Penguatan Kedaulatan Negara di Udara dan Urgensi Sinkronisasi Hukum
on
Penguatan Kedaulatan Negara di Udara dan Urgensi Sinkronisasi Hukum
Ridha Aditya Nugraha,1 Konrardus Elias Liat Tedemaking,2 Vicia Sacharissa3
-
1 Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya E-mail: [email protected]
-
2 Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, E-mail: [email protected]
-
3 H & A Partners (in Association with Anderson Mori & Tomotsune) Jakarta, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 23 November 2020
Diterima : 20 April 2021
Terbit : 28 April 2021
Keywords:
Interception; Sovereignty;
National Airspace Security
Kata kunci:
Intersepsi, Kedaulatan, Pengamanan Wilayah Udara
Corresponding Author:
Ridha Aditya Nugraha,
Abstract
Airspace is an important medium for Indonesia as an archipelagic state. Along with the development of aerospace technology, the welfare of the country is increasingly dependent on the use of this medium. Thus, it is reasonable to mention that safeguarding the airspace is crucial. The Indonesian Air Force together with the Ministry of Transportation are at the forefront of the efforts to enforce sovereignty in the national airspace. The presence of the Government Regulation on National Airspace Security in 2018 strengthens the legal basis for such action; including interception to forced landing of foreign aircraft by the Indonesian Air Force. Considering the cross-border nature of aviation, efforts to safeguard national airspace closely intersect with international norms and laws. As a result, the provisions of the Rules of the Air to Article 3bis of the Chicago Convention of 1944 regarding the interception of civilian aircraft by prioritizing aviation safety and security are inseparable. This article shall discuss interception from various points of view, along with the authority of the Indonesian Air Force and the Ministry of Transportation. Comparisons with Thailand's law are also provided in this article in order to give input on national regulations, one of which is regarding administrative fines aimed at protecting the state budget. Normative juridical research methods apply. This research concludes that there is an urgency to synchronize the Indonesian laws related to national airspace security.
Abstrak
Ruang udara merupakan medium penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Seiring perkembangan teknologi kedirgantaraan, kini kesejahteraan suatu negara semakin bergantung kepada pemanfaatan medium ini. Maka sangat berdasar menyatakan bahwa pengamanan ruang udara sebagai hal yang krusial. Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara bersama Kementerian Perhubungan menjadi garda terdepan dalam upaya menegakkan kedaulatan pada ruang udara nasional. Kehadiran Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Wilayah
E-mail :
DOI :
10.24843/KP.2021.v43.i01.p05
Udara pada tahun 2018 menguatkan landasan hukum dalam bertindak; diantaranya intersepsi hingga pendaratan paksa pesawat asing oleh TNI Angkatan Udara. Mengingat aktivitas penerbangan bersifat lintas batas negara, maka upaya pengamanan wilayah udara nasional erat bersinggungan dengan norma dan hukum internasional. Alhasil, ketentuan Rules of the Air hingga Artikel 3bis Konvensi Chicago 1944 terkait intersepsi pesawat sipil dengan mengedepankan keamanan dan keselamatan penerbangan menjadi tidak terpisahkan. Artikel ini akan membahas perihal intersepsi dari berbagai sudut pandang beserta kewenangan TNI Angkatan Udara maupun Kementerian Perhubungan. Perbandingan dengan hukum positif Thailand dilakukan guna memberikan masukan terhadap peraturan nasional, salah satunya perihal denda administratif yang bertujuan melindungi anggaran negara. Metode penelitian yuridis normatif berlaku dalam penulisan ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat suatu urgensi untuk menyempurnakan serta melakukan sinkronisasi hukum positif Indonesia terkait pengamanan wilayah udara nasional.
Wilayah Indonesia terdiri dari dua pertiga lautan dan sepertiga daratan. Sering terlupakan bahwa tiga pertiga dari wilayah tersebut atau keseluruhannya memiliki ruang udara. Ketiga elemen tersebut merupakan satu kesatuan politik (one political unit) yang tidak terpisahkan. Letak Indonesia sendiri begitu strategis, yaitu di antara dua benua dan dua samudra serta berbatasan dengan sepuluh negara yaitu Australia, Singapura, Malaysia, Filipina, Palau, India, Papua Nugini, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
Akibat faktor geografis beserta statusnya sebagai the most broken-up nation in the world, atensi dalam menegakkan kedaulatan di ruang udara Indonesia menjadi lebih kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besar. Pernyataan J.F. Lycklama yang senada dengan Pasal 1 Konvensi Chicago 19441 menyatakan bahwa kedaulatan pada ruang udara sama pentingnya dengan kedaulatan negara di wilayah daratan maupun lautan.2 Hal ini memberikan suatu pemahaman bahwa pengamanan ruang udara oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) sama pentingnya sebagaimana dilakukan oleh matra lain.
Penerobosan wilayah negara di udara (black flight) baik oleh pesawat sipil asing tidak berjadwal (civil aircraft performing non-scheduled flight)3 maupun pesawat militer (state aircraft) jumlahnya tidak sedikit. TNI AU mencatat 165 pelanggaran wilayah udara di
sekitar perbatasan Indonesia pada periode Januari-Juni 2019.4 Sebagai wujud pengamanan kedaulatan negara di udara, TNI AU melakukan intersepsi (interception) hingga tindakan pendaratan paksa (force down) terhadap pesawat asing, baik sipil (civil aircraft) maupun negara (state aircraft), yang tidak memiliki izin melintas di wilayah udara Indonesia.
