Eksistensi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang Pasca Putusan MK No. 15/PUU-XIX/2021
on
Eksistensi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang Pasca Putusan MK No. 15/PUU-XIX/2021
Hasrina Nurlaily,1 Go. Lisanawati2
12Fakultas Hukum Universitas Surabaya, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Surabaya, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 15 Februari 2022
Diterima: 8 Desember 2022
Terbit: 30 Desember 2022
Keywords :
Civil Servant Investigator;
investigation; Money Laundering
Kata kunci:
Penyidik Pegawai Negeri Sipil ; Penyidikan; Tindak Pidana
Pencucian Uang
Corresponding Author:
Go. Lisanawati, E-mail:
DOI :
10.24843/KP.2022.v44.i03.p.03
Abstract
This study aims to provide clarity on the competency of PPNS to investigated money laundering. This research analyses a legal issue related to the position of PPNS during a money-laundering investigation. In terms of the anti money laundering perspective, synchronize with the predicate crime law after the Constitutional Court’s Verdict. This research is normative legal research using the statute and conceptual approaches. The legal sources are primary, secondary, and tertiary. The method of collecting the legal data is library research and online research. Meanwhile, the method analysis of this legal data uses a descriptive qualitative method using deductive conclusion models. The results show a necessity to regulate through law reform in giving authority of PPNS to investigate money laundering.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dari kewenangan PPNS menyidik TPPU. Penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Sumber bahan hukumnya yakni primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan bahan hukumnya adalah studi kepustakaan dan pencarian dilakukan melalui media online. Metode analisis bahan hukum yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan model penarikan kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan perlunya pengaturan melalui pembaharuan undang-undang dalam memberikan kewenangan PPNS menyidik TPPU.
harta kekayaannya didapatkan dari predicate crime disembunyikan atau disamarkan.1 Pengaturan TPPU di Indonesia disempurnakan sejak tahun 2010 dengan UU PPTPPU. Penyembunyian atau penyamaran aset dari harta tindak pidana asalnya ini sesuai Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU menyebutkan harta hasil dari beberapa predicate crime diantaranya yakni penyelundupan tenaga kerja, pasar modal, kelautan dan perikanan, kehutanan, lingkungan hidup dan masih banyak lainnya sebagaimana diatur termasuk perbuatan pidana dengan ancaman 4 (empat) tahun atau lebih.
Terjadinya predicate crime dalam UU PPTPPU ketika terjadi dan terbukti maka akan dilakukan penyidikan yang secara langsung TPPU akan diproses pula sebagai tindak pidana lanjutannya, maka disimpulkan ketika terpenuhinya unsur predicate crime maka disitulah TPPU ada. Terkait penyidikan, sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyebutkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PPNS) juga dapat menyidik berdasarkan undang-undang diberikan wewenang untuk menyidik sesuai ruang lingkup tugas.2
Kedudukan PPNS sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU yakni penyidik yang berwenang menyidik berdasarkan undang-undangnya masing-masing meliputi bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal. Salah satu contoh bidang yakni dalam bidang kehutanan yang merupakan pidana asal (predicate crime) memberikan wewenang PPNS melakukan penyidikan, namun tidak diberikan kedudukan yang pasti untuk berwenangan melakukan penyidikan TPPU.
Mencermati secara seksama kewenangan PPNS atau dalam hal ini adalah PPNS baik dalam bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, perpajakan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal terbatas pada semua tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana tertentu itu saja. Mengingat tindak pidana dalam berbagai bidang sesuai Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU, berdasarkan ini inti permasalahan bagaimanakah untuk penindakan atas adanya TPPU sebagai tindak pidana ikutan dari tindak pidana kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, perpajakan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal. Menelaah adanya ketentuan Pasal 74 UU PPTPPU terkait aturan penyidik predicate crime, sedangkan penjelasan pasalnya tidak menyebutkan adanya kewenangan PPNS menyidik TPPU dalam tindak pidana kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal.
Permasalahan adanya ketidakjelasan kedudukan PPNS dalam melakukan penyidikan TPPU ini sebenarnya telah diajukan kepada pengadilan mahkamah konstitusi untuk diuji dengan UUD 1945. Para pemohon yang mengajukan permohonan yakni PPNS LHK serta PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan adanya hambatan melakukan penyidikan TPPU karena adanya batas kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan dan terdapat pemahaman dari penegak hukum lainnya yakni jaksa dalam perkara kehutanan dan lingkungan hidup sebagaimana pemohon pengujian peraturan perundang-undangan tersebut
menyatakan PPNS tersebut tidak berwenangan melakukan penyidikan TPPU.
Berdasarkan permasalahan di atas muncul dari adanya inkonsistensi antara norma Pasal 74 dan penjelasan pasalnya tanpa memperhatikan Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU untuk berbagai macam bidang predicate crime yang memiliki penyidik PPNS selain Kepolisian Republik Indonesia. Hal tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian dalam memberikan kewenangan PPNS dalam menyidik TPPU yang diberikan wewenang oleh undang-undang pada bidang yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya tindak pidana kehutanan saja melainkan juga pada beberapa tindak pidana asalnya. Tidak terbatas pada UU PPTPPU melainkan pula akan dibahas adanya korelasi dan sinkronisasinya dengan berbagai bidang predicate crime yang memiliki PPNS yang kewenangannya juga melakukan penyidikan TPPU.
