PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

KOSMETIK YANG TIDAK TERDAFTAR DALAM BPOM

I Gusti Ayu Sinta Kesuma Devi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai proteksi hukum atas konsumen yang mengonsumsi atau mempergunakan produk kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM serta untuk mengetahui sanksi hukum yang akan diterapkan bagi para pemilik usaha kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM dan Langkah preventifnya. Melalui metode penelitian hukum yuridis normatif, yang mana penelitian yang dicoba menerapkan metode, mempelajari, serta menelusuri literatur hukum dan menganalisa informasi sekunder semacam aturan Perundang-Undangan serta teori hukum, guna mendapatkan informasi ataupun kebenaran akurat sesuai aturan yang ada agar memperoleh kepastian hukum yang tetap. Perihal tentang proteksi hukum sudah dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (1) serta (2) UUPK perihal Tanggung Jawab Pelaku Usaha, sejatinya pengusaha mempunyai kewajiban menyediakan kompensasi kepada konsumen atas kerugian yang diakibatkan karena mengkonsumsi atau menggunakan barang maupun jasa yang diperjualbelikan. Peranan BPOM yakni melaksanakan aktivitas evaluasi serta penyidikan atas pelaku usaha yang nakal. Adapun pelaku usaha yang tak patuh pada aturan bisa dijerat sanksi hukuman berbentuk sanksi administratif serta sanksi pidana.

Kata Kunci: Sanksi Hukum, Kosmetik, Perlindungan Konsumen.

ABSTRACT

Writing this journal aims to provide an understanding of legal protection for consumers who consume or use cosmetic products that are not registered with BPOM and to find out the lagal sanctions that will be applied to cosmetic business owner who are not registered with BPOM and their preventive steps. Through normative juridical legal research methods, in which research attempts to apply methods, study and explore legal literatur and analyze secondary information such as statutory regulations and legal theory, in order to obtain accurate information or truth in accordance with existing regulations in order to obtain permanent legal certainty. Regarding legal protection, it has been explained in Article 19 paragraphs (1) and (2) of the UUPK regarding Responsibilities of Business Actors, in fact entrepreneurs have the obligation to provide compensation to consumers for losses caused by consuming or using goods or services that are traded. The role of BPOM is to carry out evaluation and investigation activities on unscrupulous business actors. As for business actors who do not comply with the rules can be subject to sanctions in the form of administrative sanctions and criminal sanctions.

Keywords: Legal Sanctions, Consumer Protection, Cosmetics.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Beragam merek kosmetik yang diperedarkan saat ini dianggap semakin mengkhawatirkan. Kosmetik sebagai salah satu dari sekian peluang usaha yang cukup menjanjikan dimata pengusaha, entah itu kosmetik yang berizin edar ataupun kosmetik yang tak berizin edar.1 Banyak yang merupakan barang impor ataupun barang lokal yang belum didaftarkan di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), tak hanya itu, produk pun tak menguraikan kandungan apa saja yang digunakan. Beberapa jenis kosmetik berbahaya yang ditemukan seperti krim pemutih, bedak, lipstick, serta perona wajah yang memiliki kandungan zat beracun pemicu kanker, antara lain timbal, merkuri, asam retinoat, serta pewarna rhodamin.

Kemauan perempuan guna senantiasa terlihat menarik banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha tak bertanggung jawab untuk membuat atupun menjual kosmetik yang tak mematuhi ketentuan peredaran umum ataupun peraturan yang berlaku guna bisa diedarkan kepada konsumen publik. Mayoritas perempuan begitu cepat termakan iklan untuk mencoba produk kosmetik yang harganya terjangkau dengan hasil yang kilat. Maka dari itu, cukup banyak perempuan menerapkan jalan pintas contohnya dengan membeli kosmetik yang tak sesuai syarat serta tak tercatat di BPOM. Adapun kosmetik itu dapat diperoleh dengan harga cukup murah sebab tak mempunyai izin edar dari BPOM, tak terdapat label untuk bahan yang dipergunakan, serta tak terdapat tanggal kadaluwarsa.

