ENFORCED DISAPPEARANCE: AKIBAT HUKUM PENCULIKAN ANAK SEBAGAI MODUS OPERANDI DALAM KONFLIK BERSENJATA OLEH BOKO HARAM
on
ENFORCED DISAPPEARANCE: AKIBAT HUKUM
PENCULIKAN ANAK SEBAGAI MODUS OPERANDI
DALAM KONFLIK BERSENJATA OLEH BOKO HARAM
Putri Bella Rosy Widodo, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Anak Agung Sri Utari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tulisan jurnal artikel ini bertujuan untuk membahas mengenai penculikan anak yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Boko Haram di wilayah Nigeria beserta akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya tindakan tersebut. Metode penelitian yang digunakan pada jurnal artikel ini ialah metode penelitian hukum normatif di bidang Hukum Humaniter Internasional dengan menggunakan pendekatan statuta, kasus, serta pendekatan fakta. Hasil analisis ini menunjukan bahwa Boko Haram melakukan penculikan terhadap ribuan anak-anak di wilayah Nigeria yang kemudian menyebar hingga negara tetangga seperti, Chad, Kamerun, dan Niger sebagai modus operandi untuk melakukan aksi teroris dan melakukan aksi balas dendam terhadap pemerintahan Nigeria. Tindak Penculikan anak tersebut kemudian melahirkan akibat hukum, yakni pertanggungjawaban hukum dalam hukum pidana internasional sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Statuta Roma.
Kata Kunci: Boko Haram, Enforced Disappearance, Penculikan Anak, Konflik Bersenjata, Hukum Humaniter Internasional
ABSTRACT
This article aims to discuss enforced disappearance against children –child abduction, as the method used by the armed group Boko Haram, along with the legal consequences caused by their action. The method used in this article is normative legal research in the fields of International Humanitarian Law using statutory, cases, and fact approaches. This analysis shows that Boko Haram has been kidnapping hundreds of children in Nigeria, which later spread into the neighbouring country Chad, Cameroon, and Niger as its modus operandi to terrorize and reprisal act against the Nigerian government. The abduction of children later results in legal consequences or responsibilities in international criminal law under the Rome Statute.
Key Words: Boko Haram, Enforced Disappearance, Child Abduction, Armed Conflict, International Humanitarian Law
Penghilangan paksa atau enforced dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (“ICPPED”), 1 Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”),2 dan Customary International Humanitarian Law (“CIHL”),3 diartikan sebagai suatu tindakan penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh organisasi politik atau agen negara yang memiliki otoritas atau dukungan negara, bersamaan dengan penolakan untuk mengakui bahwasanya perampasan kebebasan atau menyembunyikan informasi terkait orang yang hilang dengan tujuan untuk menghapus perlindungan hukumnya dalam waktu yang lama telah terjadi. Dengan kata lain, penculikan anak merupakan bentuk dari penghilangan paksa terhadap seseorang atau enforced disappearance.
Menangkap anak-anak dari lingkungan kelompok dan/atau keluarganya secara paksa, baik dalam kurun waktu sementara atau selama-lamanya, merupakan suatu bentuk tindakan yang dilarang dalam hukum internasional. Tidak hanya orang yang hilang saja yang dapat dikatakan sebagai korban penghilangan paksa, namun seluruh individu yang menderita sebagai akibat langsung dari adanya penghilangan paksa tersebut, termasuk orang tua, anak-anak ataupun kerabat dekat, juga dapat dikatakan sebagai korban penghilangan paksa tersebut. 4 Di samping itu, mengalami atau menghadapi konflik bersenjata pada masa kanak-kanak dan/atau remaja dapat mengakibatkan risiko kesehatan mental yang serius dan menimbulkan ancaman bagi perkembangan anak-anak dan remaja.5
Sebagaimana diatur dalam common article 3 Konvensi Jenewa 1949, secara implisit, menyebutkan bahwa perlakuan manusiawi terhadap seluruh masyarakat merupakan suatu keharusan, dan tidak dapat dipungkiri juga bahwa penangkapan atau penculikan terhadap anak-anak merupakan tindakan yang dilarang.6 Di samping itu, penculikan anak merupakan salah satu dari enam bentuk pelanggaran berat atas hak-hak asasi anak dalam situasi konflik bersenjata. 7 Alasan utama dilakukannya penculikan terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata sendiri ialah karena adanya keinginan pelaku untuk mengendalikan kekuatan politik negara dengan
menggunakan penculikan anak sebagai modus operandi8 dan memaksa mereka; anak-anak, untuk ikut serta berpartisipasi dalam konflik.9 Keikutsertaan anak-anak dalam konflik bersenjata dapat beragam, mereka dapat saja aktif ikut berpartisipasi maupun digunakan sebagai mata-mata, perisai manusia, budak seksual, dan lain sebagainya.
