara pihak ekspedisi maupun pemilik/penerima hewan sangat tidak seimbang dikarenakan pihak ekspedisi maupun pemilik/penerima memiliki keterbatasan perihal pengetahuan bagaimana kereta api tersebut dioperasikan. Selain hal tersebut, terdapat beberapa argumentasi yang dapat menjadi pertimbangan kajian terkait prinsip fault of liability, yaitu:
-
a. Saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian, instrument penyebab tersebut berada di bawah penguasaan yang eksklusif dari pihak pengangkut. Sehingga apabila dikaji berdasarkan dengan prinsip keadilan korektif, maka harus terdapat keseimbangan antara hubungan satu orang dengan orang yang lain perihal apa yang diberikan dan diterimanya. Konsekuensinya adalah kedua belah pihak sudah semestinya memiliki kewajiban yang sebanding dengan hak yang dimilikinya.
-
b. Pelaku usaha memiliki kemampuang yang lebih besar untuk melakukan pendistribusian resiko suatu kerugian sebagai suatu biaya untuk melakukan bisnis.
-
c. Prinsip fault liability berpotensi menimbulkan ketidakadilan di pengadilan. Hal ini dikarenakan pihak pengirim dan ekspedisi akan sangat kesulitan dalam melakukan pembuktian kesalahan dari Pihak Pengangkut. Sebagai pihak yang menjalankan kegiatan pengangkutan, tentunya pihak pengangkut memiliki pengetahuan yang lebih lengkap tentang adanya suatu kejadian beserta dengan penyebabnya. Pihak pengangkut kemungkinan besar saat dilakukan pembuktian di persidangan, tidak akan mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan apabila fakta tersebut cenderung merugikan pihaknya. Sedangkan di sisi lainnya, pihak korban yang dalam hal ini adalah pengirim dan espeditur tentunya tidak memiliki akses yang kuat untuk menemukan fakta-fakta kejadian.13
Sebagai studi komparatif, hal yang berbeda ditunjukkan dalam pengangkutan barang atau hewan sebagaimana dilakukan di perairan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang a quo mengatur bahwasanya perusahaan pengangkut di perairan tidak akan dikenakan pertanggungjawaban atas timbulnya kerugian yang diderita penumpang
dan/atau pemberi barang yang diangkutnya, apabila pihak pengangkut secara meyakinkan dapat membuktikan bahwa tidak ada kausalitas antara perbuatan pengangkut dengan kerugian yang timbul. Dalam hal ini perusahaan pengangkut adalah pihak yang bertanggung jawab melakukan pembuktian bahwa pihaknya tidak bersalah. Ketentuan tersebut tersirat mendandakan bahwa Pertanggungjawaban pengangkut dalam tranportasi air menganut prinsip Presumption of Liability Principle. 14
Sebagaimana dalam prinsip ini, pengangkut selalu dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kerugian yang ditimbulkan atas kegiatan pengangkutan. Secara langsung, hal ini membawa konsekuensi bahwa beban pembuktian terletak pada pengangkut, bukan pada penumpang. Pihak yang dirugikan dalam hal ini hanya diwajibkan untuk menunjukkan kerugian yang dideritanya. 15 Ketentuan ini sejatinya selaras dengan Pasal 468 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang mengatur: “Pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat daripada barang itu, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya”
Pengangkutan hewan dalam moda tranportasi kereta api melibatkan beberapa pihak yang antara lain pihak pengangkut (PT. Kereta Api), penumpang atau pengirim barang, dan/atau Pihak ekspedisi. Dasar hukum pelaksanaan pengangkutan hewan melalui kereta api di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkeretaapian dan PP Nomor 72 Tahun 2009. Namun baik Undang-Undang tentang Perkeretaapian maupun PP No. 72 Tahun 2009 tidak mengatur secara komperehensif tata cara beserta hak dan kewajiban dari para pihak khususnya pihak pengirim Hewan dan ekspedisi dalam proses pengangkutan hewan melalui mekanisme transportasi kereta api yang mana hal tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian hukum bagi para pihak. Padahal sebagai suatu proses pengangkutan barang khusus berupa hewan, banyak hal yang harus diatur secara jelas karena seringkali terjadi kerugian yang diderita oleh pengirim hewan baik dikarenakan kesalahan pihak pengangkut maupun pihak ekspedisi dan pengirim hewan. Terlebih dalam Undang-Undang tentang Perkeretaapian mengindikasikan menganut pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (fault of liability) yang sejatinya memiliki kelemahan dalam hal rendahnya kedudukan pihak ekspedisi dan pengirim hewan untuk dapat membuktikan kesalahan dari pengangkut. Berdasarkan prinsip kepastian hukum sudah semestinya pemerintah dalam hal ini penyusun peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembaharuan hukum pengangkutan dalam moda kereta api untuk lebih secara komperehensif mengatur hak dan kewajiban para pihak serta memasukkan konsep pertanggungjawaban
berdasarkan praduga (Presumption of Liability Principle) dengan perbandingan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pelayaran.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Diantha, I.M.P.. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. (Jakarta, Prenada Media Group, 2015).
