HAM DAN LEGALISASI EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA DAN BELGIA
on
HAM DAN LEGALISASI EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA DAN BELGIA
Jesica Winanda Leksono Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]
I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk meninjau legalitas praktik Euthanasia dalam perspektif hukum Indonesia dan Belgia serta kaitannya dengan HAM. Studi ini lalu menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Salah satu pro dan kontra dalam praktik dunia medis yaitu Euthanasia (good death) untuk mengakhiri penderitaan pasien akibat penyakit yang tidak dapat disembuhkan, setelah melalui berbagai upaya medis lainnya. Semakin canggih dan berkembangnya berbagai hal di dunia, khususnya di bidang kesehatan menjadikan isu Euthanasia harus mendapatkan pandangan dan peraturan yang jelas. Oleh karena itu, sangat penting untuk menganalisa seperti apa pengaturan Euthanasia di Indonesia dan Belgia, serta kaitannya dengan HAM. Hal ini karena belum terdapat peraturan di Indonesia yang secara tegas mengatur tentang Euthanasia, sedangkan Belgia membolehkan Euthanasia melalui Belgian Act of Euthanasia.
Kata Kunci : Legalitas, Euthanasia, Perspektif Hukum, HAM
ABSTRACT
The purpose of this study is to review the legality of Euthanasia practices in the perspective of Indonesian and Belgian law and its relation to human rights. This study employs normative legal research methods with a statutory approach. One of the controversial practices in the medical world is Euthanasia to end the suffering of patients due to incurable diseases after going through various other medical treatments. The increasingly sophisticated and developing things in the world, especially in the health sector, make the issue of Euthanasia must get a clear view and regulations. Therefore, it is crucial to analyze what Euthanasia regulations look like in Indonesia and Belgium, as well as their relation to human rights. It is because there are no regulations in Indonesia that explicitly regulate Euthanasia, while Belgium legalizes Euthanasia through the Belgian Act of Euthanasia.
Keywords : Legality, Euthanasia, Legal Perspective, Human Rights
Dunia kesehatan kini sudah menjadi salah satu hal yang dijangkau oleh hukum meskipun terbilang masih baru khususnya di Indonesia, dibandingkan dengan hukum lainnya yang telah terlebih dahulu ada. Perkembangan hukum kesehatan sendiri dimulai pada saat World Congress on Medical Law di Belgia pada tahun 1967, yang kemudian dilanjutkan dalam World Congress of the Association for Medical Law dan akhirnya sampai di Indonesia yang gongnya dimulai dengan terbentuknya kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK UI atau Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada tahun 1982 di Jakarta dan menyusul terbentuknya PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) pada tahun 1983, yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (dengan singkatan yang sama, PERHUKI) di tahun 1987.1 Hukum kesehatan menjadi penting seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat yang sadar akan hukum, karena hukum kesehatan tidak hanya menyangkut masalah pengobatan dan kesehatan tubuh jasmani seseorang, melainkan juga menyinggung ke ranah hukum yang serius, baik dalam ranah keperdataan hingga pidana. Dalam Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia atau PERHUKI, dijelaskan bahwa hukum kesehatan adalah segala ketentuan hukum yang mencakup pelayanan kesehatan dan juga penerapannya yang menyangkut hak serta kewajiban dari pihak terkait (baik perorangan, penerima layanan, pemberi layanan dalam segala aspek).2
Praktik-praktik pengobatan terhadap suatu penyakit atau keadaan yang berkaitan dengan kesehatan manusia, baik dari segi obat-obatan dan pelayanan dari tenaga medis semakin beragam, sehingga sangat membantu dalam proses diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien dan tentu saja dengan harapan untuk mengupayakan kesembuhan yang efektif dan juga efisien. Misalnya saja, dengan adanya penemuan alat medis yang disebut dengan respirator (alat bantu pernapasan) yang mana dengan penggunaan alat ini, kematian pasien yang dalam keadaan koma dapat ditunda dalam jangka waktu tertentu atau dengan kata lain masa hidupnya dapat diperpanjang.3 Saat ini bahkan kematian seolah-olah hanya perhitungan teknologi medis belaka untuk menyatakan akhir hidup seseorang.4
Berbanding terbalik dengan usaha medis dalam memperpanjang masa hidup pasien, ada langkah medis lainnya yang dipakai untuk memperpendek atau menyudahi penderitaan pasien, yaitu praktik Euthanasia. Berkembangnya pola pikir masyarakat yang semakin modern membuat kesadaran akan hak-haknya sebagai seorang individu yang merdeka, bebas menentukan pilihan dalam hal apapun terus meningkat, bahkan dalam memahami praktik Euthanasia ini sebagai salah satu contoh hak yang dapat diputuskan oleh