Beberapa tahun terakhir, penculikan dan penjualan manusia dalam situasi berkonflik dikabarkan telah mengalami peningkatan di berbagai negara berkonflik.10 Diantara negara-negara tersebut, Nigeria diketahui sebagai salah satu negara dengan angka penculikan tertinggi dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan,11 terutama terhadap anak-anak. Sejak tahun 1999, tindak penculikan telah menjadi suatu ancaman bagi tatanan sosial dan keamanan nasional di wilayah Nigeria.12 Yang mana, hampir seluruh tindak penculikan yang terjadi merupakan tindakan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Boko Haram. Boko Haram merupakan kelompok pemberontak bersenjata yang melakukan pergerakan dengan mengatas namakan Islam –sekte Islam, didirikan di wilayah timur laut Nigeria pada tahun 2002 oleh Muhammed Yusuf dengan tujuan untuk menghentikan korupsi yang terjadi dan memberlakukan hukum sharia atau hukum Islam di Nigeria.13
Pada awalnya, di tahun 2003 hingga tahun 2004, Boko Haram hanya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan lokal,14 namun pada tahun 2009 Boko Haram merubah taktiknya dan melancarkan aksi pemberontakannya dengan menggunakan senjata serta melakukan berbagai tindak kekerasan di beberapa negara di wilayah utara Nigeria dengan tujuan untuk mendirikan negara Islam. 15 Sekitar 800 orang, hampir sebagian diantaranya adalah pasukan Boko Haram sendiri, meninggal dunia akibat serangan brutal tersebut dan Yusuf, yang berhasil melarikan diri saat serangan terjadi, tertangkap dan ditembak di kepala hingga mati oleh polisi setempat. 16
Kemudian pada tahun 2010, Boko Haram yang dipimpin oleh wakil Mohammed Yusuf, Abubakar Shekau, melakukan pembalasan dendam17 dengan melakukan aksi terorisme, membombardir dan melakukan pembunuhan serta penyerangan di bagian wilayah timur laut Nigeria.18 Situasi semakin memburuk di tahun 2013 dan 2014 saat Boko Haram mulai melaksanakan serangan dalam skala yang lebih besar 19 dan menyebar hingga negara tetangga seperti Niger, Chad, dan Kamerun.20 Sejak saat itu Boko Haram mulai melakukan aksi penculikan terhadap anak-anak di wilayah Nigeria.
Pada bulan April 2014, Boko Haram melakukan penculikan terhadap lebih dari 250 pelajar wanita di daerah Chibok.21 Korban dari penculikan tersebut kemudian dijual untuk dijadikan sebagai budak,22 wanita-wanita yang diculik dijadikan sebagai hadiah kepada anggota yang berperang; budak seksual, digunakan sebagai tebusan, perkerutan dan sebagai person-borne improvised explosive devices (“PBIED”) 23 atau dengan kata lain sebagai bom bunuh diri.24 Kemudian pada tahun 2015, Boko Haram membuat perjanjian dengan Islamic State in Iraq and the Levant (“ISIL”) serta membagi kelompoknya dengan satu fraksi mengganti nama menjadi Islamic State West Africa Province (“ISWAP”) dan sebagiannya tetap menggunakan nama awalnya, Boko Haram.25
The United Nations Report on Children and Armed Conflict (“UN report”),26 dan Human Rights Watch (“HRW”), 27 menyebutkan dalam laporannya bahwa jumlah korban penculikan anak oleh Boko Haram dan kelompok yang berafiliasi dengannya sudah mencapai lebih dari ribuan anak dengan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Selain itu, krisis kesehatan yang terjadi akibat kemunculan wabah pandemi covid-19 telah memperburuk kerentanan anak-anak terhadap berbagai bentuk ancaman pelanggaran berat serta berdampak pada kenaikan angka penggunaan anak
dalam konflik bersenjata.28 Dalam laporannya, United Nations (“UN”) menyebutkan bahwa kelompok afiliasi Boko Haram dan ISWAP, pada tahun 2021, telah menculik sebanyak 55 orang anak di wilayah Kamerun,29 349 orang anak di wilayah Chad,30 dan 211 orang anak di wilayah Nigeria.31
Demi membuktikan orisinalitas penelitian artikel ini, terdapat salah satu penelitian serupa terdahulu oleh Flamanda Jeine Tampomuri yang berjudul “Analisis Kelompok Teroris Boko Haram: Bagaimana Akan Berakhir?”, 32 dengan fokus pembahasan terhadap faktor-faktor yang dapat mengakhiri operasi kelompok teroris Boko Haram. Namun, penelitian pada artikel ini berbeda dengan artikel tersebut sebagaimana analisis penelitian ini difokuskan terhadap pertanggungjawaban Boko Haram atas tindakan penculikan anak sebagai modus operandi dalam konflik bersenjata. Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut artikel jurnal ini kemudian diberikan judul “ENFORCED DISAPPEARANCE: PENCULIKAN ANAK SEBAGAI MODUS OPERANDI DALAM KONFLIK BERSENJATA OLEH KELOMPOK BERSENJATA BOKO HARAM”.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal artikel ini berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, yakni:
-
1. Apakah penculikan anak-anak sebagai modus operandi yang digunakan oleh Boko Haram dalam konflik bersenjata bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional?