Ketidaktahuan konsumen akan efek samping kosmetik yang memiliki bahan beresiko membuat mereka terus memakai produk kosmetik tersebut. Produk ini kian laris dipasaran sebab terdapat banyak permintaan serta kebutuhan konsumen, juga efek yang dikatakan berhasil lewat testimoni dari para konsumen yang sudah mempergunakannya.2 Meski begitu sangat sulit untuk mengetahui kebenaran dari suatu produk sebelum menguji khasiat dari produk itu sendiri. Karena itu, adanya uji kelayakan sebuah produk berupa obat serta kosmetik, pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berperan juga berfungsi strategis. Minimnya keseimbangan guna melindungi hak serta kepentingan konsumen menimbulkan melemahnya status konsumen, terutama pada saat barang yang diproduksi terbatas. Hal itu dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk memaksimalkan keuntungan dengan berbagai alasan curang.

Niat baik para pengusaha dimulai sejak suatu produk dirancang hingga tahapan penjualan, dikarenakan adanya kemungkinan konsumen yang mengalami kerugian saat produk tersebut diproduksi oleh para pengusaha.3 Dalam kondisi ini, perlindungan konsumen mengenai kosmetik yang tak terdafar BPOM tertuang di UU Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen tentang uraian informasi mengenai komposisi bahan pada kosmetik.4 Dalam Business English Dictionary,

dijelaskan bahwa perlindungan konsumen memberi perlindungan untuk konsumen dari pedagang illegal ataupun tak adil. Dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan perlindungan konsumen ialah hukum yang melindungi konsumen saat menggunakan suatu produk. Perlindungan konsumen sendiri yakni konotasi yang dipergunakan untuk menguraikan suatu perlindungan hukum bagi konsumen saat memenuhi kebutuhan dari tindakan yang memicu kerugian bagi konsumen.5

Terdapat dua penelitian yang sebelumnya membahas mengenai kosmetik yang tidak terdaftar dalam BPOM. Penelitian pertama ditulis oleh Desiana Ahmad dan Mutia Ch. Thalib dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar”.6 Penelitian yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab hukum pelaku usaha terhadap peredaran kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi kendala terkait pemenuhan tanggung jawab pelaku usaha terhadap peredaran kosmetik yang memiliki izin edar. Penelitian kedua yang ditulis oleh Cesyafrina, Esti Ningrum, dan Agoes Djatmiko dengan judul “Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Tidak Terdaftar Di Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Jawa Tengah”.7 Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui kendala Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) terhadap peredaran kosmetik yang tidak terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta mengetahui upaya PPNS-PK dalam mengatasi peredaran kosmetik yang tidak terdaftar di BPOM Jawa Tengah. Tujuan dari kedua penelitian sebelumnya memiliki perbedaan dengan tujuan penelitian yang akan diulas. Dimana, dalam penulisan penelitian ini bertujuan untuk memahami proteksi hukum atas konsumen yang mengkonsumsi produk kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM dengan dan lebih menekankan pada sanksi hukum yang akan diterapkan bagi pemilik usaha ksometik yang tak terdaftar pada BPOM serta langkah preventifnya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen mengenai kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM?

  • 2.    Apa sanksi hukum yang diterapkan bagi pemilik usaha kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM serta bagaimana langkah preventifnya?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penyusunan penelitian ini mempunyai tujuan memahami proteksi hukum atas konsumen yang mengonsumsi produk kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM serta guna mengetahui sanksi hukum yang diterapkan bagi pemilik usaha kosmetik yang tak terdaftar pada BPOM serta langkah preventifnya.

  • 2.    Metode Penelitian

Artikel ilmiah ini disusun dengan metode penelitian hukum normatif yang melaksanakan kajian serta menganalisis subyek dengan substansi hukum sebagai data hukum primer dan sekunder guna menemukan aturan hukum yang mengatur

permasalahan tersebut agar dapat ditemukan adanya suatu solusi dari permasalahan yang ada.8 Jenis pendekatan yang digunakan guna menunjang proses penyusunan yakni pendekatan perundang-undangan (state approach) yang dilakukan dengan cara meninjau seluruh aturan perundang-undangan yang relevan sesuai dengan permasalahan hukum yang ada. Selain itu, dilakukan analisis terhadap sejumlah referensi mengenai permasalahan yang dibahas dengan menggunakan Teknik studi dokumen. Serta penggunaan analisis kajian deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan cara menguraikan dan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang mengacu pada penelitian yang dilakukan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Proteksi Hukum Terhadap Konsumen Mengenai Kosmetik Yang Tidak Terdaftar Dalam BPOM