individu yang bersangkutan dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Secara singkat, Euthanasia dapat diartikan sebagai “mati baik” dengan cara mengurangi atau meringankan beban atau penderitaan seseorang dalam menghadapi kematiannya.5 Euthanasia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu Euthanathos yang terdiri dari dua suku kata, eu (baik) dan thanathos (mati), yang mana pada dasarnya praktik ini adalah mati yang berasaskan belas kasihan, yang tentu saja tidak terlepas dari hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri/the right self of determination.6 Sederhananya, Euthanasia ini adalah cara mengakhiri hidup dengan tenang, tanpa rasa sakit, sehingga Euthanasia ini juga sering disebut sebagai mercy killing, enjoy death, atau a good death. Sejatinya, Euthanasia bukanlah hal yang baru, namun telah ada sejak zaman Yunani purba, yang kemudian berkembang ke belahan dunia yang lain, seperti di Benua Eropa, Amerika hingga Asia dan abad ke-19 menjadi tanda dalam pendekatan baru dalam menghadapi rasa sakit, mengobati rasa sakit, menghadapi kematian, dengan munculnya institusi kesehatan sekuler, rumah sakit beserta pegawai yang ada di institusi kesehatan.7 Akibat semakin umumnya kematian yang terjadi di rumah sakit, maka para pihak yang terlibat di institusi kesehatan mulai berperan dalam kematian melalui intervensi dengan mengenalkan sains, sarana medis dan psikologis untuk mencapai “gentle death” bagi penyakit yang tidak dapat disembuhkan.8
Perkembangan sains dan teknologi yang semakin canggih haruslah sesuai dengan nila-nilai moral yang hidup dan berkembang di masyarakat, tanpa terkecuali, namun hal tersebut tentu saja tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan dan justru menjadi hal yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Franz Magnis Suseno mengungkapkan “perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang tidak selalu bersesuaian dengan nilai-nilai moral dan prinsi-prinsip kemanusiaan yang berlaku umum”.9 Sebagai bentuk dari perkembangan tersebut, praktik Euthanasia dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan nilai moral dan juga kemanusiaan karena menyangkut hidu dan matinya individu, sehingga perkara mengenai praktik Euthanasia ini tetap menjadi perbincangan hangat yang kerap menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya di kalangan penegak hukum dan tenaga medis, melainkan juga di mata masyarakat yang pemikirannya semakin modern, apalagi menyangkut hak-haknya sebagai individu yang merdeka dalam menentukan suatu pilihan/keputusan di dalam hidupnya, salah satunya yaitu pilihan tentang tindakan medis yang akan diambil, termasuk Euthanasia. Kalangan pro beranggapan bahwa setiap orang berhak menentukan masa depannya dan atas persetujuannya dapat melakukan Euthanasia atas penyakitnya yang sudah tidak dapat disembuhkan,
sedangkan pihak kontra berpendapat bahwa Euthanasia adalah tindakan yang menyalahi kuasa/kehendak Tuhan.10 Perhatian terhadap Euthahasia ini pun semakin besar, apalagi setelah dilakukan Konferensi Hukum Sedunia, yang didalamnya dilangsungkan peradilan semu tentang hak manusia untuk mati11, namun tetap saja hak untuk mati ini tidak diakui. Padahal secara logika, jika ada hak untuk hidup, seharusnya hak untuk mati pun itu berlaku bagi siapa saja.12
Pengambilan tindakan Euthanasia atau mercy killing biasanya dilakukan karena kondisi pasien yang menderita dan untuk meringankan bebannya akibat penyakit akut dan memiliki harapan yang tipis untuk sembuh.13 Jalan Euthanasia pun akan diambil oleh pasien dan keluarganya, dengan cara penghentian upaya secara medis, meskipun hal ini adalah suatu keputusan yang sulit untuk diambil oleh pihak dokter maupun tenaga kesehatan lainnya karena mereka akan dihadapkan oleh kondisi antara belas kasihan untuk menghilangkan penderitaan pasiennya atau berhadapan dengan hukum. Meskipun terdapat pro dan kontra mengenai tindakan Euthanasia ini, terdapat beberapa negara yang sudah melegalkannya, seperti Belgia, Luxemburg, Colombia, Kanada, Spanyol dan New Zealand dan bahkan masih ada yang dalam proses pengkajian, namun tidak dapat dipungkiri tak sedikit pula negara yang menolak Euthanasia untuk diberlakukan di negaranya dengan berbagai alasan dan pertimbangan, salah satunya yaitu Indonesia. Lima belas tahun sejak dilegalkannya, sebanyak sepuluh ribu lebih orang melakukan Euthanasia di Belgia14 Berangkat dari hal inilah penulis ingin mengkaji dan membandingkan hukum dari dua negara, dimana salah satu negara yaitu Belgia melegalkan praktik Euthanasia, dan Indonesia, yaitu negara yang menganggap Euthanasia adalah praktik yang ilegal karena bertentangan dengan konstitusi dan pandangan bangsa.
