PENGATURAN BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SEMENTARA DALAM UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL

Ni Komang Indira Amanda Ariani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pelindungan sementara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual serta memformulasikan bentuk-bentuk pelindungan sementara yang sebaiknya didapatkan oleh korban tindak pidana kekerasan seksual. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normative melalui pendekatan konseptual serta pendekatan peraturan perundang-undangan. Dari hasil studi ini menunjukkan bahwa pengaturan pelindungan sementara yang diatur bagi korban tindak pidana kekerasa seksual dalam UU TPKS belum mengakomodir permasalahan yang selama ini dialami oleh korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini dikarenakan belum diaturnya bentuk-bentuk pelindungan sementara yang dapat diberikan negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Maka dari itu, guna mengatasi problematika tersebut dapat dilakukan pengaturan secara jelas dan tegas bentuk-bentuk pelindungan sementara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal itu didapatkan melalui, melakukan analisis terhadap kekurangan penegak hukum selama ini dalam menangani kasus kekerasan seksual serta menganalisis kondisi psikis korban yang merasa takut akibat adanya ancaman serta keraguan dalam dirinya ketika melapor.

Kata Kunci: Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pelindungan Sementara, Korban

ABSTRACT

This study aims to determine the complexity of the problems of temporary protection arrangements for victims of criminal acts of sexual violence and to formulate forms of temporary protection that should be obtained by victims of criminal acts of sexual violence. This study uses a normative legal research method and a conceptual approach as well as an approach to legislation. The results of this study indicate that temporary protection arrangements for victims of sexual violence in the Act No 12/2022 have not accommodated the problems that have been experienced by victims of sexual violence. This is because the state has not regulated the forms of temporary protection that can be given to victims of sexual violence crimes. Therefore, in order to overcome these problems, clear and firm arrangements can be made for the forms of temporary protection for victims of criminal acts of sexual violence. This is obtained through, analyzing the shortcomings of law enforcement so far in handling cases of sexual violence and analyzing the psychological condition of victims who feel afraid due to threats and doubts in themselves when reporting.

Key Words: sexual violence crime, temporary protection, victim

I Pendahuluan

1.1    Latar Belakang Masalah

Fenomena tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia dewasa ini semakin meningkat baik dari segi kuantitas maupun jenis tindakan yang dilakukan. Pada umumnya pelaku tindak pidana kekerasan seksual menyerang seseorang yang tidak berdaya bahkan dengan segala cara yang dilakukan sehingga dapat menguasai diri korban. Kelompok rentan yang sering dijadikan objek kekerasan seksual ialah perempuan, anak, serta penyandang disabilitas hal itu diakibatkan karena mereka dianggap kelompok lemah yang mudah ditaklukan. Kasus kekerasan seksual di Indonesia beragam jenisnya diantaranya yang terjadi secara privat mencapai 1.983 maupun yang terjadi di ranah umum mencapai 962 kasus.1 Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka serta menjunjung tinggi hak asasi manusia belum mampu memberikan ruang aman bagi masyarakat untuk berlindung dari kasus tindak pidana kekerasan seksual.

Banyak peraturan muncul untuk memberikan ruang aman bagi korban tindak pidana kekerasan seksual. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Namun, hadirnya peraturan-peraturan tersebut belum juga mampu memberikan ruang aman bagi korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini dapat dilihat dalam jumlah laporan yang tercantum dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dirilis pada Maret 2020, bahwa sebanyak 431.471 kasus yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2019. Angka ini menunjukkan kenaikan sebanyak 6% dari laporan sebelumnya yang tercatat 406.178 kasus. Tercatat dalam kurun waktu 12 tahun yakni dari 2008-2019 kekerasan seksual meningkat sebanyak 792%, dan hal ini menujukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun kasus ini meningkat mencapai 8 kali lipat.2 Dengan kata lain, hukum positif yang selama ini ada masih belum dapat mewujudkan salah satu tujuan pemidaan menurut teori kontempores dikarenakan belum dapat memberikan rasa adil bagi korban.3