Ketidakpastian penegakan hukum memberikan kewenangan penyidikan kepada PPNS tidak diberikan oleh UU PPTPPU sendiri, meskipun kewenangannya diatur dalam peraturan di bidang masing-masing. Ketidakpastian karena ketidak konsistenan dan korelasi baik antar norma, antara norma dan penjelasan norma, hingga antar peraturan perundang-undangan akan berdampak pada ditegakkannya hukum. Keberadaan PPNS sebenarnya diatur berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP.3
Korelasi berkaitan penegakan hukum yakni apabila dihubungkan dengan teori penegakan hukum Soerjono Soekanto berpendapat terdapat beberapa hal yang mempengaruhi seperti faktor hukum, penegakan hukum, sarana yang mendukung pelaksanaan hukum, dan masyarakat. 4 Sangat penting untuk proses penyidikan karena bagian dari subsistem dalam sistem peradilan pidana sesuai ketentuan KUHAP diperlukan adanya sinkronisasi serta keharmonisan. 5 Sinkronisasi serta keselarasan subsistem penyidikan dalam sistem peradilan pidana yang dapat dituangkan dalam perundang-undangan.
Permasalahan mengenai kewenangan kedudukan PPNS predicate crime dalam UU PPTPPU dalam melakukan penyidikan TPPU pada penelitian ini akan dibahas dan dianalisis menggunakan teori yang berkaitan dengan penegakan hukum untuk menghasilkan suatu kejelasan kedudukan PPNS melakukan penyidikan TPPU yang belum tercantum jelas alur dan atau pelaksanaan dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU, kedudukan PPNS setelah Putusan MK No. 15/PUU-XIX/2021 (disebut Putusan MK No. 15 Tahun 2021), serta korelasi sinkronisasinya dengan berbagai bidang pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU. Penelitian sebelumnya yakni oleh Hendra mengkaji terbatas pada kewenangan PPNS dalam sistem peradilan pidana melakukan penyidikan melalui KUHAP, beberapa peraturan, dan kewenangannya sesuai Putusan MK No. 15
Tahun 2021.6 Penelitian selanjutnya oleh Anggara Dewi Putra, dkk, yang membahas terbatas analisis Putusan MK No. 15 Tahun 2021 mengenai wewenang PPNS menyidik TPPU yang hasilnya pada intinya Pasal 74 UU PPTPPU bertentangan dan tidak mengikat secara hukum selama tidak dimaknai sesuai bunyi pada Pasal 74 UU PPTPPU.7
-
2. Metode Penelitian
Penelitian ini ialah yuridis normatif. Metode pendekatannya yakni statute approach dan conceptual approach, sedangkan sumber bahan hukumnya yakni primer, sekunder, serta tersier. Pengumpulan bahan hukum melalui kepustakaan dan pencarian melalui media online, serta metode analisis bahan hukum yakni deskriptif kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.
-
3. Hasil dan Pembahasan
KUHAP merupakan sekumpulan aturan untuk beracara baik dari proses penyelidikan, penyidikan hingga proses persidangan untuk memperoleh putusan inkracht. Penyidikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP mencantumkan rangkaian sikap tindak penyidik sesuai prosedur yang ditentukan KUHAP untuk melakukan pencarian dan pengumpulan bukti agar tindak pidana menjadi jelas serta untuk ditemukannya tersangka. Penyidik merupakan jalan yang pertama untuk dilakukannya awal mencari tugas dalam hal ini kebenaran materiil karena merupakan langkah awal untuk berupaya menegakkan hukum dilaksanakan. Usaha yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk melakukan antisipasi dan penanggulangan kejahatan ialah melakukan penyusunan perundang-undangan untuk diberikannya wewenang pada institusi lain di luar POLRI, untuk menyidik.8
Hal di atas menunjukkan bahwa penyidikan yang merupakan awal proses penegakan hukum dalam penanganan perkara tindak pidana guna menemukan bukti secara jelas untuk menemukan tersangka tidak hanya dilakukan oleh Penyidik Polri melainkan oleh penyidik pada institusi lain yang kewenangannya diberikan oleh perundang-undangan. Penyidik yang dimaksud yaitu PPNS. Mengetahui siapa saja penyidik dan kewenangan PPNS yang diatur oleh setiap peraturan perundang-undangan terkait maka akan ditelaah melalui beberapa peraturan perundang-undangan yakni KUHAP, TPPU dan perundang-undangan predicate crime seperti kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, perpajakan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal dengan rincian sebagai berikut:
-
3.1.1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 6 KUHAP menyebutkan penyidik yaitu POLRI atau PPNS tertentu yang berwenang berdasarkan undang-undang untuk menyidik. Ketentuan tersebut memperjelas bahwa untuk menyidik tidak sebatas pada POLRI melainkan pula PPNS yang diberikan kewenangan khusus oleh perundang-undangan yang terkait. Kewenangan dari PPNS sendiri ini tidak terlepas dari adanya koordinasi dengan POLRI sesuai Pasal 107 serta Pasal 109 ayat (3) KUHAP.