-
1. Bagaimana pengaturan praktik Euthanasia dalam perspektif hukum Indonesia dan Belgia?
-
2. Apakah praktik Euthanasia dapat dilegalkan di Indonesia dilihat dari perspektif HAM?
Tujuan dari penulisan jurnal ini secara umum yaitu untuk mengetahui bagaimana praktik Euthanasia dalam perspektif hukum Indonesia dan Belgia. Sedangkan tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui pengaturan praktik
Euthanasia dalam perspektif hukum Indonesia dan juga untuk mengetahui pengaturan praktik Euthanasia dalam perspektif hukum Belgia.
Judul dalam karya tulis ini yaitu “HAM dan Legalitas Euthanasia dalam Perspektif Hukum Indonesia dan Belgia”, dengan rumusan masalah yang terfokus pada regulasi yang ada di dua negara sebagai bahan komparasi, sehingga dapat diartikan bahwa penelitian ini masuk ke dalam jenis penelitian normatif (legal research). Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data-data sekunder. Artinya karya tulis ini dibuat dengan meninjau dan menganalisis bahan pustaka atau data sekunder untuk menjawab isu hukum yang dihadapi, yaitu bersumber pada norma dan kaidah hukum, perundang-undangan, serta norma-norma yang relevan dengan segala segi kehidupan masyarakat15 dengan menggunakan teknik statute approach sebagai teknik pendekatannya.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3 .1 Regulasi Terkait Praktik Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Indonesia dan HAM
Menjadi sebuah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya, Indonesia menjunjung tinggi HAM dan menjamin kesamaan kedudukan tanpa adanya pengecualian apapun (Pasal 27 ayat 1). Dari hak-hak warga negara secara umum dalam hal memperoleh perlindungan dan juga kepastian hukum, hal ini pun berlaku dalam aspek kesehatan, termasuk dalam praktik-praktik kesehatan, salah satunya mengenai Euthanasia dalam dunia kedokteran.
Dalam dunia medis, Euthanasia dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan cara terjadinya, yaitu :16
-
2 Orthothanasia, terjadinya kematian karena adanya proses alamiah
-
3 Dysthanasia, terjadinya kematian secara tidak wajar
-
4 Euthanasia, terjadinya kematian dengan atau tanpa pertolongan dokter Jika dilihat dari pelakunya, Euthanasia dibedakan menjadi :17
-
4.3.1.1 Euthanasia Pasif, yaitu dilakukan oleh tenaga medis dengan cara membiarkan orang meninggal dengan menghentikan/tidak memberikan perawatan medis untuk membantu pasien memperpanjang hidupnya
-
4.3.1.2 Euthanasia Aktif, yaitu dilakukan oleh tenaga medis secara sengaja, dimana dalam hal ini tenaga medis telah menyadari bahwa tindakannya dapat menyebabkan kematian (misalnya memberikan obat/zat berbahaya kepada pasien)
Berbicara tentang Euthanasia berarti berkaitan pula dengan hak untuk menentukan nasib sendiri atau the right self of determination.18 Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pada Pasal 9 ayat (1) tertera bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Bunyi pasal ini sering diartikan oleh orang-orang sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri secara bebas, yang mana hal ini juga harus didukung oleh hak mendapatkan informasi (Pasal 14) serta hak atas kesehatan (Pasal 9 ayat (3).19 Dari ketentuan ini, pasien dan juga keluarga yang bersangkutan setelah mendapatkan informasi yang jelas mengenai kondisi pasien, dapat meminta persetujuan dari dokter untuk menghentikan pengobatan karena sudah tidak ada kemungkinan bahwa pasien akan sembuh dari penyakit yang dideritanya, dan juga untuk mengurangi beban dan juga biaya. Persetujuan inilah yang dapat menjadi dasar diberlakukannya Euthanasia, sehingga seharusnya dokter tidak dapat dikatakan bersalah apabila ada pihak yang melaporkannya, karena tindakan dokter tersebut didasarkan atas persetujuan pihak yang bersangkutan yaitu pasien dan keluarganya atau yang dikenal dengan istilah Informa Consent. Namun tidak semudah itu, di Indonesia, Euthanasia dapat menempatkan dokter dalam situasi sulit, dimana di satu sisi dokter harus menghormati hak-hal pasien dalam menentukan langkah medis yang akan diambilnya, dan di sisi lain dokter juga dihadapkan pada aspek etika, moral serta hukum. Jika dilihat dalam Kode Etik Kedokteran, dokter berkewajiban untuk melindungi pasien, yang mana kewajiban ini memiliki arti bahwa dokter tidak diperkenankan untuk mengakhiri hidup pasien, sekalipun peluang untuk sembuh itu nihil.20 Dalam dunia kedokteran, Euthanasia dapat dikatakan sebagai suatu usaha medis untuk mengantisipasi dan memutus penyebaran penyakit setelah usaha-usaha medis yang telah dilakukan sebelumnya gagal/tidak membuahkan hasil.21 Dalam Deklarasi Universal HAM (Pasal 3) juga disebutkan tentang hak setiap orang atas hidup dan kehidupannya, kemerdekaan dan kebebasan atas keselamatan dirinya. Euthanasia dalam perspektif HAM di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk dibahas, mengingat bahwa Indonesia menjunjung tinggi HAM yang harus dihormati dan dilindungi oleh semua elemen yang ada di Indonesia, baik oleh negara, hukum, pemerintah dan juga seluruh masyarakat Indonesia, apalagi mengenai hak untuk hidup yang merupakan non derogable right atau tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, kapanpun, dan kondisi apapun juga.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada peraturan yang secara tegas mengatur tentang praktik Euthanasia, baik dalam KUHP, pun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit dan juga UU Praktik Kedokteran, sehingga memeng diperlukan peraturan khusus untuk kepastian hukum tentang Euthanasia yang sangat