Maka dari itu masyarakat Indonesia mendesak pemerintah untuk memberikan peraturan yang mampu melengkapi kecacatan peraturan yang selama ini ada. Setelah mengalami pro dan kontra sejak tahun 2016, akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (yang selanjutnya disebut UU TPKS). Salah satu pembaharuan hukum dalam UU TPKS ini ialah perluasan subjek dari

kekerasan seksual itu sendiri. Seperti yang termaktub dalam pasal 4 UU TPKS ini mengatur 9 (sembilan) jenis tindak pidana kekerasan seksual, yakni “pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, penyiksaan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik”. Atas pasal ini dapat dilihat bahwa UU TPKS mengakomodir jenis tindak pidana kekerasan seksual lebih luas dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya kaitannya pada kondisi korban ialah bahwa dalam peraturan ini tidak hanya membatasi perlakuan yang diterima korban hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga mengatur dalam bentuk verbal bahkan elektronik. Sebab inilah bentuk kekerasan seksual yang belum diatur pada peraturan-peraturan sebelumnya, korban yang mengalami tindak pidana secara verbal dan media elektronik tidak memiliki payung hukum untuk melindungi dirinya, tentunya hal ini akan berdampak pada perlindungan yang didapatkan oleh korban.

Perlindungan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual tidak hanya sebatas perluasan ruang lingkup kekerasan seksual itu sendiri, tetapi secara lebih lanjut diatur pula perluasan perlindungan yang diberikan kepada korban. Salah satunya ialah dalam pasal 42 ayat (1) UU TPKS yang memuat bahwa kepolisian dapat memberikan perlindungan sementara pada korban dalam waktu selambat-lambatnya I x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah menerima laporan tindak pidana kekerasan seksual. Pemberian pelindungan sementara pada pasal 42 ayat (1) pada hakikatnya memang ditujukan agar korban segera mendapatkan perlindungan setelah melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini juga bertujuan untuk menepis rasa takut yang biasanya dimiliki oleh korban tindak pidana kekerasan seksual yang sering mendapatkan ancaman dari pelaku akibat melaporkan kasus yang dialaminya.

Namun, dari ketentuan pasal tersebut tidak mengatur bentuk-bentuk pelindungan sementara yang dapat diberikan kepada korban, sehingga terlihat adanya kekosongan norma dalam pasal tersebut. Tidak diaturnya bentuk-bentuk pelindungan sementara yang diberikan kepada korban menunjukkan bahwa UU TPKS belum berspektif kepada korban sepenuhnya. Padahal dengan mengatur bentuk-bentuk pelindungan yang dapat diberikan kepada korban menunjukkan bahwa keamanan korban tindak pidana kekerasan seksual sepenuhnya dijamin oleh negara, sehingga hal tersebut akan menyebabkan korban untuk tidak ragu untuk melaporkan kasus yang dialaminya. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (yang selanjutnya disebut UU PSK) telah memberikan bahwa perlindungan merupakan suatu upaya untuk memenuhi segala hak yang dimiliki oleh saki dan korban untuk mendapatkan rasa aman. Dalam UU PSK juga mengatur hak-hak yang dimiliki seorang korban salah satunya yakni ikut didalam proses pemilihan dan pemenuhan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan untuk dirinya. Dengan tidak diaturnya bentuk-bentuk perlindungan sementara yang akan didapat oleh korban tindak pidana kekerasan seksual akan menimbulkan problematika mengenai bagaimana cara korban untuk mendapatkan haknya sebagai korban dalam

memilih jenis perlindungan yang akan didapatkannya. Hadirnya ketentuan a quo sejatinya memang dapat dijadikan pijakan dalam memberikan rasa aman sementara pada diri korban, tetapi sangat disayangkan bahwa ketentuan tersebut belum dapat mengimplementasikan konsep perlindungan secara utuh dan semestinya.