Sejalan dengan M. Yahya Harahap berpendapat ketentuan yang berhubungan dengan penyidikan terdapat dalam BAB IV bagian pertama, Bab V, Bab VI dan Bab XIV KUHAP. Maknanya dapat disimpulkan bahwa kewenangan melakukan penyidikan oleh PPNS sebagaimana penyidikan yang diatur dalam KUHAP seperti mendapat petunjuk dari Penyidik POLRI dan memberikan bantuan penyidikan sesuai tupoksi, PPNS memberikan perkembangan penyidikan kepada Polri untuk melimpahkan kepada penuntut umum (disebut PU), menyerahkan hasil penyidikan kepada PU, dan dapat melakukan pemberhentian penyidikan apabila tidak cukup bukti dengan memberikan informasi kepada penyidik Polri dan Penuntut umum.9 Berdasarkan hal tersebut dimaknai bahwa kewenangan penyidik termasuk PPNS cukup luas namun tetap sesuai bidang masing-masing sesuai peraturan predicate crime yang mengaturnya.
-
3.1.2 UU PPTPPU
TPPU disebut sebagai money laundering yang diartikan sebagai kegiatan menyamarkan atau menyembunyikan asal mula harta kekayaan sehingga seperti harta kekayaan yang sah dan terhindar dari pemerintah atau otoritas yang berwenang.10 Umumnya TPPU dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yakni:11
-
a) Placement
Tahapan penempatan ini merupakan usaha menyembunyikan asal mula uang yang tidak sah dengan cara menempatkan pada rekening, membelikan instrumen moneter, money orders dan lainnya. Yang paling sering dilakukan pada tahapan ini yaitu smurfing yang dengan cara ini dapat menghindari kewajiban pelaporan transaksi tunai yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
-
b) Layering
Tahapan ini ditujukan untuk memutus keterkaitan adanya hubungan yang hasil kejahatan dari sumber asalnya. Pemutusan hubungan tersebut dengan mengalihkannya kepada bank-bank lain dengan beberapa kali.12 Tidak hanya pengalihan dana ke bank lain, namun pelaku juga sering melakukan pendirian perusahaan yang fiktif atau alat lain yang diatas namakan orang lain.
-
c) Integration
Cara mengelola harta kekayaan yang berasal dari predicate crime kemudian dimasukkan pada sistem keuangan baik dengan placement atau layering sehingga harta tersebut seoalah-olah merupakan harta kekayaan sah.13
Terjadinya TPPU melalui tiga tahapan mengenai placement, layering, dan integration yang merupakan harta kekayaan predicate crime sesuai Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU yang berdasarkan ketentuan tersebut maka penegak hukum harus membuktikan tindak pidana asalnya kemudian barulah tindak pidana ikutannya, namun terdapat pula pemahaman yang berbeda yakni Pasal 69 UU PPTPPU mencantumkan melakukan penyidikan, PU, serta memeriksa di pengadilan mengenai asal tindak pidananya tidak harus terbukti lebih dahulu. Mengenai penyidikan pada TPPU, dalam UU PPTPPU sendiri memberi wewenang penyidik predicate crime menyidik terhadap adanya TPPU kecuali ditentukan lain menurut UU PPTPPU, sesuai ketentuan Pasal 74 UU PPTPPU.14
Kewenangan untuk melakukan penyidikan TPPU kemudian diperjelas melalui Penjelasan Pasal 74 yakni:
“Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 serta Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU memang diatur terkait yang menyidik TPPU ialah penyidik predicate crime tetapi dibatasi oleh penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU dengan mencantumkan penyidik predicate crime meliputi Kepolisian RI, BNN, Dikjen Pajak dan Dikjen Bea dan cukai, yang kewenangan lebih lanjut diatur melalui peraturan perundang-undangan sesuai bidang masing-masing. PPNS untuk bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal tidak dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU.
-
3.1.3 Peraturan perundang-undangan dalam tindak pidana asal
Beberapa predicate crime yang memiliki PPNS untuk melakukan penyidikan meliputi bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal. Berikut kewenangan PPNS dalam perundang-undangan terkait:
-
a) Kehutanan
Kehutanan pengaturannya melalui UU No. 41 Tahun 1999 (“UU Kehutanan”) dan UU No. 18 Tahun 2003 (“UU PPPH”). Penyidikan diatur melalui Pasal 77 UU Kehutanan dan Pasal 30 UU PPPH. Penyidikan dalam bidang ini dilakukan oleh penyidik yakni tidak hanya dari kepolisian/POLRI melainkan juga PPNS tertentu yang memiliki lingkup tugas terhadap pengurusan hutan yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik bidang kehutanan. Kewenangan PPNS dalam bidang Kehutanan yakni pemeriksaan kebenaran laporan, memeriksa orang diduga melakukan, pemeriksaan tanda pengenal seseorang, menggeledah serta menyita barang bukti, permintaan keterangan dan barang bukti, penangkapan dan penahanan atas kerjasama dan pengawasan penyidik Kepolisian sesuai KUHAP, pembuatan dan penandatanganan berita acara, dan pemberhentian penyidikan yang semua kewenangan tersebut berkenaan dengan perbuatan pidana bidang kehutanan.
