Peranan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim Terhadap Penerapan Hukum Acara Pidana Terkait Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Tindak Pidana Korupsi
on

Vol. 45 No. 1, April 2023
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika
E-ISSN 2579-9487
P-ISSN 0215-899X
Peranan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim Terhadap Penerapan Hukum Acara Pidana Terkait Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Tindak Pidana Korupsi
Raihan Wibowo,1 Handoyo Prasetyo2
-
1 Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, E-mail: raihanwibowo@upnvj.ac.id
-
2 Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, E-mail: handoyoprasetyo@upnvj.ac.id
Info Artikel
Masuk : 8 Februari 2023
Diterima : 21 April 2023
Terbit : 30 April 2023
Keywords :
Criminal Procedure Law, judiciary commission, increased judge capacity
Abstract
The aim of this study is to provide an overview of the role of the Judicial Commission in the application of criminal procedure law in the merger of compensation claims by judges in corruption cases by raising a case study of the Corruption Crime Decision: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst, and provide an overview of strengthening the capacity of judges in the application of criminal procedure law as a form of professionalism of Judges. The author uses a normative legal research method with a statute approach, conceptual approach, and case study approach. The data sources used consist of primary legal materials, which are legal materials obtained from judges' decisions, laws, and regulations that have relevance to this research, secondary legal materials from literature studies in the form of legal journals, thesis, and other reports that support this research, and tertiary legal materials in the form of legal materials that will support primary and secondary legal materials, such as dictionaries, encyclopedias and other materials specifically related to the role of the judicial commission in supervising judges and conceptual criminal procedural law in the merger of compensation lawsuits. The data collection method is carried out through interviews, and the collection of library materials. interviews were conducted at the Judicial Commission to obtain data relevant to the case study raised by the author. In compiling and analyzing data, deductive reasoning is used. The results showed that the Judicial Commission has a role in examining violations of the code of ethics against deviations in the application of criminal procedural law for the merger of compensation claims related to corruption crimes, and also to increase the capacity of judges to prevent deviations in procedural law by judges.
Abstrak
Kata kunci:
Hukum Acara Pidana, Komisi Yudisial, Peningkatan Kapasitas Hakim.
Corresponding Author:
Raihan Wibowo, Email: raihanwibowo@upnvj.ac.id
DOI :
10.24843/KP.2023.v45.i01.p07
perkara tindak pidana korupsi dengan mengangkat studi kasus Putusan Tindak Pidana Korupsi: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst, serta memberikan gambaran terkait penguatan kapasitas hakim dalam penerapan hukum acara pidana sebagai wujud profesionalitas Hakim. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundangan-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan studi kasus (case approach). Sumber data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer yakni merupakan bahan hukum yang diperoleh dari putusan Hakim, peraturan perundangan-undangan yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan berupa jurnal hukum, skripsi, dan laporan lainnya yang mendukung penelitian ini, dan bahan hukum tersier berupa bahan bukum yang akan menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan bahan lainnya khususnya terkait dengan peranan komisi yudisial dalam pengawasan Hakim dan konseptual hukum acara pidana penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Metode pengumpulan data yakni dilakukan dengan wawancara, dan pengumpulan bahan pustaka. wawancara dilakukan di Komisi Yudisial untuk mendapatkan data yang relevan dengan studi kasus yang diangkat oleh penulis. Dalam menyusun dan menganalisis data, digunakan cara berpikir deduktif (deductive reasoning). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komisi Yudisial berperan dalam memeriksa pelangaran kode etik terhadap penyimpangan penerapan hukum acara pidana penggabungan gugatan ganti kerugian terkait tindak pidana korupsi, serta penguatan kapasitas hakim diperlukan untuk mengatasi adanya penyimpangan hukum acara oleh hakim.
Kasus Korupsi merupakan sebuah kejahatan yang luar biasa. Eddy Hiraej mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa didasari pada tujuh parameter yakni dampak viktimisasi dari korupsi sangat besar dan luas, bersifat transaksional, merupakan tindak pidana pencucian uang, diperlukan suatu hukum acara pidana khusus, dibentuknya suatu lembaga penegakkan hukum khusus, adanya konvensi internasional yang mengatur perbuatan tersebut, dan perbuatan tersebut sangat dicela oleh masyarakat.1Penanganan kasus korupsi di Indonesia mengalami dinamika. Transparency Internasional mengeluarkan rilis mengenai The Corruption Perceptions Index (CPI) atau yang dikenal sebagai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2021 sebesar 38 , dapat dilihat adanya kenaikan skor 1 poin dibandingkan dengan tahun 2020 yakni 37. Adapun ranking Indonesia secara global berada di posisi 96 dari 180 negara.2 Pada tahun 2023 Transparency International mengeluarkan data terbaru bahwa IPK untuk tahun 2022 Indonesia merosot cukup tajam pada poin ke 34 yang mana turun sebesar 4 poin
dibandingkan pada tahun 2021. 3 Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa terdapat 533 kasus korupsi sepanjang tahun 2021. Adapun potensi kerugian keuangan negara yang dihasilkan sebesar Rp29,4 triliun.4 Besarnya kerugian keuangan negara sejatinya berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Terdapat setidaknya tiga dampak korupsi yang dapat merugikan masyarakat. Pertama, rendahnya investasi yang masuk kedalam suatu negara. Investor baik dari dalam maupun luar negeri akan sungkan untuk memberikan dana sebagai bentuk investasi karena dana nilai proyek yang ditnama akan membengkak akibat adanya penggunaan dana yang tidak transparan yang justru merugikan investor.5 Kedua, meningkatnya angka pengganguran PHK dan kemiskinan akibat dari rendahnya produktifitas. Akibat penyalahgunaan dana atau korupsi mengakibatkan tidak adanya dana yang cukup untuk membangun pabrik-pabrik khususnya dalam bidang industri. Hasilnya terjadi kenaikan angka PHK dan kemiskinan karena rendahnya produktivitas.6 Ketiga, barang dan jasa dari segi kualitas menjadi sangat buruk. Praktik korupsi sejatinya menurunkan kualitas barang karena ketidaksesuaian harga produksi dari yang dianggarkan. Masyarakat terpaksa menikmati barang ataupun fasilitas publik yang tidak berkualitas. Dari sisi bidang jasa, pelayanan publik menjadi tidak maksimal karena adanya praktik korupsi seperti pungutan liar dalam pelayanan fasilitas publik, akibatnya masyarakat menjadi sulit dalam mengakses pelayanan publik, serta hal ini tidak sesuai dengan prinsp Good governance.7
Menurut Bank Dunia dalam laporannya mengenai Good Governance and Development tahun 1992 yang dikutip oleh Bintan R. Saragih, mengartikan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggung jawab (accountable) pada masyarakat.8Adapun good governance memiliki beberapa prinsip seperti, partisipasi yang menekankan adanya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan suatu kebijakan, penegakkan hukum yang adil tanpa memandang perbedaan baik warga negara biasa atau bukan, dan pelayanan publik yang responsif kepada masyarakat.9 Dapat dipahami bahwa korupsi merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik karena korupsi merupakan suatu perbuatan yang menyimpang dan jauh dari keterbukaan ataupun transparansi.
