INVASI RUSIA KE UKRAINA 2022 DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Damara Nathania Boru Siahaan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami invasi Rusia ke Ukraina selama tahun 2022 dan menganalisis pelanggaran-pelanggarannya ditinjau dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan yakni pendekatan undang-undang, pendekatan fakta, pendekatan analitis terhadap konsep hukum dan pendekatan historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tanggal 24 Februari 2022 hingga sekarang, Rusia pun kembali mengekskalasi invasinya ke Ukraina melalui berbagai pelanggaran terhadap pasal-pasal di Statuta Roma 1998 yang berhubungan dengan “Kejahatan Perang” secara eksplisit bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental di Hukum Humaniter Internasional. Sehingga, indikator-indikator pemicu diatas telah membawa kasus Rusia dan Ukraina berada dalam yurisdiksi MPI melalui jenis kejahatan (Pasal 5 (c)) dan admisibilitas melalui rujukan dari negara-negara pihak Statuta Roma terkait kasus ini (Pasal 13). Namun, terdapat pengecualian untuk bidang yang dapat dituntut di bawah yurisdiksi MPI melalui Statuta Roma yaitu pada Pasal 8 (2) (xx) mengenai penggunaan senjata pembakar dikarenakan sebagai subjek larangan komprehensif harus termasuk dalam lampiran Statuta Roma. Lampiran senjata belum dibuat sehingga menjadi kesenjangan signifikan dalam penerapan Statuta Roma, mengingat ini adalah pelanggaran mendasar terhadap HHI. Terlebih lagi, walaupun MPI bersama beberapa negara pihaknya telah membawa konflik ini ke Pengadilan dari tanggal 1-2 dan 11 Maret 2022 melalui Kantor Kejaksaan di MPI demi mengumpulkan bukti di Ukraina, kenyataannya Rusia bukan lagi negara pihak MPI sejak tahun 2016 dan sebagai anggota tetap dewan yang memegang veto, kemungkinan besar Rusia tidak akan menerima yurisdiksi MPI seringan itu.

Kata Kunci: Invasi Rusia, Ukraina 2022, Hukum Humaniter Internasional, MPI, Kejahatan Perang.

ABSTRACT

This study aims to comprehend Russia invasion against Ukraine during 2022 and analyze the violation from the perspective of International Humanitarian Law. This study uses normative juridical research methods and secondary data obtained from library research. The approaches used are statutory approaches, fact approaches, analytical and legal concepts approaches and historical approaches. This study concluded that on the prelude of February 24th, 2022 until now, Russia nonetheless escalated its invasion through various violations of the 1998 Rome Statute’s articles concerning the "War Crimes" which contradicted to the fundamental principles of International Humanitarian Law. The aforementioned indicators have directly brought this case to ICC's jurisdiction through (Article 5 (c) and admissibility through Rome Statute state parties’ referrals (Article 13). However, there is an exemption for Article 8 (2) (xx) regarding the use of incendiary weapons as a subject of a comprehensive prohibition that must be included in the annex to the Rome Statute. The shortage of weapons has not been made have created significant gap in the application of the Rome Statute considering this is a fundamental violation of IHL. Moreover, notwithstanding the ICC and several countries refer it to the Court from 1-2 and 11 March 2022 through the ICC Prosecutor's Office to collect evidence in Ukraine, in fact Russia

is no longer ICC state party since 2016 and as a permanent member of the council that holds the veto, most likely Russia will not agree to the ICC.

Keywords: Russia Invasion, Ukraine 2022, International Humanitarian Law, ICC, War Crimes.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Konflik di Rusia dan Ukraina notabenenya dimulai sejak 2013-2014 dan berkorelasi dengan Revolusi Martabat Ukraina (atau Revolusi Euromaidan),1 bentrokan di ibu kota Ukraina, Kyiv antara pengunjuk rasa Euromaidan dengan pasukan keamanan memuncak dengan penggulingan Presiden terpilih Viktor Yanukovych dan penggulingan pemerintah Ukraina.2 Pada hakikatnya, konflik ini berawal ketika Rusia memulai invasi terhadap Ukraina berlandaskan isu krisis politik yang mengakibatkan konflik terjadi di Krimea, sebuah wilayah yang terletak di semenanjung Laut Hitam. Ukraina telah berusaha untuk menghadapi invasi dan pendudukan (okupasi) oleh Rusia di wilayah Krimea dan intensitas kontrol Rusia di dekat Laut Azov dan Laut Hitam yang berhasil menguasai sebagian besar Donbas tenggara wilayah Ukraina.3 Konflik ini telah menguntungkan Rusia dalam hal-hal berikut: i) wilayah Rusia melebar karena semenanjung Krimea yang penting dan strategis; ii) kontrol atas pangkalan militer penting Sevastopol dan bagian utara wilayah Laut Hitam; iii) degradasi kekuatan Ukraina baik di tingkat teritorial dan politik; iv) menghalangi pencalonan Ukraina untuk Uni Eropa dan yang paling penting untuk NATO;4 dan v) skema kemampuan militer dan perang siber Rusia yang tidak perlu diragukan kembali.5 Terlebih pula, Donetsk dan Luhansk adalah dua oblast di Ukraina Timur yang juga menjadi wilayah sasaran konflik. Kedua wilayah ingin memisahkan diri dari Ukraina karena diskriminasi akibat perbedaan antara rakyat Ukraina dengan Luhansk dan Donetsk sehingga wilayah tersebut ingin merdeka dari Ukraina.6

Konflik diatas merupakan awal dari konflik bersenjata modern berskala masif yang berlabelkan “invasi Rusia terhadap Ukraina”. Invasi yang dilakukan Rusia bertujuan mempertahankan keamanan dan eksistensi negaranya dari ancaman Ukraina dan berupaya membatasi kedekatan Ukraina dengan Uni Eropa dan NATO.7 Hal ini dilakukan untuk

menjaga keamanan negaranya dari ancaman blok barat dan pengaruh Amerika Serikat dan juga berusaha mempertahankan hubungan dekat Rusia dengan negara bekas pecahan Uni Soviet.8 Konflik ini berimplikasi sangat serius mulai dari masalah kemanusiaan hingga merembes ke perekonomian di seluruh penjuru dunia.9 Disamping itu dan yang tidak kalah pentingnya, konflik Rusia-Ukraina sebagai pusat perhatian dunia telah mengakibatkan tewasnya sipil, kelaparan yang disengaja, penggunaan proyektil sembarangan, hancurnya kota-kota hingga infrastruktur sipil di Ukraina yang mengakibatkan krisis kemanusiaan. Peringatan berupa kecaman terhadap invasi Rusia ke Ukraina telah diberikan oleh anggota kongres atas tindakannya yang diiringi dengan dukungan peningkatan bantuan ekonomi dan keamanan Ukraina.10 Namun, Rusia terus melanggar Hukum Humaniter Internasional (HHI) utamanya berlangsung sejak Februari 2022.

