Memahami Teks Undang-Undang dengan Metode Interpretasi Eksegetikal
on
Memahami Teks Undang-Undang dengan Metode Interpretasi Eksegetikal
Dyah Ochtorina Susanti1, A’an Efendi2
¹Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: [email protected] ²Fakultas Hukum Universitas Jember, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 19 Juli 2019
Diterima : 28 Agustus 2019
Terbit : 30 Agustus 2019
Keywords :
Method of Interpretation; Text of The Law; Exegetical Interpretation Method
Kata kunci:
Metode Interpretasi; Teks Undang-Undang; Metode Interpretasi Eksegetikal
Corresponding Author: Dyah Ochtorina Susanti, E-mail:
DOI :
10.24843/KP.2019.v41.i02.p0 5
Abstract
This research analyzes the exegetical interpretation method to understand the text of the law. The focus of research on legal issues is how to understand the text of the law with exegetical interpretation methods. The type of research used is doctrinal research with a conceptual approach that relies on the views, ideas and doctrines that develop in the science of law. The results of this research suggests that interpretation is needed to understand the text of the law which is not clear because it contains open norms, ambiguous norms, vague norms, and conflicting (contesting) norms. In addition, this writing concludes that the exegetical interpretation method saw the text of the law to interpret its logical meaning by using three elements: grammatical interpretation, logical interpretation, and historical interpretation.
Abstrak
Penelitian ini menganalisis metode interpretasi eksegetikal untuk memahami teks undang-undang. Fokus penelitian pada isu hukum bagaimana memahami teks undang-undang dengan metode interpretasi eksegetikal. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang bertumpu pada pandangan, gagasan, dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Hasil penelitian ini bahwa menunjukkan bahwa interpretasi diperlukan untuk memahami teks undang-undang yang tidak jelas karena memuat norma terbuka, norma yang ambigu, norma kabur, dan norma yang bertentangan. Selain itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa metode interpretasi eksegetikal melihat teks undang-undang untuk diinterpretasi makna logisnya dengan menggunakan tiga elemen: interpretasi gramatikal, interpretasi logis, dan interpretasi sejarah.
-
1. Pendahuluan
Undang-undang adalah tindakan formal badan legislatif dalam bentuk tertulis. Undang-undang berisi pernyataan kehendak dari badan pembentuk undang-undang. Undang-undang dapat memuat pernyataan hukum, perintah yang harus dipatuhi,
atau melarang tindakan tertentu.3 Pembentuk undang-undang menuangkan kehendaknya dalam undang-undang dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah satu-satunya alat yang dapat dipakai oleh pembentuk undang-undang untuk merumuskan kehendaknya itu dan tanpa bahasa undang-undang tidak akan mungkin ada.4
Crabbe menjelaskan pentingnya fungsi bahasa bagi manusia termasuk bagi pembentuk undang-undang bahwa bahasa mengekspresikan manusia dan usaha manusia, bahasa mencerminkan cara hidup kita. Setiap aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh bahasa. Kita memahami diri kita dan masyarakat kita dengan bahasa. Kita berkomunikasi satu sama lain dan melakukan urusan sehari-hari dengan menggunakan bahasa. Bahasa menjadi sumber banyak kesalahpahaman. Bahasa mempengaruhi keputusan kita terhadap orang lain; menentukan status sosial kita dan pendidikan kita. Bahasa terikat dengan masyarakat. Ketika bahasa berubah, masyarakat berubah. Ketika masyarakat berubah, bahasa berubah. Pada saat ini orangorang Roma tidak berbicara dengan bahasa Latin. Bahasa, terutama bahasa tertulis memiliki magnet tersendiri. Kenikmatan puisi, pesona orator, menggambarkan pengaruh magis bahasa. Apakah bahasa itu emotif, informatif atau preskriptif, pengaruhnya sangat besar. Semua catatan kita baik oleh mereka para ilmuan, kelompok bisnis atau parlemen, mencerminkan aspek fungsi bahasa. Badan pembentuk undang-undang tertarik dengan bahasa karena undang-undang adalah instrumen kontrol sosial yang disebut 'rules of social engineering'.5
Hubungan lebih konkrit antara undang-undang dan bahasa dikemukakan Gibbons bahwa undang-undang adalah bahasa. Undang-undang dikodekan dalam bahasa, dan proses pembuatan undang-undang dimediasi melalui bahasa.6
Penggunaan bahasa sangat penting dalam tiap sistem hukum. Pembuat undang-undang menggunakan bahasa untuk membuat undang-undang dan undang-undang harus memberikan penyelesaian yang mengikat atas sengketa dari penggunaan bahasa tersebut.7 Roscoe Pound mengikuti Kantorowicz menyebut ilmu hukum sebagai Wortwissenschaft yang berarti ilmu tentang kata-kata.8 Suatu pandangan mengenai sangat dekatnya hubungan hukum (undang-undang) dengan bahasa. Kekuatan bahasa yang kreatif dan memahami sangat penting bagi hukum. Praktis tidak ada gagasan hukum yang berada di luar bahasa. Pada alat tenun bahasa itulah semua hukum berputar.9