-
2. Apakah praktik penculikan anak dalam konflik bersenjata oleh Boko Haram dapat dipertanggungjawabkan secara pidana di hadapan Mahkamah Pidana Internasional?
Jurnal artikel ini ditulis dengan tujuan untuk meninjau tindakan penculikan anak sebagai modus operandi serta pertanggungjawaban oleh kelompok bersenjata Boko Haram sebagai pelaku tindak kejahatan dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional.
Jurnal artikel ini merupakan penelitian dengan metode hukum normatif33 dalam bidang HHI dengan menggunakan pendekatan statuta, kasus, dan pendekatan fakta. Analisis terhadap kasus yang dibahas mengacu terhadap berbagai sumber dan bahan
hukum, termasuk instrumen-instrumen hukum nasional dan internasional, berbagai putusan pengadilan, laporan-laporan maupun resolusi-resolusi organisasi internasional, kasus-kasus hukum, buku teks, artikel jurnal, berita, dan lain sebagainya. Di samping itu, analisis artikel jurnal ini juga merujuk pada data-data yang berisi fakta mengenai penculikan anak-anak oleh Boko Haram dalam situasi konflik bersenjata di wilayah Nigeria dan negara-negara tetangga.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Penculikan Anak sebagai Modus Operandi oleh Boko Haram dalam Konflik Bersenjata
-
Dalam Convention on the Rights of the Child (“Konvensi Hak-Hak Anak”), 34 seorang anak ialah setiap individu yang berumur dibawah usia delapan belas tahun. Masa kanak-kanak sendiri merupakan masa di mana anak-anak masih membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang membuat mereka menjadi sangat rentan terhadap berbagai hal apabila dibandingkan dengan orang lainnya.35 Maka dari itu, khususnya dalam situasi konflik bersenjata, hak-hak anak haruslah dihormati serta dilindungi dari berbagai bentuk serangan yang melanggar hak-hak tersebut oleh pihak-pihak yang berperang.36
Sebagaimana disebutkan pada bagian latar belakang bahwa, penculikan anak merupakan salah satu dari enam bentuk pelanggaran berat terhadap anak-anak dalam situasi konflik bersenjata, maka penculikan anak sebagai pelanggaran berat dapat didefinisikan sebagai pemindahan, penangkapan, atau penghilangan paksa seorang anak baik dalam kurun waktu yang singkat atau selama-lamanya, dengan tujuan untuk melakukan segala bentuk eksploitasi terhadap anak-anak tersebut.37 Meskipun demikian, tindakan penculikan anak-anak dalam konflik bersenjata seringkali terjadi untuk kemudian digunakan sebagai modus operandi dalam melaksanakan aksi terror, 38 menghilangkan, maupun melenyapkan identitas etnis, agama, bahasa, maupun identitas lain yang dimiliki oleh korban dengan tujuan untuk menunjukan secara jelas tujuan mereka bahwa mereka sedang memenangkan perselisihan politik yang terjadi.39Dalam situasi berkonflik, penculikan anak biasanya diikuti juga dengan
pelanggaran berat lainnya seperti, 40 perekrutan dan penggunaan tentara anak, pembunuhan dan tindakan melukai hingga menyebabkan cacat terhadap anak-anak, dan/atau kekerasan seksual.41
Penculikan sistematis terhadap anak-anak yang dilakukan oleh Boko Haram sejak tahun 2014 –Chibok Schoolgirls Kidnapping, 42 merupakan salah satu modus operandinya dengan menggunakan anak-anak untuk melaksanakan aksi terror43 serta upaya balas dendam terhadap pemerintahan Nigeria.44 Di samping itu, awal mula pemberontokan Boko Haram dilakukan untuk menekankan kemiskinan ekonomi, ideologi agama, dan fraksionalisasi historis identitas utara-selatan Nigeria.45
Anak-anak yang diculik berada di bawah tekanan ancaman, intimidasi, serta dipaksa untuk melakukan misi bom bunuh diri.46 Selain itu, anak-anak tersebut juga digunakan sebagai tentara anak, dan, khususnya anak-anak perempuan, seringkali mendapatkan perlakuan kekerasan seksual oleh pasukan Boko Haram.47 UN, dalam UN report-nya menyebutkan bahwa, setelah terjadinya kasus Chibok Schoolgirls Kidnapping di bulan April 2014, pada bulan September di tahun yang sama, lebih dari 100 orang wanita dan anak-anak perempuan diculik dari desa-desa sekitar Adamawa, serta korban-korban tersebut dikatakan mendapatkan penyiksaan secara fisik dan psikologi, serta dipaksa untuk bekerja dan menikah dengan pasukan Boko Haram.48