Kemajuan teknologi memberi peluang untuk individu untuk merancang temuan baru memberikan banyak dampak positif, tetapi sebab itu timbul pula dampak negatif tentang temuan baru yang mampu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Guna mengatasi hal itu, dibentuklah suatu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menjadi pengawas juga peneliti produk berdasarkan temuan-temuan itu sebelum didistribusikan ke masyarakat. Izin edar yakni wujud izin registrasi makanan maupun kosmetik yang dicetuskan oleh BPOM guna mengizinkan produk untuk diedarkan dengan legal di Indonesia. Seluruh kosmetik yang hendak diperjualbelikan, entah yang dibuat di dalam maupun luar negeri, jika ingin diedarkan di Indonesia harus didaftarkan di BPOM untuk mendapat nomor izin edar. Adapun Nomor Registrasi BPOM berfungsi untuk memantau produk yang tersebar di pasar, jadi apabila muncul permasalahan mampu secara mudah untuk melacak pelakunya.9 Badan POM sejauh ini hanyalah sebagai Badan Pemerintah yang berwenang mengatasi peredaran makanan maupun obat-obatan. Adapun Badan POM sendiri mempunyai tanggung jawab atas peredaran produk kecantikan, kosmetik, serta perawatan kulit.

Wujud pemerintah terkait pemberantasan produk illegal yang terdapat kandungan bahan berbahaya didalamnya, juga sebagai wujud memberi rasa adil dalam berwirausaha untuk para pengusaha, Badan POM konsisten menertibkan peredaran kosmetik yang mampu memicu kerugian bagi konsumennya. Penertiban yang dilaksanakan Badan POM entah secara mandiri ataupun menggandeng lintas bidang terkait lewat evaluasi berkala, intensifikasi, ataupun melalui target tertentu demi penegakan hukum. Hampir setiap harinya Badan POM akan rutin mengawasi peredaram kosmetik yang ada di pasar dan apabila memperoleh laporan perihal peredaran kosmetik yang berbahaya, maka selanjutnya bidang penyelidikan Badan POM akan berkoordinasi guna melaksanakan pengecekan.10 Ketika pengecekan, produk yang terdapat dugaan memiliki kandungan bahan berbahaya tak akan

langsung disita ataupun dimusnahkan, namun akan dibeli sebagai sampel menggunakan dana negara kemudian diujikan pada laboratorium. Jikalau terbukti suatu produk tersebut mempergunakan bahan berbahaya maka Badan POM akan bertindak sejalan dengan SOP (Standart Operational Procedur), dimana akan dilaksanakan penyitaan produk, jikalau sudah mendapat persetujuan dari pihak Pengadilan, selanjutnya penyidik akan memusnahkan lalu dibakar di tempat pembuangan akhir.

Mengenai perlindungan hukum atas konsumen tertuang di UU Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen. Adapun ketentuan itu mencakup hak beserta kewajiban pengusaha serta konsumen, tanggung jawab serta larangan pengusaha, juga pembinaan serta peninjauan pemerintah. Adapun perlindungan hukum yang diuraikan pada UU Perlindungan Konsumen mempunyai tujuan guna melindungi hak konsumen, tak terkecuali konsumen pembeli kosmetik yang tak terdaftar mereknya di BPOM. Pasal 1 angka (1) pada UU No. 8 Tahun 1999 dinyatakan jika “Perlindungan konsumen merupakan segala upaya untuk menjamin kepastian hukum guna melindungi konsumen”. Walau telah terperinci secara jelas dalam Undang-Undang serta peraturan yang wajib dicermati dan dilindungi oleh pemilik usaha, dalam praktiknya perihal ini masih kerap diabaikan karena itikad kurang baik para pelaku usaha dan dalam melaksanakan usahanya mereka hanya didorong untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.11

Berkenaan dengan hak konsumen, dijelaskan pula pada Pasal 4 UUPK huruf c yang menerangkan konsumen mempunyai hak memperoleh keamanan, kenyamanan, serta keselamatan disaat mempergunakan barang ataupun jasa.12 Serta konsumen mempunyai hak memperoleh data yang jujur, jelas, serta tepat perihal kondisi produk.13 Seorang konsumen mempunyai hak atas jaminan barang ataupun jasa yang tak boleh merugikan apabila dipergunakan sedemikian rupa jadi konsumen tak merasa dirugikan baik secara jasmani ataupun rohani. Jadi, hak atas jaminan ini menjadi sangat krusial.

Tidak hanya hak yang tertera di Pasal 4, ada pula hak konsumen yang teruraikan di Pasal 7 UUPK, dimana secara khusus menguraikan mengenai kewajiban pengusaha. Disebutkan bahwa, kewajiban utama bagi pelaku usaha adalah perlindungan terhadap konsumen itu sendiri, yakni memberi pelayanan yang benar serta jujur juga tak membeda-bedakan konsumen, lalu haknya tentu memperoleh pembayaran konsumen selaras dengan kesepakatan.14 Kewajiban lainnya yang diuraikan di Pasal 7 UUPK yakni :

  • a)    Mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha.