Bahasa adalah sistem kombinatorial diskrit yang paling banyak digunakan manusia untuk komunikasi. Diskrit berarti ‘terpisah’ di sini, dan kombinatorial berarti ‘kemampuan untuk ditambahkan bersama’.10 Bagian-bagian kecil yang terpisah diambil untuk disatukan dalam kombinasi tertentu dan membuat bagian bahasa yang lebih besar. Untuk bahasa lisan, kita menyimpan kumpulan suara bersama dengan ide-ide yang tekait dan itu disebut kata. Kata bisa pendek atau panjang tetapi semuanya merupakan kumpulan suara yang terhubung dengan suatu makna.11 Kata-kata digunakan untuk frasa yang lebih besar seperti frasa benda, frasa kerja, dan frasa depan atau preposisional. Frasa itu sendiri adalah bagian diskrit dalam konstruksi yang lebih besar seperti kalimat (sejenis frasa yang lebih besar).12
Bahasa kita gunakan untuk berbicara dan menulis teks. Bahasa memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi pengalaman yaitu cara kita menggunakan bahasa untuk menggambarkan pengalaman kita tentang dunia, fungsi interpersonal yaitu cara kita menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain, dan fungsi tekstual yaitu cara kita menggunakan bahasa untuk membuat teks yang terorganisir dan kohesif, baik lisan maupun tulisan.13
Dalam undang-undang, bahasa diwujudkan dalam rangkaian kata-kata yang menjadi kalimat berupa teks tertulis. Menurut Halliday dan Hasan, kata teks digunakan dalam linguistik untuk merujuk pada suatu bagian apapun, lisan atau tertulis dengan panjang apapun, yang memang membentuk suatu kesatuan yang utuh, teks adalah kesatuan bahasa. Teks bukan satuan gramatikal seperti klausa atau kalimat, teks diangggap sebagai unit semantik; unit bukan bentuk tapi makna.14 Teks terdiri atas rangkaian kata dalam bentuk frasa dan kalimat, membawa pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan, merupakan unit semantik secara keseluruhan.15
Teks yang baik menunjukkan pesan yang jelas, tidak membingungkan, dan tidak menimbulkan interpretasi makna kepada penerima pesan teks. Namun demikian, tidak selalu teks itu benar-benar jelas. Ketidakjelasan makna dari teks juga ditemukan dalam teks undang-undang karena ada teks tertentu memuat pesan dengan makna lebih dari satu dan dari situ interpretasi dibutuhkan untuk menemukan makna yang tepat.16
Interpretasi teks undang-undang dilakukan oleh hakim, peneliti hukum, dan para pihak yang yang berhubungan dengan kasus hukum atau peraturan-peraturan hukum seperti jaksa atau advokat, tetapi hanya interpretasi hakim yang kemudian dituangkan
dalam putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat.17 Berdasarkan aturan umum, hakim tidak memiliki wewenang untuk memutuskan keabsahan undang-undang, tetapi mereka memiliki tugas untuk menafsirkan undang-undang yang berlaku dalam kasus di mana arti yang benar dari bagian tertentu undang-undang dipertentangkan.18 Hakim menafsirkan undang-undang untuk menciptakan hukum (dalam sistem Common Law disebut Case Law atau Judge-Made Law) meskipun ada yang menyatakan bahwa hakim tidak menciptakan hukum tetapi hanya menginterpretasi atau menafsirkan.19
Dalam hukum dikenal pelbagai metode penafsiran terhadap undang-undang. Metode interpretasi tersebut diantaranya interpretasi gramatikal atau harfiah (grammatical or literal interpretation atau Literal Rule), interpretasi purposif atau teleological (purposive or teleological interpretation atau Golden Rule), dan the Lawyer's Toolbox.20 The Lawyer’s Toolbox adalah teknik yang digunakan pembuat keputusan hukum sebagai dasar untuk pengembilan keputusannya. Pertama, teknik formal di mana pembuat keputusan hukum merujuk kepada keputusan orang lain seperti legislator atau hakim, dan menghindari untuk memberikan nilai atas putusan sendiri. Kedua, teknik substantif di mana pembuat keputusan terlibat dalam argumentasi mengenai apa yang akan menjadi aturan yang baik. Dia membuat nilai atas putusannya dan mendasarkan interpretasinya terhadap peraturan pada nilai tersebut.21
Metode interpretasi lainnya adalah menggunakan metode interpretasi eksegetikal (exegetical method). Metode ini melihat teks undang-undang untuk ditafsirkan makna logisnya. Dalam metode eksegetikal terdapat tiga interpretasi yaitu interpretasi logis, historis, dan gramatikal.22 Metode eksegetikal untuk memahami teks undang-undang inilah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.