krusial dan penting untuk ditegakkan, apalagi dalam menghendaki terjadinya penataan hubungan pasien dengan pihak tenaga medis yang tidak saling melanggar.22 Namun pengaturan tentang Euthanasia dapat ditemukan secara tersirat dan sering dikaitkan dengan Pasal 344 KUHP, meskipun tidak disebutkan secara tegas bahwa dokter adalah pihak yang melanggar hukum karena melakukan praktik Euthanasia dimana dalam pasal ini disebutkan bahwa, “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Dari pasal ini secara tersirat beberapa unsur yaitu, barang siapa (mengandung arti bahwa setiap orang, tanpa adanya pengecualian), menghilangkan nyawa orang lain, atas permintaan orang itu sendiri, bersungguh-sungguh, dan diancam pidana maksimal 12 tahun penjara. Penjelasan mengenai pasal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang diperbolehkan/membenarkan pembunuhan terhadap orang lain, sekalipun pembunuhan itu didasarkan atas permintaan si korban itu sendiri (keinginan korban untuk mengakhiri hidupnya dengan bantuan dari orang lain). Selain itu juga tertera secara tersirat dalam Pasal 338-350 KUHP (kejahatan terhadap nyawa/pembunuhan), serta Pasal 338, 340, dan 345 KUHP yang menjelaskan mengenai ancaman terhadap para pelaku pembunuhan. Dari sini dapat dilihat bahwa Euthanasia adalah suatu tindakan yang melawan hukum dan juga dianggap bertentangan dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia23, sekalipun di Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu voluntary Euthanasia (Euthanasia atas permintaan pasien) atau Euthanasia pasif yang adalah suatu bentuk untuk mengurangi kesehatan.24 Jika dilihat dari UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Euthanasia secara tersirat dapat ditemukan dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana dalam UU ini, yang menjadi poin penting adalah bahwa Euthanasia adalah berkaitan tentang hak pasien dan kewajiban dokter. Berikut beberapa hak pasien dalam hukum positif Indonesia, yaitu hak atas perawatan medis. Hal ini meliputi hak pasien untuk mengetahui informasi terkait penyakitnya, memilih rumah sakit, dokter, meminta pendapat dari dokter lain, privasi/kerahasiaan pribadinya, serta menyetujui atau menolah pengobatan, kecuali yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (Pasal 32 UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Selain itu, hak pasien juga diatur lebih rinci dalam Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam hak pasien ini, rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien atau keluarganya menolak/menghentikan pengobatan yang berujung pada kematian pasien setelah adanya penjelasan medis dan rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugasnya untuk menyelamatkan nyawa (Pasal 45 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Peraturan-peraturan diatas memang secara tidak langsung adalah peraturan yang paling mendekati Euthanasia, namun
jika dilihat lebih jelas, peraturan khusus tentang Euthanasia memang belum ada, sehingga apabila Euthanasia dilaksanakan, hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hukum.25
Memang kejam kedengarannya jika membahas kata membunuh, pembunuhan atau merampas/menghilangkan nyawa orang. Namun terkadang dalam kasus-kasus tertentu, seperti orang yang sedang sakit parah akibat penyakit yang tidak kunjung sembuh, dan belum lagi jika dikaitkan dengan beban moral dan materi yang telah terkuras, tentu saja hal ini adalah hal yang sangat memilukan dan sulit dilakukan, meskipun sebenarnya ujung dari dilakukannya hal tersebut adalah untuk mengakhiri penderitaan dengan jalan yang lebih damai. Jika dilihat dalam perspektif hukum Indonesia, praktik atau tindakan Euthanasia dapat diartikan sebagai pembunuhan dan melanggar HAM, apa pun latar belakangnya. UU HAM Indonesia hanya mengatur asas untuk hidup, yaitu tercantum dalam :
-
1) Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999, yang mana dalam pasal ini dicantumkan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi. Pikiran dan hati Nurani, hak beragama,hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku keadaan apapun dan oleh siapapun.