Kewenangan PPNS dibidang kehutanan di atas menunjukkan bahwa kewenangan melakukan penyidikan tidak jauh berbeda sebagaimana di atur dalam KUHAP yang nantinya terdapat pula tugas untuk koordinasi dengan Kepolisian RI, dan kewenangan PPNS dalam UU Kehutanan mengenai segala pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan hingga dapat menghentikan penyidikan dengan segala perbuatan yang berkaitan dengan perbuatan pidana hutan.
Kewenangan PPNS berdasarkan ketentuan UU PPPH tepatnya pada Pasal 30 pada intinya kewenangan untuk melakukan penyidikan atas segala tindakan yang berkenaan dengan hutan sama halnya dengan UU Kehutanan dan sesuai kewenangan yang diberikan KUHAP dengan kerjasama nantinya dengan Kepolisian dengan lebih diperjelas untuk penyidikan atas tindak pidananya yang berkaitan dengan TPPU yakni yang diatur Pasal 95 ayat (1) huruf b dan c.
Tindakan perusakan hutan yang keterkaitan dengan TPPU yakni Pasal 19 huruf h dan huruf i yang menyatakan perbuatan yang dilarang yakni melakukan penempatan, transfer, pembayaran, pembelanjaan, penghibahan, sumbangan, penitipan, menggunakan kawasan hutan secara illegal, atau penyembunyian atau penyamaran asal mula harta yang dihasilkan dari penebangan liar atau memakai hasil wilayah hutan yang illegal sehingga seperti harta kekayaan yang halal. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk tindak pidana kehutanan yang terjadi, maka PPNS berwenang untuk menyidik atas terjadinya TPPU yang di bidang kehutanan.
-
b) Lingkungan Hidup (LH)
Pengaturan LH yaitu UU No. 32 Tahun 2009 (“UU PPLH”). Hadirnya UU PPLH salah satunya untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan yang menurun dan telah mengancam kelangsungan kehidupan makhluk hidup bahkan terdapatnya pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim semakin memperparah keadaan lingkungan, maka dengan adanya UU PPLH dapat melindungi dan mengelola lingkungan hidup.
Terjadinya tindak pidana ini dapat diproses awal yakni dilakukannya penyidikan baik oleh Polri maupun PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 94 UU PPLH yang diberi wewenang sebagai penyidik sesuai KUHAP. Diperjelas lebih lanjut bahwa PPNS memiliki kewenangan pemeriksaan kebenaran laporan, memeriksa setiap orang
diduga melakukan, permintaan informasi dan bahan bukti, memeriksa segala dokumen, memeriksa di suatu tempat, melakukan sita bahan serta barang, melakukan permintaan bantuam ahli, penghentian penyidikan, memasuki suatu tempat, pemotretan, pembuatan rekaman, menggeledah, menangkap dan menahan pelaku yang semuanya terkait dengan lingkungan hidup. Berdasarkan pengaturan kewenangan PPNS tersebut tidak terlepas dari penyidikan pada umumnya yang membedakan adalah PPNS bidang lingkungan hidup ini melakukan penyidikan terbatas pada perbuatan pidana bidang lingkungan hidup.
-
c) Perikanan
Berkaitan dengan perikanan pengaturannya melalui UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (“UU Perikanan”). UU Perikanan ini hadir untuk mengatasi dengan baik adanya sumber daya ikan yang dimanfaatkan untuk peningkatan taraf hidup yang adil dan berlanjut dengan mengelola, mengawasi, dan sistem penegakan hukum yang maksimal di bidang perikanan serta dapat menghadapi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum.
Pengaturan yang ada sebenarnya belum sepenuhnya mengatasi permasalahan, karena tindak pidana dibidang perikanan masih terjadi dalam kehidupan masyarakat yang juga merugikan negara. 15 Ketika terjadinya tindak pidana sesuai Pasal 73 UU Perikanan yang pada intinya menyatakan bahwa yang berwenang melakukan penyidikan selain POLRI dan TNI AL yaitu adalah PPNS Perikanan. Berkaitan dengan ruang lingkup PPNS tidak hanya tindak pidana perikanan di wilayah RI melaikan juga memiliki kewenangan di wilayah ZEEI, yang menjadi kewenangan utama PPNS melakukan penyidikan apabila terjadi di pelabuhan perikanan.