Penelitian mengenai metode eksegetikal eksegetikal ini akan memberikan manfaat kepada pengemban profesi hukum seperti hakim, jaksa, dan advokat dalam menerapkan undang-undang terhadap perkara hukum konkrit. Selain, itu bagi teoretikus hukum hukum dapat dijadikan bahan dalam rangka pengembangan hukum khususnya mengenai metode interpretasi hukum.
Beranjak dari latar belakang yang diketengahkan, rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini meliputi:
-
1. Mengapa untuk memahami teks undang-undang diperlukan interpretasi?
-
2. Bagaimanakah memahami teks undang-undang dengan menggunakan metode interpretasi eksegetikal?
Artikel yang bersumber dari hasil penelitian, metode penelitian ditulis sebagai bab ters Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian berbasis pada bahan kepustakaan yang fokus menganalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.23 Bahan hukum yang menjadi sumber penelitian hanya bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder itu meliputi buku teks, artikel jurnal, dan disertasi yang memiliki relevansi dengan topik penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang bertumpu pada pandangan, gagasan, dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.24 Pendekatan konseptual digunakan untuk menganalisis konsep-konsep hukum yang menjadi objek kajan dalam penelitian yaitu konsep interpretasi dan interpretasi eksegetikal. Dari penggunaan pendekatan konseptual tersebut akan ditemukan gagasan atau ide yang menjadi latar belakang serta tujuan dari adanya konsep interpretasi dan interpretasi eksegetikal tersebut.
Kata ‘interpretasi’ adalah merupakan kata benda (noun) yang berarti kegiatan atau hasil menginterpretasi.25 Dari kata benda ‘interpretasi’ itu terbentuk kata kerja transitif ‘menginterpretasi’ yang artinya menjelaskan atau menceritakan suatu makna.26 Dari sudut pandang etimologi, kata ‘interpretasi’ berasal dari kata Latin ‘interpretatio’ yang artinya penjelasan, eksposisi, terjem#ahan, atau interpretasi.27 Kata kerjanya ‘menginterpretasi’ dari kata Latin ‘interpretari’ berarti menjelaskan, memperluas atau menerjemahkan. Definisi tersebut mengacu pada menemukan makna pokok dari suatu teks.28
Dalam pengertian yang umum yang dimaksud interpretasi adalah suatu perjalanan penemuan.29 Interpretasi merupakan seni menemukan arti atau makna yang sebenarnya dari segala bentuk kata, yaitu makna yang diperoleh yang berasal dari ide yang sama yang ingin disampaikan oleh penulis kata.30 Interpretasi adalah proses menentukan berupa apa, khususnya dalam undang-undang atau dokumen hukum, dengan cara memastikan makna yang diberikan oleh kata atau manifestasi kehendak lainnya.31
Dalam bidang hukum, interpretasi hukum digunakan untuk menafsirkan hukum. Interpretasi hukum adalah kegiatan rasional untuk memberi makna terhadap teks hukum.32 Kata ‘teks hukum’ tidak terbatas pada teks tertulis tetapi meliputi juga perilaku yang menciptakan norma hukum dikategorikan sebagai ‘teks’.33 Teks hukum itu dapat berupa teks umum (konstitusi, undang-undang, putusan pengadilan, kebiasaan) atau teks individual (kontrak atau kehendak) maupun teks dalam bentuk tidak tertulis (kehendak secara lisan atau kontrak yang tersirat dalam fakta-fakta).34 Interpretasi teks undang-undang adalah kegiatan menemukan makna yang tepat dari teks undang-undang sehingga dapat diterapkan pada kasus tertentu.35 Germain mengemukakan bahwa metode interpretasi undang-undang saat ini dapat diringkas sebagai berikut.
-
1. Ketika teks undang-undang telah jelas, teks itu harus diterapkan dan tidak diinterpretasi, kecuali hasil dari penerapan teks tersebut absurd atau tidak masuk akal.
-
2. Ketika teks undang-undang ambigu atau tidak jelas, hakim mencari maksud dari pembentuk undang-undang. Hakim memeriksa teks undang-undang itu dengan penuh kehati-hatian, dan mempertimbangkan komentar-komentar tertulis mengenai teks undang-undang tersebut.
-
3. Jika sudah memeriksa dengan kehati-hatian serta mempertimbangkan komentar-komentar tertulis mengenai teks undang-undang tetapi hakim tetap tidak menemukan makna dari teks tersebut maka selanjutnya hakim mencari pemikiran dari pembentuk undang-undang. Hakim dalam ini melakukan metode interpretasi sejarah undang-undang.