Isu serangan telah bergulir sejak November 2021 tatkala figur satelit menunjukkan pembangunan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Moskow diyakini oleh Barat akan memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. Intelijen Barat mengatakan Rusia akan menyerang Ukraina. Pada Desember 2021, Presiden Biden mendesak Rusia untuk mengurangi ketegangan dengan menjelaskan bahwa “AS dan sekutunya akan merespons dengan tegas jika Rusia menginvasi Ukraina lebih lanjut”. Dia menyatakan dukungannya untuk pembicaraan diplomatik yang akan datang tetapi menegaskan kembali bahwa kemajuan substantif hanya dapat dicapai dalam “lingkungan de-eskalasi daripada eskalasi”.11 Serangkaian pertemuan antara AS, NATO, OSCE dan Rusia berlangsung pada pertengahan Januari 2022.12 Konflik kemudian meningkat pada 24 Februari 2022 ketika pasukan militer Rusia mulai mengerahkan militer mereka di sepanjang perbatasan dengan Ukraina dengan total 190.000 tentara.13 Berbagai bangunan tempat tinggal, sekolah, dan rumah sakit hancur akibat menjadi target serangan dari Rusia akibat Rusia yang menggunakan tank, helikopter serbu, dan pesawat tempur dalam invasi ke Ukraina.14 Penggunaan persenjataan berat Rusia membuat kerusakan dahsyat yang merusak banyak fasilitas sipil Ukraina saat terjadi perang kota. Insiden ini termasuk serangan yang disengaja dan tidak pandang bulu terhadap warga sipil dan objek sipil (gedung tempat tinggal, taman kanak-kanak, sekolah, rumah sakit, bangsal bersalin, stasiun air, dan jaringan listrik), serta penggunaan senjata terlarang (amunisi tandan dan bom fosfor).15 Rekaman mengejutkan dan laporan saksi ditemukan dari daerah-daerah yang tidak diduduki di Oblast Kyiv, khususnya Bucha, dimana pada jalan-jalan dipenuhi

dengan mayat warga sipil dan lebih dari 400 mayat pria, wanita, dan anak-anak (banyak dari mereka dimutilasi dengan parah dan terbakar parah).16

Dengan demikian, melalui beberapa serangan dan perusakan besar-besaran terhadap sipil dan objek sipil, Rusia telah melanggar HHI yang ditujukan terhadap Ukraina ditinjau dari Rome Statute 1998 atau Statuta Roma, sebagai infra:

  • a)    Pasal 8(2)(b)(i) dan (iv): “Menyerang para sipil.”

  • b)    Pasal 8(2)(a)(iv), dan 8(2)(b)(ii) dan (iv): “Penghancuran tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan menyerang objek sipil.”

  • c)    Pasal 8(2)(b)(ix): “Menyerang properti budaya, sekolah dan rumah sakit.”

  • d)    Pasal 8(2)(b)(xxv): “Kelaparan, termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan.”

  • e)    Pasal 8 (2) (xx): “Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan menyebabkan cedera yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, secara inheren tanpa pandang bulu.”

Konflik ini disertai pula dengan pelanggaran prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, seperti prinsip: 1) Pembedaan; 2) Proporsionalitas; 3) Kebutuhan Militer; 4) Kewaspadaan; dan 5) kemanusiaan, sebagai prinsip-prinsip dasar HHI.

Dalam ranah International Criminal Court (ICC)/Mahkamah Pidana Internasional (MPI), konflik ini telah menjadi kesepakatan internasional yang mendorong beberapa negara untuk membawa konflik ini ke Pengadilan dari tanggal 1-2 dan 11 Maret 2022. The Office of the Prosecutor (OTP)/Kantor Kejaksaan di MPI juga telah memulai penyelidikan melalui jaksa dan membentuk tim 42 penyelidik terbesar yang pernah ada, termasuk ahli nasional yang diperbantukan demi mengumpulkan bukti di Ukraina.17 Terlepas dari banyaknya rintangan, penyelidikan MPI di Ukraina menjanjikan bahwa warga negara dari negara-negara kuat seperti Rusia tidak dapat melarikan diri dari keadilan dan bahwa para korban akan dibenarkan di masa depan, betapapun jauhnya jarak itu.18

Invasi Rusia kepada Ukraina dalam hukum humaniter internasional tertuang pada penelitian Agnieszka Szpak dalam Hungarian Journal of Legal Studies dan memiliki penelitian berjudul “Legal classification of the armed conflict in Ukraine in light of international humanitarian law”.19 Penelitian ini memberikan ruang spesifikasi akan penelitian hukum terhadap konflik bersenjata dalam hukum humaniter internasional yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina. Penulis mencoba untuk menetapkan apakah situasi di Krimea dan Ukraina timur adalah konflik bersenjata internasional atau non-internasional dan hukum apa yang berlaku. Tulisan ini menyimpulkan bahwa konflik bersenjata di Ukraina adalah konflik bersenjata internasional dan beberapa diantaranya sengaja disebabkan oleh Rusia yang bertentangan dengan hukum humaniter internasional.

Pada penelitian oleh Muhammad Michael Kahfi dan Arlina Permanasari dengan metode penelitian normatif yang berjudul “Analisis Penggunaan Rudal X-22 Dalam Perang

Rusia Ukraina Menurut Hukum Humaniter Internasional”.20 Penelitian membahas akan legalitas penggunaan alat dan cara berperang yang diatur dalam hukum humaniter internasional melalui Pasal 22-23 Hague Regulations 1907, Pasal 35 dan Bagian II – IV dari Protokol Tambahan I 1977. Dapat disimpulkan bahwa rudal X-22 sendiri adalah senjata konvensional yang dapat digunakan dalam berperang namun penggunaannya tetap harus mematuhi prinsip dasar penggunaan alat dan cara berperang serta prinsip-prinsip hukum humaniter lainnya.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa belum terdapat penelitian dengan pembahasan secara spesifik yang akan dipaparkan dalam penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Invasi Rusia Ke Ukraina 2022: Perspektif Hukum Humaniter Internasional.” Penulis akan mengawali penelitian ini dengan memaparkan pengertian dasar dari HHI dan MPI dalam analisis Invasi Rusia ke Ukraina 2022 dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional dan menganalisis wewenang dan tindakan MPI terhadap konflik ini ditinjau dari perspektif keilmuan Hukum Humaniter Internasional.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini adalah:

  • 1.    Bagaimana Invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022 dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional?