Problematika hukum tersebut harus segera untuk diatasi. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan mengatur bentuk-bentuk perlindungan sementara yang akan didapat oleh korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini juga akan berkaitan dengan konsep perlindungan serta hak yang dimiliki oleh seorang korban yang telah diatur dalam UU PSK. Sehingga hal inilah yang menjadi pembahasan dalam jurnal ilmiah ini, yakni mengenai Pengaturan Bentuk-Bentuk Pelindungan Sementara Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berkaitan dengan orisinalitas, penelitian yang disusun dalam penelitian ini murni hasil pemikiran penulis. Namun, benar adanya bahwa dalam penyusunan ini penulis bertumpu dengan satu penelitian dengan isu yang serupa, yakni penelitian yang ditulis oleh Salam Amrullah dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan. Namun penelitian tersebut berfokus pada perlindungan hanya kepada korban pemerkosaan sedangkan penelitian ini membahas lebih luas bentuk pelindungan sementara serta ruang lingkup kekerasan seksualnya. Sehingga dapat dikatakan dalam penelitian ini tidak akan membahas kasus serupa dalam penelitian tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

    • 1.2.1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai pemberian perindungan sementara kepada korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia?

    • 1.2.2.    Bagaimanakah pengaturan bentuk-bentuk pelindungan sementara dalam UU TPKS di masa mendatang?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan penulisan jurnal ilimiah ini ialah untuk mengetahui terkait pemberian pelindungan sementara kepada korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia serta mengkaji pengaturan bentuk-bentuk pelindungan sementara dalam UU TPKS yang sesuai di masa mendatang.

  • 2.    Metode Penelitian

Jurnal Ilmiah dengan judul Pengaturan Bentuk-Bentuk Pelindungan Sementara Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan jurnal yang menerapkan tipe penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif identik dengan studi kepustakaan yang merupakan pengkajian terhadap data sekunder berupa bahan-bahan hukum. Maka dari itu, penulisan ini hendak menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penyusunan jurnal ilmiah ini. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual serta perlindungan bagi korban, sedangkan bahan hukum sekunder yang akan digunakan meliputi buku maupun jurnal ilmiah dengan topik serupa. Dalam penulisan jurnal ilmiah ini, penulis melakukan penelusuran terhadap bahan

hukum dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) sebagai konsekuensi dari bentuk penelitian normative. Selain itu metode pendekatan dalam penulisan ini menggunakan metode pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk menemukan konsep yang sesuai dengan perlindungan korban itu sendiri. Penulis juga menggunakan metode telaah deskriptif dalam menganalisis bahan hukum dengan memaparkan seluruh data yang diperoleh dengan akurasi dan verifikasi penuh daripada bahan-bahan hukum untuk kemudian disusun konklusinya dengan pemahaman deduktif maupun induktif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Pengaturan mengenai pemberian perlindungan sementara bagi korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa “semua orang berhak atas jaminan dan pelindungan maupun kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Suatu perlindungan hukum juga diartikan sebagai suatu upaya pemberian jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Disamping itu dalam Pasal 1 angka 8 UU PSK, Perlindungan diartikan sebagai “suatu upaya untuk pemenuhan hak ataupun pemberian bantuan yang berfungsi untuk memberikan rasa aman bagi korban”.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwasanya perlindungan maupun pelindungan hukum ialah suatu upaya yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya guna terciptanya rasa aman dan kepastian hukum atas hak warga negaranya. Dalam konteks pelindungan korban atas suatu tindak pidana, dapat dilihat dari pemberian upaya pencegahan dan pemulihan oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum. Pelindungan yang dimaksud dapat berupa perlindungan atau pengawasan yang diberikan kepada korban dari berbagai tindakan yang mengancam nyawa korban, pemberian fasilitas medis, maupun pendampingan hukum yang layak.4