Salah satu kasus korupsi yang sangat dicela oleh masyarakat yakni kasus korupsi bantuan sosial di tahun 2020 dengan terpidana mantan Menteri Sosial Juliari BatuBara. Perbuatan Juliari BatuBara yakni menerima suap dari uang bantuan sosial total sebesar Rp 32 milliar rupiah yang diperoleh dari potongan Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah) per paket bantuan sosial dari total keseluruhan nilai bantuan sosial sebesar Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Perbuatan suap ini tidak hanya dilakukan oleh Juliari sendiri melainkan bersama rekan-rekannya yakni Matheus Joko , Adi Wahyono, dan Ardian Iskandar sebagai sebagai perusahaan rekanan dalam penyediaan bantuan sosial. Adapun skema pemberian uang diberikan selama 2 (dua) periode pada Mei- November 2020 dan Oktober- Desember 2020.10 Dampaknya terhadap masyarakat khususnya kalangan ekonomi rendah, tidak mendapatkan nilai bantuan sosial yang seharusnya dan dirasa sangat menyulitkan masyarakat ditengah besarnya PHK akibat pandemi Covid-19.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi penangkapan secara langsung atau yang dikenal operasi tangkap tangan (OTT) pada 4 dan 5 Desember 2020 terhadap pejabat pembuat komitmen bantuan sosial Kementrian Sosial (Kemensos). Pada 6 Desember 2020 , KPK resmi mengumumkan bahwa Juliari Batubara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial dinyatakan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi yang melibatkan dana bantuan sosial. Juliari Batubara ditahan di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur. 11 Hingga memasuki babak persidangan yang dimulai pada 21 April 2021, Jaksa penuntut umum mendakwa Juliari melanggar Pasal 12 huruf (b) Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang pada intinya mendawa perbuatan pidana menerima suap dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. 12
Dalam putusan Hakim nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst terpidana Juliari Batubara dijatuhi hukuman selama 12 tahun pidana penjara dengan pidana denda sejumlah Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan. Juliari juga dijatuhi adanya pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 (empat belas milyar lima ratus sembilan puluh tujuh juta empat ratus lima puluh ribu rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar paling lama 1 bulan maka harta benda terdakwa akan dirampas.13
Sejatinya, sebelum Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan sanksi pidana sebagaimana yang telah disebutkan, terdapat masyarakat yang merasa dirugikan akibat tidak mendapatkan bantuan sosial sebagaimana haknya. Masyarakat tersebut mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang mana hal ini diatur dalam pasal 98 KUHAP. Namun, Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menolak adanya penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam
perkara aquo dengan pertimbangan yakni pengadilan tidak berwenang mengadili perkara penggabungan ganti kerugian karena tidak dipenuhi kompetensi relatif yang mana terpidana berkedudukan di Jakarta Selatan sementara Pengadilan Tipikor berada di wilayah Jakarta Pusat. Penerapan hukum acara pidana oleh hakim ini dianggap merugikan masyarakat yang mengajukan permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Akibat dirugikan oleh adanya pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, masyarakat korban kasus korupsi bantuan sosial (bansos) mengajukan laporan kepada Komisi Yudisial yang diwakili oleh kuasa hukumnya KR (Tim Advokasi Korban Kasus Korupsi Bansos) dengan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Penulis membandingkan artikel sejenis yang membahas terkait peranan Komisi Yudisial. Pertama, artikel yang ditulis oleh Matius Evan Anggara dengan judul “ Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Peradilan”.14 Penelitian ini membahas fungsi pengawasan Komisi Yudisial, namun memiliki perbedaan yakni penulis akan membahas terkait pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial terkait bagaimana peranan Komisi Yudisial terhadap hakim dalam penerapan hukum acara pidana penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam studi kasus 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst. Kedua, artikel yang ditulis oleh Nur Kautsar Hasan, Nasrun Hipan, Hardianto Djanggih dengan judul “Efektifitas Pengawasan Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Kode Etik Profesi Hakim”.15 Menurut penulis, penelitian ini hanya memaparkan secara umum terkait proses pengawasan dan mekanisme penjatuhan tanpa disertai kasus secara konkret sehingga penelitian yang akan dilakukan penulis terkait bagaimana peranan Komisi Yudisial terhadap hakim dalam penerapan hukum acara pidana penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam studi kasus 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst akan melengkapi kajian dan penelitian terkait proses pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial.
Adapun rumusan masalah yang diangkat yakni bagaimana peran Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan hukum acara pidana penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara tindak pidana korupsi (Studi Kasus Putusan Tindak Pidana Korupsi: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst) dan penguatan kapasitas Hakim dalam rangka mewujudkan professionalitas hakim.
Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif.. Adapun pendekatan yang digunakan pendekatan peraturan perundangan-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan studi kasus (case approach).16 Pendekatan perundangan-undangan digunakan oleh penulis karena melakukan
penafsiran hukum terkait penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang telah diatur dalam Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, serta menguraikan bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam Undang-Undang No 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Pendekatan konseptual akan digunakan penulis untuk menganalisis bagaimana penggabungan perkara gugatan ganti kerugian diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi, serta pendekatan studi kasus akan memberikan fakta atau peristiwa hukum yang terjadi dalam kaitannya dengan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam kasus 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst. Sumber data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer yakni merupakan bahan hukum yang diperoleh dari putusan Hakim, peraturan perundangan-undangan yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan berupa jurnal hukum, skripsi, dan laporan lainnya yang mendukung penelitian ini, dan bahan hukum tersier berupa bahan bukum yang akan menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan bahan lainnya khususnya terkati dengan peranan komisi yudisial dalam pengawasan Hakim dan konseptual hukum acara pidana penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Metode pengumpulan data yakni dilakukan dengan wawancara, dan pengumpulan bahan pustaka. wawancara dilakukan di Komisi Yudisial untuk mendapatkan data yang relevan dengan studi kasus yang diangkat oleh penulis. Dalam menyusun dan menganalisis data, digunakan cara berpikir deduktif (deductive reasoning). Metode berpikir deduktif dimulai berawal dari pengajuan pernyataan yang bersifat umum (premis mayor), yang kemudian diajukan secara khusus atau disebut dengan premis minor, yang dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan.17
Penulis dalam melakukan penelitian ini melakukan sejumlah wawancara dengan beberapa narasumber dari pihak Komisi Yudisial yang sebagaimana dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1: Hasil Wawancara
Sumber: Wawancara dengan Pihak KY
No |
Nama |
Kesimpulan |
1 |
Komisioner KY 2010-2015 ( 3 November 2022) |
Penyimpangan terhadap hukum acara merupakan kasus yang cukup jarang terjadi karena sering berbenturan denga teknis yudisial. Sejatinya penyimpangan terhadap hukum acara merupakan pelanggaran terhadap kode etik hakim dalam poin 10 terkait profesionalitas hakim. |
Tenaga Ahli KY (7 November 2022) |
Teknis yudisial merupakan pertimbangan hakim dalam suatu putusan. Makna pertimbangan hakim merupakan penilaian hakim terhadap fakta-fakta hukum yang ada dan menilai dengan penggunaan pasal dalam hukum acara yang digunakan, ketika suatu fakta hukum dan substansi hukum telah diperiksa dan dinilai oleh seorang hakim, maka itu menjadi ranah dalam teknis yudisial hakim yang merupakan kemerdekaan hakim dalam menilai. Namun, apabila ada fakta hukum dan penerapan pasal dalam hukum acara yang belum diperiksa dan belum dinilai oleh hakim, maka itu bukan merupakan bagian dari teknis yudisial dan dapat menjadi suatu tindakan penyimpangan terhadap hukum acara. Adapun batasan teknis yudisial juga dapat dilihat apakah terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap perkara itu. Dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian yang digunakan yakni hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, dapat dilihat pada pasal 84 KUHAP, 98-101 KUHAP. Tenaga Ahli yang merupakan seorang mantan Jaksa pernah menangani kasus penggabungan gugatan ganti kerugian pada tahun 1982 di wilayah Tegal. Kasus penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana termasuk jarang terjadi. |
Staff Pemantauan KY 3 (10 Oktober 2022) |
Sejatinya, penyimpangan penerapan dari hukum acara dapat menjadi pelanggaran kode etik juga dilihat sebesar besar dampak yang diakibatkan. Maksudnya adalah apakah tindakan hakim tersebut berdampak besar dan merugikan bagi para pihak yang berpekara. |
4 |
Staff Analisis KY (10 Oktober 2022) |
KY pada tahun 2021 menerima adanya laporan penanganan masyarakat terkait kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim dalam perkara Juliari Batubara. Proses pemeriksaan dalam tahapan sidang panel menyatakan kasus ini Tidak Dapat Dilanjuti (TDL) karena berbenturan dengan teknis yudisial, meskipun kasus belum disidangkan dalam sidang pleno untuk mendapat putusan akhir. |
Hasil wawancara dalam tabel diatas akan dijabarkan lebih lanjut dalam sub bab pembahasan mengenai mekanisme pengawasan Komisi Yudisial, batasan kode etik hakim, konseptual penyimpangan hukum acara pidana menjadi suatu pelanggaran kode etik, dan peran Komisi Yudisial dalam memeriksa pelanggaran kode etik dalam studi kasus 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst.