  • 2.    Bagaimanakah wewenang dan tindakan MPI terhadap konflik ini?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini untuk memahami dasar dari HHI dan MPI dalam analisis konflik Rusia dan ukraina melalui perspektif Hukum Humaniter Internasional dan menganalisis wewenang dan tindakan MPI terhadap konflik ini ditinjau dari sudut pandang keilmuan Hukum Humaniter Internasional.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan-tulisan dalam penelitian hukum ini mengadaptasi penelitian normatif berlandaskan kajian norma-norma yang terkandung dalam aturan-aturan hukum yang terbentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Jurnal hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang (Statute approach), pendekatan fakta (Fact approach), pendekatan analitis terhadap konsep hukum (analitical-legal konseptual approach) dan pendekatan historis (historical approach).21 Data yang digunakan yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu aturan, konvensi internasional, ataupun kasus-kasus internasional yang terkait dengan Rusia-Ukraina dan Hukum Humaniter Internasional serta bahan hukum sekunder berupa literatur yang sesuai dengan penelitian ini. Pengumpulan data dan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan.22 Analisis menggunakan pendekatan deskriptif analitis yang dilakukan dengan menggambarkan objek yang diteliti. Menggunakan teknik analisis kualitatif deskriptif untuk memaparkan dan menjelaskan

tentang apa adanya terkait suatu kondisi atau peristiwa hukum dengan disertai suatu tanggapan. Pendekatan perundang-undangan dalam hal ini untuk memperhatikan norma dalam suatu hierarki aturan konvensi atau aturan internasional dan apakah norma di dalamnya terdapat dalam peraturan khusus atau peraturan umum. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk menguraikan serta menganalisis permasalahan dan menemukan serta memahami konsep-konsep atau permasalahan tersebut.23

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022 dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita perlu penjelasan akan definisi Hukum Humaniter Internasional. Menurut Buku Hukum Humaniter Internasional: Pedoman untuk Anggota Parlemen halaman 8,24 Hukum Humaniter Internasional (selanjutnya disebut HHI), atau secara sinonim dikenal sebagai “hukum perang” atau “hukum konflik bersenjata”, terdiri dari peraturan-peraturan antara Negara, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya dalam lingkup konflik bersenjata. Sebagai cabang dari hukum internasional publik yang berfokus untuk melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi berpartisipasi dalam konflik dan membatasi sarana dan metode peperangan. Secara komprehensif, HHI terdiri dari hukum perjanjian internasional dan aturan kebiasaan yang secara khusus dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang timbul langsung dari konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional. Selain itu, ada 2 jenis konflik bersenjata internasional: i) non internasional dan; ii) internasional. Konflik bersenjata non-internasional di bawah pasal umum 3 pada Geneva Conventions/Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 [“Konvensi Jenewa”], dimana satu atau lebih kelompok bersenjata non-Negara terlibat. Tergantung pada situasinya, konflik dapat terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dan kelompok bersenjata non-Negara atau antara kelompok-kelompok tersebut saja.25 Sedangkan menurut pasal umum 2 Konvensi Jenewa, konflik bersenjata internasional adalah konflik bersenjata yang mungkin timbul antara dua negara atau lebih.26 Perlu dipahami bahwasanya HHI tidak berlaku untuk situasi seperti gangguan dan ketegangan internal yang diatur oleh hukum hak asasi manusia dan hukum domestik.27

Selanjutnya, HHI berkorelasi dengan perilaku kejahatan perang. Menurut jurnal “Hubungan antara hukum humaniter internasional dan pengadilan pidana internasional”,28 pelanggaran serius terhadap HHI merupakan kejahatan perang dan individu di semua tingkatan masyarakat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara individu. Pada tahun 2002 Mahkamah Pidana Internasional (MPI) menjadi badan permanen pertama yang dibentuk untuk memiliki yurisdiksi atas kejahatan internasional yang serius, termasuk kejahatan perang, terlepas dari apakah mereka dilakukan dalam

konflik bersenjata internasional atau non-internasional.29 MPI telah membuat Statuta Roma 1998 sebagai instrumen penegakan MPI dengan memberikan daftar rinci tentang apa saja yang secara prospektif dapat dikenai sanksi sebagai "kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.”30 Kasus Rusia-Ukraina berikutnya akan dikorelasikan dengan klasifikasi dari kategori kejahatan perang berdasarkan pasal 5 Statuta Roma dan MPI memiliki yurisdiksi atasnya.

Dalam kasus ini, internasional adalah nature dari konflik bersenjata Rusia dan Ukraina karena dilakukan diantara 2 negara. Dalam kasus ini, pelanggaran Rusia terhadap Hukum Humaniter Internasional ibarat list-to-do yang akan berakhir di MPI karena bertentangan dengan Statuta Roma 1998, Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:

  •    Pasal 8(2)(b)(i) dan (iv) Statuta Roma 1998: “menyerang warga sipil dan melancarkan serangan karena mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan hilangnya nyawa atau cedera pada warga sipil.”

  •    Juga telah notabenenya melanggar pasal 85 ayat (3) angka (1) dan (2) dari Additional Protocol I (AP-I) mengenai “serangan kepada penduduk sipil individu sipil” dan “melancarkan serangan tanpa pandang bulu kepada penduduk sipil atau objek sipil dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan hilangnya nyawa secara berlebihan, luka-luka terhadap penduduk sipil atau kerusakan terhadap benda-benda sipil, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 2 a) iii).

Serangan secara sembarangan/tidak pandang bulu/membabi buta (indiscriminate attack) dapat mengakibatkan konsekuensi insidental yang berlebihan31 jika tidak diarahkan pada tujuan militer tertentu atau menggunakan metode atau sarana dengan tujuan tersebut.32 Terlebih lagi, tindakan pencegahan (precaution) diperlukan dalam mengarahkan serangan sesuai dengan Pasal 15 Customary of International Humanitarian Law (CIHL), pasal 57 (1) AP-I. Penyerangan harus sesuai dengan Prinsip Pembedaan (Distinction) sebagaimana diatur dalam pasal 7 CIHL: “Para pihak dalam konflik harus setiap saat membedakan antara objek sipil dan tujuan militer. Serangan hanya boleh ditujukan terhadap sasaran militer. Serangan tidak boleh ditujukan terhadap objek sipil.” Saat ini, UN-Office of the High Commissioner for Human Rights (UN-OHCHR) telah meneliti dan mendokumentasikan penyebab kerugian sipil di Ukraina sejak 24 Februari 2022 yang terdiri dari penggunaan senjata peledak di daerah berpenduduk seperti penembakan dari artileri berat dan sistem peluncuran roket ganda (MLRS) serta serangan rudal dan udara/bom udara yang bisa membawa munisi tandan.33 Kematian warga sipil sejak perang dimulai adalah lebih dari 847 jiwa dan kemungkinan jauh lebih tinggi. PBB menyatakan hampir 3,4 juta orang telah

meninggalkan Ukraina sebagai pengungsi.34 Salah satu kasusnya adalah penembakan Rusia yang menewaskan sedikitnya 5 warga sipil, termasuk seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, di Kharkiv, kota timur terbesar kedua di Ukraina.35 Terdapat lebih dari 550 warga sipil Ukraina tewas, 26 luka-luka, dan merusak sedikitnya 5 bangunan rumah sakit, bahkan 2,5 juta Ukranian mengungsi ke negara-negara tetangga.36 Kejadian diatas merupakan salah satu serangan domino yang dilakukan oleh invasi skala penuh Rusia pada 24 Februari 2022. Tidak berhenti sampai disana, pasukan Rusia pun tidak mengambil tindakan pencegahan dan telah gagal untuk meminimalkan kerugian sipil dalam serangan yang didokumentasikan, termasuk 3 munisi tandan. 37