-
2) Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999, dimana setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya
-
3) Pasal 33 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999, yang mencantumkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksaan dan penghilangan nyawa
Dalam kacamata hukum dan HAM di Indonesia sudah jelas bahwa Euthanasia adalah suatu pelanggaran, karena hak hidup adalah hak yang tidak boleh untuk dihilangkan dan akan menimbulkan konsekuensi hukum apabila dilakukan, sekalipun itu dalam bentuk/cara menghilangkan nyawa seseorang melalui jalan damai atau berdasarkan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan Indonesia tidak mengenal adanya hak untuk menentukan kematian, meskipun dalam beberapa peraturan hukum yang ada, aturan-aturan itu tidak saling mendukung atau bertolak belakang. Misalnya saja yaitu dengan adanya hukuman mati (UU KPK : Kasus Tipikor, UU Narkotika, UU Terorisme), yang adalah sama-sama menghilangkan nyawa orang.26 Selain itu Euthanasia yang adalah hak untuk mati ini seharusnya dapat dianggap sebagai pasangan dan merupakan konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup.27
Belgia adalah negara kedua di dunia yang melegalkan praktik Euthanasia pada tahun 200228, dimana hal ini diizinkan untuk dilakukan dalam kondisi tertentu, dan Undang-Undang ini juga berisi syarat dan prosedur agar Euthanasia dapat dilakukan dengan legal.29 Namun pengesahan Undang-Undang Euthanasia ini bukanlah titik akhir karena perdebatan sosial dan politik mengenai praktik Euthanasia masih terus berlanjut. Semenjak dilegalkan, UU Euthanasia Belgia sudah mengalami dua kali amandemen. Amandemen pertama UU Euthanasia ini terjadi di tahun 2005 yang tujuannya untuk memberikan perlindungan hukum kepada apoteker sebagai pihak yang memberikan obat kepada pasien untuk melakukan Euthanasia (UU No.10 November 2005), dan amandemen yang kedua yaitu pada tahun 2014, yang intinya memberikan izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan Euthanasia karena dianggap memiliki kapasitas untuk membedakan, tanpa adanya penetapan batasan usia (UU 28 Februari 2014). Pada amandemen kedua, Belgia memperluas praktik Euthanasia hingga menyentuh kalangan anak-anak. Sejak diundangkannya Euthanasia pada tahun 2002, dapat dilihat bahwa di Belgia semakin meningkat jumlah kasus Euthanasia. Satu tahun sejak dilegalkan, 235 orang memutuskan untuk melakukan Euthanasia. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan sebesar 82,5% dibandingkan tahun 2003 dan terus berlanjut hingga 2014, dan stabil pada tahun 2015-2016, kemunian meningkat 13,9% di tahun 2017. Dalam rentang tahun 2002-2017 telah terjadi aksi Euthanasia sebanyak 17.063 kasus di Belgia yang terdiri dari presentase berdasarkan usia, jenis kelamin, tempat melakukan Euthanasia, alasan/penyebab melakukan Euthanasia. Menurut laporan resmi Komisi Kontrol dan Evaluasi Federal untuk Euthanasia atau FCECE 2020, terdapat 2.359 kasus Euthanasia di tahun 2018 dan 2.656 kasus di tahun 2019.30
Pada Bab I Pasal 2 UU Euthanasia Belgia Tahun 2002, dijelaskan bahwa Euthanasia adalah sebuah tindakan penghentian hidup yang disengaja oleh aktor selain orang yang bersangkutan, atas permintaan dari orang yang bersangkutan itu sendiri. Praktik Euthanasia yang dilakukan di Belgia dibantu oleh tenaga medis (dokter). Jika di Indonesia dokter bisa dikenai hukum apabila membantu proses Euthanasia karena dianggap sebagai pembunuhan, beda halnya di Belgia. Di Belgia, dokter yang melakukan/membantu Euthanasia tidak dikenai hukum dan tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan, namun dalam hal ini dokter harus memastikan beberapa hal (Art.3 Wet betreffende de euthanasie 2002), sebelum melakukan Euthanasia, yaitu :
-
- Orang yang melakukan Euthanasia itu adalah orang dewasa atau anak di bawah umur yang dianggap kompeten dan memiliki kesadaran penuh atas permintaannya.
-
- Permintaan itu sifatnya sukarela, dengan pemikiran yang matang, dan tanpa adanya tekanan dari pihak ekternal
-
- Orang yang berada dalam keadaan tidak ada harapan secara medis dari penderitaan fisik dan psikologisnya dan tidak dapat ditoleransi atau dikurangi dan merupakan hasil dari kondisi serius dan tidak dapat disembuhkan yang disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit, dan orang tersebut telah memenuhi prosedur yang teah ditentukan oleh Undang-Undang ini.