Tindak pidana dibidang perikanan meliputi illegal fishing dan tidak dilaporkannya penangkapan (unported fishing) sebagaimana dalam PERMEN NO. 37 Tahun 2017 tentang SOP Penegakan Hukum Satgas Pemberantasan Illegal Fishing. PERMEN tersebut salah satu bentuk upaya untuk melakukan pemberantasan dengan konsep multi rezim hukum yang berarti diperlukan keseragaman penegakan hukum agar pemberantasan dapat efektif dan efisikan dengan menjerat pelaku mengenakan berbagai undang-undang berkaitan apabila faktanya terdapat kejahatan lain. Undang-undang lain yang digunakan untuk analisis dalam PERMEN tersebut yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana dibidang perikanan salah satunya adalah UU TPPU.
Berdasarkan hal tersebut di atas menunjukkan bahwa secara eksplisit PERMEN NO. 37 Tahun 2017 tentang SOP Penegakan Hukum Satgas Pemberantasan Illegal Fishing melakukan pemberantasan melalui penegakan hukum yang memperhatikan segala tindakan yang berkaitan di bidang perikanan sehingga PPNS berwenang menyidik untuk segala tindak pidana yang berhubungan bidang perikanan termasuk UU PPTPPU.
-
d) Penyelundupan Tenaga Kerja
Penyelundupan tenaga kerja ini berkaitan UU No. 39 Tahun 2004 (disebut sebagai “UU PPTKI di LN”), sehingga dengan adanya peraturan ini menjamin hak asasi manusia dalam bekerja dan memberikan perlindungan tidak hanya tenaga kerja di Indonesia melainkan juga yang di luar wilayah RI. Adanya undang-undang ini untuk melindungi TKI terhadap tindakan yang dilarang oleh undang-undang untuk menjaga pula harkat dan martabat manusia.
Tidak dapat dipungkiri masih banyaknya terjadi pengiriman tenaga kerja illegal. Terjadinya tindak pidana atas pengiriman tenaga kerja yang illegal nantinya akan diproses secara hukum. Secara hukum acara pidana proses akan sama diawali dengan adanya penyelidikan yang apabila dinilai bahwa ini merupakan tindak pidana maka akan dilanjut pada penyidikan. Penyidikan di atur dalam Pasal 101 UU PPTKI di LN pada intinya menyebutkan bahwa selain Penyidik POLRI, kepada PPNS tertentu yang diberikan tanggungjawab pada bidang ketenagakerjaan dan kewenangan sebagai penyidik sesuai KUHAP, untuk penyidikan tindak pidana sebagaimana dalam UU PPTKI di LN.
Penyidik dalam Pasal 101 ayat (1) memiliki kewenangan sesuai Pasal 101 ayat (2) meliputi memeriksa kebenaran laporan, memeriksa terhadap orang yang diduga, permintaan keterangan dan bahan bukti, memeriksa atau menyita bahan atau barang bukti, pemeriksaan surat atau dokumen, meminta bantuan tenaga ahli, penghentian penyidikan yang semuanya berkaitan tindak pidana di bidang penyelundupan tenaga kerja. Wewenang PPNS tersebut dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan KUHAP.
-
e) Pasar Modal
Pasar modal pengaturannya melalui UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”). Lahirnya UUPM ini untuk memberi kepastian dan perlindungan kepentingan masyarakat. Terdapatnya kerugian dalam pasar modal apabila terjadi pelanggaran maka akan diperiksa dan proses sesuai penilaian dari Bappepam. Bappepam nantinya menetapkan dimulainya tindakan penyidikan. Penyidikan dilakukan PPNS dilingkungan Bapepam berwenang menyidik didasarkan dengan ketentuan KUHAP. Penyidikan pada bidang ini dapat dilakukan pula oleh penyidik dari OJK sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2011 (“UU OJK”) dan diatur pula POJK No. 22 Tahun 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Penyidikan oleh OJK ini bagian mengatur mengawasi mengenai aspek kewaspadaan bank salah satunya prinsip anti money laundering.
Kewenangan penyidik pasar modal ini berwenang penerimaan laporan, pemberitahuan atau pengaduan, memeriksa kebenaran laporan atau informasi, memeriksa pihak diduga, pemanggilan, pemeriksaan, dan permintaan informasi dan barang bukti, atau sebagai saksi, memeriksa segala dokumen, memeriksa suatu tempat, serta menyita, pemblokiran rekening, permintaan bantuan ahli, serta pernyataan mulainya dan penghentian penyidikan yang semuanya berkaitan dengan perbuatan pidana di bidang pasar modan dan sektor jasa keuangan.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai ketentuan yang tercantum dalam UU Pasar Modal, UU OJK, serta POJK No. 22/POJK.01/2015 maka yang dapat melakukan penyidikan tindak pidana pasar modal yakni PPNS dilingkungan Bappepam dan PPNS dari OJK, sehingga disimpulkan bahwa tindak pidana pasar modal ini
berhubungan erat dengan keuangan apabila dihubungkan dengan sektor jasa keuangan yang dijalankan oleh bank, maka harus memperhatikan prinsip kehati-hatian khususnya anti pencucian yang, sehingga secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa kewenangan PPNS tindak pidana pasar modal yang dalam pengaturannya memiliki keterkaitan anatara pasar modal dan sektor jasa keuangan dengan memperhatikan pengaturan dan pengawasan kehati-hatian bank yakni anti pencucian yang maka PPNS Bappepam maupun yang nantinya dialihkan kepada PPNS OJK dapat melakukan penyidikan TPPU.
Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa penyidikan oleh PPNS terhadap adanya TPPU tidak dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU menyebabkan ketidakpastian hukum dan tidak memberikan ruang untuk PPNS bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal dalam melakukan penyidikan yang berhubungan erat dengan tindak pidana ikutan yakni TPPU. Ketidakpastian mengenai kewenangan PPNS melakukan penyidikan TPPU ini telah diuji dan ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XIX/2021.
Berkenaan materiil pengujiannya yakni terhadap Pasal 74 dan Penjelasan Pasalnya dinilai tidak selaras dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Berdasarkan pengajuan tersebut poin intinya adanya ketidak konsistenan antara substansi dengan penjelasan pasal khususnya Pasal 74 UU PPTPPU tidak selaras dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 jo. UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”).16 Hakim kemudian mempertimbangkan dan memutuskan bahwa menyatakan adanya pertentangan antara Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU dan tidak mengikat secara hukum apabila tidak dimaknai penyidik ialah pejabat atau instansi yang oleh perundang-undangan diberikan wewenang menyidik.
Pasca adanya Putusan MK No. 15 Tahun 2021 memberikan adanya ruang kepastian hukum untuk memberikan kewenangan penyidik predicate crime dalam hal ini termasuk PPNS untuk penyidikan TPPU selama dimaknai tetap pada hakikatnya pada Pasal 74 UU PPTPPU. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketika PPNS ketika melakukan penyidikan didasarkan atas undang-undang yang memberikan kewenangan sesuai bidang masing-masing dalam hal ini kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal yang kemudian dijadikan dasar penyidikan yakni yurisprudensi Putusan MK No. 15 Tahun 2021.
-
3.3 Pembaharuan UU TPPU Dalam Memberikan Kedudukan PPNS Melakukan Penyidikan TPPU dalam Predicate Crime
Diuraikan pada subbab sebelumnya bahwa terdapat ketidakjelasan pengaturan hingga menyebabkan keterbatasan PPNS melakukan penyidikan TPPU pada tindak pidana asalnya. Keterbatasan disebabkan karena ketidakselarasan dari pengaturan Pasal 74
UU PPTPPU dengan penjelasan pasalnya. Meskipun adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi terhadap suatu undang-undang harus memberikan kepastian hukum terhadap norma yang terkandung di dalamnya yang memiliki bagian batang tubuh dan penjelasan. Ketidaksinkronan Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU tidak memberikan kepastian hukum mengenai kejelasan dalam memberikan kewenangan PPNS melakukan penyidikan TPPU.
Lebih lanjut membahas kepastian hukum untuk memberikan kewenangan penyidikan TPPU pada PPNS bahwa perlu diketahui kepastian hukum erat kaitannya dengan efektifitas hukum, sebab apabila sarana memadai untuk pelaksanaan aturan maka akan tercapainya jaminan kepastian hukum. Tercapainya kepastian hukum maka akan diperoleh pula suatu keadilan yang juga memberikan manfaat sebesarnya kepada masyarakat. Terciptanya kepastian hukum, maka perlu dipahami kepastian hukum menurut Apeldorn adalah:17
“(1) Hal yang dapat ditetapkan (bepaalbaarheid) dari hukum, mengenai hal konkrit.;
-
(2) Berarti pula keamanan hukum ialah melindungi semua pihak dari kesewenangan hakim”.
Menurut pendapat Radbruch bahwa kepastian menunjuk pada terjaminnya bahwa hukum yang adil dan mengandung norma kebaikan yakni berfungsinya secara tepat peraturan untuk ditaati dimana kepastian hukum ini merupakan operasional dari hukum. Soerjono Soekanto mengemukakan yaitu penegakan hukum secara konsepsional yakni penyelarasan keterkaitan nilai yang terurai di dalam kaidah serta tindak lanjut susunan yang menjabarkan nilai tahap akhir, demi mewujudkan serta mempertahankan ketentraman hidup.18 Penegakan hukum erat hubungannya dengan usaha menciptakan nilai keutamaan yang termaktub dalam kaidah hukum. Hal ini dapat dimaknai bahwa penegakan hukum adalah semua aktivitas atau usaha melakukan penerapan hukum atau peraturan yang benar, adil, serta transparan baik oleh lembaga negara baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif maupun masyarakat.