Berlanjut pada 9 Maret 2022, serangan udara Rusia langsung minggu lalu terhadap rumah sakit bersalin di Mariupol mengakibatkan 3 orang meninggal, 17 terluka dan telah membunuh seorang wanita hamil yang terluka dengan bayi di dalamnya. Baik wanita maupun janinnya tidak bisa diselamatkan.38 Sebagaimana telah diteliti dan ditelaah oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) terkait serangan bersenjata Federasi Rusia terhadap Ukraina mulai dari 24 Februari-25 September 2022, tercatat:39

  • i.    14.844 korban sipil di negara itu:

  • ii.   5.996 tewas dan;

  • iii.    8.848 terluka.

Ini termasuk di wilayah lain di Ukraina (kota Kyiv, dan Cherkasy, Chernihiv, Ivano-Frankivsk, Kharkiv, Kherson, Kirovohrad, Kyiv, Mykolaiv, Odesa, Sumy, Zaporizhzhia, Dnipropetrovsk, Khmelnytskyi, Poltava, Rivne, Ternopil, Vinnytsia, Volyn, dan wilayah Zhytomyr), yang berada di bawah kendali Pemerintah ketika korban terjadi: 6.462 korban (2.405 tewas dan 4.057 terluka). Sebagian besar korban sipil yang tercatat disebabkan oleh penggunaan senjata peledak dengan efek luas, termasuk penembakan dari artileri berat, sistem peluncuran roket ganda, rudal dan serangan udara. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa serangan Rusia terhadap Ukraina berkontradiksi dengan Pasal 8(2)(b)(i) dan (iv) Statuta Roma dan serangan membabi buta telah melanggar prinsip Pembeda dan prinsip Kehati-hatian dalam HHI.

  •    Pasal 8(2)(a)(iv), dan 8(2)(b)(ii) dan (iv) Statuta Roma 1998: “Perusakan properti yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer, menyerang objek sipil dan melancarkan serangan yang mengetahui serangan tersebut akan menyebabkan kerusakan pada objek sipil.”

Efek domino dari situasi Invasi Rusia terhadap Ukraina yang tidak dapat dipungkiri merupakan serangan yang tidak sah dan telah melanggar prinsip kebutuhan militer (military necessity) di bawah Hukum Humaniter Internasional. Suatu serangan akan sah jika ditujukan terhadap sasaran militer yang secara wajar dan bisa saja menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah namun perlu memberikan keuntungan militer yang sangat besar.40 Pada kasus terdahulu di kasus Prlic,41 kasus Katanga,42 dan kasus Strugar,43 penting juga untuk menilai keuntungan militer dari setiap objek property yang ada. Terlebih lagi seperti terdapat di Kasus Kordic44 dan mengadopsi pasal 14 dari Lieber Code45 dimana kebutuhan militer didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang sangat diperlukan untuk mengamankan tujuan perang dan yang sah menurut hukum modern dan kebiasaan perang.

Aturan ini pada hakikatnya berlaku untuk serangan luas terhadap objek sipil, termasuk bangunan tempat tinggal, alun-alun kota, dan bandara. Dalam kasus ini, mengenai perumahan sebagai salah satu objek sipil, pada 24 Februari-31 Maret 2022 di kota Kharkiv yang dibombardir oleh angkatan bersenjata Rusia hingga pertengahan Mei, OHCHR memverifikasi bahwa setidaknya 388 bangunan tempat tinggal rusak atau hancur. Selain itu, di Bucha, Irpin dan Hostomel di barat-utara Kyiv, OHCHR telah mengklarifikasi jumlah 482 bangunan tempat tinggal (bangunan tempat tinggal bertingkat dan rumah pribadi) yang rusak atau hancur. Sesuai dengan data Kementerian Pembangunan Teritorial, terdapat 12.300 bangunan tempat tinggal bertingkat (12 juta meter persegi) dan 104.100 rumah pribadi (1,7 juta meter persegi) yang rusak atau hancur di wilayah yang dikuasai Pemerintah.46 Pada akhir April 2022, kendaraan dan staf ambulans dan layanan pemadam kebakaran telah berulang kali ditembaki oleh angkatan bersenjata Rusia yang menguasai seluruh kota, kecuali area pabrik industri Azovstal. Termasuk pula, lebih dari 90% dari 1.880 rumah tinggal bertingkat telah rusak berat atau hancur total. Dalam analisis komprehensif, 62% wilayah kota yang terdiri dari perumahan pribadi memiliki tanda-tanda kerusakan akibat penembakan.47 Serangan rudal Rusia telah menghancurkan landasan pacu bandara utama di Odesa Ukraina dan pejabat setempat mengklarifikasi hal tersebut dianeksasi Rusia yang telah membuat bandara tidak lagi berguna, 8 orang tewas terbunuh.48

Dengan demikian, serangan tersebut tidak sah karena keuntungan militer tidak cukup besar dibandingkan dengan efek serangan yang masif dan secara bersamaan telah melanggar prinsip kebutuhan militer di medan perang. Oleh karena itu, invasi Rusia terhadap Ukraina telah bertentangan dengan Pasal 8(2)(a)(iv), dan 8(2)(b)(ii) dan (iv) Statuta Roma dan telah melanggar prinsip kebutuhan militer dalam HHI.

  •    Pasal 8(2)(b)(ix) Statuta Roma 1998, menyerang kekayaan budaya, sekolah & rumah sakit.

Prinsip Proporsionalitas diatur dalam Pasal 14 CIHL, pasal 51 (5) (b) dan 57 (2) (a) dari AP-I dimana: “Meluncurkan serangan yang dapat diperkirakan menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil, cedera pada warga sipil, kerusakan pada objek sipil, atau kombinasinya yang akan berlebihan dalam kaitannya dengan keuntungan militer yang nyata, langsung dan diantisipasi adalah dilarang.” Jika melihat aturan pada Statuta Roma49 dan Kasus Galic,50 sebuah serangan tidak proporsional jika memiliki konsekuensi insidental yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer secara keseluruhan.