Adapun pembuktian terkait penculikan anak-anak serta penggunaan dan kekerasan terhadap korban-korban penculikan tersebut dapat dilihat melalui UN report tahun 2016 hingga 2022, di mana UN secara jelas menyebutkan jumlah angka korban akibat penculikan sebagai modus operandi oleh Boko Haram, ISWAP, dan kelompok
bersenjata lain yang berafiliasi dengannya. Pertama, pada UN report tahun 2016,49 menyebutkan bahwa Boko Haram telah melakukan serangan yang tersebar dari wilayah timur laut Nigeria hingga Kamerun, Chad, dan Niger selama tahun 2015, dengan jumlah total penculikan anak tercatat sebanyak 162 kasus dan 26 kasus, 15 anak laki-laki dan 11 perempuan, yang telah dibuktikan oleh UN dan juga 693 kasus penculikan terhadap anak-anak yang sudah dibebaskan pada saat operasi militer berlangsung. Selain itu, perekrutan dan penggunaan anak dalam situasi berkonflik oleh Boko Haram, tercatat terdapat sebanyak 225 anak-anak, di mana 21 anak perempuan diantaranya digunakan dalam serangan bunuh diri. Penggunaan anak-anak dalam serangan bunuh diri tersebut tidak hanya dilakukan di wilayah Nigeria, namun juga dilakukan di wilayah Kamerun dan Chad.
Kedua, dalam UN report tahun 2017,50 disebutkan bahwa Boko Haram telah melakukan penculikan terhadap 17 orang anak laki-laki dan 17 orang anak perempuan sepanjang tahun 2016, serta di tahun-tahun sebelumnya, pada wilayah zona netral, Boko Haram dikatakan telah melakukan penculikan terhadap 2,046 orang anak setelah pelaksanaan operasi pasukan kemanan Nigeria berlangsung. Di samping itu, perekrutan dan penggunaan anak-anak di tahun 2016 tercatat meningkat derastis dengan jumlah sebanyak 1,974 anak-anak direkrut dan digunakan dalam konflik bersenjata. Tindak kejahatan perekrutan serta penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata oleh Boko Harampun meluas menjadi tindak pembunuhan dan pencatatan. Di mana mayoritas korban dari tindakan pembunuhan dan pencederaan oleh Boko Haram merupakan anak-anak yang digunakan dalam serangan bom bunuh diri. Selanjutnya, UN juga mencatat bahwa 51 orang anak perempuan telah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual oleh Boko Haram di tahun yang sama dengan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia lainnnya terhadap anak-anak tersebut.
Ketiga, dalam UN report tahun 2018,51 Boko Haram tercatat telah melakukan penculikan terhadap 189 orang anak laki-laki dan perempuan di tahun 2017. Selain itu, 1,456 orang anak di wilayah timur laut Nigeria terbukti sebagai korban penculikan oleh Boko Haram di tahun-tahun sebelumnya. Selanjutnya, UN, dalam laporannya menyebutkan bahwa, pada bulan Februari 2018, Boko Haram telah menculik sebanyak 105 orang anak perempuan dari Government Girls’s Science Technical College di wilayah Yobe. Kemudian, terdapat sebanyak 1,051 anak-anak yang direkrut dan digunakan oleh Boko Haram, dengan 146 kasus anak-anak di Nigeria dan 57 anak-anak di Kamerun digunakan dalam serangan bom bunuh diri dengan membawa PBIED, yang mana tiga perempat diantara, atau sama dengan 145 orang, merupakan anak-anak perempuan. Kemudian, Boko Haram juga terbukti telah melalukan kekerasan seksual
terhadap 9 orang anak laki-laki dan 116 orang anak perempuan korban penculikan di tahun 2017.
Keempat, pada UN report tahun 2019,52 Boko Haram terbukti telah melakukan penculikan terhadap 180 orang anak-anak, 45 orang anak laki-laki dan 135 orang anak perempuan. 301 orang anak terbukti telah direkrut dan digunakan, dimana 48 orang anak, 38 diantaranya merupakan anak-anak perempuan, ditugaskan untuk membawa dan meledakkan improvised explosive device (“IED”)53 di wilayah timur laut Nigeria, 30 orang anak di wilayah Kamerun, 24 orang anak di wilayah Chad, dan 10 orang anak di wilayah Niger. Di samping itu, 405 orang anak terbukti telah menjadi korban pembunuhan dan pencederaan oleh Boko Haram. Yang mana, 234 orang korban anak-anak tersebut diantaranya merupakan korban dari peledakan IED. Selanjutnya, 40 orang anak perempuan juga terbukti telah menjadi korban kekerasan seksual oleh Boko Haram dan dipaksa untuk menikah meskipun sedang dalam penahanan.