Tindakan tersebut membuktikan keseriusan Indonesia dalam mengamankan kedaulatan di ruang udara dan menegakkan hukum terhadap para pelanggar wilayah udara nasional. Kehadiran Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara (“PP Pamwilud”) memperkuat dasar hukum akan tindakan penegakan tersebut. Hanya saja, pengaturan mengenai sanksi administratif dalam PP Pamwilud dan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan belumlah sinkron. Oleh karenanya diperlukan penyesuaian regulasi agar tidak menimbulkan multitafsir yang berujung pada kerugian dan ketidakpastian hukum.
Salah satu isu utama terkini ialah besarnya biaya yang dikeluarkan TNI AU untuk melakukan tindakan intersepsi dan tindakan pendaratan paksa terhadap pesawat sipil asing tidak berjadwal (civil aircraft performing non-scheduled flight)— terutama mereka yang memasuki wilayah udara nasional tanpa izin, yang pada akhirnya diperbolehkan terbang kembali tanpa dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.5 Upaya penegakan kedaulatan sendiri memang tidak didasarkan pada hitungan untung-rugi semata. Namun, setiap sen uang yang dibayarkan warga negara dalam bentuk pajak harus dipertanggungjawabkan dengan baik. Kegagalan berarti menghambat pembangunan negara. Alhasil, penetapan denda administratif perlu dianggap serius serta menjadi suatu urgensi agar peraturan terkait segera disinkronkan.
Artikel ini akan membahas dua hal. Pertama, bahasan mengenai konsep kedaulatan wilayah udara dan rules of the air terkait intersepsi yang diantaranya mencakup eksplorasi mengenai kewenangan TNI AU dan Kementerian Perhubungan c.q Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) guna memberikan gambaran peran masing-masing instansi. Kedua, telaah komparatif dengan hukum positif Thailand sebagai salah satu pengaturan paling rinci mengenai penegakan kedaulatan di udara di wilayah ASEAN akan dilakukan guna memberikan solusi nyata bagi Indonesia dalam mewujudkan penguatan kedaulatan negara di udara. Selain dua hal di atas, artikel ini juga akan mengemukakan adanya urgensi dalam penyempurnaan peraturan tentang pengenaan
sanksi administratif terkait pelanggaran wilayah udara nasional indonesia. Pembahasan tema ini penting ditengah keterbatasan literatur hukum udara di Indonesia.
Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma, kaidah, asas, dan prinsip hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan nasional. Penelitian yuridis normatif juga diartikan sebagai penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur sebagaimana berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.6 Selain itu, berdasarkan sifatnya, penelitian ini digolongkan sebagai penelitian hukum deskriptif yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.7
-
3. Hasil dan Pembahasan
PP Pamwilud terdiri dari 6 bab dan 40 pasal. Peraturan ini mulai berlaku sejak 19 Februari 2019. Keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi masih terkait dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan No. 1/2009") selaku payung hukum.8 Jika diruntut hingga akarnya, Konvensi Chicago 1944 selaku magna carta hukum udara adalah peraturan yang menjiwai lahirnya peraturan perundang-undangan terkait penerbangan. Beberapa isu utama yang berhubungan dengan penegakan kedaulatan negara di udara sebagaimana mengacu kepada PP Pamwilud akan dibahas dalam bab ini.
Ruang udara merupakan salah satu unsur terpenting berbicara perihal pertahanan dan keamanan negara.9 Selain dapat dimanfaatkan untuk keperluan komersial guna meningkatkan kesejahteraan bangsa, ruang udara juga berperan sebagai medium pergerakan pesawat militer (state aircraft) untuk tujuan pertahanan.10 Sangat berdasar
menyatakan ruang udara merupakan salah satu medium penting dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, terutama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Pada saat bersamaan, ruang udara berpotensi menjadi salah satu sumber datangnya ancaman terhadap keamanan nasional, misalnya melalui serangan udara maupun kegiatan spionase pada masa damai.11
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menegaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayah teritorialnya.12 Pasal ini menegaskan kembali konsep kedaulatan udara yang untuk pertama kalinya diejawantahkan melalui Konvensi Paris 1919.13 Sebelum kehadiran Konvensi Paris 1919, beberapa negara – diantaranya Inggris, Jerman, dan Perancis – telah mengenal dan mengatur konsep ‘kedaulatan udara’ melalui hukum nasional masing-masing.14 Dalam perkembangannya, Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menjadi landasan yang diakui dunia sebagai prinsip dasar hukum udara internasional.15
Tidak seperti kedaulatan negara atas laut teritorial, sifat kedaulatan negara atas ruang udara ialah penuh dan eksklusif - termasuk bagi negara kepulauan.16 Dalam hukum laut dikenal adanya hak lintas damai (innocent passage), sementara ruang udara suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat sipil (civil aircraft) maupun pesawat negara – termasuk pesawat militer – (state aircraft) asing; kecuali disepakati sebaliknya melalui perjanjian bilateral atau multilateral di antara negara yang berdaulat atas wilayah udara tersebut.17
UU Penerbangan No. 1/2009 mengadopsi prinsip kedaulatan udara sebagaimana termuat dalam Konvensi Chicago 1944, yakni “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.18 Sebagai implementasi kedaulatan negara atas ruang udara, Pasal 6 UU Penerbangan No. 1/2009 mengatur bahwa pemerintah memiliki wewenang dan tanggung jawab terkait pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Berangkat
dari dua pasal tersebut, maka lahirlah PP Pamwilud sebagai upaya pengejawantahan aturan yang lebih rinci.