  • b)    Memberi informasi yang jujur, jelas, serta tepat perihal keadaan dan jaminan produk, juga memberikan petunjuk pemakaian, pemeliharaan, serta perbaikan.

  • c)    Memberi jaminan atas kualitas produk yang diproduksi maupun diperjualbelikan sesuai aturan standar mutu produk yang sedang berlaku.

  • d)    Memberikan peluang bagi konsumen untuk mencoba maupun menguji produk dan memberi garansi untuk produk yang diperjualbelikan.

  • e)    Memberikan kompensasi, ganti rugi, ataupun penggantian atas kerugian yang disebabkan oleh pemakaian produk yang diperjualbelikan.

  • f)    Memberikan ganti rugi, kompensasi, ataupun penggantian jikalau produk yang diterima tak seperti yang tercantum di perjanjian.

Adapun Pasal 8 UUPK memaparkan tentang perilaku yang dilarang terhadap pengusaha, dan sejatinya pasal ini bertujuan untuk dua hal. Dengan kata lain, larangan pembuatan produk serta larangan perdagangan produk yang tak memenuhi standarisasi kualitas. Jika pengusaha menjual produk kosmetik yang jelas-jelas dilarang seperti yang diartikan di Pasal 8 ayat (4) UUPK, produk itu harus diberhentikan dari peredaran.15

  • 3.2    Sanksi Hukum Yang Diterapkan Bagi Pemilik Usaha Kosmetik Yang Tak

    Terdaftar Pada BPOM Serta Upaya Preventifnya

Dalam hubungan diantara pengusaha dan konsumen, terkait ada atau tidaknya kerugian yang dialami salah satu pihak, entah terkait pemakaian, pemanfaatan, ataupun penggunaan produk yang diproduksi oleh pengusaha itu sendiri tak lepas dari tanggung jawab hukum.16 Pertanggungjawaban yang dimaksud seperti pertanggungjawaban hukum perdata. Apabila dihubungkan dengan UUPK, di Pasal 19 UUPK diatur perihal pertanggungjawaban pengusaha, yakni: Pengusaha bertanggung jawab dalam pemberian ganti rugi terkait pencemaran, kerusakan, maupun kerugian yang dirasakan konsumen sesudah mengonsumsi produk yang diperdagangkan. Pada ayat (1) ganti rugi mampu berwujud pengembalian uang maupun penggantian produk sejenis ataupun bernilai setara. Selain itu, dapat pula berwujud perawatan kesehatan ataupun pemberian santunan sejalan dengan aturan yang ada. Disebutkan pula mengenai tegang waktu pemberian ganti rugi seperti dilaksanakan di periode tujuh hari sesudah transaksi terselesaikan.

Pengusaha yang melanggar aturan kosmetik tanpa izin pengedaran, dimana pelaku usaha tak memperlihatkan nomor registrasi BPOM, maka mampu dikenakan sanksi administratif ataupun sanksi hukum lain sejalan dengan aturan yang sedang berlaku.17 Jadi, pengusaha yang mendistribusikan produk tanpa adanya izin edar mampu dihukum kurungan ataupun denda seperti terurai pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Bahan Berbahaya Stb. 1949 Nomor 377. Perihal tanggung jawab pengusaha atas produk yang diperjualbelikan, tanggung jawab hukum para pengusaha diantaranya: Tanggung jawab atas unsur kesalahan (kelalaian serta kesengajaan) seperti dijelaskan di Pasal 1365 KUHPerdata, yakni: “Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Tuntutan ganti rugi sebagai dampak dari perilaku melawan

hukum tak harus diawali dengan perjanjian diantara pengusaha dan konsumennya, artinya permintaan ganti rugi mampu dilakukan oleh seluruh pihak yang merasa dirugikan, sekalipun tak ada perjanjian diantara keduanya.18

Dampak hukum mampu timbul dari sebuah ikatan hukum. Ikatan hukum memberi hak serta kewajiban yang ditetapkan oleh Undang-Undang, jadi apabila tak diindahkan dapat menyebabkan tuntutan di pengadilan. Dalam perihal ini, penjual kosmetik yang melanggar kewajiban selaku pemilik usaha serta melanggar hak dan kepentingan konsumen dengan menjual kosmetik yang tak mengikuti standarisasi kualitas BPOM yang diatur pada Undang-Undang mampu dikenakan hukuman. Hukuman itu dijelaskan pada ketentuan berikut ini:

  • a)    UU No. 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen. Ketentuan perihal hukuman yang mampu diberikan kepada pengusaha yang melaksanakan tindak pidana konsumen dapat berbentuk:

  • 1.    Sanksi Administratif, dimana diberikan wewenang pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) guna menjatuhkan hukuman. Sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) serta (2) UUPK, terkait sanksi administratif dituangkan dalam bentuk kontrak ganti rugi dengan jumlah maksimum yakni Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  • 2.    Sanksi Pidana, hukuman ini mampu dikenakan ke pengusaha maupun pengurusnya. Adapun sanksi tersebut bisa berbentuk sanksi pidana pokok, pidana tambahan, serta pidana dengan batasan-batasan tertentu. Adapun sanksi pidana pokok ialah hukuman yang diberikan oleh pengadilan sesuai permintaan jaksa akibat penyimpangan yang telah dilaksanakan pengusaha. Pernyataan ini dijelaskan pada Pasal 62 serta diancam dengan pidana penjara ataupun denda. Pasal 63 mengatur pidana tambahan, dan jenis pidana tambahan antara lain merampas aset tertentu, mengumumkan putusan hakim, membayar ganti rugi, memberi perintah penangguhan suatu perbuatan yang merugikan konsumen, serta mencabut izin berusaha. Sementara itu hukuman pidana pada sebuah batasan diperuntukkan demi kepentingan rakyat, pada kasus ini berupa perlindungan hak konsumen. Tidak hanya itu, hukuman perdata menurut Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1) UUPK, serta sanksi administrasi Pasal 18 ayat (4) UUPK diharapkan sanggup memberikan dampak preventif terhadap pelanggaran pelaku usaha.

  • b)    UU No. 36 Tahun 2009 perihal Kesehatan juga membahas hukuman pidana atas pengusaha yang menyebarluaskan kosmetik yang tak memenuhi standarisasi kualitas BPOM.19 Perihal ini dijelaskan pada Pasal 196 yakni tiap individu yang terencana membuat ataupun menyebarluaskan ketersediaan farmasi serta/ ataupun perlengkapan kesehatan yang tak sesuai standarisasi ataupun kriteria keamanan, manfaat ataupun khasiat serta kualitas seperti diartikan pada Pasal 98 ayat (2) serta ayat (3) dapat dihukum pidana penjara setidaknya selama 10 (sepuluh) tahun serta denda maksimum Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • c)    Menurut PP RI No. 72 Tahun 1998 mengenai Pengamanan Penyediaan Farmasi serta Perlengkapan Kesehatan, penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang membuat serta menyebarluaskan produk kosmetik yang tak sesuai kriteria, akan dihukum pidana penjara setidaknya 5 (lima) tahun dengan denda maksimum Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai pada Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan.

  • d)    Sesuai ketentuan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.23.04.11.03724 Tahun 2011 mengenai Pengawasan Pemasukan Kosmetik.20 Pemasukan Kosmetik wajib sejalan dengan syarat Undang-Undang serta harus disetujui dari Kepala BPOM. Kosmetik yang dapat disebarluaskan di Indonesia yakni yang sudah disetujui peredarannya dalam bentuk pemberitahuan. Tetapi dalam praktiknya, masih terdapat pengusaha yang mengabaikan syarat itu dan meniagakan kosmetik tanpa izin yang ditetapkan secara formal tanpa pesetujuan Direktur BPOM. Pelanggaran terhadap perilaku pemilik usaha tersebut bisa menimbulkan hukuman administratif seperti diatur di Pasal 9 ayat (1), sebuah hukuman administratif bisa berbentuk:

  • 1.    Teguran lisan;

  • 2.    Larangan edar kosmetik;

  • 3.    Penghentian distribusi kosmetik;

  • 4.    Peleburan kosmetik; ataupun

  • 5.    Pembekuan temporer aktivitas produksi, pemasukan, serta peredaran kosmetik.