-
4. Ketika teks undang-undang tidak secara langsung memberikan penyelesaian atas sengketa dari teks yang tidak jelas, hakim perlu setidaknya dimulai dari teks tersebut untuk menempatkan aturan yang yang mereka rancang.
-
5. Jika dari penafsiran sejarah undang-undang tetap tidak jelas, atau undang-undangnya sudah terlalu lama, hakim mencari pertimbangan lainnya dan menggunakan interpretasi yang disebut interpretasi teleologikal atau interpretasi purposif.36
Interpretasi terhadap undang-undang sangat penting karena undang-undang tidak lain hanyalah bentuk teks hukum yang harus ditafsirkan oleh ahli hukum.37 Pada masa yang akan datang interpretasi undang-undang akan akan berkembang menjadi salah satu masalah yang paling dipertentangkan dalam praktik peradilan dan perdebatan di kalangan akademisi hukum. Hal ini terjadi karena undang-undang secara perlahan-lahan menggantikan hukum kebiasaan (common law) selama abad kedua puluh dan ahli hukum serta hakim mencurahkan perhatiannya terhadap metode interpretasi undang-undang.38
Selain itu, secara umum dipahami bahwa pembuat undang-undang tidak dapat mengantisipasi semua situasi dan kesulitan yang mungkin timbul dari penerapan teks-teks undang-undang. Makna dari teks undang-undang tidak selalu jelas. Dari teks undang-undang yang tidak jelas menyebabkan kesulitan untuk penerapannya terhadap peristiwa konkrit. Interpretasi dibutuhkan untuk menemukan makna dan ruang lingkup dari teks yang tidak jelas tersebut.39
Interpretasi tidak diperlukan hanya dalam hal teks undang-undang telah jelas sesuai peribahasa hukum (legal maxim) dalam bahasa Latin in claris non fit interpetatio yang artinya clear rules do not require interpretation.40 Berlaku juga doktrin sens-clair (sens-clair doctrine) yang berarti legal rule is what is and there are no two ways of perceiving41 atau aturan hukum adalah apa yang ada dan tidak ada dua cara mempersepsikannya artinya hukum yang sudah jelas tidak perlu ditafsirkan. Undang-undang yang telah jelas dan eksplisit tidak memerlukan penafsiran.
Namun demikian, berharap teks undang-undang benar-benar jelas seperti mengharapkan hujan turun di musim kemarau. Hujan dapat saja turun tetapi kemungkinannya sangat kecil. Robins menyatakan bahwa para ahli hukum dan praktisi hukum setuju bahwa ambiguitas harus dihindari dalam penyusunan hukum baik itu undang-undang maupun kontrak bila itu memungkinkan, tetapi itu sulit.42 Setiap teks memerlukan interpretasi karena Tteks tidak dapat dipahami tanpa interpretasi.43 Ketidakjelasan teks undang-undang yang kemudian harus diinterpretasi dapat karena teks undang-undang itu berwujud norma terbuka (open norm), norma yang ambigu, norma kabur (vague), atau norma yang bertentangan.
Norma terbuka merupakan norma yang terbuka substansi atau isinya dan harus ditentukan lebih lanjut dalam pelbagai keadaan.44 Norma terbuka adalah norma yang isinya tidak dapat ditentukan secara abstrak tetapi sangat bergantung pada keadaan kasus di mana norma tersebut diterapkan, dan harus ditetapkan secara konkrit.45 Norma terbuka, misalnya itikad baik (good faith), bapak rumah tangga yang baik (bonus pater familias), kepatutan (equity), penyalahgunaan hukum (legal abuse/abuse of the law), dan lain-lain.46
Hakim dalam menghadapi kasus yang berhubungan dengan norma terbuka ini harus menafsirkan norma itu sesuai kondisi kasus yang akan diputuskannya. Jadi, untuk norma terbuka yang sama akan dapat ditafsirkan secara berbeda sesuai kasusnya. Penafsiran terhadap norma terbuka dapat menghasilkan objek yang berbeda dan objek yang berbeda itu menjadi subjek penerapannya.47
Norma terbuka, misalnya ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan “Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Norma terbuka dalam undang-undang ini adalah norma mengenai kepentingan umum. Apa yang dimaksud kepentingan umum ini harus ditafsirkan sendiri oleh badan atau pejabat yang berwenang melaksanakannya atau oleh hakim ketika ketentuan ini dipersengketakan di pengadilan.
Norma terbuka lainnya, misalnya norma dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang menyatakan “Dalam keadaan darurat Pejabat Imigrasi dapat memberikan Tanda Masuk yang bersifat darurat kepada Orang Asing”. Kedaaan darurat dalam undang-undang ini merupakan norma terbuka dan isinya harus ditafsirkan oleh pejabat imigrasi. Norma terbuka juga terdapat pada Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang menyatakan “Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan belanja dari APBD yang belum tersedia anggarannya” serta Pasal 316 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Perubahan APBD dapat dilakukan jika terjadi keadaan darurat dan/atau keadaan luar biasa”. Norma terbuka dalam dua undang-undang ini adalah keadaan darurat dan keadaan luar biasa.