Kedaulatan negara yang utuh dan eksklusif atas wilayah udara merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional.19 Prinsip ini juga menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang paling cepat diterima dunia pada abad ke-20.20 Maka secara aksiomatis tidak ada pesawat apapun yang berhak masuk ke wilayah udara suatu negara yang berdaulat tanpa izin. Namun, jika terjadi pelanggaran bukan berarti negara berhak untuk memperlakukan pesawat pelanggar secara semena-mena. Hukum internasional mengatur secara tegas mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dapat dan dilarang dilakukan ketika menghadapi kasus pesawat asing memasuki wilayah udara suatu negara tanpa izin, terutama apabila subjeknya pesawat sipil (civil aircraft). Salah satu metode umum ialah melalui intersepsi.
The Dictionary of Aviation mendefinisikan tindakan intersepsi sebagai “to stop or interrupt the intended path of something”.21 Pasal 1 butir 7 PP Pamwilud mendefinisikan intersepsi sebagai tindakan pesawat TNI AU untuk melaksanakan proses identifikasi terhadap pesawat yang dianggap melakukan tindakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Intersepsi terhadap pesawat sipil diatur secara ketat dalam hukum udara internasional. Dalam menghadapi setiap tindakan pelanggaran atas kedaulatan di wilayah udara, setiap negara tetap harus mempertimbangkan serta menjunjung tinggi perspektif kemanusiaan (elementary considerations of humanity).22
Kesadaran atas pentingnya perlindungan pesawat sipil muncul setelah insiden penembakan Boeing 747 Korean Air Lines Flight 007 yang melakukan penerbangan berjadwal (scheduled flight) pada tahun 1983. Dalam penerbangan dari Anchorage, Alaska, menuju Seoul, Korea Selatan, Korean Air Lines Flight 007 memasuki wilayah udara Uni Soviet - tepatnya diatas pangkalan militer sensitif Pulau Sakhalin.23 Militer Uni Soviet menembak pesawat tersebut yang menewaskan seluruh 269 penumpang.
Sebelum tragedi Korean Air Lines Flight 007, telah terjadi lima insiden serupa yang menelan korban jiwa, yaitu:24
-
1. Penyerangan terhadap pesawat Air France rute Frankfurt-Berlin oleh militer Uni Soviet pada 29 April 1952 menyebabkan enam penumpang luka-luka.
-
2. Penembakan terhadap pesawat Cathay Pacific rute Bangkok-Hong Kong oleh militer Republik Rakyat Cina (RRC) pada 23 Juli 1954. Setelah Pemerintah Inggris melakukan protes keras, Pemerintah RRC bersedia bertanggung
jawab atas kecelakaan tersebut serta mempertimbangkan pemberian kompensasi.
-
3. Pada 27 Juli 1955 militer Bulgaria menembak pesawat El Al Israel di dekat perbatasan Yunani-Bulgaria. Pemerintah Israel, Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Swiss melayangkan protes serta tuntutan pemberian kompensasi.
-
4. Penembakan pesawat Libyan Airlines pada 21 Februari 1973 merupakan insiden terparah sebelum terjadinya insiden Korean Air Lines Flight 007. Pesawat Libyan Airlines ditembak jatuh ketika memasuki wilayah Sinai setelah melewati Kairo, Mesir, sebagai kota tujuan. Saat itu wilayah Sinai berada dibawah okupasi Israel. Insiden ini menewaskan 108 penumpang. International Civil Aviation Organization ("ICAO") melakukan investigasi mendalam dan kemudian mengutuk keras tindakan Israel pada 4 Juni 1973.25
-
5. Pada 20 April 1978 militer Uni Soviet menembak jatuh pesawat Korean Air Lines setelah memasuki wilayah terlarang di selatan Murmansk, Uni Soviet. Dua penumpang meninggal dalam insiden ini.
Kenyataannya dunia internasional tidak langsung merespon berbagai insiden tersebut dengan serius. Baik keamanan penerbangan (flight security) maupun keselamatan penerbangan (flight safety) sipil seakan tidak menjadi prioritas hingga terjadinya insiden Korean Air Lines Flight 007. Kasus yang terjadi dalam kurun waktu 1950-1980 menggambarkan bahwa setiap negara merasa harus menindak tegas penerbangan sipil yang (dianggap) membahayakan - tercermin dari tidak adanya respon atas peringatan hingga melintasnya pesawat di daerah terlarang atau sensitif terlepas dari ada tidaknya intensi - sebagai alasan pembenar untuk menggunakan kekerasan (senjata).26 Kedaulatan eksklusif atas wilayah udara tidak serta-merta memberikan hak bagi suatu negara untuk langsung menggunakan tindakan kekerasan atau penghancuran terhadap pesawat sipil asing yang melanggar.
Momentum kasus penembakan Korean Air Lines Flight 007 dimanfaatkan ICAO untuk menambahkan Pasal 3 Konvesi Chicago 1944 dengan Protocol Relating to an Amendment to the Convention on International Civil Aviation atau yang dikenal luas sebagai Pasal 3bis. Ketentuan ini menegaskan baik nyawa penumpang maupun keamanan pesawat tidak boleh sama sekali terancam ketika intersepsi terjadi. Kemudian, negara berhak meminta pesawat yang diintersepsi untuk mendarat di bandara yang ditunjuk. Pasal 3bis melarang penggunaan senjata terhadap pesawat sipil, tetapi pada saat bersamaan memberikan hak untuk melakukan intersepsi terhadap pesawat sipil selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan tujuan awal.