Pengawasan Hakim merupakan tindakan ataupun upaya yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung agar Hakim tidak melanggar kode etik ataupun pedoman perilaku yang tidak sesuai cerminan dirinya sebagai seorang Hakim dalam rangka mewujudkan Hakim yang bermartabat, berintegritas dan profesional. Adapun tugas pengawasan Hakim dilakukan oleh 2 lembaga, Mahkamah Agung sebagai pengawas internal dan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal. Tugas pengawasan Hakim oleh Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan mengenai fungsi pengawasan Mahkamah Agung termuat pengaturan pengawasan Hakim oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 32 telah diubah menjadi yaitu Pasal 32A dan Pasal 32B dengan ketentuan berikut:18
-
1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
-
2) Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
-
3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim. Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Selain pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hakim juga diawasi oleh pengawas eksternal yakni Komisi Yudisial. Adapun sesuai dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2004 sebagaimana yang telah dirubah oleh Undang-Undang No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dalam pasal 13 mengatur bahwa:19
-
a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
-
b) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
-
c) Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
Mekanisme pengawasan, pengaduan, dan pemeriksaan Hakim oleh Komisi Yudisial diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi Yudisial No 2 tahun 2015 tentang Penagangan Laporan Masyarakat. Dalam peraturan tersebut terdapat 2 pihak, pihak pelapor dan terlapor. Pelapor yakni orang perseorangan, kelompok, badan hukum atau lembaga swadaya masyarakat. Sementara terlapor merupakan hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik hakim.20 Alur proses pengaduan terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dapat dilihat pada alur proses di bawah ini:
Proses Penanganan Laporan Masyarakat
Gambar 1: Alur Proses Penanganan Masyarakat Sumber: Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2021
Berdasarkan gambar diatas, proses penanganan laporan masyarakat melalui beberapa tahapan. Tahapan awal, pelapor mengirimkan laporan baik secara langsung atau online kepada bagian penerimaan yang kemudian akan dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi untuk dimintai kelengkapan berkas berupa:21
Setelah dilakukan register, Tahap kedua yakni Pemeriksaan Lanjutan, yang meliputi pemeriksaan pelapor, pemeriksaan saksi dan/ atau ahli, setelah itu Tahapan ketiga yakni dilakukan Sidang Panel, tujuan dari sidang panel untuk selanjutnya memutuskan apakah laporan dapat ditindak lanjuti atau tidak, dan tahapan keempat adalah pemeriksaan pelapor yang meliputi pemanggilan terlapor, pemeriksaan keterangan pelapor dan klarifikasi serta disertai dengan laporan akhir hasil pemeriksaan. Tahapan terakhir adalah sidang pleno untuk memutus apakah terlapor terbukti melakukan pelanggaran KEPPH atau Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran KEPPH,
dalam hal terlapor terbukti melakukan pelanggaran KEPPH, maka Sidang pleno selanjutnya memutus jenis sanksi yang diusulkan kepaa Mahkamah Agung untuk dijatuhkan kepada terlapor.
Berdasarkan Peraturan Bersama antara MA dengan KY No 2 tahun 2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim, sanksi yang dapat dijatuhkan pada hakim yang melanggar KEPPH merujuk pada Pasal 18 dapat dijatuhkan sanksi ringan, sedang atau berat. Adapun berdasarkan pasal 19, sanksi yang dapat dijatuhkan kepada hakim yang melanggar kode etik yakni:22
Tabel 2:Jenis Sanksi Kode Etik Hakim
Sumber: Peraturan Bersama antara MA dengan KY No 2 tahun 2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Sanksi Ringan |
Sanksi Sedang |
Sanksi Berat |
|
pangkat paling lama 1 tahun
penangguhan promosi |
paling lama 3 tahun
|
Penjatuhan sanksi kode etik berdasarkan tabel diatas diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung berdasarkan putusan sidang pleno yang telah dilakukan oleh KY. Adapun penjatuhan sanksi berat untuk Pemberhentian tetap dengan hak pesiun dan Pemberhentian tidak dengan hormat akan diputuskan melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang dilaksanakan di Mahkamah Agung. MKH terdiri dari sekurang-kurangnya 4 anggota KY dan 3 Hakim Agung.23
Secara konkret, pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung dikatakan sudah efektif atau belum dapat dinilai dari Laporan Tahunan Komisi Yudisial yang berisikan kinerja yang dilakukan oleh KY dalam setahun terakhir. Dalam Laporan Tahunan KY 2021 berikut:24
Rekapitulasi Penerimaan Laporan Masyarakat Berdasarkan Media Penyampaian Tahun 2021


Gambar 2: Rekapitulasi Penerimaan Laporan Masyarakat 2021
Sumber: Laporan Tahunan KY 2021
Laporan Masyarakat yang diterima pada tahun 2021 sejumlah 1.481 laporan dan 1.020 tembusan laporan. Jumlah laporan yang diterima secara keseluruhan adalah 2.501 laporan. Adapun masyarakat paling banyak melakukan laporan melalui media pos. Dari jumlah laporan yang diterima, dilakukan verifikasi oleh Komisi Yudisial verifikasi berjumlah 1.478 atau sebesar 99,79%.25 Pencapaian laporan yang diverifikasi tersebut hanya berselisih 0,21% lebih sedikit dari target yang ditetapkan berdasarkan indikator kinerja yang ada di dalam dokumen Renstra Komisi Yudisial. Verifikasi merupakan upaya yang dilakukan KY untuk mengecek kelengkapan berkas administrasi yang nanti untuk dilanjutkan dalam tahap analisis.

Tahun 2021
Knlonqkapan
kβ Investiqasi
laporan tahun 2021 yang diregister tahun 2021
Jumlah 1.481 laporan
Gambar 3: Hasil Verifikasi Penerimaan Laporan Masyarakat 2021
Sumber: Laporan Tahunan KY 2021
Berdasarkan gambar diatas, merupakan klasifikasi secara rill hasil verifikasi laporan masyarakat yang mana dapat tergambarkan secara garis besar sebanyak 102 hasil verifikasi bukan wewenang KY, sebanyak 329 hasil verifikasi untuk dilakukannya
permohonan kelengkapan berkas, dan terdapat 436 hasil verifikasi untuk dilakukannya pemantauan.
Setelah dilakukan verifikasi dan register, serta analisis dan pemeriksaan pelapor dan saksi, hasil analisis dan pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Pendahuluan (LPP) yang nanti akan diuji dalam sidang panel yakni sidang untuk menentukan apakah laporan tersebut dapat ditindaklanjuti atau tidak dapat ditindaklanjuti.Sidang panel dilakukan oleh 3 orang komisioner dan di dalam sidang ini pula ditetapkan salah satu komisioner sebagai penanggung jawab berkas.