Selain dalam undang-undang, norma terbuka juga terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Hal ihwal kegentingan memaksa adalah norma terbuka yang maknanya harus ditafsirkan oleh Presiden ketika menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Norma yang ambigu adalah norma yang memuat kata yang tidak memiliki makna tunggal. Kata atau pernyataan ambigu itu sendiri adalah kata atau pernyataan yang dapat dipahami dengan dua atau lebih cara. Kata atau pernyataan ambigu adalah kata atau pernyataan yang dapat diartikan dalam beberapa cara.48 Menurut Wadron, ambigu berarti ketika pernyataan X adalah ambigu jika ada dua predikat P dan Q yang terlihat persis seperti X, tetapi dengan penerapan berbeda, meskipun mungkin tumpang tindih, beberapa objek, dengan arti masing-masing predikat dengan memberi cara yang berbeda mengidentifikasi objek sebagai di dalam atau di luar ekstensi.49 Misalnya, 'biru' ambigu untuk dua predikat yaitu 'biru (warna) dan 'biru' (melankolis), terlihat sama tetapi berlaku untuk untuk objek berbeda. Sebagai persoalan makna, penerapan predikat pertama ditentukan dengan melihat warna objek, penerapan predikat yang kedua ditentukan dengan melihat suasana objek. Kata lainnya yang ambigu, misalnya kata ‘anak’ yang dapat berarti anak-anak atau orang yang belum dewasa atau setiap orang yang memiliki orang tua (bapak dan ibu kandung).
Norma yang mengandung kata ambigu, misalnya norma yang terdapat pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
harus mendapat izin kedua orang tua”. Kata ‘orang tua’ dapat berarti bapak dan ibu kandung, orang yang sudah berusia tua atau lanjut, atau orang yang dianggap tua (cerdik pandai dan lainnya), yang dihormati atau disegani di kampung. Dari sekian pengertian ‘orang tua’ tersebut yang dimaksud Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harus ditafsirkan sebagai bapak dan ibu kandung.
Norma kabur (vague) adalah noma yang tidak memiliki makna yang jelas. Vague sendiri berarti pernyataan yang tidak jelas atau tidak memiliki makna yang tepat.50 Vague berarti menyatakan tidak jelas.51 Menurut Wadron, yang dimaksud kekaburan (vagueness) ketika A predikat P adalah kabur jika ada objek, misalnya ˣ ¹, ˣ ², dan lain-lain dalam domain penerapan normal dari istilah semacam ini sehingga pengguna secara khas ragu tentang kebenaran atau kesalahan ‘ˣ ¹ adalah P’ ‘ˣ ² adalah P’, dan mereka memahami bahwa keraguan itu menjadi fakta tentang pengertian P daripada tentang sejauh mana pengetahuan mereka tentang ˣ ¹, ˣ ², dan lain lainnya.52
Endicott menyatakan bahwa yang dimaksud dengan norma kabur adalah norma yang membiarkan orang yang kepadanya norma itu berlaku tanpa terdapat ketentuan bagaimana mereka harus berperilaku dalam kasus-kasus tertentu, dan inti dari norma adalah memandu perilaku. Norma kabur dalam sistem norma-norma tidak menetapkan batasan kepada otoritas yang bertanggung jawab untuk melaksanakan norma atau menyelesaikan sengketa-dan bagian dari nilai sistem norma untuk mengatur perilaku orang yang kepadanya sistem memberikan kekuatan normatif.53 Norma kabur, misalnya norma yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan ”Petugas registrasi membantu kepala desa atau lurah, dan instansi pelaksana dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil”. Kata ‘membantu’ sangat kabur maknanya karena dapat berarti menolong, memberi sokongan (uang, tenaga, atau lainnya), atau juga dalam pengertian negatif yaitu melakukan sesuatu yang tidak mengikuti prosedur yang ada untuk kelancaran urusan seseorang dengan menerima imbalan, misalnya uang. Selain itu, kata ‘membantu’ juga tidak menunjukkan karakter normatif dari suatu aturan yaitu sebagai pedoman atau petunjuk atau menetapkan kewajiban-kewajiban untuk ditaati.