Kelima, pada UN report tahun 2020, 54 Boko Haram bertanggungjawab atas penculikan terhadap anak-anak dimana terdapat 44 orang anak sebagai korban di wilayah Nigeria, 67 orang anak-anak di wilayah Niger, 49 orang anak di wilayah Kamerun, dan 5 orang anak di wilayah Chad di tahun 2019. Selain itu, Boko Haram juga bertanggungjawab atas perekrutan dan penggunaan 33 orang anak di wilayah Nigeria, 71 orang anak di wilayah Kamerun, 36 orang anak di wilayah Niger, dan 8 orang anak di wilayah Chad. 105 orang anak berumur kisaran sebelas hingga tujuh belas tahun dikabarkan telah menjadi korban pembunuhan dan pencedaraan oleh Boko Haram, di mana 50 orang anak diantaranya merupakan korban dari serangan peledakan IED. Di samping itu, terdapat korban-korban lainnya sebanyak 109 korban anak-anak yang tersebar di wilayah Kamerun, Niger, dan Chad. Kemudian, 23 orang anak korban penculikan tersebut diperkosa dan dipaksa untuk menikah dengan pasukan-pasukan Boko Haram, serta 5 orang anak di wilaya Chad dan Niger juga menjadi korban kekerasan seksual oleh Boko Haram.
Keenam, dalam UN report 2021,55 Boko Haram, ISWAP, dan kelompok-kelompok bersenjata yang berafiliasi dan/atau kelompok pecahan Boko Haram lainnya, terbukti telah melakukan penculikan terhadap 45 orang anak-anak di wilayah Kamerun, 219 orang anak di wilayah Chad, 118 orang anak di wilayah Niger, dan 13 orang anak di wilayah Nigeria. Pada wilayah Kamerun, kelompok pecahan Boko Haram terbukti
telah melakukan perkrutan dan penggunaan terhadap 15 orang anak, dengan 8 orang anak digunakan dalam peperangan dan 7 orang anak diperintahkan untuk membawa IED. Pada wilayah Chad, Boko Haram dan kelompok yang berafiliasi dan/atau kelompok pecahannya terbukti telah melakukan perekrutan dan penggunaan terhadap 73 orang anak dan 33 orang anak lainnya di wilayah Niger. Pada wilayah Nigeria, Boko Haram, ISWAP, dan kelompok yang berafiliasi dan/atau pecahannya tercatat telah melakukan perekrutan dan penggunaan terhadap 5 orang anak-anak. Di samping itu, Boko Haram bersama dengan kelompok yang berafiliasi dan/atau kelompok pecahannya, terbukti telah melakukan pelanggaran kekerasan seksual terhadap 6 orang anak perempuan di wilayah Chad dan 17 orang anak perempuan di wilayah Niger.
Selanjutnya, dalam UN report terkini, UN report tahun 2022,56 Boko Haram, ISWAP, dan kelompok-kelompok bersenjata yang berafiliasi dan/atau kelompok pecahan Boko Haram lainnya, terbukti telah melakukan penculikan terhadap 41 orang anak-anak di wilayah Kamerun, 142 orang anak-anak di wilayah Chad, 207 orang anak-anak di wilayah Niger, dan 110 orang anak di wilayah Nigeria. Selain itu, kelompok afiliasi dan kelompok pecahan Boko Haram tercatat telah melakukan perekrutan dan penggunaan terhadap 10 orang anak-anak di wilayah Kamerun sebagai mata-mata dan menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Pada wilayah Chad dan Niger, kelompok afiliasi dan pecahan Boko Haram terbukti telah melakukan perekrutan dan penggunaan terhadap 11 orang anak, 8 orang anak di wilayah Chad dan 3 orang anak di wilayah Niger. Kemudian di wilayah Nigeria, ISWAP, kelompok afiliasi, dan kelompok pecahan Boko Haram, tercatat telah melakukan perekrutan dan penggunaan terhadap 63 orang anak-anak. Di samping itu, pada wilayah Nigeria, ISWAP terbukti telah melakukan pelanggaran kekerasan seksual terhadap 6 orang anak-anak.
Dilihat dari catatan laporan-laporan UN sejak tahun 2015 hingga tahun 2016, sebagaimana dijabarkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa Boko Haram telah, atau mungkin masih, menggunakan metode penculikan anak sebagai modus operandinya dalam melakukan berbagai kejahatan lainnya untuk melakukan aksi terorisme dan pembalasan dendam terhadap pemerintahan Nigeria, yang kemudian menyebar hinga negara-negara tetangga seperti Kamerun, Chad, dan Niger.