Soerjono Soekanto memberikan pendapat mengenai faktor penegakan hukum meliputi peraturan, penegak hukum, sarana pendukung penegakan hukum, masyarakat dan kebudayaan, dengan penjelasan sebagai berikut:19
-
1) Hukum itu sendiri, semakin baiknya aturan maka penegakan juga akan terlaksana dengan baik. Peraturan yang baik ini berkaitan dengan Stufenbau Theory dari Hans Kelsen;
-
2) Faktor penegak hukum, ini merupakan fakor dari pihak yang melakukan pembentukan hukum maupun melaksanakan hukum itu untuk diterapkan;
-
3) Faktor sarana, yakni faktor berupa fasilitas yang dapat mendukung untuk penegakan hukum dijalankan, contohnya yaitu peraturan tentang tanah yang dapat kita lihat masih banyak tanah baik kota maupun desa yang belun terdaftar. Hal ini menunjukkan kurangnya fasilitas untuk menjalankan peraturan pendaftaran tanah;
-
4) Faktor masyarakat, yaitu keberlakuan atau dilaksanakannya hukum. Maknanya sadarnya masyarakat menjadi faktor penting, sebab penegakan hukum berasal dari serta ditujukan untuk masyarakat;
-
5) Faktor kebudayaan, ini merupakan faktor hasil yang didasarkan pada pergaulan hidup masyarakat.
Berdasarkan hal di atas korelasi antara kepastian hukum dan penegakan hukum sangat erat mengingat untuk penegakan hukum yang baik dalam memberikan kewenangan untuk melaksanakan atau implementasi dari peraturan perundang-undangan dalam hal ini PPNS dalam melakukan penyidikan TPPU harus memiliki sarana yang jelas memberikan kepastian berupa norma tertulis dalam hal ini aturan yang berkaitan yakni dalam UU PPTPPU untuk memberikan kejelasan kewenangan dari PPNS.
Kewenangan PPNS berdasarkan semua uraian pada subbab sebelumnya diakui bahwa memiliki kewenangan penyidikan pada tindak pidana sesuai bidang tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, akan tetapi menjadi persoalan dalam melakukan penyidikan TPPU pada tindak pidana asalnya. Problematika karena terbatas dalam melakukan penyidikan TPPU ini sebenarnya terjadi akibat adanya ketidaksinkronan antara Pasal 74 UU PPTPPU dengan penjelasan pasal sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebagaimana menurut ahli hukum yakni Edward Omar Sharif Hlariej yang mengemukakan pendapatnya sebagai ahli pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 74/PUU-XVI/2018 yang pada intinya terdapat sejumlah pasal beserta penjelasannya dalam UU PPTPPU yang tidak jelas, dan bahkan bertentangan antar pasal maupun pasal dengan penjelasannya. Hal tersebut berdampak tidak terjaminnya kepastian hukum dalam menegakkan undang-undang. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan perundang-undangan yang baik atau biasa dikenal dengan stufenbau theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Berkembang selanjutnya korelasi pendapat ahli dan teori tersebut sejalan dengan adanya amanah dari UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undang pada Lampiran butir ke 176, 178, dan 186 pada intinya menjelaskan bahwa penjelasan atas norma hanya mengandung penjabaran terhadap kata atau kesatuan kata ataupun istilah dalam norma serta bisa diberikan contoh dan yang dijelakskan pada norma tidak bertentangan, tidak melakukan perluasan, penyempitan, atau penambahan arti dalam norma batang tubuh. Hal tersebut memperjelas bahwa Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU menyimpangi adanya teori dan amanah dari UU Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan.
Pembahasan analisis selanjutnya berkaitan dengan kedudukan dan wewenang PPNS dalam melaksanakan tugasnya, M. Yahya Harahap pada memperincikan bahwa PPNS berada dibawah, melakukan kerjasama dengan penyidik POLRI, dan mengawasi dilakukan penyidik POLRI. 20 Pada intinya tugas melakukan penyidikan hingga melakukan koordinasi dengan penegak hukum lainnya disesuaikan dengan yang telah di atur dalam KUHAP dan undang-undang yang memberikan kewenangan pada PPNS sebagaimana dijelaskan pada subbab sebelumnya.
Meskipun terdapat Putusan MK No. 15 Tahun 2021 mengenai penyidik predicate crime yang tidak bertentangan dengan hukum selama dimaknai tetap pada Pasal 74 UU TPPU, secara normatif hukum demi memberikan suatu kepastian hukum alangkah lebih baiknya untuk mencapai tujuan hukum melalui sarana hukum yakni peraturan perundang-undangan secara hierarki, maka perlu dilakukan suatu pembaharuan yang menurut Mochtar Kusumaatmadja untuk hukum sebagai fasilitas pembaharuan maka dapat berbentuk undang-undang atau yurisprudensi maupun antara undang-undang dan yurisprudensi. Adanya perluasan ini di Indonesia lebih sering menggunakan undang-undang daripada yurisprudensi.21
Berdasarkan semua hal di atas maka dilakukan pembaharuan hukum yang juga dijadikan dasar adanya yurisprudensi Putusan MK No. 15 Tahun 2021 untuk melakukan adanya perubahan pada UU TPPU khususnya melalui Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU yang menambahkan adanya penjelasan lebih luas sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU dengan melakukan pembaharuan ini dapat mengakomodir adanya PPNS sebagai penyidik predicate crime dalam melakukan penyidikan TPPU sesuai Pasal 74 UU PPTPPU serta kewenangan tambahan yang diberikan dalam undang-undang predicate crime terkait sehingga terdapat korelasi dan konsistensi menjadi satu kesatuan dalam melakukan penyidikan TPPU yang nantinya penambahan kewenangan tersebut dengan memperhatikan pendapat dari M. Yahya Harahap dan Soerjono Soekanto, apabila dikorelasikan maka untuk penambahan kewenangan PPNS demi penegakan hukum yang baik khususnya upaya pemberantasan TPPU, maka PPNS dalam melakukan penyidikan TPPU yang memerlukan korelasi dengan penegak hukum lainnya yakni Kepolisian, Kejaksaan, serta lainnya dengan memperhatikan kewenangan sesuai perubahan perundang-undangan demi adanya kepastian hukum dan penegakan yang berkeadilan melalui adanya sinkronisasi antara pasal dan penjelasan norma hingga antar peraturan perundang-undangan terkait.