Norma selanjutnya yang memerlukan interpretasi adalah norma yang bertentangan (contestability). Norma bertentangan adalah norma ketika satu norma dilaksanakan atau diterapkan maka norma lainnya akan terlanggar atau kemungkinan akan terlanggar.54
Menurut Wadron, yang dimaksud bertentangan ketika A predikat B adalah bertentangan jika: 55
-
1. Tidak masuk akal untuk menganggap 'sesuatu adalah P jika itu A' dan 'sesuatu adalah P jika itu B' sebagai penjelasan alternatif dari makna P;
-
2. Terdapat juga unsur e* dari kekuatan evaluatif atau normatif lain dalam makna P;
-
3. Terdapat konsekuensi poin 1 dan 2, sejarah menggunakan P untuk ukuran atau prinsip yang bertentangan seperti 'A adalah e*’ dan ‘B adalah e*’.
Wadron memberi contoh istilah 'demokrasi'. Menurutnya istilah ini bertentangan berdasarkan alasan sebagai berikut. 56
-
1. Sementara masuk akal untuk menjelaskan maknanya dalam hal perwakilan, juga tidak masuk akal untuk menjelaskan maknanya dalam hal partisipasi langsung dalam pemerintahan;
-
2. Istilah demokrasi memiliki makna evaluatif yang baik (‘e*’= ‘harus ditingkatkan’, dan lain-lain);
-
3. Terdapat konsekuensi poin 1 dan 2, menurut sejarahnya penggunaan istilah 'demokrasi' untuk mewujudkan prinsip politik yang bertentangan yaitu 'setiap sistem politik harus memiliki struktur perwakilan' dan 'kita mendorong partisipasi langsung dalam pemerintahan'.
Norma yang bertentangan, misalnya ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 7 undang-undang ini yang menyatakan bahwa “Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negarayang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelanggaraan pemerintahan” bertentangan dengan Pasal 87 huruf a yang menyatakan sebagai berikut:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
-
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual.
Ketentuan Pasal 87 huruf a yang menyamakan tindakan faktual dengan penetapan tertulis tidak logis karena keduanya dua hal yang sangat berbeda. Undang-undang ini seperti menyatakan bahwa yang termasuk hewan berkaki empat adalah ayam. Tindakan faktual, misalnya pemerintah membangun jembatan atau membersihkan sungai yang kotor dan itu bukan suatu penetapan tertulis.
Norma bertentangan lainnya, misalnya norma dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan norma dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Norma dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berisi ketentuan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara yang bersikap diam atas permohonan penerbitkan keputusan dianggap menolak untuk menerbitkan keputusan jika sampai lewat batas waktu untuk penerbitan keputusan ia tidak menerbitkan keputusan kepada pemohon keputusan. Ketentuan ini jika diterapkan akan melanggar norma dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang bahwa badan atau pejabat tata usaha negara dianggap mengabulkan permohonan keputusan jika sudah lewat batas waktu penerbitan keputusan tetapi ia bersikap diam atas permohonan tersebut.
Berdasarkan etomologi, kata ‘eksegetikal’ akarnya dari bahasa Latin Baru asalnya dari Yunani exegesis dari exegeisthai yang artinya menjelaskan atau menafsirkan, eksposisi, khususnya interpretasi terhadap teks.57 Pada mulanya metode interpretasi eksegetikal digunakan untuk menafsirkan Kodifikasi Napoleon dengan menyerukan kepada ahli tafsir untuk menemukan pemikiran yang sebenarnya dari pembuat undang-undang.58 Metode eksegetikal sering dipertukarkan dengan metode literal atau harfiah. Keduanya memiliki perbedaan tajam tetapi sama-sama melekat pada teks hukum. Perbedaannya, metode literal menyatakan bahwa hakim harus melihat secara eksklusif pada kata-kata dan tata bahasa teks undang-undang untuk ditafsirkan maknanya sedangkan metode interpretasi eksegetikal melihat melampaui kata-kata dalam teks dalam upaya untuk menentukan alasan dibuatnya teks tersebut.59
Metode interpretasi eksegetikal melihat maksud atau kehendak dari pembentuk undang-undang untuk menjelaskan teks yang ambigu dalam undang-undang. Metode eksegetikal berusaha menemukan tujuan undang-undang dengan memanfaatkan interpretasi gramatikal, logis, dan interpretasi sejarah.60
Metode interpretasi eksegetikal menganggap bahwa undang-undang merupakan kehendak dari pembuatnya dan metode yang paling rasional untuk menginterpretasi undang-undang adalah dengan cara menyelidiki kehendak dari pembentuk undang-undang pada saat undang-undang dibuat. Dalam metode interpretasi eksegetikal, penginterpretasi memulai dengan bahasa asli dari undang-undang yang disengketakan. Metode interpretasi eksegetikal menganggap ada koherensi dan konsistensi logis dalam sistem undang-undang, di mana masalah teks hanya merupakan bagian kecil dari sistem undang-undang tersebut. Metode interpretasi eksegetikal mendorong penginterpretasi untuk mellihat melampaui teks undang-undang untuk memastikan maksud dari pembuat undang-undang.
