Perlindungan Hukum terhadap Pekerja yang Dirumahkan berujung PHK akibat Pandemi Covid-19

IB Gede Ananda Widya Artana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam artikel ini ialah untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah bentuk perlindungan hukum, keabsahan dan upaya yang dapat ditempuh, oleh masyarakat khususnya kepada para pekerja yang dirumahkan berujung kepada PHK akibat adanya pandemi covid-19. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan pada peraturan perundangan-undangan, dianalisis secara kualitatif dengan teknik-teknik penalaran dan argumentasi hukum dalam bentuk uraian naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan berujung PHK adalah dengan memberikan kartu prakerja, Subsidi Gaji atau upah bagi perkerja atau buruh, insentif untuk korban PHK, WFH. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh para pengusaha kepada pekerja di masa pandemi Covid-19 dengan alasan force majeur ialah tidak sah, apabila dilakukan oleh perusahaan yang tidak tutup secara permanen, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pekerja jika belum mendapatkan haknya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 151 ayat (3) dan (4) UU Cipta kerja.

Kata kunci: perlindugan hukum, pekerja, pandemi covid-19

ABSTRACT

The goal that the author wants to achieve in this article is to know and understand how the form of legal protection, validity, and efforts that can be taken, by the community, especially for workers who are laid off resulting in layoffs due to the covid-19 pandemic. The research methods used in this journal are normative, using approaches to legislation, analysis, and argumentative. The results of the study in this journal are a form of legal protection for workers who are laid off to the point of layoffs is to provide preemployment cards, salary subsidies or wages for workers or workers, incentives for victims of layoffs, WFH. Termination of employment carried out by employers to workers during the Covid-19 pandemic because force Majeure is invalid, if done by companies that are not permanently closed, legal efforts that can be made by workers if they have not obtained their rights can be done under the provisions of Article 151 paragraph (3) and (4) of the Copyright Law.

Keywords: legal protection, workers, covid-19 pandemic

  • 1 . Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Berdasarkan ketentuan pada “Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI Th.1945) mengatur bahwa negara Indonesia adalah negara hukum”, yang dimana ketentuan tersebut memiliki arti bahwa segala perbuatan harus berdasarkan hukum. Hal tersebut merupakan bentuk dari implementasi yang diwujudkan oleh pemerintah untuk kepentingan rakyatnya. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan, kemakmuran serta melindungi hak-hak dan kewajiban baik perseorangan maupun badan hukum sesuai dengan pembukaan pada UUD NRI Th.1945 alenia ke 4 (empat) yang menyebutkan bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.1

Saat ini, Indonesia tengah memasuki masa-masa yang kritis.2 Hadirnya pandemi Covid-19, membawa dampak yang sangat besar di berbagai aspek bidang di masyarakat seperti bidang kesehatan, perekonomian, dan bidang kehidupan manusia yang lainnya.3 Hal tersebut diperkuat dengan diterbitkannya suatu kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (selanjutnya disebut PP Nomor 21 Tahun 2020) dan pemberitahuan oleh Menteri keuangan Sri Mulyani yang mengatakan ancaman mengenai resesi semakin nyata di depan mata, sehingga memicu para pengusaha segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan keberlangsungan usahanya dengan cara seperti tidak membayar upah tenaga kerja,4 dan dirumahkan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja atau PHK secara sepihak.5

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja Yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut SE Menaker Nomor 5/1998), dimana dalam aturan tersebut mengatur bahwa pekerja yang dirumahkan untuk sementara waktu sebagai salah satu bagian dari upaya penyelamatan perusahaan. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dan kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Covid-19 yang didalamnya mengatur tentang perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha demi pelaksanaan penanggulangan Covid-19.