Peningkatan jumlah orang yang melakukan Euthanasia di Belgia bukan berarti karena praktik Euthanasia ini benar-benar bebas dilakukan tanpa adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam hukum Euthanasia Belgia, terdapat beberapa kriteria yang ditetapkan untuk menyebutkan bahwa praktik Euthanasia yang dilakukan dianggap legal. Berdasarkan Hukum Euthanasia, berikut beberapa penjabaran kriteria yang harus dipenuhi jika pasien hendak melakukan praktik Euthanasia, yaitu :
-
1) Pasien adalah orang dewasa, anak dibawah umur yang sudah dewasa, atau pun anak di bawah umur yang memiliki kemampuan untuk membedakan.
Pada kriteria ini, terdapat perluasan tentang siapa saja yang dapat memenuhi kriteria untuk melakukan Euthanasia, yaitu termasuk juga anak-anak (amandemen kedua ada tahun 2014), tepatnya mulai berlaku pada 13 Februari 2014.
-
2) Pasien harus membuat permintaan secara sukarela dan harus dipikirkan dengan matang, tanpa adanya tekanan dari pihak eksternal.
Pada kriteria ini, juga bersangkutan dengan kriteria pertama yang menyangkut siapa saja yang dapat melakukan permintaan secara sukarela dan telah dipikirkan tentang matang. Namun yang menjadi kesulitan disini yaitu, bagaimana tolak ukur dari kesukarelaan dan pertimbangan yang matang itu tidak diatur dalam UU Euthanasia, serta alat standar medis atau FCECE yang tidak diketahui secara jelas sejauh apa dapat digunakan/akurat (belum terstandarisasi).
-
3) Pasien berada dalam kondisi yang sudah tidak memiliki prospek kesembuhan
Pada kriteria ini, kondisi yang dimaksud adalah kondisi medis, yang mana kriteria ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan oleh dokter mengenai kondisi medis pasien secara spesifik.
-
4) Pasien harus mengalami penderitaan fisik atau prikologis yang terus-menerus, tidak tertahankan serta tidak dapat diringankan
Untuk kriteria ini berkaitan dengan keparahan kondisi pasien, yang mana hal ini dapat dinilai oleh pasien itu sendiri yang merasakan penderitaan tersebut, sekalipun dokter juga berperan untuk mendiagnosa kondisi medis. Namun, perlu diperhatikan lagi mengenai pelaporan diri sendiri oleh pasien atas keadaannya, karena bisa saja ada peluang untuk pasien melaporkan secara tidak jujur penderitaan yang dialaminya. Sehingga perlu diperhatikan tidak hanya kriteria hukum, namun juga kriteria klinis.
-
5) Penderitaan harus disebabkan oleh penyakit yang serius dan tidak dapat disembuhkan, baik yang terjadi akibat penyakit atau kecelakaan
Untuk kriteria ini, berkaitan dengan beberapa aspek, yaitu benar terjadi karena adanya sebab-akibat, tidak dapat disembuhkan (dinilai oleh dokter), serta disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan.
Dalam Bab II Wet betreffende de euthanasie, telah tertera beberapa kondisi dan prosedur yang harus dipenuhi, baik dari sisi dokter maupun dari sisi pasien. Dari sisi dokter, dokter harus menginformasikan kondisi kesehatan pasien dan berkonsultasi dengan pasien terkait permintaan pasien untuk melakukan Euthanasia serta meyakinkan pasien bahwa tidak ada opsi lain dalam menangani situasi penyakitnya. Namun terlepas dari upaya dokter meyakinkan pasien, keputusan sepenuhnya berada di tangan pasien dan permintaannya murni adalah sukarela. Selanjutnya yaitu memastikan penderitaan fisik dan mental pasien serta kehendaknya (melakukan wawancara dengan pasien) untuk mengetahui perkembangan keadaan pasien. Setekah itu diperlukan juga konsultasi dengan dokter lainnya mengenai kondisi pasien yang bersifat serius dan tidak dapat disembuhkan ini. Konsultasi dengan dokter lain ini juga bertujuan agar dokter tersebut mencatat laporan file medis, melakukan pemeriksaan dan memastikan penderitaan fisik dan mental pasien yang konstan dan tidak dapat diperbaiki. Hasil dari konsultasi ini kemudian akan diinformasikan oleh dokter yang merawat pasien atau tim perawat yang rutin melakukan kontak dengan pasien terkait, dan mendiskusikannya juga dengan kerabat yang ditunjuk oleh pasien (apabila pasien menghendakinya).