ICAO Council kemudian mengeluarkan rekomendasi tata cara pelaksanaan intersepsi pesawat sipil (Manual Concerning Interception of Civil Aircraft).27 Intersepsi terhadap pesawat sipil dapat dilakukan apabila:28
-
1. Pesawat tersebut memasuki wilayah kedaulatan suatu negara tanpa izin dan tidak mematuhi instruksi untuk mendarat atau meninggalkan ruang udara nasional (enters the sovereign airspace of a State without proper permission and fails to comply with instructions to land or to leave the airspace);
-
2. Memasuki ruang udara nasional suatu negara melalui posisi atau rute yang berbeda dari sebagaimana termuat dalam izin lintas (enters the sovereign airspace of a State through different positions or routes from those stated in the overflight permission); atau
-
3. Pesawat asing tersebut dapat membahayakan pesawat lain (constitutes a hazard to other aircraft).
Tersirat bahwa intersepsi terhadap pesawat sipil sedapat mungkin dihindari dan hanya dilakukan apabila tidak terdapat pilihan lain. Pelaksanaan intersepsi hanya sebatas menentukan identitas pesawat secara visual — kecuali untuk mengembalikan pesawat ke jalur penerbangan yang telah direncanakan; mengarahkannya ke luar batas wilayah udara nasional; menjauhkannya dari area terlarang (prohibited area), terbatas (restricted area), maupun berbahaya (dangerous area); hingga memerintahkan pesawat untuk mendarat pada bandara atau pangkalan udara (aerodrome) yang ditunjuk.
Intersepsi dilarang memotong jalur atau melakukan manuver yang dapat menyebabkan turbulensi bagi pesawat yang diintersepsi, terutama jika target tergolong sebagai pesawat ringan (light aircraft).29 Rules of Air sebagaimana termuat dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944 mengatur lebih lanjut prosedur intersepsi yang mencakup pendekatan (approach), penyampaian sinyal visual dan manuver (visual signal and maneuvering), serta transmisi suara (sample voice transmission).
Tahap pertama adalah pendekatan (approach). Dalam melakukan approach terhadap pesawat yang akan diintersepsi, interseptor harus mendekat dari arah belakang. Pesawat interseptor tersebut – atau jika terdapat beberapa interseptor, maka interseptor utama atau yang memimpin disebut sebagai the element leader – umumnya mengambil posisi di sebelah kiri atas dan sedikit di depan pesawat yang diintersepsi; berada dalam jangkauan pengelihatan pilot pesawat yang diintersepsi; serta mengambil jarak lebih dari 300 meter. Setelah posisi dan kecepatan pesawat berhasil dipastikan, jika perlu, intersepsi dapat dilanjutkan ke tahap kedua.30
Tahap kedua, pesawat interseptor atau the element leader mulai mendekati pesawat yang diintersepsi secara perlahan; pada ketinggian yang sama; dan hanya mendekati pada jarak benar-benar diperlukan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Pesawat interseptor atau the element leader jangan sampai mengejutkan pesawat yang diintersepsi mengingat manuver yang dianggap wajar oleh interseptor sebaliknya dapat dianggap berbahaya dari perspektif pesawat sipil.31
Salah satu contohnya adalah intersepsi pesawat tempur F-15 Amerika Serikat terhadap Mahan Air Flight 1152 pada Juli 2020 silam. Pesawat Mahan Air harus bermanuver
menghindari pesawat tempur F-15 dan melakukan drop sejauh 2.000 kaki dalam waktu kurang dari semenit. Akibatnya sejumlah penumpang terluka sehingga mendorong Pemerintah Iran mengajukan protes kepada ICAO. Pihak Amerika Serikat menanggapi bahwa jarak kisaran 1.000 kaki antara pesawat tempur F-15 dengan pesawat Mahan Air dianggap cukup untuk bermanuver dengan aman. Jarak tersebut ternyata tergolong dekat bagi pesawat sipil komersial sehingga memicu alarm pada cockpit Mahan Air Flight 1152.32 Perbedaan perspektif perlu digarisbawahi berkaca pada insiden ini.
Rules of Air mengatur berbagai jenis sinyal visual yang digunakan dalam proses intersepsi. Pesawat interseptor dapat mengirim tiga jenis sinyal kepada pesawat yang diintersepsi, yaitu i.) you have been intercepted, follow me; ii.) you may proceed; dan iii.) land at this aerodome. Sebaliknya, pesawat yang diintersepsi dapat mengirim tiga jenis sinyal kepada pesawat interseptor, yakni i.) aerodome you have designated is adequate; ii.) cannot comply; dan iii.) in distress.33 Kedua pesawat juga dapat saling mengirimkan sinyal afirmasi (understood).
Tahap ketiga, pesawat interseptor atau the element leader mulai menjauh secara perlahan dari pesawat yang diintersepsi ke arah bawah. Mulai tahap pertama hingga tahap ketiga, jika intersepsi dilakukan lebih dari satu pesawat, maka pesawat selain the element leader harus disiplin menjaga jarak dari pesawat yang diintersepsi. Begitu pula setelah tahap ketiga dilaksanakan dan the element leader menjauh dari pesawat yang diintersepsi, pesawat interseptor lain juga ikut menjauh.34
Penegakan kedaulatan negara dengan tetap menjunjung tinggi asas kemanusiaan juga tercermin dalam PP Pamwilud. Peraturan perundang-undangan memuat dengan jelas bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran di wilayah udara Indonesia harus dilakukan tanpa unsur kekerasan.