Secara konsep, prihal mengenai praktik hubungan kerja yang tengah dijalankan oleh perusahaan dengan tenaga kerja seharusnya memiliki hubungan yang tidak merugikan kedua belah pihak, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pada “Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) mengatur bahwa pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencangkup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja”. Lebih lanjut, mengacu pada SE Menaker Nomor 5/1998 mengatur bahwa perusahaan diperbolehkan serta dibenarkan merumahkan pekerja dengan tetap memenuhi persyaratan peraturan perjanjian kerja. Namun pada kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak mengikuti aturan yang telah diberikan tersebut, dan masih memberlakukan perubahan peraturan yang sepihak tanpa melibatkan para perkerja, sehingga secara langsung telah menempatkan posisi para tenaga kerja sebagai pihak yang dirugikan.6

Dengan adanya permasalahan mengenai hal tersebut, tentunya bertentangan terhadap ketentuan pada “Pasal 7 ayat (2) UUD NRI Th.1945 yang mengatur bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, ketentuan pada “Pasal 88 A ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang mengatur bahwa (1) Hak buruh atas upah yang ditimbulkan pada saat terjalin hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha atau perusahaan dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja, (2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya, (3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan”. Lebih lanjut, ketentuan pada “Pasal 154 A ayat (1) huruf d UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa pemberi kerja bisa saja melaksanakan suatu pemutusan hubungan kerja dengan ketentuan perusahaan tersebut tutup dikarenakan suatu keadaan memaksa atau force majeure, dan jika hubungan kerja didasarkan dengan ketentuan tersebut maka pekerja berhak memperoleh haknya yaitu pesangon sebersar 1 (satu kali)”.

Terdapat dua penelitian yang identik dengan penelitian ini, pertama berjudul “Aspek Hukum Pemotongan Upah Pekerja Oleh Perusahaan Yang Merugi Akibat Terdampaknya Covid-19 oleh I Gusti Agung Bagus Yudara Tara Diva yang berfokus pada aspek hukum pemotongan upah pekerja oleh perusahaan yang mengalami kerugian akibat Covid-19.7 Kedua berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Dirumahkan Terkait Remunerasi Dalam Masa Pandemi Covid-19 oleh Dhitania Annisa yang berfokus pada bentuk perlindungan hukum terhadap tenaga kerja yang dirumahkan terkait remunerasi pada masa pandemi Covid-19 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku8, sedangkan di dalam penelitian yang penulis lakukan berfokus pada perlindungan dan upaya upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pekerja yang dirumahkan berujung PHK akibat pandemi Covid-19.

  • 1.2    Rumusan Masalah.

  • 1.    Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan berujung PHK akibat pandemi Covid-19 ?

  • 2.    Bagaimakah keabsahan dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pekerja yang dirumahkan berujung PHK akibat pandemi Covid-19 ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah bentuk perlindungan hukum, keabsahan dan upaya yang dapat ditempuh, oleh masyarakat khususnya kepada para pekerja yang dirumahkan berujung kepada PHK akibat adanya pandemi Covid-19.

  • 2    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan sistem pengumpulan dan menganalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder9 dengan metode penelitian kepustakaan (library research) yang dalam studi hukum disebut penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan-bahan hukum (primer dan sekunder). Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU Cipta Kerja, UUK, KUH Perdata. Untuk kepentingan analisis hukum, digunakan bahan hukum sekunder berupa literatur hukum yang relevan. dengan teknik penelusuran literatur diperpustakaan dan internet. Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan peraturan perundangan-undangan (the statue approach), pendekatan analisis (analytical approach) serta pendekatan argumentatif dengan cara mengkaji dan menganalisis. Bahan-bahan penelitian yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan teknik-teknik penalaran dan argumentasi hukum, seperti konstruksi hukum dan penafsiran hukum. Penyajian dilakukan secara deskriptif dalam bentuk uraian naratif.10

  • 3    Hasil Dan Pembahasan.

    • 3.1    Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Yang Dirumahkan Berujung PHK Akibat Adanya Pandemi Covid-19.