Pemberian pelindungan kepada korban suatu tindak pidana dewasa ini mengalami banyak perkembangan. Salah satu jenis perlindungan yang dapat dilihat ialah pelindungan sementara. Bentuk baru dari perlindungan ini dapat kita lihat pada. Dalam UU TPKS mengatur salah satu jenis perlindungan yakni pelindungan sementara. Bila dilihat secara seksama kata “perlindungan” dan “pelindungan” akan menimbulkan pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dari proses turunannya yang sedikit berbeda tetapi berasal dari akar kata yang sama yakni lindung. Namun, diantara perbedaan tersebut memiliki tujuan yang sama yakni untuk melindungi masyarakat. Pemberian perlindungan kepada korban dianggap penting karena pada kejahatan-kejahatan seperti ini (perkosaan, narkotika, perdagangan orang) sering terjadi berbagai bentuk ancaman intimidasi serta penilaian buruk masyarakat yang tak jarang akan berujung membahayakan keselamatan korban, keluarganya, atau bahkan aspek

kehidupan lain pada dirinya.5 Hal ini dapat kita jumpai dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia menemukan fakta bagaimana seorang korban kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh civitas akademikanya merasa takut dan enggan untuk melaporkan kasus yang menimpanya. Adanya ketakutan akan kondisi perkuliahannya di kampus, serta menjaga nama baik korban dan pelaku menjadi pertimbangan korban ini untuk memilih memendam kasus yang dialaminya.6 Pertimbangan risiko terkait citra baik institusi dan lembaga tempat dirinya menuntut ilmu menjadi faktor utama bagi korban untuk tidak melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini juga dipengaruhi oleh posisi korban sebagai mahasiswa sehingga memilih untuk tidak melaporkan kasus yang menimpanya. Korban yang berstatus mahasiswa merasa tidak memiliki kuasa dalam upaya melaporkan, sehingga mengambil solusi lain dengan menghindari dirinya dari jangkauan pelaku.7 Atas hasil penelitian itulah maka sewajarnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual harus diberikan, tidak hanya ketika kasus yang dialaminya memasuki tahap penyidikan tetapi sedari awal semenjak korban melaporkan kasus yang dialaminya.

Atas dasar tersebut sebenarnya pemerintah melalui penegak hukumnya telah mengatur segala ketentuan terkait perlindungan yang dapat diberikan kepada korban tindak pidana. Seperti halnya dalam Pasal 5 UU PSK yang menjelaskan hak-hak seorang saksi dan korban ialah:

  • 1.    “memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

  • 2.    ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

  • 3.    memberikan keterangan tanpa tekanan;

  • 4.    mendapat penerjemah;

  • 5.    bebas dari pertanyaan yang menjerat;

  • 6.    mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

  • 7.    mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

  • 8.    mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

  • 9.    mendapat identitas baru;

  • 10.    mendapatkan tempat kediaman baru;

  • 11.    memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

  • 12.    mendapat nasihat hukum; dan/atau

  • 13.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.”

Di samping itu muncul pula suatu peraturan pemerintah yakni PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Dalam ketentuan tersebut khususnya dalam Pasal 4 mengatur bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan berupa perlindungan dari segala tindakan yang mengancam fisik dan mental, menjaga identitas korban atau saksi, serta pilihan untuk tidak bertatap muka ketika memberikan keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Lebih mengerucut kembali pada korban tindak pidana kekerasan seksual sesungguhnya telah diatur jenis perlindungan terbaru yang diberikan penegak hukum yakni berupa pelindungan sementara. Ketentuan pelindungan sementara diatur dalam Pasal 42 UU TPKS yang pada pokoknya mengatur bahwa kepolisian dapat memberikan pelindungan sementara paling lambat 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam) terhitung setelah menerima laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Namun sayangnya, masih terdapat kekosongan norma dalam aturan pemberian perlindungan kepada korban tindak pidana kekerasan seksual, yang dimana legislator tidak mengatur lebih lanjut mengenai bentuk perlindungan sementara yang dapat diterima oleh korban tindak pidana kekerasan seksual. Sebagian kecil bentuk perlindungan sementara yang terlihat dalam ketentuan pasal 42 ayat (2) hanyalah kewenangan polisi untuk membatasi ruang gerak pelaku, dengan tujuan menjauhkan diri pelaku dari korban. Namun ketentuan pasal ini tidaklah selaras dengan ketentuan dalam Pasal (5) angka 2 UU PSK yakni seorang korban memiliki hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan keamanan. Tetapi dalam ketentuan pasal tersebut tidak tercermin adanya kesempatan yang diberikan legislator kepada korban untuk memilih bentuk perlindungan yang dibutuhkannya. Dari hal ini pun terlihat bahwa perspektif dan kebutuhan korban belum dijadikan fokus utama ketika menyelesaikan kasus tindak pidana kekerasan seksual, padahal atas penemuan fakta di atas telah disampaikan bahwa korban tindak pidana kekerasan seksual membutuhkan perlindungan bahkan sebelum kasus yang dialami korban diproses dalam ranah hukum agar korban memiliki keberanian dalam menyampaikan kasus yang dialaminya.