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjelaskan sebagai alat pertahanan negara, TNI berfungsi untuk menangkal dan menindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata baik dari luar maupun dari dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa serta memulihkan kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.35 Lebih spesifik, TNI AU bertugas melaksanakan tugas matra udara pada bidang pertahanan; menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara; serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.36
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia selanjutnya menegaskan bahwa Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) bertugas untuk menyelenggarakan upaya pertahanan dan keamanan terpadu atas wilayah udara nasional secara mandiri ataupun bekerja sama dengan Komando Utama operasional lainnya dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lain dari NKRI.37 Perpaduan kedua instrumen hukum tersebut menerjemahkan kata “kewenangan dalam melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara” sebagai hak bagi TNI AU guna melakukan tindakan intersepsi hingga memaksakan pendaratan paksa terhadap pesawat asing - baik menjalankan fungsi negara (state aircraft) maupun sipil (civil aircraft) - dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum internasional.
Pasal 63 ayat (1) dan (2) UU Penerbangan No. 1/2009 menyatakan pesawat yang dapat dioperasikan di wilayah Indonesia hanyalah pesawat Indonesia, namun dalam keadaan dan waktu tertentu, pesawat asing dapat dioperasikan setelah mendapat izin dari menteri yang membidangi urusan pemerintah pada bidang perhubungan atau transportasi (selanjutnya disebut “Menteri”). Pasal 414 UU Penerbangan No. 1/2009 selanjutnya menegaskan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat asing di wilayah Indonesia tanpa izin Menteri dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Sementara itu, Pasal 10 dan 11 PP Pamwilud juga mengatur mengenai denda administratif yang dapat dikenakan terhadap pesawat yang masuk ke wilayah udara Indonesia tanpa izin, yakni denda administratif paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) yang dilakukan oleh Menteri.
Praktik pengenaan denda administratif yang selama ini terjadi di lapangan ternyata tidak sejalan dengan biaya yang dikeluarkan negara untuk mengerahkan pesawat tempur (interseptor) milik TNI AU. Sebagai contoh, menurut TNI AU, dibutuhkan dana sekitar Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah) untuk operasional pesawat tempur Sukhoi selama satu jam.38 Besar kemungkinan biaya operasional yang dikeluarkan dalam proses intersepsi jauh lebih besar dibandingkan denda administratif.
Pada November 2010, Thailand mengesahkan Act on Treatments Against Aircraft Committing Unlawful Acts.39. Section 22 mengatur perihal biaya intersepsi dan/atau
operasi penghancuran pesawat yang mencakup biaya operasional untuk, i.) pemeriksaan dan identifikasi (inspection and identification); ii.) intersepsi (interception); iii.) pemindahan pesawat (moving of aircraft); iv.) penyimpanan pesawat beserta segala benda dan alat bukti terkait (retention of aircraft, objects, and evidence); v.) penggunaan senjata untuk menghancurkan pesawat (uses of weapons for an operation to destruct the aircraft); dan vi.) biaya lain sesuai peraturan menteri terkait (other relevant expenses as set forth in ministerial regulations).
Section 23 mengatur perihal Komite Penentuan Biaya (Cost Determination Committee) yang diketuai Panglima (atau Kepala Staf) Angkatan Udara Kerajaan Thailand. Anggotanya terdiri atas perwakilan dari Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Departemen Penerbangan Sipil, Departemen Pengawas Keuangan, serta Departemen Hukum dan Perjanjian. Sementara Komandan Direktorat Pengendalian Operasi Udara merangkap sebagai anggota sekaligus sekretaris. Pihak militer memiliki akses untuk memastikan pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Section 22.
Berdasarkan pengaturan dalam Section 24, Komite Penentuan Biaya menentukan jumlah biaya yang dikeluarkan dan menginformasikan Angkatan Udara Kerajaan Thailand; yang kemudian menghubungi pemilik atau kapten pesawat yang diintersepsi untuk segera membayar biaya yang telah ditentukan. Angkatan Udara Kerajaan Thailand berhak untuk tidak mengembalikan pesawat beserta benda-benda terkait yang disita hingga pembayaran dilunasi sepenuhnya. Apabila pembayaran tidak diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, Angkatan Udara Kerajaan Thailand berhak mengeksekusi pesawat beserta benda-benda terkait yang disita, baik melalui penjualan kepada publik ataupun metode lain yang dianggap efektif.
Section 24 menyebutkan dana sebagaimana diperoleh melalui penjualan dan/atau metode lain tersebut kemudian digunakan untuk melunasi biaya yang ditentukan Komite Penentuan Biaya. Jika terdapat sisa dana, maka akan dikembalikan kepada pemilik atau kapten pesawat dalam waktu 1 (satu) tahun. Melewati jangka waktu tersebut berarti sisa dana akan menjadi milik negara. Sebaliknya, jika hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi biaya yang ditentukan Komite Penentuan Biaya, maka Angkatan Udara Kerajaan Thailand berhak membawa kasus ini melalui ranah (pengadilan) perdata.