-
3.2 Akibat Hukum yang Timbul Terhadap Boko Haram atas Tindakan Penculikan
Anak sebagai Modus Operandi dalam Konflik Bersenjata
Penggunaan penghilangan paksa, dalam hal ini penculikan anak, sebagai praktik sistematis57 merupakan suatu tindakan yang dilarang dalam hukum internasional dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.58 Selain itu, UN dalam Resolusi
Dewan Keamanan UN tahun 201559 juga menyebutkan bahwa, tindakan penculikan anak merupakan suatu tindak kejahatan yang menjadi awal timbulnya tindak kejahatan lain seperti, perekrutan dan penggunaan anak-anak, pembunuhan dan pencederaan, serta pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Kemudian, The Paris Principles,60 menyatakan bahwa seorang anak yang terikat dengan kelompok ataupun pasukan bersenjata, dengan kata lain penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata, tidak hanya semata-mata sebagai tentara anak yang mengangkat senjata dan ikut serta dalam peperangan,61 namun segala bentuk kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan peperangan seperti, dijadikan sebagai perisai manusia, umpan, mata-mata, pembawa kabar, mencari makanan, amunisi atau perlengkapan, dan lain sebagainya yang juga merupakan bentuk dari penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata.62
Sebagai halnya Boko Haram, ISWAP, dan kelompok pecahan serta kelompok yang berafiliasi dengan Boko Haram lainnya telah tercatat dan terbukti melakukan penculikan terhadap anak-anak sebagai modus operandi untuk melaksanakan aksi terorisme dan balas dendam terhadap pemerintahan Nigeria dengan melakukan berbagai kejahatan pelanggaran hak asasi manusia seperti, perekrutan dan penggunaan anak-anak untuk membawa PBIED dan IED sebagai bentuk serangan bunuh diri yang kemudian mengakibatkan terbunuh dan tercedaranya anak-anak tersebut. Kemudian, Boko Haram dan kelompok pecahan lainnya, juga tercatat dan terbukti tekah melakukan tindak pelanggaran kekerasan seksual seperti pemerkosaan terhadap ribuan lebih anak-anak perempuan dan laki-laki serta memaksa anak-anak tersebut untuk menikah dengan pasukan-pasukannya.
Kemudian, sebagaimana dalam dalam peraturan-peraturan hukum internasional, khususnya HHI, 63 yang menekankan bahwa setiap negara pihak haruslah melakukan segala tindakan untuk mencegah terjadinya penculikan seseorang dan memberikan informasi terkait keadaan dan keberadaan korban-korban,64 serta penegasan bahwa setiap orang yang melakukan, memberikan perintah, berusaha, atau menyebabkan terjadinya suatu kejahatan memiliki pertanggungjawaban secara pidana dalam hukum internasional yang bersangkutan dan dapat dikenakan hukuman penjara.65 Sehingga, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian 3.2, dapat dikatakan bahwa bentuk tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Boko Haram dan kelompok pecahan lainnya tersebut seperti, penculikan, perekrutan dan penggunaan
anak dalam konflik bersenjata, penjualan anak, pemerkosaan dan perlakuan pelanggaran kekerasan seksual, dan tindakan lain yang tidak tercatat dapat dikatakan telah melahirkan suatu akibat hukum, yakni pertanggungjawaban hukum atas tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berdasarkan hasil analisis dari dua rumusan masalah di atas tersebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan, pertama, memang benar adanya bahwa Boko Haram sebagai kelompok bersenjata yang pada awalnya dibentuk di wilayah Nigeria telah melakukan berbagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya penculikan anak sebagai modus operandi untuk melakukan aksi terorisme dan pembalasan dendam terhadap pemerintahan Nigeria yang mana aksi tersebut kemudian menyebar hingga negara tetangga seperti Kamerun, Niger, dan Chad. Di samping itu, anak-anak korban penculikan tersebut juga dimanfaat untuk dijual sebagai budak, direkrut dan digunakan dalam situasi konflik bersenjata sebagai mata-mata, pembawa PBIED atau IED untuk melakukan serangan bom bunuh diri dan lain sebagainya yang kemudian berdampak atas terbunuhnya atau menimbulkan cacat, serta pemerkosaan dan melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak korban penculikan tersebut.
Kedua, atas tindakan-tindakan Boko Haram tersebut telah mengakibatkan lahirnya akibat hukum, yakni pertanggungjawaban hukum dalam hukum internasional, khususnya HHI pada Mahkamah Pidana Internasional sebagaimana diatur pada Pasal 25 Statuta Roma dan Pasal 7 ICPPED bahwa setiap orang yang melakukan, memberikan perintah, berusaha, atau menyebabkan terjadinya suatu kejahatan memiliki tanggungjawab dalam hukum pidana internasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Diantha, I Made Pasek, Ni Ketut Supasti Dharmawan, dan I Gede Artha. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi. Denpasar: Swasta Nulus, 2018.