Ketentuan yang termakhtub dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 yang mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan pun belum dapat dikatakan mengakomodir bentuk pelindungan sementara dalam UU TPKS. Hal itu dikarenakan, pertama PP tersebut hanya mengakomodir perbuatan yang melanggar HAM Berat dan tidak seluruh jenis kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS diatur dalam tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pelanggaran HAM Berat. Kedua, dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir angka kekerasan seksual justru mengalami peningkatan.8 Hal itu menunjukkan, bahwa ketentuan yang selama ini diatur dalam peraturan-

peraturan yang ada belum mampu menekan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Dengan kecacatan ketentuan, terbatasnya jenis, serta klasifikasi perlindungan yang ada menjadi salah satu penyebab penegak hukum tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai kepada korban. Maka sudah sepantasnya, dalam UU TPKS ini mengatur lebih konkret lagi mengenai bentuk pelindungan sementara yang dapat diberikan kepada korban tindak pidana kekerasan seksual yang bahkan tidak hanya diterima ketika kasus yang dialaminya memasuki ranah hukum tetapi mendapatkan perlindungan sebelum kasus yang bersangkutan di proses bilamana korban membutuhkannya.

  • 3.2    Pengaturan Bentuk-Bentuk Pelindungan Sementara dalam UU TPKS di Masa Mendatang

Peningkatan angka kasus tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia menjadi fokus utama seluruh elemen untuk melakukan pencegahan agar angka tersebut tidak bertambah. Munculnya UU TPKS menjadi harapan baru bagi masyarakat terkait perlindungan yang selayaknya didapatkan korban tindak pidana kekerasan seksual ini. Maka selayaknya sebuah harapan baru, sudah sepantasnya ketentuan yang diatur dapat menjadi jawaban atas keresahan korban selama ini. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan dalam contoh kasus di atas, bahwasanya selama ini korban tindak pidana kekerasan seksual masih merasa takut ketika akan melaporkan kasus yang dialaminya. Adanya akibat piskologis yang dialami korban dapat mempengaruhi diri korban ketika mengambil suatu keputusan. Reaksi psikologis itu diantaranya kecemasan, penurunan kinerja, dan symptom somatic.9 Ada beberapa hal yang menjadi alasan korban untuk menunda pelaporan kasus yang dialaminya, yakni dengan mempertimbangkan biaya serta menentukan beberapa pilihan lain. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan bahwa alasan seperti adanya pengakuan sebuah kejahatan telah terjadi, pertimbangan akan yang harus dilakukan, komentar dari orang sekitar, karakter dari korban, dan berbagai faktor sosial lainnya menjadi alasan korban memilih untuk tidak melaporkan kasus yang dialaminya.10