R.Gultom, Elfrida. “Hukum Pengangkutan Laut”. (Bogor, Mitra Wacana Media, 2020).
Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta, Prenada Media Group, 2008).
Purwosutjipto, H.M.N.,. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. (Jakarta, Djambatan, 2013).
Widagdo, Setiawan. Kamus Hukum. (Jakarta, PT. Prestasi Pustaka. 2012).
Jurnal
Istiharoh, Fitriana Novitasari. "Studi Tentang Jasa Pengiriman Hewan Melalui Pengangkutan Darat Di Pt Herona Express Cabang Surakarta." Jurnal Privat Law 6, no. 1: 70-81.
Lede, Fransiskus Desales Jeri. "Pertanggungjawaban Atas Kerugian Yang Terjadi Dalam Pengangkutan di Laut Menurut Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran." LEX ET SOCIETATIS 7, no. 2 (2019) : 82-92.
Lestari, Sri. "Pengiriman Barang Umum (General Cargo) Menggunakan Kereta Api Yang Efektif Dan Efisien Effective And Efficiently Delivery General Cargo By Train." Jurnal Penelitian Transportasi Darat, Volume 16, Nomor 2, Juni 2014, 9198
Marganingtyas, Gita Puspitasari, Rinitami Njatrijani, and Paramita Prananingtyas. "Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengiriman Paket Barang dan Hewan oleh PT. Herona Express." Diponegoro Law Journal 2, no. 2 (2013): 1-9.
Nasution, Krisnadi. "Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang Bus Umum." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 26, no. 1 (2014): 55-71.
Rompas, Fernando Sakti Toding. "Tanggung Jawab Penyelenggara Prasarana Perkretaapian Atas Kerugian Sebagai Akibat Kecelakaan." Lex Privatum 9, no. 11 (2021): 5-15.
Santoso, Muhammad Sofyan Rudi, and Moch Najib Imanullah. "Tanggung Jawab Keperdataan Pt Kereta Api Indonesia (Persero) Atas Kecelakaan Yang Terjadi Saat Mengangkut Penumpang." Privat Law 4, no. 2 (2016): 5-15.
Selvia, Mila, and Erlina Erlina. "Analisis Penyelesaian Sengketa Antara Pengangkut Dengan Pengirim Akibat Terjadi Kecelakaan." Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 2, no. 1 (2022): 221-234.
Sugiarti, Y. A. Y. U. K. "Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Angkutan Jasa Kapal Penyebrangan." Jurnal Jendela Hukum 5, no. 2 (2018): 31-39.
Setiawan, Rahmat. "Tinjauan Hukum Terhadap Prinsip Tanggung Jawab (Liability Principle) Atas Kerusakan Barang Dalam Angkutan Menurut Konsepsi Undang– Undang Nomor 22 Tahun 2009." Jurnal Yustisiabel 2, no. 2 (2018): 202-229.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nomor 23 Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor lndonesie.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4722.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4849.
Peraturan Pemerintah tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5086.
Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 214, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5356.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 11 Tahun 2022, hlm. 1782-1793
Discussion and feedback