Interpretasi pertama yang digunakan dalam metode interpretasi eksegetikal adalah interpretasi gramatikal. Metode interpretasi gramatikal fokus pada kata-kata dalam teks undang-undang itu sendiri. Metode interpretasi ini menekankan pada pendekatan tekstual terhadap pemikiran badan pembentuk undang-undang. Metode interpretasi gramatikal memaknai kata-kata dalam undang-undang dalam arti harfiahnya.
Menurut Lieber, interpretasi gramatikal merupakan suatu istilah yang tidak dapat diterima. Interpretasi gramatikal yang memaknai kata-kata dalam pengertian harfiahnya hampir tidak mungkin karena semua bahasa manusia terdiri atas kiasan, perumpamaan, ungkapan yang berkaitan dengan konsepsi yang keliru. 61 Jaap dan Akkermans memberikan contoh apakah aturan yang melarang adanya anjing di tempat pemotongan hewan berlaku juga untuk guide dogs (anjing pendamping yang dilatih untuk menuntun orang buta)? Berdasarkan interpretasi gramatikal guide dogs adalah anjing sehingga aturan yang melarang anjing berada ditempat pemotongan juga berlaku untuk guide dogs.62
Interpretasi berikutnya dalam metode interpretasi eksegetikal adalah interpretasi logis. Berdasarkan interpretasi logis setiap undang-undang adalah produk legislatif yang
rasional dan logis, dan tiap bagian undang-undang berkontribusi pada makna keseluruhan sistem undang-undang, sementera keseluruhan sistem undang-undang tersebut memberikan makna pada bagian-bagian individual dari undang-undang.63Interpretasi logis berdasarkan tiga prinsip sebagai berikut.
-
1. Quand la loi est claire, il faut la suivre: makna undang-undang yang telah jelas harus diikuti.
-
2. Quand elle est obscure, il faut en approfondir les dispositions pour en pénétrer l’esprit: bahasa undang-undang yang tidak jelas atau ambigu harus ditafsirkan menurut jiwanya dibandingkan kata-katanya dalam rangka menemukan makna hukumnya.
-
3. Si l’on manque de loi, il faut consulter l’usage ou l’equité: di mana ada kesenjangan dalam undang-undang, hakim harus memilih hukum kebiasaan dan keadilan ketika memutus perkara.64
Interpretasi terakhir yang digunakan dalam metode interpretasi eksegetikal adalah interpretasi sejarah. Interpretasi sejarah digunakan untuk menemukan apa sebenarnya yang menjadi maksud dari pembentuk undang-undang dengan kata-katanya dalam undang-undang dengan melihat sejarah undang-undang.65 Sejarah undang-undang adalah catatan terhadap undang-undang selama proses pembuatannya sebelum menjadi undang-undang yang meliputi meliputi laporan tim pembahas undang-undang, transkrip rapat dengar pendapat, pernyataan dari anggota badan pembuat undang-undang terkait undang-undang yang dibuat, dan bahan-bahan lain yang digunakan untuk menyusun undang-undang. Sejarah undang-undang dalam beberapa hal sangat membantu ketika melakukan interpretasi terhadap undang-undang. Sejarah undang-undang mengidentifikasi istilah-istilah yang ambigu, apa makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang, apa tujuan pembuat undang-undang membuat undang-undang, tujuan umum dari undang-undang dan lainnya.66
Berdasarkan rumusan rumusan masalah dan hasil pembahasan dihasilkan kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Interpretasi diperlukan untuk memahami teks undang-undang yang tidak jelas karena memuat norma terbuka, norma yang ambigu, norma kabur, dan norma yang bertentangan. Interpretasi tidak dibutuhkan hanya dalam hal teks undang-undang telah jelas.
-
2. Metode interpretasi eksegetikal merupakan metode interpretasi terhadap teks undang-undang dengan tujuan menemukan maksud atau kehendak dari pembentuk undang-undang dalam rangka menjelaskan teks undang-undang yang tidak jelas dengan menggunakan interpretasi gramatikal, interpretasi logis, dan interpretasi sejarah.
Daftar Pustaka
Buku
Barak, A. (2005). Purposive Interpretation in Law. Princenton: Princenton University Press.
Bradley, A.W, & Ewing, K.D. (2007). Constitutional and Administrative Law. 14th Edition. Edinburgh Gate: Pearson Education Limited.
Bruggink, JJ. (2011). Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum. Alih Bahasa Sidharta, B.A. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Busch, D. (Ed). (2002). The Principle of European Contract Law and Dutch Law. Nijmagen: An Acqui Libri & The Haque: Kluwer Law International.
Bussmann, H. (1998). Routledge Dictionary of Language and Linguistics. Translated and Edited by Trauth, G, & Kazzazi, K. London and New York: Routledge.
Crabbe, V.C.R.A.C. (1994). Understanding Statutes. London: Cavendish Publishing Limited.