Jawaban atas keresahan inilah yang belum diatur dalam ketentuan pelindungan sementara dalam UU TPKS untuk memberikan pendampingan profesional kepada korban sebelum korban memiliki niat untuk membawa kasus yang dialaminya ke ranah hukum. Sebab sesuai dengan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (kemudian disingkat menjadi SPPT-PKKTP) bahwa korban harus dipandang sebagai subjek yang memiliki hak untuk didengarkan kondisinya yang dapat dijadikan sebagai keterangan, berhak mengetahui perkembangan informasi atas segala tindakan hukum yang akan dan telah dilakukan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin didapatkan serta diutamakan

untuk pemulihan kondisi korban akibat kekerasan yang dialaminya.11 Menjadikan korban sebagai subjek pada SPPT-PKKTP harus dilakukan awal dimulai dari masuknya laporan kasus yang dialaminya, kemudian penanganan serta pendampingan lebih lanjut yang didapatkannya selama menjalani kasus tersebut, sampai pada proses peradilan pun posisi korban sebagai subjek harus tetap dilaksanakan.12 Konsep inilah yang bisa diterapkan dalam pemberian pelindungan sementara bagi korban dalam UU TPKS, bahwa korban tindak pidana kekerasan seksual bukanlah sebuah objek yang memiliki tujuan untuk melengkapi keterangan suatu kasus sehingga perlindungan yang diberikan kepadanya hanya ketika yang bersangkutan memiliki niat untuk membawa kasusnya ke dalam ranah hukum, tetapi lebih dari pada itu kondisi korban haruslah diutamakan.

Keresahan lain yang selama ini dialami oleh korban tindak pidana kekerasan seksual ialah adanya tindakan intimidasi yang diberikan selain dari pelaku, tetapi juga dari orang lain (baik itu orang disekitarnya ataupun bahkan orang yang tidak dikenalnya). Hal inilah yang penulis rasa masih terlewat dalam ketentuan UU TPKS, yakni dalam dalam pasal 42 ayat (3) yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam tujuan pemberian pelindungan sementara kepada korban, kepolisian dapat membatasi ruang gerak pelaku. Sehingga korban belum mendapatkan perlindungan ketika mendapatkan perlakuan intimidasi dari seseorang atau bahkan sekelompok orang yang bukan termasuk pelaku yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepadanya. Di samping itu pula, perlakuan intimidasi tidak hanya sebatas tindakan yang dilakukan secara langsung tetapi dapat pula dilakukan melalui media elektronik, kondisi ini yang seharusnya diatur untuk dapat memberikan perlindungan kepada korban dari tindakan intimidasi yang tidak hanya dilakukan oleh pelaku tetapi juga pihak lain yang turut melakukan tindakan intimidasi kepada korban. Selanjutnya, keresahan lain yang selama ini dialami korban tindak pidana kekerasan seksual adalah adanya keengganan melaporkan kasus yang dialaminya dikarenakan tidak mengetahui alur pelaporan serta merasa tindakan yang dilakukan sia-sia jika melihat penanganan kasus serupa di Indonesia. Adanya pendampingan oleh tenaga ahli merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut, tetapi hal itu tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya jalan keluar. Kemudahan untuk mendapati pelayanan publik juga merupakan salah satu bentuk dukungan kepada korban untuk melakukan pelaporan kasus yang dialaminya. Pelayanan yang dimaksud salah satunya yakni pelayanan medis yang dapat berupa pemeriksaan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan korban guna mendapatkan laporan media (visum)

yang memiliki kekuataan hukum. Keterangan medis ini diperlukan untuk memperkuat tindakan kekerasan yang dialami oleh korban.13