-
4. Kesimpulan
Kedudukan PPNS dalam melakukan penyidikan TPPU meskipun telah terdapat Putusan MK No. 15 Tahun 2021, belum memberikan kepastian hukum jelas kewenangan PPNS melakukan penyidikan TPPU dibidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal. Perlu diberi kepastian hukum lebih melalui peraturan perundang-undangan mengingat penegakan hukum yang baik juga memperhatikan adanya hukum sebagai sarana untuk melakukan penegakan hukum. Kepastian hukum diberikan dengan melakukan pembaharuan undang-undang melalui perubahan baik melalui Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU, sehingga dapat mengakomodir kewenangan PPNS sebagai penyidik predicate crime serta sesuai Pasal 74 UU PPTPPU untuk melakukan penyidikan TPPU, hingga adanya pembaharuan undang-undang dibidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan, penyelundupan tenaga kerja, dan pasar modal untuk merumuskan norma PPNS melakukan penyidikan TPPU dengan cara yang tetap sejalan dengan amanah yang diberikan KUHAP, UU PPTPPU, dan perundang-undangan terkait serta kesamaan aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan TPPU yang khususnya kewenangan melakukan penyidikan TPPU oleh PPNS.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Ali, A. (1996). Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta:Chandra Pratama
Ishaq, (2008). Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta:Sinar Grafika
Rasjidi, Lili, and Liza Sonia Rasjidi. (2012). Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung:PT Citra Aditya Bhakti
Soekanto, S. (1983). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta:Rajawali
Jurnal
Ariyanti, V. (2019). Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal Yuridis, 6(2), 43. https://doi.org/10.35586/jyur.v6i2.789
Geno, A. (2019). Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP dan Hukum Pidana Islam. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 2(1), 9. https://doi.org/10.21043/tawazun.v2i1.5223
Harefa, A. (2018). Kewenangan Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Wilayah Hukum Kota Gunungsitoli. Jurnal Education and Development, 4(1), 44. http://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/view/256
Hendra. (2021). Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Melakukan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Bersumber Dari Tindak Pidana Asal. Jurnal Universitas Palembang, 19(September), 369. https://doi.org/https://doi.org/10.1234/solusi.v19i3.431
Hibnu Nugroho, Budiyono, P. (2016). Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Upaya Penarikan Asset. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 16(1), 3. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2016.V16
Lestari, M. M. (2013). Penegakan Hukum Pidana Perikanan Di Indonesia Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan. Jurnal Ilmu Hukum, 3(2)
Maimana, S, Syahrin, A, Ablisar,M, Hamdan, M. (2013). Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan Dan Penyidik POLRI Dalam Penangan Tindak Pidana Perpajakan, Usu Law Journal, 2(2)
Manik, J. D. N. (2018). Koordinasi Penyidik Polri Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jurnal Hukum PRIORIS, 6(3), 289. https://doi.org/10.25105/prio.v6i3.3181
Nuryanto, A. D. (2019). Problem Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang yang Berasal dari Predicate Crime Perbankan. Bestuur, 7(1), 56.
https://doi.org/10.20961/bestuur.v7i1.43437
Prasetia Putra, A. R. (2019). Problematik Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang. Jurnal Lex Renaissance, 4(2), p.310.
https://doi.org/10.20885/jlr.vol4.iss2.art6
Putra, A D, H H Sutikno, and W Widodo, ‘Kewenangan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Melakukan Penyidikan Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (Analisis Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021)’, Jurnal IKAMAKUM, 15, 2021, 377–95
<http://www.openjournal.unpam.ac.id/index.php/IKAMAKUM/article/view/ 15505>
Sodikin. (2017). Eksistensi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Tata Ruang. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(2), 290.
https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v6i2.169
Internet
Muslim, F. 2021. Rencana Aksi Optimalisasi Penanganan TPPU Pasca Putusan MK Nomor 15/PUU/XIX/2021,
Https://Auriga.or.Id/Resource/Reference/Fithriadi_muslim-
Rencana_aksi_optimalisasi_penanganan_tppu_pasca_putusan_mk_nomor_15-Puu-Xix-2021.Pdf
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan jo Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 22/POJK.01/2015 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 3 Desember 2022, h. 284-299
Discussion and feedback