Seakan larangan untuk tidak menghancurkan akses umum warga sipil di fasilitas Ukraina tidak cukup, banyak rumah sakit dan klinik telah dibom atau dibuat tidak dapat digunakan oleh angkatan bersenjata Rusia yang memberikan hambatan tambahan untuk layanan perawatan kesehatan termasuk perawatan kesehatan seksual dan reproduksi demi menyelamatkan sipil disana. Keuntungan militer yang diperoleh Rusia adalah menduduki dan menguasai wilayah tersebut dengan memberikan serangan terus menerus di wilayah Ukraina yang berada di bawah kendali pasukan Rusia atau yang dikuasai Rusia.51 Kharkiv sayangnya merupakan kota paling rusak di Ukraina yang salah satu kerusakannya memiliki 50 bangunan pendidikan hancur sejak 24 Februari 2022. Menurut pihak berwenang Ukraina, militer Rusia mengebom sebuah sekolah seni berisi 400 orang yang dilindungi di kota pelabuhan Mariupol yang diperangi.52 Melihat lebih jauh ke jalur serangan, serangan paling mematikan terjadi pada 16 Maret 2022 ketika Teater Drama dengan tanda yang jelas bertuliskan "ANAK-ANAK" dengan ratusan warga sipil yang berlindung di dalamnya, tidak dapat disangkal telah terkena bahan peledak kuat oleh bom udara Rusia dan berdampak pada banyak korban. Sehingga pada bulan April 2022, jumlah lengkap objek sipil yang rusak telah ditemukan, fasilitas kesehatan kritis (3 hancur dan 5 rusak).53

Lebih lanjut, OHCHR telah memverifikasi kerusakan atau kehancuran pada 182 fasilitas medis di wilayah Kyiv, Chernihiv, Donetsk, Luhansk, Mykolaiv, Sumy, Zaporizhzhia, Zhytomyr dan Kharkiv sebagian besar disebabkan oleh senjata peledak di daerah berpenduduk, seperti artileri berat, MLRS, rudal dan serangan udara: 111 rumah sakit, 11 fasilitas psiko-neurologis dan 60 fasilitas medis lainnya. Dengan rincian 159 rusak, 15 hancur, 5 diduga digunakan untuk keperluan militer, dan 3 dijarah. Menteri Kesehatan Ukraina telah berpendapat bahwa selama 24 Februari - 7 Mei 2022, angkatan bersenjata Rusia telah menghancurkan 40 dan merusak 500 fasilitas medis.54

Mengenai fasilitas pendidikan, OHCHR telah memverifikasi bahwa permusuhan telah mengakibatkan hancurnya 230 fasilitas pendidikan seperti: 155 sekolah, 16 universitas, 38 taman kanak-kanak, 20 sekolah khusus, dan 1 pusat ilmiah. Jumlah tersebut ditentukan yakni 32 sarana pendidikan (hancur), 186 (rusak), dan 12 (diduga digunakan untuk keperluan militer). Sebuah laporan pula telah dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Ukraina bahwa sejak 24 Februari 2022, 1.837 fasilitas pendidikan rusak atau hancur di negara tersebut.55

Kemudian terhadap tempat-tempat ibadah yang rusak atau hancur akibat dibobol oleh penembakan membabi buta. OHCHR sekali lagi melaporkan dan mendokumentasikan pengejaran terhadap 34 tempat ibadah Muslim, Kristen, dan Yahudi dihancurkan dan 40 rusak karena konflik. Di wilayah Luhansk dan Donetsk termasuk Sviatohirsk Lavra, bangunan-bangunan tersebut berulang kali rusak. Bangunan-bangunan ini akibatnya tidak lagi berguna sehingga membatasi kemampuan individu dan komunitas beragama untuk beribadah yang otomatis telah melanggar hak kebebasan beragama atau berkeyakinan.56

Dengan demikian, invasi Rusia terhadap Ukraina telah bertentangan dengan Pasal 8(2)(b)(ix) Statuta Roma 1998 karena menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil, cedera warga sipil, kerusakan objek sipil yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer secara keseluruhan. Sehingga secara otomatis telah pula melanggar Prinsip Proporsionalitas dalam HHI.

  •    Pasal 8(2)(b)(xxv) Statuta Roma 1998, kelaparan, termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan.

Seperti yang termaktub pada pada pasal 23(e) Regulasi Den Haag 1970: “Dilarang menggunakan senjata, proyektil, atau bahan yang dianggap menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.” Terlebih pula menurut buku pegangan International Humanitarian Law: Handbook for Parliamentarians,57 konsep kemanusiaan melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk menyebabkan penderitaan atau kehancuran yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah dari suatu konflik.

Dalam kasus ini, pelanggaran aturan diatas dapat terlihat melalui kondisi di kota-kota seperti Mariupol, dimana penembakan Rusia mencegah pengiriman bantuan kemanusiaan dan warga tetap terjebak, tidak dapat mengakses makanan, air, dan obat-obatan. Sergiy Orlov sebagai wakil walikota Mariupol, telah menggambarkan situasi tidak manusiawi ketika orang-orang yang berlindung di ruang bawah tanah dan teater kelaparan dan mencoba bertahan hidup tanpa makanan, obat-obatan atau catu daya, sehingga meminum salju yang mencair karena air telah terputus.58 Di Chernihiv, 16 Maret 2022, kondisi diperparah dengan 10 warga sipil yang mengantri roti di luar toko kelontong dibunuh oleh tentara Rusia. Orang-Orang Rusia merampas barang-barang Ukraina yang sangat diperlukan untuk bertahan hidup, penembakan menargetkan mesin pertanian, ladang, gudang biji-bijian, pasokan medis, sarana tempat tinggal, dan bahan bakar dan listrik tanpa pandang bulu dan warga sipil dicegah meninggalkan kota-kota yang terkepung.59 Menurunnya pasokan hidup sehari-hari akan lambat laun mengarah kepada kekurangan makanan yang ekstrim.

Oleh karena itu, efek serangan Rusia sebagai supra telah bertentangan dengan perlindungan yang diberikan oleh Pasal 8(2)(b)(xxv) Statuta Roma untuk mencegah kelaparan, termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan dan telah melanggar prinsip kemanusiaan di mana ia melarang penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering) dan penghancuran selama konflik bersenjata di bawah perlindungan HHI.

  •    Pasal 8 (2) (xx) Statuta Roma 1998: “Menggunakan senjata, proyektil, dan material serta metode peperangan yang bersifat menyebabkan cedera berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau yang secara inheren tidak pandang bulu melanggar ketentuan internasional hukum konflik bersenjata, dengan ketentuan bahwa senjata, proyektil dan bahan serta metode peperangan tersebut merupakan subjek larangan menyeluruh dan dimasukkan dalam lampiran Statuta ini, dengan suatu amandemen sesuai dengan ketentuan yang relevan yang ditetapkan dalam pasal 121 dan 123” atau ringkasnya dilarangnya penggunaan Senjata pembakar. Larangan penggunaan senjata pembakar dengan sengaja tertuang dalam pasal 8 (2) (xx) Statuta Roma 1998 dimana setiap senjata atau metode yang mengakibatkan cedera berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu akan melanggar Hukum Humaniter Internasional. Namun, kekhawatiran lebih lanjut adalah: Lampiran (annex) senjata di dalam Statuta Roma belum dibuat. Oleh karena itu, secara default, ketentuan Statuta Roma ini tidak dapat digunakan oleh Jaksa untuk meminta pertanggungjawaban seseorang karena menggunakan senjata sembarangan atau senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Ini adalah kesenjangan yang signifikan dalam penerapan Statuta Roma, mengingat ini adalah pelanggaran mendasar terhadap HHI.