MacEachern, Scott. Searching for Boko Haram: A History of Violence in Central Africa. New York: Oxford University Press, 2018.
Matfess, Hilary. Women and The War on Boko Haram: Wives, Weapons, Witnesses. United Kingdom: Bloomsbury Publishing, 2017.
Smith, Mike. Boko Haram: Inside Nigeria’s Unholy War. United Kingdom: Bloomsbury Publishing, 2015.
Thurston, Alexander. Boko Haram: The History of and African Jihadist Movement. United Kingdom: Princeton University Press, 2018.
Walker, Andrew. What is Boko Haram?. Vol. 17. Washington, DC: US Institute of Peace, 2017.
-
B. JURNAL ILMIAH
Abdulkabir, O. S., “Causes and Incisive Solutions to the Widespread of Kidnapping in Nigeria Current Administration: Under Scholastic Scrutiny.” J Pol Sci Pub Aff 5, no. 258 (2017): 2332-0761.
Acan, Grace., et al. “How Formerly Abduxted Women in Post-Conflict Situations are Reasserting Their Humanity in A Hostile Environment: Photovoice Evidence from Northern Uganda.” Gender & Development 27, no. 2 (2019): 273-294.
Amann, Diane Marie. “The Policy on Children of the ICC Office of the Prosecutor: Toward Greater Accountability for Crimes Against and Affecting Children.” International Review of the Red Cross 101, no. 911 (2019): 537-549.
Bagattini, Alexander. “Children’s Well-Being and Vulnerability”. Ethics and Social Welfare 13, no. 3 (2019): 211-215.
Baranowska, Grażyna. “Advances and Progress in the Obligation to Return the Remains of Missing and Forcibly Disappeared Persons”. International Review of the Red Cross 99, no. 2 (2017): 709-733.
Frounfelker, Rochelle L., et al. “Living Through War: Mental Health of Children and Youth in Conflict-Affected Areas.” International Review of the Red Cross 101, no. 911 (2019): 481-506.
Haer, Roos. “Children and Armed Conflict: Looking at the Future and Learning from the Past.” Third World Quarterly 40, no. 1 (2018): 74-91.
Iykekpolo, Wisdom Oghosa. “Political Elites and the Rise of the Boko Haram Insurgency in Nigeria.” Terrorism and Political Violence 32, no. 4 (2020): 749-767.
Londoño, Ximena, dan Alexandra Ortiz Signoret. “Implementing International Law: An Avenue for Preventing Disappearance, Resolving Cases of Missing Persons and Addressing the Needs of Their Families.” International Review of the Red Cross 99, no. 2 (2017): 547-467.
Nnam, Machperson U., Mercy Chioma Arua, dan Mary Sorochi Out. “The Use of Women and Children in Suicide Bombing by the Boko Haram Terrorist Group in Nigeria”. Aggression and Violent Behavior 42 (2018): 35-42.
Omeni, Akali. “Boko Haram’s Increasingly Sophisticated Military Threat.” Small Wars & Insurgencies 29, no. 5-6 (2018): 886-915.
Onapajo, Hakeem. “Children in Boko Haram Conflict: The Neglected Facet of a Decade of Terror in Nigeria”. African Security 13, no. 2 (2020): 195-211.
Oriola, Temitope B. “”Unwilling Cocoons”: Boko Haram’s War Against Women”. Studies in Conflict & Terrorism 40, no. 2 (2017): 99-121.
Osumah, Oarhe. “Boko Haram Insurgency in Northern Nigeria and the Vicious Cycle of Internal Insecurity.” Small Wars & Insurgencies 24, no. 3 (2013): 536-560.
Sarkin, Jeremy, dan Elisenda Calvet Martinez. “The Global Practice of Systematic Enforced Disappearances of Children in International Law: Strategies for Preventing Future Occurrences and Solving Past Cases.” Cath. U. L. Rev. 71 (2022): 33-103.
Suwartono, Rahardian Diffaul Barraq. “Penggunaan Tentara Anak Oleh Aktor Selain Negara Ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 27, no. 3 (2020): 526-546.
Tade, Oludayo, Usman A. dan Adeyinka A. Aderinto. “’I Went through Hell’: Strategies for Kidnapping and Victims’ Experiences in Nigeria.” Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma 29, no. 10 (2020): 1244-1256.
Tampomuri, Flamanda Jeine. “Analisis Kelompok Teroris Boko Haram: Bagaimana Akan Berakhir?.” The Journal of Terrorism Studies 1, no. 2 (2019): 90-108.