Rekapitulasi Hasil Sidang Panel Tahun 2021
Dapat Ditindaklanjuti
Lapo ran sebelum Ta hun 2021 24 laporan
Laporan Tahun2021 : 31 laporan
QnQ Rekapitulasi τ⅛^ Hasil Sidang Panel
Tahun 2021
Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Lapo ran sebelum Ta hun 2021 52 laporan
Laporan Tahun2021 67laporan

Dapat Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti Jumlah Total
SS laporan 119 laporan : 174 laporan
Gambar 4: Rekapitulasi Hasil Sidang Panel 2021
Sumber: Laporan Tahunan KY 2021
Berdasarkan gambar diatas, terdapat jumlah kenaikan terhadap laporan yang dilanjuti atau tidak dilanjuti pada tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya yang secara garis besar terdapat 174 laporan yang terdiri dari dapat dilanjuti sebanyak 55 laporan dan tidak dapat dilanjuti sebanyak 119 laporan. Tahapan berikutnya yakni Sidang Pleno , merupakan tahap akhir yang menentukan hasil penanganan laporan. Sidang pleno merupakan forum tertinggi yang dilakukan oleh sekurang-kurangnya 5 orang Anggota KY untuk memutuskan laporan apakah hakim terbukti melakukan pelanggaran KEPPH atau sebaliknya.
® Rekapitulasi Hasil . Tahun 2021
Sidang Pleno
Terbukti
LaporanSebelum
Tahun 2021
47 Laporan
Laporan Tahun 2021
10 Laporan
Tidak Terbukti
LaporanSebelum
Tahun 2021
110 Laporan
Laporan Tahun 2021 S1 Laporan
Jumlah Terbukti
S7 Laporan
TldakTerbuktl 161 Laporan
Junrilah Total 218 Laporan

Gambar 5: Rekapitulasi Hasil Sidang Pleno 2021
Sumber: Laporan Tahunan KY 2021
Berdasarkan gambar diatas, diperoleh data berupa putusan terbukti dan tidak terbukti. Dari 218 laporan yang telah diputus sepanjang tahun 2021 terdapat 161 laporan yang dinyatakan tidak terbukti dan 57 laporan yang dinyatakan terbukti. Jumlah 61 laporan yang dinyatakan terbukti tersebut dikenakan terhadap 97 orang hakim yang diusulkan untuk dikenai sanksi dengan jenis sanksi yang bervariasi. Berikut adalah data usulan penjatuhan sanksi selama tahun 2021.
Rekapitulasi Usul Penjatuhan Sanksi Tahun 2021
O ζy O O O O (JU
Sanksi Ringan 71 Hakim
Sanksi sedang 18 Hakim
Penundaan kenaikan gaji berkala paling Iama 1 tahun
Penurunan gaji sebesar 1 kali kenaikan gaji berkala paling Iama 1 tahun
Penundaan kenaikan pangkat paling Iama 1 tahun
^ttfifiQttttQQSfiQfifi (EffiffiffiLEffiffiffiffiffiffiffiffiffi
LsjLEffitsjLjjfficELEGBLELEflaLJjLlu SSSSgSS
Hakim nonpalu paling Iama 6 bulan ®©®©©©©© LEffiffiffiffiffiffiffi
Gambar 6: Rekapitulasi Usulan Penjatuhan Sanksi 2021
Sumber: Laporan Tahunan KY 2021
Sanksi Berat 8 Hakim
Hakim nonpalu lebih dari 6 bulan dan paling Iama Pemberhentian tetap dengan hak pensiun 2 tahun
2 Hakim 1 Hakim
Penurunan pangkat pada pangkat yang Penurunan pangkat pada pangkat yang
setingkat lebih rendah paling Iama 3 tahun setingkat lebih rendah paling Iama 3 tahun
§ ⅛ ⅛ S z, Hθkim ⅜ 1 Hakim
Gambar 7: Penjatuhan Sanksi Berat Sumber: Laporan Tahunan KY 2021
Dari gambar 6 dan gambar 7 diperoleh data adanya penjatuhan sanksi ringan dan sedang kepada Hakim sebanyak 89 Hakim, sanksi ringan sebanyak 71 Hakim dan 18 Hakim dikenai sanksi sedang. Sementara, bagi Hakim yang diusulkan untuk dikenai sanksi berat sebanyak 8 orang dilakukan tahapan berikutnya yakni Majelis Kehormatan Hakim (MKH) merupakan forum pengambilan keputusan terhadap hakim yang diusulkan untuk dijatuhi hukuman berat berupa pemberhentian, baik atas usul KY maupun usul MA.
Memahami perilaku hakim harus berawal dari pemaknaan terhadap perilaku itu sendiri. Perilaku merupakan respon atas reaksi individu yang terwujud dalam tindakan
(sikap) dan ucapan yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh aturan atau norma hukum yang berlaku. Artinya, perilaku Hakim merupakan tindakan yang dilakukan dengan kematangan jiwa berdasarkan norma hukum dan berdampak pada orang lain.26 Dalam KEPPH yang termasuk bagian dalam perilaku hakim merupakan: 1. Berperilaku Adil, 2. Berperilaku Jujur, 3. Berperilaku Arif dan Bijaksana, 4. Bersikap Mandiri, 5. Berintegritas Tinggi, 6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisplin tinggi, 9. Berperilaku Rendah hati, dan 10. Bersikap Professional.27 Sementara yang dimaksud dengan pertimbangan hakim merupakan unsur terpenting dalam mewujudkan suatu putusan hakim yang adil, kepastian hukum dan memberikan nilai manfaat kepada para pihak sehingga hakim dalam memberikan suatu pertimbangan harus menilai dari berbagai aspek, melihat bagaimana bukti-bukti dipaparkan dalam pembuktian di persidangan. Kecermatan dan ketelitian sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam memberikan suatu pertimbangan yang nantinya akan berkorelasi terhadap sanksi yang akan dijatuhkan melalui putusan hakim.28 Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan yang lebih Tinggi.