  • 4.    Kesimpulan

Perlindungan hukum atas konsumen kosmetik yang tak tercatat pada BPOM dijelaskan di UU No. 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen. Adapun perlindungan itu mencangkup hak serta kewajiban pengusaha serta konsumen, larangan serta tanggung jawab pengusaha, dan pembinaan serta evaluasi pemerintah. Berkenaan dengan hak konsumen, dijelaskan pada Pasal 4 UUPK huruf c yang menerangkan konsumen mempunyai hak memperoleh keamanan, kenyamanan, serta keselamatan disaat mengonsumsi produk, serta konsumen mempunyai hak memperoleh data yang jujur, jelas serta akurat tentang keadaan produk. Konsumen mempunyai hak memperoleh jaminan atas produk yang tak boleh merugikan apabila dipergunakan sedemikian rupa jadi konsumen tak merasa rugi baik secara jasmani ataupun rohani. Dalam mengatasi penertiban peredaran produk ilegal BPOM memiliki taktik yang tertata yakni saat inspeksi toko dan ditemukan suatu produk ilegal yang tak berizin BPOM, maka wajib dikenakan sanksi tegas seperti penutupan secara temporer, bukan hanya sekedar penyitaan produk. Melakukan pelanggaran hak serta kepentingan konsumen dengan menjual kosmetik yang tidak memenuhi standar kualitas BPOM yang tertuang pada UU mampu dijatuhkan sanksi. Saksi tersebut bisa berbentuk sanksi administratif maupun sanksi pidana. Aspek penting penegakan sanksi UUPK yakni kriminalisasi pelanggaran atas hak konsumen. Pasa kasus ini, hukum pidana merupakan pertahanan sosial yang diperuntukan guna melindungi kepentingan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban. Produk yang telah tersebar di jejaring internet dengan tanpa adanya perizinan oleh BPOM harus

dikenakan hukuman tegas, diawali dengan penutupan laman web tempatnya berjualan hingga melaksanakan penangkapan atas pihak yang menjual produk itu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, Sinar Grafika, 2014), 44.

Eli Wuria Dewi. Hukum Perlindungan Konsumen (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2015), 58.

Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, Kencana, 2013), 21.

Jurnal

A.A Gde Agung Brahmata. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan Dengan Pihak Pengembang Di Bali.” Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan 1, No. 2 (2016): 211.

Ahmad, D., & Thalib, M. C. “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar.” Jurnal Legalitas 12, No. 2 (2019): 100-109.

Ahmad, Desiana, and Mutia Cherawaty Thalib. "Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar." Jurnal Legalitas 12, no. 2 (2019).

Cesyafrina, Cesyafrina. "Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Tidak Terdaftar Di Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Jawa Tengah." Wijayakusuma Law Review 3, no. 2 (2021).

Dewi, P. M. A., & Purwani, S. P. M. “Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Produsen dan Biro Iklan Terhadap Iklan yang Menyesatkan Masyarakat.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018): 1-5.

Edtriana Meliza. “Pelaksanaan Pengawasan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Terhadap Peredaran Makanan dan Minuman Tanpa Izin Edar (TIE) di Kota Pekanbaru Tahun 2012.” Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, (2014): 10.

I Kadek Renown Pranatha, I Wayan Novy Purwanto. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kosmetik Yang Tidak Mencantumkan Label Bahasa Indonesia Pada Kemasan Produk.” Jurnal Kertha Negara 7, No. 9 (2019): 3.

I Made Pasek Diantha, Ni Ketut Supasti Dharmawan, & I Gede Artha. “Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Disertasi.” Swastu Nulus: 50.

Natah, L. C. B., & Marwanto, M. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Mengkonsumsi Produk Kosmetik Impor Ilegal Yang Mengandung Bahan Berbahaya.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, No. 2 (2020): 207-221.

Ni Putu Januaryanti Pande. “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor yang Tidak Terdaftar di BPOM Denpasar.” Jurnal Magister Hukum Universitas Udayana 6, No. 1 (2017): 18.

Palguna, D. G. A. O. D., Kasih, D. P. D., & Putrawan, S. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen yang Cacat Akibat Pemakaian Cream Pelembab Wajah Ilegal di Kota Denpasar.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, No. 1 (2018): 1-15.

Putri, L. P. D., & Sukranatha, A. K. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Produk Kosmetik Tanpa Komposisi Bahan.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No. 10 (2018): 1-14.

Sukmawati, N. M. D., & Purwanto, I. W. N. “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Online Shop Terhadap Konsumen Akibat Peredaran Produk Kosmetik Palsu.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, No. 3 (2019): 1-14.

Syafitri, I., & Dewi, A. S. “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Produk Skincare Ilegal.” Juripol (Jurnal Institusi Politeknik Ganesha Medan 5, No. 2 (2022): 124-133.

Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.11.03724 Tahun 2011 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 826-835

835