-
3.3 Urgensi Penyempurnaan Peraturan tentang Pengenaan Sanksi Administratif terkait Pelanggaran Wilayah Udara Nasional
Dengan diundangkannya PP Pamwilud pada 19 Februari 2018, maka selanjutnya penegak hukum perlu menjadikan PP Pamwilud sebagai dasar, petunjuk, serta pedoman untuk menindak pelanggar wilayah udara Republik Indonesia - termasuk salah satunya dalam pelaksanaan tindakan terhadap pesawat dan personelnya.40 Kehadirannya merupakan acuan bertindak demi menghindari tindakan semena-mena serta ketidakpastian pelaksanaan PP Pamwilud.
Ketidakpastian pelaksanaan suatu peraturan dapat timbul karena berbagai faktor, diantaranya, (i) ketidakjelasan norma dalam peraturan tersebut; (ii) kekosongan hukum;
-
(iii) ketidaksinkronan sejumlah peraturan yang mengatur perihal yang sama; atau (iv) timbulnya ego sektoral karena perbedaan cara memandang suatu hal sebagai akibat kekosongan definisi antar lembaga terkait suatu hal. Artikel ini membahas ketidakpastian pelaksanaan suatu peraturan dalam konteks pelanggaran kedaulatan di wilayah udara nasional.
Ketika melintasi wilayah udara nasional Republik Indonesia, kapten pesawat bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan termasuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya gangguan keamanan dan keselamatan penerbangan.41 Ketentuan ini memberikan pemahaman bahwa sang kapten harus memperhatikan aspek teknis dan yuridis, termasuk mengurus dan memastikan telah memiliki seluruh perizinan ketika melintas.
PP Pamwilud mengatur setiap pesawat asing - baik state aircraft maupun civil aircraft -yang terbang ke dan dari atau melalui wilayah udara Republik Indonesia harus terlebih dahulu memperoleh izin diplomatik (diplomatic clearance), izin keamanan (security clearance), serta persetujuan terbang (flight approval).42 Pesawat asing yang tidak memiliki perizinan tersebut dianggap melakukan pelanggaran hukum.43 Pelanggaran hukum akan berakibat dilibatkannya TNI AU yang kemudian melakukan tindakan pengenalan secara visual, pembayangan, penghalauan, dan/atau pemaksaan mendarat dengan terlebih dahulu diberikan peringatan melalui alat komunikasi.44
Setiap pesawat asing, baik milik negara (state aircraft) maupun sipil (civil aircraft), yang melanggar ketentuan hukum di wilayah Indonesia juga akan dikenakan sanksi menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 78 Tahun 2017 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Penerbangan ("Permenhub No. 78/2017"). Peraturan ini telah diubah oleh Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 56 Tahun 2020, yaitu dengan ditambahkannya angka 6.1. sampai dengan 10.12 tentang kewajiban penyelenggara angkutan udara untuk melaksanakan hal-hal tertentu baik sebelum, dalam, maupun sesudah penerbangan, terutama terkait phisycal distancing dan kebersihan selama masa pandemi Covid-19. Perubahan tesebut tidak memengaruhi substansi artikel ini.
Setelah melakukan pendaratan paksa, TNI AU selanjutnya melakukan penyelidikan awal berupa (i) pemeriksaan dokumen; (ii) pemeriksaan pesawat; dan (iii) pemeriksaan awak pesawat dan penumpang; serta jika terdapat pelanggaran hukum dan/atau indikasi tindak pidana dalam penyelidikan awal, personel pesawat diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.45 Jika terdapat pelanggaran terhadap hukum positif bidang penerbangan, maka akan dikenakan sanksi administratif yang terdiri dari (i) peringatan; (ii) pembekuan sertifikat; (iii) pencabutan sertifikat;
dan/atau (iv) denda administratif. Berbicara yang terakhir, denda administratif (penalty unit/PU) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,46 yakni sejumlah 250-1.000 (dalam ratusan ribu rupiah) sebagaimana diatur dalam Permenhub No. 78/2017; serta Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) sebagaimana termuat dalam PP Pamwilud.
Pada 2019 silam, pesawat kargo Ethiopian Airlines ETH 3728 yang merupakan penerbangan tidak berjadwal (non-scheduled flight) en route Addis Ababa – Hong Kong dipaksa mendarat di Bandar Udara Internasional Hang Nadim Batam oleh dua pesawat tempur F-16 TNI AU karena memasuki wilayah udara Indonesia tanpa izin. Pada akhirnya pesawat ini diperbolehkan terbang lagi pada 17 Januari 2019 tanpa dikenakan sanksi apapun. Hal yang menggelitik pada peristiwa pendaratan paksa Ethiopian Airlines tersebut ialah pernyataan pihak maskapai yang menganggap Pasal 5 Konvensi Chicago 1944 mengakomodir hak penerbangan tidak berjadwal untuk terbang di atas wilayah udara negara lain tanpa izin (overflight), sehingga ketika melintasi wilayah udara Indonesia tidak seharusnya mereka dihadang hingga diminta menunjukkan izin.47 Pernyataan tersebut nyatanya sama sekali tidak mengindahkan makna kedaulatan suatu negara sebagaimana termuat pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944.