Kemudian, batasan antara perilaku hakim dengan pertimbangan hakim sering disebut teknis yudisal. Hal ini merupakan pertimbangan hakim dalam suatu putusan. Makna pertimbangan hakim merupakan penilaian hakim terhadap fakta-fakta hukum yang ada dan menilai dengan penggunaan pasal dalam hukum acara yang digunakan, ketika suatu fakta hukum dan substansi hukum telah diperiksa dan dinilai oleh seorang hakim, maka itu menjadi ranah dalam teknis yudisial hakim yang merupakan kemerdekaan hakim dalam menilai sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Namun, apabila ada fakta hukum dan penerapan pasal dalam hukum acara yang belum diperiksa dan belum dinilai oleh hakim, maka itu bukan merupakan bagian dari teknis yudisial dan dapat menjadi suatu tindakan penyimpangan terhadap hukum acara, serta dalam penetapan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tidak terdapat upaya hukum lain yang dapat diajukan karena tidak diatur dalam KUHAP sehingga kasus penyimpangan hukum acara ini dapat menjadi objek pengawasan dari Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.29
Hukum acara pidana merupakan ketentuan formil dalam melaksanakan hukum materill. Menurut Simon, hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan
haknya untuk memidanankan dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.30 Hakim ketika melaksanakan tugas peradilan atau menyidangkan suatu kasus tentu akan berpedoman pada hukum acara formil yakni Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981. Menjalankan hukum acara merupakan bagian dari tujuan untuk menciptakan kepastian hukum, seorang hakim yang tidak menjalankan pedoman yang diatur dalam KUHAP dapat diduga melanggar hak-hak dari para pihak yang bersangkutan dalam di peradilan dalam suatu perkara.31 Tidak hanya melanggar hak-hak para pihak, penyimpangan terhadap hukum acara dapat menjadi suatu pelanggaran kode etik hakim.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Mantan Komisioner Komisi Yudisial, sejatinya hakim wajib mentaati hukum acara yang berlaku, pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum acara dapat menjadi dugaan pelanggaran kode etik hakim. Sebagai contoh, ketika hakim tidak memberikan kesempatan dalam hal mendengarkan keterangan dari kedua pihak, salah menyebutkan identitas. Maka, hal tersebut dapat menjadi dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam kaitannya tidak profesionalitas dalam melaksanakan tugas peradilan. Artinya, penyimpangan terhadap hukum acara pidana dapat menjadi objek dari pelanggaran terhadap KEPPH.32 Adapun kasus dugaan pelanggaran kode etik hakim terkait pelanggaran hukum acara pidana dapat ditemukan pada kasus hakim Sarpin pada tahun 2015. Kasus ini berawal dari Budi Gunawan yang ditetapkan menjadi tersangka dalam perkara gratifikasi, namun dibatalkan penetapan tersangka oleh hakim Sarpin, adapun hakim sarpin telah salah menyebutkan identitas ahli, mengutip pertanyaan ahli yang menjadi dasar dalam membuat suatu pertimbangan hakim. Komisi Yudisial memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung untuk menjatuhkan sanksi kode etik hakim berupa hakim non palu selama 6 bulan atas perbuatan hakim Sarpin yang melanggar poin poin dalam KEPPH yakni dalam hal tidak teliti dan tidak professional dalam menyusun suatu pertimbangan hakim, serta salah mencatumkan identitas seorang ahli.33
-
3.5 Peran Komisi Yudisial Terhadap Hakim dalam Penerapan Hukum Acara Pidana Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Tindak Pidana Korupsi: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst)
Pada tanggal 10 Agustus 2021, KY menerima laporan dari masyakarat terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam perkara 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst. Perkara ini merupakan kasus tindak pidana korupsi dengan terdakwa Juliari Batubara terkait penerimaan suap dalam pengadaan bantuan sosial di masa pandemi Covid 19. Perbuatan Juliari BatuBara yakni menerima suap dari uang bantuan sosial total sebesar Rp 32 milliar rupiah yang
diperoleh dari potongan Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah) per paket bantuan sosial dari total keseluruhan nilai bantuan sosial sebesar Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Perbuatan suap ini tidak hanya dilakukan oleh Juliari sendiri melainkan bersama rekan-rekannya yakni Matheus Joko , Adi Wahyono, dan Ardian Iskandar sebagai sebagai perusahaan rekanan dalam penyediaan bantuan sosial. Adapun skema pemberian uang diberikan selama 2 (dua) periode pada Mei- November 2020 dan Oktober- Desember 2020.34 Dampaknya terhadap masyarakat khususnya kalangan ekonomi rendah, tidak mendapatkan nilai bantuan sosial yang seharusnya dan dirasa sangat menyulitkan masyarakat ditengah besarnya PHK akibat pandemi Covid-19. Dalam putusan Hakim nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst terpidana Juliari Batubara dijatuhi hukuman selama 12 tahun dengan pidana denda sejumlah 500 juta rupiah dengan ketentuan apabila denda dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan. Juliari juga dijatuhi adanya pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp 14.597.450.000 dengan ketentuan apabila tidak dibayar paling lama 1 bulan maka harta benda terdakwa akan dirampas.35
Bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst yang diduga terdapat pelanggaran kode etik dengan pihak Pelapor adalah masyarakat korban bantuan sosial yang diwakili oleh kuasa hukum dengan insial KR dan Terlapor adalah majelis hakim dalam perkara 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst . Adapun kronologi sebagai berikut:36
-
1) Bahwa tanggal 21 Juni 2021 dalam perkara pada sidang kasus 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Ps masyarakat yang mengalami kerugian dari korupsi bantuan sosial yang selanjutnya disebut Pelapor mengajukan permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian oleh kuasa hukum pemohon dengan inisial KR (Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos) melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Adapun kuasa hukum Pelapor mengajukan permohonan tersebut didasari atas adanya kerugian langsung:
-
a) Nilai barang bantuan sosial berupa sembako yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan.
-
b) Kualitas bantuan sosial berupa sembako yang buruk. Sesuai pasal 98 KUHAP, pemohon menutut adanya ganti rugi melalui mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
-
2) Bahwa tanggal 5 Juli 2021 pada sidang perkara 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst KR selaku kuasa hukum Pelapor menyampaikan kembali permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dan
diminta duduk disebelah Jaksa Penuntut Umum, dan memeriksa kelengkapan administratif, namun ada dokumen yang perlu dilengkapi.
-
3) Bahwa tanggal 12 Juli 2021 setelah dilengkapi dokumen, kemudian diperiksa kelengkapan administratif diperiksa bersama sama oleh Terlapor, kuasa hukum Pelapor, dan kuasa hukum Terdakwa. Kemudian, Terlapor yakni Majelis Hakim langsung membacakan Surat Penetapan dengan nomor: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst yang pada intinya menolak permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan penerapan hukum acara perdata yakni tidak dipenuhinya kompetensi relatif pengadilan tindak pidana korupsi karena domisili Terdakwa berada di daerah Jakarta Selatan sehingga yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
-
4) Bahwa Pelapor sebagai pihak pemohon merasa keberatan dengan penetapan yang dikeluarkan oleh Terlapor dan melapor kepada Komisi Yudisial atas dugaan adanya pelanggaran terhadap kode etik Hakim atau KEPPH.
-
5) Bahwa perlu diketahui, perkara tindak pidana korupsi 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst atas nama Terdakwa Juliari Batubara diputus oleh Majelis Hakim (Terlapor) pada tanggal 23 Agustus 2021.