Dalam Bab IV Pasal 7, dokter juga harus memenuhi dokumen pendaftaran yang harus dipenuhi jika dia akan menerapkan Euthanasia, yang dalam hal ini berisi dua bagian dokumen. Dokumen yang pertama ini bersifat rahasia dan dikirim oleh dokter ke panitia/komisi eutahanasia, berisi berisi nama, nama depan dan tempat tinggal pasien, nama, nama depan, nomor registrasi di NIHDI dan tempat tinggal dokter serta dokter konsultasi yang hadir, serta penasihat rahasia (jika ada seseorang yang ditunjuk oleh pasien). Selanjutnya yaitu dokumen kedua, yang juga bersifat rahasia dan berisikan informasi jenis kelamin, tanggal dan tempat lahir pasien, tanggal, tempat dan waktu kematian, sifat kecelakaan/penyakit yang diderita pasien, sifat rasa sakit yang terus menerus, alasan penderitaannya tidak dapat diringankan, dasar pasien meminta Euthanasia secara sukarela, apakah dapat dipastikan pasien akan meninggal di masa mendatang, apakah pernyataan niat telah dibuat, prosedur diikuti oleh dokter, status dokter dan dokter yang dikonsultasikan beserta tanggal konsultasi, cara Euthanasia yang diterapkan/digunakan, Sedangkan dari sisi pasien, permintaan pasien untuk melakukan Euthanasia dapat dilakukan oleh pasien dalam bentuk surat atau dokumen tertulis secara mandiri dan dapat dibatalkan/dicabut kapan saja, atau dapat diwakilkan oleh orang yang diminta langsung oleh pasien untuk, dimana orang yang mewakili pasien ini haruslah orang dewasa dan tidak memiliki niat untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kematian pasien mewakilinya, dan semua dokumen itu harus dilampirkan dalam file medis pasien beserta nama dokter yang menanganinya (Bab II Wet betreffende de euthanasie Pasal 3 ayat 4) atas kondisinya yang secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi; penderitaan fisik dan mental yang tidak dapat
dikurangi. Juga dalam Bab II Wet betreffende de euthanasie Pasal 4, dijelaskan bahwa orang dewasa atau anak-anak dapat mengajukan niatnya untuk melakukan Euthanasia dalam bentuk surat tertulis apabila dokter telah memastikan kondisinya sesuai dengan Pasal 3 UU Euthanasia. Dalam hukum Euthanasia Belgia, praktik Euthanasia ini diperbolehkan untuk dilakukan di mana saja. Namun berdasarkan data dari Institut European de Biothique-European Institute of Bioethnics (IEB-EIB), kebanyakan Euthanasia dilakukan di rumah sakit (54,1% pada tahun 2002-2003 dan 53,6% pada 2004-2005), kemudian menyusul dilakukan di rumah pasien (40,9%) dan di panti jompo sekitar 5% kasus. Dan berdasarkan UU Euthanasia, orang yang meninggal karena Euthanasia sesuai dengan persyaratan dalam UU ini dianggap telah meninggal secara alamiah (Bab VI Pasal 15).
Melihat bagaimana Euthanasia dilegalkan di beberapa negara melalui peraturan khusus, muncul pertanyaan apakah kelak Indonesia memungkinkan untuk melegalkan dan memiliki peraturan khusus mengenai Euthanasia jika dilihat dari perspektif HAM. Euthanasia memang legal di Belgia, namun bukan berarti Euthanasia dapat mudah dilakukan dengan semena-mena, sehingga dibuatlah Belgian Act of Euthanasie. Begitu pun di Indonesia, jika dilihat dari pespektif HAM, bukan tidak mungkin bahwa di masa yang akan datang Indonesia memiliki peraturan mengenai Euthanasia, sekalipun Indonesia adalah negara yang agamis dan masyarakat mempercayai bahwa kematian hanya ada di tangan Tuhan, dan dokter/tenaga medis pun tidak berhak untuk itu, selain bertugas untuk menyelamatkan nyawa manusia, karena berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Euthanasia adalah tindakan yang dilarang. Namun, jika melihat praktik aborsi, hukuman mati, kebiri dan pemaksaan vaksinasi (seperti saat menghadapi Pandemi Covid-19), bukankah hal ini juga termasuk menyalahi kode etik kedokteran dan juga melanggar HAM?. Dari sini dapat diketahui, bahwa pemerintah negara sangat berkuasa untuk memaksa dan sebagai alasan pembenar untuk menyimpangi kode etik itu dalam menghadapi situasi yang mendesak. Hukum Indonesia menjamin perlindungan hak dasar manusia, dan pasien sebagai seorang individu memiliki hak untuk menentukan nasibnya, termasuk untuk mengakhiri penderitaanya melalui jalan Euthanasia dan negara tidak boleh mengintervensi hal itu. Peraturan mengenai Euthanasia akan menjadi salah satu aksi nyata adanya kepastian dan progresivitas hukum di Indonesia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan upaya-upaya medis dapat mengerucutkan pertentangan antara aspek kesehatan dan agama, sama halnya dengan Indonesia melegalkan hukuman mati, yang mana hal itu juga sempat bertentangan antara HAM dan agama.