Namun dalam poin ini, penulis hendak memaparkan bagaimana Rusia bisa melanggar pasal ini melalui bukti analisis diduganya Rusia menggunakan senjata dan metode yang sengaja dimaksudkan untuk menyebabkan bencana mengerikan terhadap sipil dan objek sipil sebagai kejahatan perang. Terbukti pada tanggal 24 Februari 2022 ketika Presiden Vladimir Vladimirovich Putin mengumumkan “operasi militer khusus”, Ukraina kemudian diserbu oleh Rusia dengan serangan udara dan rudal, dengan menggunakan munitions-guided munitions (PGMs) terhadap sasaran-sasaran utama. Serangan yang ditujukan terhadap instalasi angkatan laut, pusat komando dan kendali, pusat logistik, infrastruktur kritis, dan pertahanan udara oleh angkatan udara Rusia (VKS).60 Operasi militer khusus telah memainkan peran penting dalam perang Rusia melawan Ukraina. Di Krimea, sebagian besar pasukan khusus terlibat dalam tugas-tugas aksi rahasia, sedangkan di Donbas mereka terlibat dalam fungsi operasi khusus yang lebih teratur seperti pengintaian khusus, bantuan militer, dan aksi langsung. Aneksasi Krimea adalah langkah pertama bagi Komando Operasi Khusus yang baru untuk mengambil peran utama. Sehingga peningkatan kapasitas Rusia dalam operasi khusus tidak perlu diragukan lagi.61

Militer Rusia menggunakan pesawat tempur dan rudal jelajah (Kaliber) yang dikenal sebagai senjata presisi. Namun, secara kebetulan, rudal-rudal itu tampaknya menargetkan gedung-gedung pemerintah dan fasilitas militer Ukraina yang terletak dekat dengan daerah pemukiman dan mengakibatkan korban sipil di Kyiv dan Kharkiv. Selain itu, mereka memiliki Peluru kendali terbaru (udara-ke-darat hipersonik) dari Rusia yaitu Kh-47M2 Kinzhal yang dapat mencapai kecepatan lebih dari 10 Mach ditembakkan oleh pesawat tempur. 62 Fasilitas ini mampu menghancurkan fasilitas berbenteng dan bangunan besar.63 Pesawat-pesawat tempur dan rudal udara (termasuk peluru kendali udara) dapat

dikategorikan sebagai “ranjau jarak jauh” yang didefinisikan dalam pasal 2 (2) Protokol II tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan Ranjau, Memasang Ranjau, dan Lainnya Perangkat sebagaimana diubah pada 3 Mei 1996 dari Konvensi yang melarang Senjata Konvensional Tertentu (Protokol II CCW). Konvensi ini bersama dengan protokol-protokolnya dibuat oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dalam rangka membatasi jenis senjata dalam konflik bersenjata yang dapat dianggap terlalu merugikan atau memiliki efek yang tidak pandang bulu. Menyambung kembali dengan definisi ranjau jarak jauh adalah ketika ranjau yang tidak dipasang secara langsung tetapi telah dikirimkan dengan artileri, rudal, roket, mortir atau cara lain yang serupa, atau yang telah dilepaskan dari pesawat terbang. Oleh karena itu, penyebaran pesawat tempur dan rudal udara dilarang berdasarkan Protokol II CCW.

Selain itu, serangan-serangan di atas telah menimbulkan kerusakan tambahan terhadap obyek-obyek sipil dan infrastruktur militer Ukraina. Hal itu tidak diragukan lagi telah melanggar prinsip kebutuhan militer (military necessity) dan prinsip proporsionalitas (proportionality) dan utamanya tidak sejalan dengan Pasal 8 (2) (xx) Statuta Roma 1998.

  • 2.2 Wewenang dan Tindakan MPI Terhadap Invasi Rusia ke Ukraina

HHI dan MPI berada dalam kerangka yang sama yang secara khusus diatur di bawah Mahkamah Pidana Internasional.64 MPI didefinisikan berlandaskan pasal 1 Statuta Roma 1998 sebagai: “Sebuah Mahkamah Pidana Internasional (“Mahkamah”) dengan ini didirikan sebagai lembaga permanen dan akan memiliki kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang dengan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana dimaksud dalam Statuta ini, dan akan melengkapi yurisdiksi pidana nasional. Yurisdiksi dan fungsi Mahkamah akan diatur oleh ketentuan-ketentuan Statuta ini.” Bersamaan dengan yurisdiksi MPI atas kejahatan perang yang diatur berdasarkan pasal 5 (c) Statuta Roma, “Kejahatan di bawah Yurisdiksi Pengadilan adalah”:

  • a.    Kejahatan Genosida

  • b.    Kejahatan terhadap Kemanusiaan

  • c.    Kejahatan perang

  • d.    Kejahatan agresi

Dalam kasus Rusia-Ukraina berada dalam wilayah yurisdiksi MPI salah satunya bersinggungan dengan “Kejahatan Perang”. Kejahatan perang yang didefinisikan lebih lanjut sesuai dengan pasal 8 (2) (b) Statuta Roma adalah: “Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, dalam kerangka hukum internasional, termasuk tindakan dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personel, unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan, serta tindakan penolakan kuartal.”

Selain itu, sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di poin 2.1 penelitian ini dimana selama invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 telah melahirkan pelanggaran-pelanggaran yang sejalan dengan pasal-pasal kejahatan perang di Statuta Roma dan bersinggungan dengan HHI khususnya telah melanggar prinsip-prinsip dasar HHI. Sebagai pelanggaran yang mencolok terhadap HHI, Rusia telah memberikan alasan yang jelas kepada MPI untuk melakukan penyelidikan atas situasi di Ukraina oleh jaksa internasional. Kesanggupan seorang jaksa untuk memulai penyidikan terhadap kejahatan

tersebut disebut sebagai “Proprio Motu” dan diatur dalam pasal 13 (c) dan pasal 15 Statuta Roma. Sejak Februari 2022, Karim Khan QC, Jaksa MPI, bersama tim penyelidiknya telah membuka penyelidikan di Ukraina. Mereka mengumpulkan dasar yang kuat untuk memercayai bukti dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada tanggal 28 Februari 2022, setelah pemeriksaan pendahuluan dari Kejaksaan MPI, maka menghasilkan kesimpulan awal bahwa beberapa kejahatan yang dituduhkan termasuk dalam yurisdiksi Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 5 Statuta Roma. Pada tanggal 1-2 dan 11 Maret 2022, Kantor Jaksa menerima rujukan dari Negara Pihak dari beberapa negara bagian. Tindakan ini salah satu indikator pendukung bahwa invasi Rusia berada dibawah jurisdiksi MPI, diatur berdasarkan pasal 14 (1) Statuta Roma dimana: “Suatu Negara Pihak dapat merujuk kepada Penuntut Umum suatu situasi di mana satu atau lebih kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan tampaknya telah dilakukan, meminta Penuntut untuk menyelidiki situasi tersebut untuk tujuan menentukan apakah satu atau lebih orang tertentu harus didakwa dengan melakukan kejahatan semacam itu.”