Dalam perkara ini yang menjadi pokok laporan adalah bahwa Terlapor diduga melanggar KEPPH karena tidak memberikan kesempatan kepada kuasa Pelapor untuk membuktikan dalil-dalil permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh Pelapor dan Terlapor diduga melanggar KEPPH karena telah salah menerapkan hukum acara pidana dalam memeriksa dan mengadili permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh Pelapor.37 Dalam penetapan yang dikeluarkan oleh majelis hakim dalam memutus mengenai permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, hakim menerapkan hukum acara dalam pertimbangan sebagai berikut:
Menimbang, untuk mengajukan pemeriksaan perkara pidana dengan perkara perdata gugatan ganti kerugian harus memeuhi kriteria sebagai berikut:
-
1) Waktu mengajukan permohonan pasal 98 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menentukan saat mengajukan gugatan ganti kerugian dalam penggabungan perkara pidana biasa dan perkara pidana singkat dimana Penuntut Umum hadir dalam persidangan, gugatan ganti kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana;
-
2) Dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hakim harus berpedoman kepada ketentuan hukum acara perdata dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian, sehubungan dengan kewenangan memeriksan
gugatan ganti kerugian, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut;
-
3) Penggabungan gugatan ganti kerugian pengadilan harus pula memperhatikan kebenaran dasar gugatan ganti kerugian, yaitu apakah benar-benar ganti kerugian yang diajukan merupakan akibat langsung yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa;
-
4) Jumlah atau besarnya penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan harus benar-benar dapat dibuktikan oleh Pemohon/Penggugat atau yang menderita kerugian;
Menimbang, terhadap syarat-syarat untuk menggabungkan pemeriksaan perkara pidana yang sedang disidangkan oleh Majelis Hakim dengan permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian sebagaimana yang diuraikan diatas, tidak bersifat kumulatif, dengan demikian jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka cukup menjadi alasan bagi Majelis Hakim untuk menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh Pemohon;
Ad. 1 Tentang Waktu mengajukan permohonan
Menimbang, berdasarkan permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dengan permohonan tanggal 21 Juni 2021 yang mana pada tanggal tersebut dan sampai hari ini Senin, 12 Juli 2021 pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt Pst dengan Terdakwa Juliari P Batubara masih dalam tahapan pemeriksaan di persidangan dan belum sampai pada tahap pemeriksaan perkara dengan acara tuntutan pidana, dengan demikian dari sisi waktu mengajukan permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian, telah memenuhi tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 98 ayat 2 KUHAP;
Ad. 2 Tentang hakim harus berpedoman pada ketentuan hukum acara perdata dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian, sehubungan dengan kewenangan memeriksa gugatan ganti kerugian, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut;
Menimbang, salah satu syarat untuk dapat menggabungkan pemeriksaan perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana yang sedang diadili adalah hakim harus berpedoman kepada ketentuan hukum acara perdata sehubungan dengan kewenangan memeriksa gugatan ganti kerugian, baik kompetensi relatif maupun secara absolut, dengan demikian jika pengadilan negeri yang mengadili perkara pidana in casu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara perdata baik secara relatif maupun secara absolut, maka permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian tidak dapat dikabul;
Menimbang, sekaitan kewenangan pengadilan negeri untuk mengadii perkara perdata secara relatif berdasarkan ketentuan hukum acara perdata, diatur dalam
ketentuan pasal 118 ayat 1 HIR yang berbunyi “gugatan-gugatan perdata yang pada tingkat pertama termasuk wewenang Pengadilan Negeri, diajukan dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh penggugat atau oleh kuasanya sesuai ketentuan Pasal 123 kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dimana Tergugat bertempat tinggal atau jika dia tidak mempunyai tempat tinggal yang diketahui ditempat kediamannya yang sebenarnya”;
Menimbang, setelah Majelis Hakim mempelajari dan meneliti serta mencermati secara seksama surat dakwaan penuntut umum Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt Pst dengan Terdakwa Juliari P Batubara dan permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian dari para Pemohon, terungkap dalam surat dakwaan Penuntut Umum disebutkan tempat tinggal Terdakwa Juliari P Batubara di Jalan Cikatomas II/18 Kebayoran baru Jakarta Selatan, sama dengan tempat tinggal Tergugat Juliari Batubara dalam permohonan penggabungan para Pemohon pada halaman 4;
Menimbang, oleh karena tempat tinggal Terdakwa/Tergugat Juliari P Batubara di Jalan Cikatomas II/18 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, maka menururut ketentuan Hukum Acara Perdata in casu Pasal 118 ayat 1 HIR yang berwenang secara relatif mengadili perkara perdata yang dimohonkan oleh para Pemohon untuk digabungkan dengan perkara pidana dalam hal ini perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt Pst atas nama Terdakwa Juliari P Batubara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Terdakwa/Tergugat in casu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan demikian permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh para Pemohon melalui kuasanya tidak memenuhi salah satu syarat, maka beralasan untuk ditolak;
Menimbang, oleh karena salah satu syarat permohonan penggabungan ganti kerugian dari Para Pemohon tidak terpenuhi terkait kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara relatif mengadili perkara gugatan ganti kerugian, maka syarat permohona penggabungan lannya tidak akan dipertimbangkan lagi;
Memperhatikan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 118 HIR serta pasal-pasal dari perundang-undangan dan ketentuan hukum lain yang bersangkutan;
MENETAPKAN;
-
1) Menolak permohonan para Pemohon melalui Kuasanya untuk menggabungkan pemeriksaan perkara perdata gugatan ganti kerugian dengan perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt Pst atas nama Terdakwa Juliari P Batubara;
-
2) Menyatakan biaya perkara nihil;
Saat ini KY dalam memeriksa perkara aquo berada di tahapan sidang panel yang mana dalam sidang panel pada tanggal 11 Oktober 2021 tim pemeriksa oleh KY menyatakan bahwa dugaan pelanggaran kode etik dengan pokok laporan bahwa Terlapor diduga melanggar KEPPH karena tidak memberikan kesempatan kepada kuasa Pelapor untuk membuktikan dalil-dalil permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh Pelapor dan Terlapor diduga melanggar KEPPH karena telah salah menerapkan hukum acara pidana dalam memeriksa dan mengadili permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh Pelapor, tim pemeriksa menyatakan tidak dapat dilanjuti dengan pertimbangan berikut:
-
1) Bahwa Terlapor dalam perkara nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt Pst menolak permohonan Pelapor karena tidak terpenuhinya kewenangan relatif yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara gugatan perdata. Terlapor menerapkan Pasal 99 ayat 1 KUHAP jo Pasal 118 ayat 1 HIR yang mana pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara perdata adalah pengadilan yang mempunyai wilayah hukum dikediaman tergugat.
-
2) Terlapor telah bertindak sesuai dengan Pasal 98 ayat 2 jo Pasal 99 ayat 1 KUHAP, artinya menerima permintaan penggabungan dan selanjutnya menilai, menimbang, serta berpendapat tentang
kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut. Adapun,
pertimbangan yang didasari Pasal 118 ayat 1 HIR tidak bertentangan dengan Pasal 101 KUHAP dan Pasal 99 ayat 1 KUHAP. Serta, dalam pasal 15 Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, KY tidak dapat menyatakan benar atau salah pertimbangan yuridis hakim.
Penulis menganalisis mengenai kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim dalam perkara nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt Pst dengan melakukan penafsiran hukum terhadap KUHAP terkait penggabungan gugatan ganti kerugian dan wawancara dengan pihak Komisi Yudisial. Pertama, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian diatur dalam Pasal 98 KUHAP Ayat 1 “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Ayat 2 “Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.” Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dimaksudkan untuk membuat proses peradilan menjadi lebih sederhana, pihak yang merasa dirugikan secara materill atas suatu perkara pidana tidak perlu menunggu hakim memberikan putusan pidana baru kemudian diajukan dalam gugatan perdata, namun penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini menyatukan gugatan perdata dalam satu proses pemeriksaan dalam perkara pidananya dan dilakukan pengajuan penggabungan gugata ganti