Berdasarkan hukum positif Indonesia tidak ada satupun peraturan yang dengan gamblang menjelaskan mengenai Euthanasia. Namun terkait Euthanasia sendiri dapat ditemukan secara tersirat dalam beberapa pasal dalam KUHP, misalnya seperti Pasal 344 KUHP (menghilangkan nyawa), dan secara tersirat juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit dan juga UU Praktik Kedokteran. Namun jika melihat
bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi HAM, maka Euthanasia adalah suatu pelanggaran hukum karena dianggap sama seperti menghilangkan nyawa/pembunuhan karena Indonesia hanya mengakui hak untuk hidup, bukan hak untuk menentukan kematian. Berdasarkan hukum positif Belgia, Belgia telah melegalkan Euthanasia sejak tahun 2002 melalui Wet betreffende De Euthanasie atau UU Euthanasia Belgia dan memiliki komite khusus yang disebut dengan Komisi Kontrol dan Evaluasi Federal untuk Euthanasia atau FCECE. Dalam hal ini, dokter harus memastikan beberapa hal sesuai dengan peraturan yang berlaku, begitu pula dengan pasien yang menginginkan Euthanasia, harus memenuhi syarat, kondisi dan prosedur tertentu untuk diajukan ke komite Euthanasia untuk mengabulkan permintaannya. Indonesia sendiri juga memiliki peluang untuk melegalkan Euthanasia sebagai upaya memberikan kepastian hukum dan memajukan progresivitas hukum HAM Indonesia dalam menghadapi berbagai kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asyhadie, H. Z. Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Ed-1. (Depok, Rajawali Pers, 2018).
Is, Muhammad Sadi. Etika dan Hukum Kesehatan; Teori dan Aplikasinya di Indonesia, 1 (Jakarta, PT Balebat Dedikasi Prima, 2015).
Karyadi, P.Y. Euthanasia dalam Perespektif Hak Asasi Manusia. (Yogyakarta, Media Pressindo, 2001)
Mukti, Fajar dan Achmad, Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015).
Jurnal
Amiruddin, M. (2017). Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia Di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, 4(1).
Biotti-Mache, F. (2016). L’euthanasie : quelques Mots de vocabulaire et d’histoire. Études sur la mort, 150(2).
Dhamayanti, N. G. A. A. F., & Nurmawati, M. (2019). Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana. E-Journal Ilmu Hukum Kertha Wicara, 8(10).
Dierickx, S., Deliens, L., Cohen, J., & Chambaere, K. (2017). Euthanasia for people with psychiatric disorders or dementia in Belgium: analysis of officially reported cases. BMC psychiatry, 17(1).
Flora, H. S. (2022). Euthanasia In Indonesian Criminal Law And Health Law. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 2(02).
Fuadi Isnawan. (2016). Kajian Filosofis Pro dan Kontra Dilarangnya Euthanasia. Mahkamah, 2(1).
Gracia, G., Ramadhan, D. A., & Matheus, J. (2022). Implementasi Konsep Euthanasia: Supremasi Hak Asasi Manusia dan Progresivitas Hukum di Indonesia. Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, 2(1).
Minarosa, M. (2018). Analisis Yuridis Terhadap Eutanasia (Hak Untuk Mati) Berdasarkan Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia. INKRACHT, 2(2).
Pi^kos-Lorenc, I., Piecuch, M., Gajdzik, W., & Wypych-Slusarska, A. (2021, February). Euthanasia in Belgium–16 years after its legalization. In Annales Academiae Medicae Silesiensis (No. 75, pp. 1-7). Sl¾ski Uniwersytet Medyczny w Katowicach.
Pingkan, P. K. (2013). Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum Nasional Belgia), 21(3).
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1).
Purnamiyanti, Ni Putu Esa Bulan dan Wirasila, Anak Agung Ngurah. (2020). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Keluarga Yang Meminta Untuk Dilakukan Euthanasia Ditinjau dari Perspektif KUHP Indonesia. Jurnal Kertha Wicara, 9(9).
Rada, A. (2013). Euthanasia dalam perspektif hukum islam. Perspektif, 18(2), 108-117.
Raus, K., Vanderhaegen, B., & Sterckx, S. (2021, February). Euthanasia in Belgium: shortcomings of the law and its application and of the monitoring of practice. In The Journal of Medicine and Philosophy: A Forum for Bioethics and Philosophy of Medicine (Vol. 46, No. 1, pp. 80-107). US: Oxford University Press.
Suparta, E. (2018). Prospektif Pengaturan Euthanasia Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5(2).
Yamco, Abdul Gani, Skripsi : Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia Dan Hak Asasi Manusia. Universitas Hasanuddin
Internet
Fuji Pratiwi, 2018, “Aturan Euthanasia di Belgia Picu Kontroversi”. Republika.co, URL: https://internasional.republika.co.id/berita/p4bxe5335/aturan-
euthanasia-di-belgia-picu-kontroversi Diakses tanggal 30 Juni 2023.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Euthanasia Belgia Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 6 Tahun 2023 hlm 587-601
601
Discussion and feedback