Saat ini, kasus ini dirujuk oleh beberapa negara pihak RS seperti: Republik Lithuania. Persemakmuran Australia, Republik Austria, Republik Albania, Kerajaan Belgia, Republik Bulgaria, Kanada, Republik Kolombia, Republik Kosta Rika, Republik Kroasia, Republik Siprus, Republik Ceko, Kerajaan Denmark, Republik Estonia, Republik Finlandia, Republik Prancis, Georgia, Republik Federal Jerman, Republik Hellenic, Hongaria, Republik Islandia, Irlandia, Republik Italia, Republik Latvia, Kerajaan Liechtenstein, Grand Duchy of Luxembourg, Republik Malta, Selandia Baru, Kerajaan Norwegia, Kerajaan Belanda, Republik Polandia, Republik Portugal, Rumania, Republik Slovakia, Republik Slovenia, Kerajaan Spanyol, Kerajaan Swedia, Konfederasi Swiss, Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara, Jepang, Montenegro, dan Makedonia Utara. Selain itu, Kantor Kejaksaan telah mengumumkan secara terbuka bahwa setiap orang yang mengklaim informasi yang relevan dengan situasi Ukraina dapat menghubungi penyelidik MPI.65

Mengenai yurisdiksi Rusia dan Ukraina sebagai pihak dalam konflik ini, Ukraina adalah non-Negara Pihak Statuta Roma namun telah menerima yurisdiksi kejahatan MPI di bawah Statuta Roma melalui pelaksanaan hak prerogatif dua kali (pasal 12(3) Statuta Roma). Deklarasi pertama dikorelasikan dengan dugaan kejahatan yang dilakukan di Ukraina dari 21 November 2013-22 Februari 2014 diajukan oleh Pemerintah Ukraina untuk menerima yurisdiksi MPI. Deklarasi kedua terkait dengan dugaan kejahatan yang sedang berlangsung saat Rusia menginvasi Krimea di wilayah Ukraina pada 20 Februari 2014.66 Di sisi lain, Rusia menarik diri dari MPI pada tahun 2016 setelah laporan pengadilan yang menyatakan aneksasi Rusia atas Krimea sebagai pendudukan yang membawa Rusia ke dalam kategori kejahatan agresi. Perlu dicatat bahwa individu suatu negara tidak dapat dituntut oleh pengadilan atas kejahatan yang dituduhkan jika suatu negara bukan merupakan pihak dalam MPI. Satu-satunya pengecualian adalah melalui pelaksanaan yurisdiksi berdasarkan pasal 13(2) Statuta Roma dimana dewan keamanan PBB dapat merujuk non-pihak Statuta Roma ke MPI untuk kejahatan agresi, namun sayangnya, Rusia, sebagai anggota tetap dewan, memegang veto, jadi ini tidak akan terjadi.67

Terlebih lagi, ada pengecualian untuk bidang yang dapat dituntut di bawah yurisdiksi MPI melalui Statuta Roma yaitu pada penggunaan senjata pembakar selama invasi oleh

Rusia. Ketentuan Statuta Roma mengharuskan senjata tersebut menjadi subjek larangan komprehensif dan termasuk dalam lampiran Statuta Roma sementara lampiran senjata belum dibuat. Sehingga sayangnya, kemungkinan besar Rusia khsusunya Presiden Vladimir Vladimirovich Putin selaku seorang indvidu yang seharusunya diadili dibawah MPI tidak dapat diadili dikarenakan hak veto tersebut. Namun, upaya MPI melalui Kantor Jaksa Penuntut Umum dalam menginvestigasi kejahatan-kejahatan perang yang ada selama invasi Rusia ke Ukraina bukan lah usaha yang sia-sia sehingga banyak mengundang banyak dukungan dari negara-negara partai Statuta Roma untuk merujuk kasus ini ke MPI.

Oleh karena itu, jika dilihat berdasarkan ketentuan dalam Statuta Roma dan prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional, menargetkan sipil dan objek sipil seperti yang telah kita lihat selama invasi Rusia ke Ukraina adalah pelanggaran mencolok terhadap Hukum Humaniter Internasional. Secara sederhana, dapat dikatakan sebagai kejahatan perang skala internasional.

  • 4.    Kesimpulan

Invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022 telah secara eksplisit merupakan suatu peristiwa pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional dan prinsip-prinsip fundamental di dalamnya beserta pelanggaran secara massif terhadap beberapa pasal mengenai “Kejahatan Perang” di dalam Statuta Roma 1998. Rusia memiliki banyak kegagalan dalam upaya untuk berhati-hati akan keselamatan penduduk sipil, individu sipil, dan objek sipil selama melakukan operasi militer nya yaitu melalui pelanggaran-pelanggaran terhadap:

  • a)    Pasal 8(2)(b)(i) dan (iv): Menyerang para sipil.

  • b)    Pasal 8(2)(a)(iv), dan 8(2)(b)(ii) dan (iv): Penghancuran tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan menyerang objek sipil.

  • c)    Pasal 8(2)(b)(ix): Menyerang properti budaya, sekolah dan rumah sakit.

  • d)    Pasal 8(2)(b)(xxv): Kelaparan, termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan.

  • e)    Pasal 8 (2) (xx): Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan menyebabkan cedera yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, secara inheren tanpa pandang bulu.

Pelanggaran dilakukan pula terhadap prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional, seperti prinsip: 1) Pembedaan; 2) Proporsionalitas; 3) Kebutuhan Militer; 4) Kewaspadaan; dan 5) kemanusiaan, sebagai prinsip-prinsip dasar HHI. Secara sederhana, dapat dikatakan sebagai kejahatan perang yang diatur dalam Pasal 5 (c) di Statuta Roma dan secara langsung berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (MPI).

Daftar Pustaka

Buku

Diantha, I. Made Pasek, and M. S. Sh. Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media, 2016.

ICRC and Inter Parliamentary Union. International Humanitarian Law: Handbook for Parliamentarians N° 25. Courand et Associés, 2016.

Iswardhana, Muhammad Ridha. Seri Buku AIHII: Isu-Isu Kontemporer Internasional. Konflik Rusia-Ukraina: Tinauan dari berbagai perspektif. Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia Press, 2022.