kerugian sebelum dilakukan tahapan penutuntutan.38 Kemudian, dalam Pasal 99 KUHAP ayat 1 “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.” Artinya, hakim akan mempertimbangkan dulu mengenai kewenangan pengadilan negeri tersebut apakah berwenang secara absolut maupun relatif sebelum memeriksa terkait gugatan perdata yang diperiksa dalam perkara pidana. Selain pasal 98 dan 99 KUHAP, terdapat pasal 101 KUHAP yang menyatakan bahwa “Ketentuan dari hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.” Artinya apabila dalam KUHAP sudah diatur mengenai bagaimana proses penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, ketentuan dalam hukum acara perdata dapat dikesampingkan yang mana hal ini sesuai dengan asas Lex Specialis derogat legi generale, ketentuan hukum yang bersifat khusus dapat menyampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum. Apabila melihat dalam ketentuan Pasal 84 ayat 1 KUHAP yang berbunyi “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
Jo Pasal 3, Pasal 35 ayat 2 dan 3 Undang-Undang No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.” (Pasal 3)
“Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah hukum provinsi yang bersangkutan.” (Pasal 35 ayat 2)
“Khusus untuk Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.” (Pasal 35 ayat 3)
Dari penafsiran terhadap ketentuan hukum acara pidana diatas, penulis tidak sependapat dengan penerapan hukum acara pidana yang diterapkan oleh hakim terkait “Ad 2 Tentang hakim harus berpedoman pada ketentuan hukum acara perdata dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian, sehubungan dengan kewenangan memeriksa gugatan ganti kerugian, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut yang mana hakim berpedoman dalam hukum acara perdata dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan secara relatif untuk melakukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.” Sejatinya, Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat memiliki daerah hukum yang meliputi seluruh wilayah Jakarta tidak terbatas hanya pada wilayah Jakarta Pusat sehingga pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap perkara penggabungan
gugatan ganti kerugian. Hal ini sejalan dengan muatan norma yang diatur dalam Pasal 35 UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Kedua, penulis tidak sependapat dengan putusan dari hasil sidang panel KY. Pemeriksaan terhadap kasus tersebut belum selesai karena belum mencapai sidang pleno KY.39 Dalam putusan sidang panel KY menyatakan bahwa kasus dugaan pelanggaran kode etik ini tidak dapat dilanjuti karena menyetuh teknis yudisial yang merupakan independensi hakim.40 Sejatinya, teknis yudisial merupakan pertimbangan hakim dalam suatu putusan. Makna pertimbangan hakim merupakan penilaian hakim terhadap fakta-fakta hukum yang ada dan menilai dengan penggunaan pasal dalam hukum acara yang digunakan, ketika suatu fakta hukum dan substansi hukum telah diperiksa dan dinilai oleh seorang hakim, maka itu menjadi ranah dalam teknis yudisial hakim yang merupakan kemerdekaan hakim dalam menilai sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim harus menjaga kemandirian peradilan dan segala urusan campur tangan dari pihak lain kepada peradilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh Konstitusi.41 Namun, apabila ada fakta hukum dan penerapan pasal dalam hukum acara yang belum diperiksa dan belum dinilai oleh hakim, maka itu bukan merupakan bagian dari teknis yudisial dan dapat menjadi suatu tindakan penyimpangan terhadap hukum acara, serta dalam penetapan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tidak terdapat upaya hukum lain yang dapat diajukan karena tidak diatur dalam KUHAP sehingga kasus penyimpangan hukum acara ini dapat menjadi objek pengawasan dari Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.42
Penyimpangan hukum acara pidana dapat berujung pada ketidakprofesionalitas hakim yang merupakan pelanggaran kode etik. Dalam poin ke 10 KEPPH menyatakan bahwa “hakim harus senantiasa bersikap professional yakni menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat suatu keputusan yang dapat merugikan terdakwa atau para pihak lainnya dalam suatu perkara yang sedang ditanganinya.” Sejalan dengan asas hukum Ius Curia Novit bahwa hakim mengetahui hukumnya, 43 tugas utama seorang hakim adalah melakukan silogisme terhadap premis mayor dan premis minor. Norma hukum yakni merupakan undang-undang dijadikan sebuah premis mayor dan fakta-fakta yang relevan dalam persidangan merupakan premis minor. Dari premis mayor dan premis minor, kemudian diambil suatu konklusi yang dalam bentuk konkret adalah putusan hakim.44
Dalam kasus ini, penyimpangan hukum acara pidana yang dilakukan oleh Terlapor adalah tidak mempertimbangkan suatu hukum acara pidana, dalam hal ini penulis tidak bermaksud menyatakan penetapan hakim dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst salah atau benar karena yang berhak menyatakan salahnya suatu putusan adalah pengadilan yang lebih tinggi sebagaimana sesuai dengan pospulat res judicata pro veritate habetur. Hukum acara yang tidak dipertimbangkan terkait dengan pasal 84 dan 101 KUHAP serta, pengaturan mengenai wilayah hukum pengadilan Tipikor yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Tipikor. Penyimpangan terhadap hukum acara memiliki dampak terhadap putusan yang akan dihasilkan oleh seorang hakim, adanya pengabaian terhadap fakta hukum yang tidak dipertimbangkan dapat menciderai putusan yang adil. Hakim sejatinya senantiasa menciptakan putusan yang tidak hanya memberi kepastian hukum, namun mewujudkan adanya keadilan bagi mereka para pencari keadilan dan sebuah putusan harus juga memberikan kemanfaatan hukum sebagaimana teori tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radburch.45
Komisi Yudisial harus melakukan pemeriksaan secara tuntas hingga tahapan akhir yakni sidang pleno untuk membuktikan dengan benar bahwa Terlapor telah melakukan pelanggaran kode etik berupa poin ke 10 KEPPH tentang profesionalitas. Berdasarkan Peraturan Bersama antara MA dengan KY No 2 tahun 2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim, sanksi yang dapat dijatuhkan pada hakim yang melanggar poin ke 10 KEPPH merujuk pada Pasal 18 dapat dijatuhkan sanksi ringan, sedang atau berat, tergantung pada dampak yang ditimbulkannya. Adapun berdasarkan pasal 19, sanksi yang dapat dijatuhkan kepada hakim yang melanggar kode etik yakni:46
Tabel 4: Jenis Sanksi Kode Etik Hakim
Sumber: Peraturan Bersama antara MA dengan KY No 2 tahun 2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim
Sanksi Ringan |
Sanksi Sedang |
Sanksi Berat |
|
|
|
45 Ariyanti. 2019. Kebebasan Hakim dan Kepastian Hukum Dalam Menangani Perkara Pidana di Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol 4. no. 40. h. 165.
46 Peraturan Bersama antara MA dengan KY No 2 tahun 2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim.
|
e) Pemberhentian tidak dengan hormat |
Penjatuhan sanksi kode etik berdasarkan tabel diatas diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung berdasarkan putusan sidang pleno yang telah dilakukan oleh KY. Adapun penjatuhan sanksi berat untuk Pemberhentian tetap dengan hak pesiun dan Pemberhentian tidak dengan hormat akan diputuskan melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang dilaksanakan di Mahkamah Agung. MKH terdiri dari sekurang-kurangnya 4 anggota KY dan 3 Hakim Agung.47
3.6 Penguatan Kapasitas Hakim oleh Komisi Yudisial Dalam Rangka Mewujudkan Profesionalitas Hakim
Peningkatan Kapasitas Hakim untuk selanjutnya PKH adalah kegiatan yang dilakukan KY untuk mengupayakan agar hakim memiliki kemampuan intelektualitas dan moralitas sehingga menjadi hakim yang bersih, jujur, dan profesional.48 Secara yuridis, Undang-Undang No 18 Tahun 2011 dalam pasal 20 ayat 2 memberikan amanat kepada KY untuk melakukan tugas berupa peningkatan kapasitas hakim dan kesejahteraan hakim. Adapun aturan turunan mengenai program peningkatan kapasitas hakim diatur dalam Peraturan KY No 3 Tahun 2013 tentang Grand Design Peningkatan Kapasitas Hakim.
Program PKH terdiri dari berbagai kegiatan yakni pelatihan atau workshop tentang eksplorasi pelanggaran KEPPH dengan menggunakan studi kasus laporan masyarakat di Komisi Yudisal dan pelatihan atau workshop terhadap hakim berjenjang dengan masa kerja 0-8 tahun dan masa kerja 8-15 tahun.49 Pelatihan pelanggaran KEPPH terhadap hakim berjenjang telah dilaksanakan oleh KY sejak 2015- 2019. Kegiatan ini melibatkan 1.753 hakim di seluruh Indonesia dengan rincian pada tahun 2015 sebanyak 300 hakim, tahun 2016 sebanyak 286 hakim, tahun 2017 sebanyak 517 hakim, tahun 2018 sebanyak 340 hakim, dan 2019 sebanyak 310 hakim.50
Program PKH juga merupakan salah satu poin dalam agenda pembangunan nasional yang tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2020-2024. Pada tahun 2021, KY memformulasikan 3 program dalam rangka mewujudkan agenda pembangunan nasional yakni, pengembangan integritas hakim, pelatihan kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan penguatan integrasi data base jejak rekam hakim. Ketiga program ini memiliki tujuan untuk meningkatkan profesionalitas hakim dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Pada tahun 2021 KY telah
melakukan kegiatan PKH berbentuk forum diskusi dengan tema eksplorasi pelanggaran KEPPH berdasarkan studi kasus laporan masyarakat di Komisi Yudisial. Para peserta yang merupakan seorang hakim akan melakukan diskusi terkait kasus yang pelanggaran kode etik yang pernah terjadi sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya kembali pelanggaran kode etik dengan kasus yang sama. Kegiatan ini dilaksanakan secara luring dan daring yang persertanya merupakan hakim dari berbagai daerah dengan total 280 peserta.