Zenn, Jacob. “Boko Haram and the Kidnapping of the Chibok Schoolgirls.” CTC Sentinel 7, no. 5 (2014): 1-8.
Additional Protocol I to the Geneva Convention of 12 August 1949
African Union Convention for the Protection and Assistance of Internally Displaced Persons in Africa (Kampala Convention)
Convention on the Rights of the Child
Customary International Humanitarian Law
International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance
Rome Statute of the International Criminal Court
The Manual of the Law of Armed Conflict of Australia of 2006
D. PUTUSAN PENGADILAN
International Criminal Court, “Prosecutor v. Bahar Idriss Abu Garda (ICC-02/05-02/09).”
International Criminal Court. “Prosecutor v. Germain Katanga (ICC-01/04-01/07).”
Special Court for Sierra Leone. “Prosecutor v. Charles Ghankay Taylor (SCSL-03-01-T).”
International Committee of the Red Cross. Commentary on the Additional Protocol of 8 June 1977 to the Geneva Convention of 12 August 1949. Belanda: Kluwer Academic Publishers. 1987.
Kirollow Mariam, et.al. “The War on Children: Time to End Grave Violations against Children in Conflict”. Save the Children. 2018.
Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict. The Six Grave Violations Against Children During Armed Conflict: The Legal Foundation. Working Paper No 1. New York: OSRSG CAAC. 2013. URL: https://childrenandarmedconflict.un.org/publications/WorkingPaper-1_SixGraveViolationsLegalFoundation.pdf.
Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict, Impact of the COVID-19 Pandemic on Violations Against Children in Situations of Armed Conflict. United Nations Paper. 2021. URL:
https://reliefweb.int/report/world/impact-covid-19-pandemic-violations-against-children-situations-armed-conflict.
Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict, dan UNICEF. Guidance Note on Abduction. New York: UNICEF. 2022.
UNICEF. The Paris Principles: Principles and Guidelines on Children Associated with Armed Forces or Armed Groups. New York: UNICEF. 2007.
United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights. Fact Sheet No. 6 Rev. 3, Enforced or Involuntary Disappearance. 2009.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/76/871-S/2022/493)”, 23 Juni 2022, URL: https://undocs.org/en/A/77/143.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/75/873-S/2021/437)”, 6 Mei 2021, URL: https://undocs.org/s/2021/437.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/69/926-S/2015/409),” 2 Juni 2015, URL: https://reliefweb.int/report/world/report-secretary-general-children-and-armed-conflict-a69926-s2015409.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/70/836-S/2016/360),” 20 April 2016, URL: https://undocs.org/A/70/836.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/72/361-S/2017/821),” 24 Agustus 2017, URL: https://undocs.org/A/72/361.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/72/865-S/2018/465),” 16 Mei 2018, URL: https://undocs.org/A/72/865.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/73/907-S/2019/509),” 20 Juni 2019, URL:
https://reliefweb.int/report/world/children-and-armed-conflict-report-secretary-general-a73907-s2019509-enar.
United Nations, “Children and Armed Conflict – Report of the Secretary-General (A/74/845-S/2020/525),” 9 Juni 2020, URL: https://undocs.org/S/2020/525.
United Nations, “Security Council Resolution 2225 (S/RES/2225),” 18 Juni 2015, URL: http://unscr.com/en/resolutions/doc/2225.
Ewang. A., “Nigeria’s Rising Number of Missing Persons.” Human Rights Watch. URL: https://www.hrw.org/news/2020/08/31/nigerias-rising-number-missing-persons, diakses tanggal 27 Agustus 2022.
Bianchini. D., “Person-Borne Improvised Explosive Device: ICAO Symposium”. 2014. URL:
https://www.icao.int/Meetings/SIAS/Documents/Presentations/03.Domenic%2 0Bianchini.TSA.pdf diakses tanggal 27 Agustus 2022.
Mansoor, P., “Improvised Explosive Devise.” Encyclopedia Britannica, 2018. URL: https://www.britannica.com/technology/improvised-explosive-device, diakses tanggal 15 September 2022.
The Britannica Dictionary. “Modus Operandi”. URL:
https://www.britannica.com/dictionary/modus-operandi, diakses tanggal 27 Agustus 2022.
The Editors of Encyclopaedia Britannica. “Boko Haram.” Encyclopaedia Britannica, 2021. URL: https://www.britannica.com/topic/Boko-Haram, diakses pada 27 Agustus 2022.
Udo, R.K. et al., “Nigeria.” Encyclopaedia Britannica. 2022. URL:
https://www.britannica.com/place/Nigeria/Rise-of-Boko-Haram, diakses pada 27 Agustus 2022.
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 5 Tahun 2022 hlm 510-524
525
Discussion and feedback