Mahmud Marzuki, Peter. "Penelitian hukum." Jakarta: Kencana Prenada Media 55 (2005).

Suba, Martin. "Land warfare in Ukraine. Modern Battlefield of Europe." European Army Interoperability Centre Finabel, Food for Thought 5 (2019).

Yekelchyk, Serhy. The Conflict in Ukraine: What Everyone Needs to Know®. Oxford University Press, 2015.

Jurnal

Bakrie, Connie Rahakundini, Mariane Olivia Delanova, and Yanyan Mochamad Yani. "Pengaruh perang Rusia dan Ukraina terhadap perekonomian negara kawasan Asia Tenggara." Caraka Prabu: Jurnal Ilmu Pemerintahan 6, no. 1 (2022): 65-86.

Bukkvoll, Tor. "Russian special operations forces in Crimea and Donbas." The US Army War College Quarterly: Parameters 46, no. 2 (2016): 4.

Dwinanda Sudiq, Rio dan Yustitianingtyas, Levina. “Intervensi Rusia Terhadap Ukraina Pada Tahun 2022 Sebagai Pelanggaran Berat HAM.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 10, No. 3 (2022): 101-117.

Kahfi, Muhammad Michael, And Arlina Permanasari. "Analisis Penggunaan Rudal X-22 Dalam Perang Rusia-Ukraina Menurut Hukum Humaniter Internasional." Teras Law Review: Jurnal Hukum Humaniter Dan Ham 4, No. 1 (2022): 59-68.

Kotoulas, Ioannis E dan Pusztai, Wolfgang. “Geopolitics of the War in Ukraine”. Foreign Affairs Institute 1, No. 4 (2022):1-77.

Marchuk, Iryna dan Wanigasuriya, Aloka. “The ICC and the Russia-Ukraine War”. INSIGHTS 26, No. 4 (2022): 4.

Mills, Claire. “Ukraine: Russia's red line”. Commons Library Research Briefing 1, No. 9401 (2022):1-35.

Nurahman, Arip dan Pribadi, Pandu. “Rudal Canggih dari Tiga Negara Superpower: JASSM, Kinzhal, dan DF-41.” Bincang Sains dan Teknologi (BST) 2. No. 1 (2023):21-29.

Nurkhasan, Wildan Arif, Setyasih Harini, and Sritami Santi Hatmini. "Luhanks And Donets Separatists in Ukraine in 2022." Solidaritas: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial 6, no. 2 (2022).

Pasorong, Ridwan. "Implementasi Hukum Humaniter Dalam Konflik Bersenjata Antara Rusia Dan Ukraina." Lex Privatum 11, no. 4 (2023).

Pisciotta, B. “Russian revisionism in the Putin era: An overview of post-communist military interventions in Georgia, Ukraine, and Syria.” Italian Political Science Review, No. 50 (2020): 87-106.

Posse, Hortensia D. T. Gutierrez. “The Relationship Between International Humanitarian Law and the International Criminal Tribunals”, International Review of The Red Cross 88, No. 861 (2016): 65-86.

Pujayanti, Adirini. “Posisi Rusia dan Perkembangan Krisis Ukraina.” Jurnal Info Singkat Hubungan Internasional 6, No. 13 (2014): 5-15.

Sonata, D.L. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum 8, No. 1 (2014): 15-35.

Szpak, Agnieszka. “Legal classification of the armed conflict in Ukraine in light of international humanitarian law.” Hungarian Journal of Legal Studies 58, No 3 (2017):261-280.

Winaldi, Yuanda dan Setiyono, Joko. “Russian Conflict on Ukraine Based on Humanitarian Law Perspective”, Law Reform 18, No. 2 (2022): 252-263.

Internet

Congressional Research Service. “Ukraine: Background, Conflict with Russia, and U.S. Policy.” (2022). Retrieved from https://sgp.fas.org/crs/row/R45008. , diakses 20 Juni 2022.

Detiknews. “Rusia Gempur Kharkiv Ukraina, 15 Tewas Termasuk Bocah 8 Tahun.” Retrieved from https://news.detik.com/internasional/d-6140641/rusia-gempur-kharkiv-ukraina-15-tewas-termasuk-bocah-8-tahun, diakses 5 Agustus 2022.

International Criminal Court. “Situation in Ukraine ICC-01/22.” Retrieved from https://www.icc-cpi.int/ukraine diakses 10 Oktober 2022.

Npr. “6 key numbers that reveal the staggering impact of Russia's war in Ukraine.” Retrieved from https://www.npr.org/2022/08/24/1119202240/ukraine-russia-war-by-numbers, diakses 4 Agustus 2022.

United Nations Meetings Coverage and Press Releases. “Russian Federation Announces ‘Special Military Operation’ in Ukraine as Security Council Meets in Eleventh-Hour Effort to Avoid     Full-Scale     Conflict.” Retrieved from

https://www.un.org/press/en/2022/sc14803.doc.htm, diakses 2 Agustus 2022.

Konvensi-Konvensi Internasional

Armenia. Criminal Code of the Republic of Armenia, 2003.

Geneva. Protocol II on Prohibitions or Restrictions on the Use of Mines, Booby-Traps and Other Devices as amended on 3 May 1996 from the Convention prohibiting Certain Conventional Weapons.

Republic of Belarus. Criminal Code of the Republic of Belarus, 1999.

Republic of Niger. Criminal Code of the Republic of Niger, 1961.

Rome. Rome Statute of the International Criminal Court, 1998.

Swiss. Geneva Conventions of 12 August, 1949.

Ukraine. Amid Violence, Mass Forced Displacement, ‘Lives of Millions’ of Ukrainian Civilians at Stake, Humanitarian Affairs Chief Tells Security Council. Security Council 8983rd Meeting (PM) SC/14812, 28 February 2022.

United States of America. Customary of International Humanitarian Law by International Committee of the Red Cross, 2005.

United States of America. Liber Code, Instruction for the Government of Armies of the United States in the Field, 1863.

Kasus-Kasus Internasional

Netherland. Prosecutor v. Germain Katanga, ICC-01/04-01/07, TC, 2004.

Swiss. United Nations Human Rights Office of the High Commissioner. Situation of Human Rights in Ukraine in the Context of the Armed Attack by the Russian Federation, 24 February-15 May 2022.

Yugoslavia. Prosecutor v. Dario Kordic and Maria Cerkez, IT-95-14/2-A, Judgement, 1995.

Yugoslavia. Final Report to the Prosecutor by the Committee Established to Review the NATO Bombing Campaign against the Federal Republic of Yugoslavia, 1999.

Yugoslavia. Prosecutor v. Jadranko Prlic, ICTY-04-74-T, 2004.

Yugoslavia. Prosecutor v. Pavle Strugar, ICTY, IT-01-42-T, 2001.

Yugoslavia. Prosecutor v. Stanislav Galic, IT-98-29-T, 1998.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 4 Tahun 2023 hlm 347-364

364