Meskipun pelaksanaan PKH setiap tahun telah dilaksanakan, pelanggaran kode etik oleh hakim masih terjadi. Berdasarkan laporan tahunan terbaru KY yakni pada 2021 terdapat 142 dugaan laporan pelanggaran kode etik dan terdapat 57 laporan yang terbukti melanggar KEPPH. Serta, pelanggaran kode etik dalam perkara 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst terkait penyimpangan penerapan hukum acara pidana masih merupakan bagian dari problematika penegakkan KEPPH oleh Komisi Yudisial.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap rumusan masalah yang ada, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat penyimpangan hukum acara pidana yang mana hakim tidak mempertimbangan sebuah fakta hukum dan penerapan hukum acara pidana. Tidak dipertimbangan ketentuan hukum acara dalam Pasal 98- 101 KUHAP dan ketentuan yang lebih khusus mengenai kewenangan pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Tipikor merupakan bentuk ketidakprofesionalitas seorang hakim. Perilaku hakim dalam menerapkan hukum acara ini berujung pada pelanggaran kode etik hakim sebagaimana yang diatur dalam poin ke 10 KEPPH tentang profesionalitas hakim. Hakim sejatinya senantiasa harus menghindari pembuatan putusan yang keliru karena dapat menciderai adanya putusan yang bernilai kepastian hukum dan keadilan hukum. Dampak utama dalam ketidakprofesionalitas hakim dalam berperilaku dan menerapkan hukum acara telah merugikan para korban bantuan sosial yang berusaha mencari keadilan melalui proses peradilan. Adapun, Komisi Yudisial dapat menuntaskan tahapan pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi kode etik kepada hakim yang melanggar kode etik terhadap penyimpangan hukum acara pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban. Serta, diperlukan peningkatan program peningkatan kapasitas hakim (PKH) dengan bekerja sama antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung untuk berfokus pada pencegahan pelanggaran KEPPH dan peningakatan pemahaman substansi terkait hukum acara penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam ranah tindak pidana korupsi dengan menghadirkan pakar yang ahli dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
Daftar Pustaka
Buku
Andi Muhammad Sofyan, Abd Asis, A. I. (2020). Hukum Acara Pidana (3rd ed.). Prenanda Group.
Pangaribuan, Aristo M.A., dkk. (2020). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Depok. Rajawali Pers.
Pramono, W. (2014). Kompendium Undang-Undang Untuk Penegak Hukum Buku 1. Penerbit Alumni.
Rocky Marbun, Yuherawan, D. S. B.,., & Mahmud Mulyadi. (2021). Kapita Selekta Penegakan Hukum (Acara) Pidana: Membongkar Tindak Tuturan dan Komunikasi Instrumental Aparat Penegak Hukum dalam Praktik Peradilan Pidana. Publica Indonesia Utama.
Jurnal
Anggara, M E. (2019). Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Peradilan. (Doctoral dissertation, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
Ariyanti, V, (2019). Kebebasan Hakim dan Kepastian Hukum Dalam Menangani Perkara Pidana Di Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 4. no. 40: 162–174.
Djanggih, H., Hasan, N., & Hipan, N. (2018). Efektifitas Pengawasan Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Kode Etik Profesi Hakim. Kertha Patrika, 40(3), 141-154.
doi:10.24843/KP.2018.v40.i03.p02
Grigorius, E. S., & Kholiq, M. N. (2021). Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Korupsi Dana Bantuan Sosial. Jurnal Legislatif, 16-27.
Hariyanto, D. R. S., & Yustiawan, D. G. P. (2020). Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim. Kertha Patrika, 42(2), 180-191.
Hartanto, H., & Adlhiyati, Z. (2017). Pencegahan Korupsi Dengan Menerapkan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik Dalam Pemerintahan.
I Ketut Patra, J. (2018). Korupsi Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia, Riset Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 3(1), 71–79. DOI:
http://dx.doi.org/10.23917/reaksi.v3i1.5609.
Laili, U. (2017). Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Pelanggaran Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim. LEGALITAS: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 2(1), 16-33.
Maggalatung, A Salman. (2014). Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim. Jurnal Cita Hukum. Vol 2, no. 2, DOI: http://dx.doi.org/10.15408/jch.v1i2.1462.
Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum 1st ed., vol. 4, Mataram, Mataram University Press.
Rachmawati, A. F. (2021). Dampak korupsi dalam perkembangan ekonomi dan penegakan hukum di indonesia. Eksaminasi: Jurnal Hukum, 1(1), 12-19.
Susanto, Hadi. (2018). Good Governance Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Perlindungan Hak-Hak Warga Negara. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN .Jakarta Vol 13, DOI: https://doi.org/10.32834/gg.v13i2.35.
Syndo, S. A. D. (2022). Menyoal Efektivitas Kode Etik Hakim dalam Menjaga Marwah Kualitas Putusan yang Berkeadilan. Verfassung: Jurnal Hukum Tata Negara, 1(2), 101–122. https://doi.org/10.30762/vjhtn.v1i2.178
Tanjung, I. U. (2021). Eksistensi Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim (Tinjauan
Yuridis dan Hukum Islam terhadap Undang-Undang No. 18 tahun 2011). Al-Fikru: Jurnal Ilmiah, 15(2), 65–77. https://doi.org/10.51672/alfikru.v15i2.52
Wicaksana, Y. P. (2018). Implementasi Asas Ius Curia Novit Dalam Penafsiran Hukum Putusan Hakim Tentang Keabsahan Penetapan Tersangka. Lex Renaissance. Vol 3. DOI: https://doi.org/10.20885/JLR.vol3.iss1.art3.
Zulhanafi, M. E., Aimon, H., & Syofyan, E. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Produktivitas Dan Tingkat Pengangguran Di Indonesia. Jurnal kajian ekonomi, 2(03).
Laporan Tahunan Komisi Yudisial
Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2019
Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2021
Sumber Internet
https://mediaindonesia.com/opini/254394/percobaan-dan-pembantuan-dalam-delik-korupsi diakses pada 25 Agustus 2022 pukul 16.40
https://www.transparency.org/en/cpi/2021/index/mys diakses pada 7 September 2022 pukul 23.15
https://antikorupsi.org/ diakses pada 7 September 2022 pukul 23.33
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/23/18010551/awal-mula-kasus-korupsi-bansos-covid-19-yang-menjerat-juliari-hingga-divonis diakses pada 13 September 2022 pukul 13.20
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/05/20391011/kpk-perpanjang-masa-penahanan-eks-mensos-juliari-batubara diakses pada 13 September 2022 pukul 15.00
https://inspektorat.kebumenkab.go.id/wbs/index.php/publik/kategori/1. diakses pada 25 Oktober 2022 pukul 12.21
https://antikorupsi.org/id/memburuknya-ipk-indonesia-2022-gagal-total-pemberantasan-korupsi-jokowi diakses pada 4 Februari 2023 pukul 22.00
Yurisprudensi
Putusan Pengadilan, 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Ps, PN Jakarta Pusat, 23 Agutus 2021
Peraturan Perundang Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958)
Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077)
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250)
Keputusan Bersama No.47/2009 MA dan No.2/2009 KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012- 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, KY
Peraturan Komisi Yudisial No 3 Tahun 2013 tentang Grand Design Peningkatan Kapasitas Hakim
Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat.
Journal of Kertha Patrika, Vol. 45 No. 1 April 2023, h. 106-133
Discussion and feedback