Crabbe, V.C.R.A.C. (1994). Legislative Drafting. London: Cavendish Publishing Limited.
Droga, Louise & Sally Humprey. (2005). Grammar and Meaning An Introduction for Primary Teachers. New South Wales: Targer Texts.
Endicott, T.A.O. (2005). The Value of Vagueness. Dalam Bhatia, V.K. et.al (Eds).
Vagueness in Normative Texts. Bern: Peter Lang.
Hage, J, & Akkermans, B. (Eds). (2014). Introduction to Law. Dordrecht: Springer.
Hazen, K. (2015). An Introduction to Language. West Sussex: John Wiley & Sons.
Hutchinson, T. (2002). Researching and Writing in Law. Pyrmont NSW: Lawbook Co.
Kelsen, H. (2011). Hukum dan Logika. Alih bahasa Sidharta, B.A. Bandung: Alumni
Lieber, F. (1839). Legal and Politic Hermeneutics, or Principles of Interpretation and Construction in Law and Politics with Remarks on Precedents and Authorities. Boston: Charles C. Little and James Brown.
Pattaro, E. (2007). A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence: Volume 1: The Law and The Right. Dordrecht: Springer Science & Business Media.
Putman, W. H. (1998). Legal Analysis and Writing for Paralegals. Albany, NY: West Publishing.
Mertokusumo, S. (2007). Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Yan, L. (2005). The Systematic Functional Approach to the Legal Text, dalam Le, C. et.al, Proceeding of the Fifth International Conference on Law, Language and Discourse. Sept.27-Oct.1, 2005, Örebro University, Sweden. United States of America: The American Scholars Press.
Willem, K. (2009). The Limits of the Law of Obligations. Dalam Claes, E, Devroe, W, & Keirsbilck, B (Eds). Facing the Limits of the Law. Heidelberg: Springer.
Jurnal
Akshaya, G.V. (2017). Court and Intention of Legislature Enacting the Statute. IOSR Journal of Humanities and Social Science, 22 (9), 96-100.
De Sloovere, F. J. (1936). Contextual Interpretation of Statutes. Fordham Law Review, 5(2), 219-239.
Enggarani, N.S. (2018). Independensi Peradilan dan Negara Hukum. Jurnal Law and Justice, 3 (2), 82-90.
Germain, C. M. (2003). Approaches to Statutory Interpretation and Legislative History in France. Duke Journal of Comparative & International Law, 13 (195), 195-206.
Gibbons, J. (1999). Language and the Law. Annual Review of Applied Linguistic, 19, 156173.
Grissel, K.D. (2017). The Legal Fiction of "Clear Text" in Willis-Knighton v. Caddo-Shreveport Sales and Use Tax Commission. Louisiana Law Review, 67(2), 523-569.
Grossfield, B. (1985). Language and the Law. Journal of Air Law and Commerce, 50(4), 793-803.
Keith, K.J. (2009). Interpreting Treaties, Statues and Contracts. Occasional Paper New Zealand Centre for Public Law, 19, 1-56.
Robbins, I.P. (2018). “And/Or” and the Proper Use of Legal Language. Maryland Law Review, 77 (2), 311-337.
Stack, K.M. (2012). Interpreting Regulations. Michigan Law Review, 111 (3), 355-422.
Telep, N. (2016). Staying Out of Treble: A Comprehensive Civilian Approach to the Lousiana Mineral Code Provisions on Damage for Unpaid Royalties. Lousiana Law Review, 76 (3), 995-1024.
Waldron, J. (1994). Vagueness in Law and Language: Some Philosophical Issues. California Law Review, 82 (3), 509-540.
Walshaw, C. (2019). Recent Developments in Statutory and Constitutional Interpretation. Statuta Law Review, 40 (1), 1-12.
Disertasi
Walshaw, C.J. (2012). Interpretation of Statutory Rules as Application: A Legal Hermeneutics. The University of Otago.
Website
Endicott, T. (2016). Law and Language. Retrieved from
https:plato.stanford.edu/entries/law-language/Fri Apr 15, 2016, diakses 1
Maret 2019.
Endicott, T, Law and Language, in https:plato.stanford.edu/entries/law-language/Fri Apr 15, 2016, accessed 1 st March 2019.
https://www.encyclo.nl>begrip>open%20norm, diakses 5 Maret 2019.
https://www.merriam-webster.com/dictionary/interpretation, diakses 1 Maret 2019. https://www.merriam-webster.com/dictionary/interpret, diakses 1 Maret 2019.
Kamus
Garner, B.A. (Editor in Chief). (2004). Black's Law Dictionary. St. Paul, Miinesota: Thomson West.
Lewis, CT, & Short, C. (1958). Latin Dictionary. Oxford: The Clarenson Press.
Martin, H.M. (1991). Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New Edition. Oxford: Oxford University Press.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h.141 – 154
154
Discussion and feedback