Berangkat dari keresahan yang dialami masyarakat inilah dapat memberikan jawaban bagaimana seharusnya bentuk-bentuk pelindungan sementara itu diberikan kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Guna mewujudkan cita-cita hukum yakni memberikan keadilan bagi masyarakatnya.14 Selain itu pula, dengan memberikan bentuk-bentuk pelindungan sementara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual akan menunjukan bahwasanya UU TPKS telah berspektif pada diri korban dengan memberikan pilihan bentuk perlindungan yang akan dipilihnya. Hal itu juga telah sesuai dengan salah satu hak seorang korban yang diatur dalam UU PSK yakni dapat memilih dan menentukan bentuk perlindungan yang didapatnya.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan mengenai perlindungan yang didapatkan oleh korban tindak pidana telah termakhtub dalam beberapa peraturan di Indonesia. Namun perlindungan yang diatur tersebut nyatanya belum dapat menjawab keresahan korban untuk mendapatkan ruang aman setelah mengalami tindakan pidana khususnya kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Dalam UU TPKS pun dewasa telah mengakomodir secara lebih luas mengenai perlindungan yang didapat oleh korban tindak pidana kekerasan seksual yang salah satunya pelindungan sementara. Namun sayangnya masih terdapat kekosongan norma dalam ketentuan pelindungan sementara tersebut, yakni tidak diaturnya bentuk-bentuk pelindungan sementara itu sendiri. Oleh karenanya, guna mengatasi problematika tersebut dapat dilakukan dengan merefomulasi pengaturan pelindungan sementara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual untuk mengatur secara jelas dan tegas bentuk-bentuk pelindungan yang dapat diberikan. Bentuk pelindungan tersebut dapat dianalisis melalui kelemahan penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual selama ini, ataupun melalui ketakutan-ketakutan korban yang selama ini dirasakannya. Dengan diatur sedemikian rupa, maka korban tidak akan merasa bahwa dirinya sendirian ketika mengalami kasus tersebut, ataupun merasa takut akibat mendapatkan ancaman serta kecaman dari pelaku maupun orang terdekatnya. Diaturnya bentuk pelindungan sementara juga mengakibatkan korban tidak merasa ragu untuk melaporkan kasus yang dialaminya dan akan berdampak ke korban-korban lainnya. Dengan banyaknya laporan yang muncul akibat tindakan kekerasan seksual yang terjadi, maka dugaan kuat kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat menurun dari segi kuantitas serta kualitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Heroepoetri, A. Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, Jakarta. (Komnas Perempuan, LBPP Derap Warapsari, LBH APIK Jakarta, Convention Watch, PKWJ UI, 2015), 64.

Ninik Rahayu. Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia. (Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2021), 73.

Oemar Moechtar. Eksistensi, Fungsi, dan Tujuan Hukum: Dalam Perspektif Teori dan Filsafat Hukum. (Jakarta, Kencana, 2020). 50-55

Jurnal Ilmiah

Ardianto Ari, Achmad Hariri. “Perlindungan Hukum Atas Pengguguran Kandungan Korban Perkosaan di Tinjau dari Hukum Nasional”. Media of Law and Sharia 2, No. 3 (2021): 230-234.

Balogh, DW. Kite ME, Pickel, KL., Canel, D. Schroeder J.” The Effects of Delayed Report and Motive for Reporting on Perceptions of Sexual Harassment.” Journal Sex Roles 48, (2001): 169.

Dewi Fatimah. “Kedudukan dan Kekuatan Rekam Medis Dalam Pengembangan Alat Bukti Untuk Mendapatkan Perlindungan dan Kepastian Hukum”, Jurnal Litigasi 18, No.2 (2017): 224.

Eko Nurisman. “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4, No 2. (2022): 189.

Nuqul, Fathul. Trihastuti, Annisa. “Menelaah Pengambilan Keputusan Korban Pelecehan Seksual Dalam Melaporkan Kasus Pelecehan Seksual”, Personafikasi 11, No.1 (2020): 10-11.

Jamaa, La. “Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Pidana Indonesia”. Jurnal Cita Hukum I, No. 2(2014): 252.

Orchowski, LM & Gidycz CA. “A Prospective Study of Predictors of Sexual Assault Disclosure and Social Reactions.” Violence Against Women 18, No 3. (2012): 264–288.

Setiawan, M.Arif. “Urgensi Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Hukum Dan Dinamika Masyarakat 5, No.2 (2008): 138.

Salam Amrullah. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan”. Jurnal Andi Djemma 3, No. 1 (2020): 62.

Wong, K & Christmann, K. “The role of victim decisionmaking in report of hate crime.” Safer Communities 7, No 2. (2008):24-35.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Internet

Indonesia Judicial Research Society. URL http://ijrs.or.id/. Diakses pada 27 Oktober 2022

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 7 Tahun 2023 hlm 799-810

810