Sebagai perbandingan, pesawat negara asing (state aircraft) yang terbang ke dan dari atau melalui wilayah udara Republik Indonesia harus terlebih dahulu memperoleh izin diplomatik (diplomatic clearance) serta izin keamanan (security clearance). Sementara pesawat sipil asing tidak berjadwal (civil aircraft performing non-schedule flight) yang terbang ke dan dari atau melalui wilayah udara Republik Indonesia, selain memiliki kedua izin tersebut, juga wajib memperoleh persetujuan terbang (flight approval).48
Ketika terjadi pelimpahan kewenangan untuk melakukan penyelidikan lanjutan dari TNI AU kepada inspektur penerbangan, sudah seharusnya hasil penyelidikan awal sebagaimana tertuang dalam berita acara pemeriksaan awal dijadikan dasar bagi inspektur penerbangan untuk melakukan penyelidikan lanjutan. Hal ini bertujuan agar dalam melakukan penyelidikan lanjutan, inspektur penerbangan tidak perlu mereka-reka untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang memenuhi unsur, (i) ancaman terhadap keamanan penerbangan; (ii) risiko keselamatan penerbangan; (iii) kepatuhan terhadap pemenuhan aturan perundangan-undangan; (iv) adanya indikasi tindak pidana yang kemudian kesemuanya itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
Mengingat keterbatasan sumber informasi pada tahap proses penyelidikan awal oleh TNI AU serta proses penyelidikan lanjutan oleh inspektur penerbangan sebagaimana tertuang dalam LHP, dapat diasumsikan bahwa tidak ditemukan adanya pelanggaran
terhadap ketentuan yang berlaku dalam hasil penyelidikan lanjutan pesawat Ethiopian Airlines ETH 3728 sehingga pesawat dapat kembali terbang. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan Ethiopian Airlines ETH 3728 tidak dikenakan denda sebagaimana diatur dalam Permenhub No. 78/2017 dan PP Pamwilud karena tidak ditemukan adanya pelanggaran.
Penyempurnaan peraturan perlu dilakukan oleh lembaga bersangkutan secara bersama-sama dengan turut mengundang seluruh pemangku kepentingan. Suatu tantangan berat mengingat Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) sebagai forum ideal guna menjembatani ego sektoral para pemangku kepentingan telah dibubarkan pada tahun 2014.49 Pembahasan lintas lembaga secara komprehensif penting guna memperoleh kesamaan definisi dan pemahaman mengenai, i.) pelanggaran hukum di wilayah udara; ii.) indikasi tindak pidana yang dapat dirujuk bersama oleh para penegak hukum agar tidak menimbulkan kerugian negara akibat multitafsir; iii.) kriteria jelas tindakan pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi denda administratif; dan iv.) perhitungan biaya ganti rugi atas biaya operasional terhadap tindakan intersepsi dan pendaratan paksa seandainya LHP kemudian menyimpulkan tidak terjadi pelanggaran peraturan pada bidang penerbangan.
Memperhatikan perkembangan keadaan, maka terdapat dua hal yang perlu menjadi perhatian utama. Pertama, TNI AU perlu memastikan pedoman atau prosedur tindakan intersepsi telah komprehensif dengan memastikan keselamatan penerbangan sipil dijunjung pada tingkat tertinggi. Pengkinian pedoman atau prosedur secara berkala sudah harus menjadi budaya. Keberadaannya penting mengingat Indonesia belum meratifikasi Pasal 3bis Konvensi Chicago— fakta inilah yang menjadi perspektif dunia dalam memandang Indonesia. Tidak luput, proses penyelidikan awal sampai dengan pelimpahan kepada inspektur penerbangan perlu diatur secara komprehensif agar perspektif pertahanan terjembatani dalam domain penerbangan sipil.
Kedua, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, TNI AU, beserta para pemangku kepentingan terkait perlu duduk bersama guna menyempurnakan hukum positif - secara khusus mengacu kepada Permenhub No. 78/2017 dan PP Pamwilud – perihal, (i) pembagian kewenangan serta hak TNI AU, inspektur penerbangan, dan PPNS; (ii) perhitungan mendetail biaya intersepsi dan pendaratan paksa; serta (iii) denda administratif secara detail.
Ruang udara merupakan medium penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Bak pedang bermata dua, selain menciptakan kesejahteraan, ruang udara juga menjadi pintu ancaman bagi pertahanan dan keamanan negara. Pelanggaran terhadap wilayah udara nasional oleh pesawat asing - baik terutama pesawat sipil tidak berjadwal (civil aircraft performing non-scheduled flight) maupun pesawat negara (state aircraft) -merupakan salah satu wujud ancaman nyata.
PP Pamwilud hadir sejak tahun 2018 guna mengakomodasi penegakan kedaulatan negara di udara. Pada saat bersamaan, muncul urgensi sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan terkait. Salah satunya perihal kewenangan PPNS dan TNI AU dalam menentukan bersama besaran denda administratif terhadap pesawat asing pelanggar wilayah udara nasional. Pembiaran status quo akan berujung kepada kerugian negara.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia seyogianya meratifikasi Pasal 3bis Konvensi Chicago 1944 terlepas status pasal ini yang telah menjelma menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Langkah ini akan memperkuat pengakuan dunia terhadap Indonesia, termasuk upaya TNI AU dalam menyempurnakan pedoman intersepsi pesawat dari waktu ke waktu.
Hukum positif dan praktik Thailand perihal penegakan kedaulatan negara di udara patut dicermati. Thailand memiliki metode perhitungan spesifik terkait biaya operasional intersepsi, yakni membebankannya kepada para pelanggar, agar tidak mengorbankan pundi-pundi keuangan negara. Tidak luput, keseriusan negeri gajah putih dalam memberikan efek jera kepada para pelanggar tercermin melalui ancaman penyitaan hingga penjualan pesawat seandainya denda tidak diindahkan.
Akhir kata, Indonesia dapat mempertimbangkan pengalaman Thailand dalam upaya menyempurnakan hukum positif perihal penegakan kedaulatan negara di udara. Urgensi sinkronisasi maupun amandemen hukum positif jelas nyata. Guna memperoleh hasil terbaik, para instansi terkait perlu duduk bersama dan mengesampingkan ego-sektoral.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Dictionary of Aviation (2nd Edition). (2007). London: A&C Black Publishers Ltd.
Hakim, C. (2012). Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia. Jakarta: Red & White Publishing.
Lycklama à Nijeholt, J.F. (1910). Air Sovereignty. Berlin: Springer-Science Business Media.
Muhammad, A. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Kardi, K dan Nugraha, R.A. (eds.) (2017). Menegakkan Kedaulatan Negara di Udara. Jakarta: Pratama.
Rudy, M. (2002). Hukum Internasional 2, Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit Refika.
Soekanto, S. dan Mamudji, S. (2001). Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers.
Wiradipraja, E.S. (2004). Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa Buku I. Bandung: PT Alumni.
Jurnal
Gihl, T. (1957). The Legal Character and Sources of International Law. Scandinavian Studies in Law, 1.
Hughes, D.M. (1952). Airspace Sovereignty over Certain International Waterways. Journal of Air Law and Commerce, 19 (2), 144 – 151.
Hughes, W.J. (1980). Aerial Intrusions by Civil Airlines and the Use of Force. Journal of Air Law and Commerce, 45 (3), 595 – 620.
Kaiser, S.A. (2014). The Legal Status of Air Defense Identification Zones: Tensions over the East China Sea. Zeitschrift für Luft- und Weltraumrecht, 63(4), 527 – 543.
Morgan, C.A. (1985). The Downing of Korean Air Lines Flight 007. Yale Journal of International Law, 11, 231 – 257.
Nugraha, R.A. (2018). Flight Information Region above Riau and Natuna Island: The Indonesian Efforts to Regain Control from Singapore, Zeitschrift für Luft- und Weltraumrecht, 67(2), 236 – 253.
Nugraha, R.A. (2020). The New Plan on Indonesian Air Defense Identification Zone, The Aviation & Space Journal, 19(1), 38 – 43.
Sefriani. (2015). Pelanggaran Ruang Udara oleh Pesawat Asing Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 22 (4), 538 – 565, DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss4.art2.
Skripsi
Tedemaking, K.E.L. (2018). Penguatan Kewenangan TNI AU dalam Hal Penyidikan Terhadap Pelanggaran Wilayah di Udara pada Pesawat Terbang Asing Tidak Berjadwal, Skripsi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Internet
Amalia, P. (2019, 29 Januari). Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty. Kolom Opini hukumonline.com.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c50003ba4e64/kontroversi-kedaulatan-udara--complete-and-exclusive-sovereignty-oleh--prita-amalia/.
Umam, C. (2019, 2 Juli). KSAU Sebut Banyak Pelanggaran Terjadi Terhadap Wilayah Udara Indonesia. Tribunnews.com. Diakses pada
https://www.tribunnews.com/nasional/2019/07/02/ksau-sebut-banyak-pelanggaran-terjadi-terhadap-wilayah-udara-indonesia.
Dadouch, S. dan Ryan, M. (2020, 24 Juli). Iranian airliner drops altitude after approached by U.S. fighter jet over Syria. Washington Post. Diakses pada https://www.washingtonpost.com/world/iran-says-2-us-fighter-jets-came-too-close-to-passenger-plane-over-syria/2020/07/23/baa0846c-cd36-11ea-91f1-28aca4d833a0_story.html.
Nugraha, Ridha Aditya. (2016, 22 Maret). Pencegatan Pesawat Asing Tanpa Izin di Wilayah Udara Indonesia: Urgensi Reformasi Hukum Positif. Hukumonline.com. Diakses pada
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56f0f4e83a3ef/pencegatan-pesawat-asing-tanpa-izin-di-wilayah-udara-indonesia--urgensi-reformasi-hukum-positif-broleh--ridha-aditya-nugraha/.
Nugraha, Ridha Aditya. (2019, 4 Oktober). Menyempurnakan Hukum Positif
Pengamanan Wilayah Udara Nasional. Hukumonline.com. Diakses pada https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d96ccae4b35c/menyempurnak an-hukum-positif-pengamanan-wilayah-udara-nasional-oleh--ridha-aditya-nugraha?page=all.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 127. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4439.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 1. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4956.
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 1. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4075.
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 No. 12. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 6181.
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 78 Tahun 2017 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan di Bidang Penerbangan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 No. 1212.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 56 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 78 Tahun 2017 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan di Bidang Penerbangan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 No. 927.
Instrumen Hukum Internasional
Convention on International Civil Aviation 1944.
Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation 1919.
International Civil Aviation Organization, International Standards: Annex 2 to the Convention on International Civil Aviation – Rules of Air, 2005.
International Civil Aviation Organization, Manual concerning Interception of Civil Aircraft (Consolidation of Current ICAO Provisions and Special Recommendations): Second Edition, 1990.
International Civil Aviation Organization, Council Resolution of 4 June 1973.
Thailand, Act on Treatments Against Aircraft Committing Unlawful Acts (B.E. 2553), 11 November 2010.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 43, No. 1 April 2021, h. 65 – 81
81
Discussion and feedback