Dewasa ini, masyarakat diseluru h dunia sedang dilanda kepanikan yang cukup mendalam. Ini disebabkan oleh mewabahnya Covid-19 di seluruh belahan dunia termasuk di negara Indonesia.11 Untuk menangani hal tersebut, pemerintah sudah melakukan beberapa penanganan awal, seperti mencoba untuk membendung segala macam informasi mengenai penyebaran Covid-19 dengan tujuan untuk dapat mengurangi atau meminimalisir rasa panik masyarakat terkait dengan segala

informasi yang kebenarannya masih belum dapat dibuktikan.12 Tidak hanya itu saja, pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2020 sebagai langkah penanganan awal untuk dapat menekan jumlah angka kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia.13 Corona virus merupakan sekelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit baik pada hewan maupun manusia dengan cara menginfeksi saluran pernapasan.14 Setidaknya terdapat 2 (dua) jenis corona virus yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit yang menimbulkan gejala yang cukup berat yaitu MERS (Middle East Respiratory Syndrome), SARS (Severe Actute Resporatory Syndrome).15

Hadirnya pandemi Covid-19, mengakibatkan dampak yang sangat serius bagi perekonomian masyarakat. Pemberlakukan pembatasan skala besar-besaran menyebabkan akses keluar masuk antar daerah menjadi terganggu sehingga segala jenis usaha yang dimiliki oleh masyarakat seperti hotel, tempat wisata, restaurant serta akomodasi pariwisata turut andil mengalami kerugian yang cukup besar terutama bagi sektor pariwisata di Provinsi Bali yang notabenya sebagai penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.16 Diketahui dampak dari adanya pandemi Covid-19 lebih buruk dibandingan dengan kejadian-kajian sebelumnya seperti krisis moneter 1998, peristiwa bom Bali 1 dan 2 pada tahun 2002 dan 2005 dan letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 2018. Dengan adanya kerugian yang dialami oleh usaha-usaha tersebut, tidak sedikit para pelaku pariwisata yang mengalami kerugian dan mengambil tindakan untuk merumahkan para pekerjanya yang berujung terhadap pemutusan hubungan kerja atau PHK sehingga permasalahan yang terjadi saat ini terkesan pelaku usaha sedang memanfaatkan situasi saat ini dengan dalih efisiensi dan kemudian merumahkan pegawainya tanpa adanya sosialisasi dan tanpa mengikut sertakan para pegawai untuk membuat kesepakatan bersama, bahkan sampai membuat suatu kebijakan secara sepihak untuk tidak melakukan pembayaran upah dengan menerapkan kebijakan cuti tidak dibayar atau unpaid leave dengan jangka waktu yang tidak diatur secara jelas.

Berdasarkan ketentuan pada “Pasal 1 angka 25 UUK mengatur bahwa PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan mengenai pekerja yang dirumahkan pada UUK maupun UU Cipta Kerja tidak mengatur secara spesifik prihal mengenai perkerja yang dirumahkan”.

Mengenai pekerja yang sedang tidak bekerja, pada UU Cipta Kerja dan UUK menggunakan istilah istirahat baik itu harian, mingguan cuti dan istirahat panjang

(Pasal 79 UU Cipta Kerja), termasuk pekerja wanita yang melahirkan maupun keguguran (82 UUK), sedangkan dari sisi perusahaan sendiri terdapat istilah penutupan perusahaan atau lock out yang merupakan suatu hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja atau buruh baik secara sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 UUK).

Pada SE Menaker Nomor 5/1998, istilah kata dirumahkan muncul yang dimana SE tersebut mengatur bawah:

  • 1.    Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan kecuali telah diatur lain dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.

  • 2.    Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirunding dengan pihak serikat dana atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahnya.

Lebih lanjut, istilah kata dirumahkan juga terdapat pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/x/2004 Tahun 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal, yang dimana SE tersebut mengatur bahwa dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, harus melakukan upaya-upaya tertentu sebelum akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK, salah satunya yaitu dengan meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu, sedangkan terkait dengan adanya pandemi Covid-19 melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dan kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Covid-19 yang dimana salah satu point dalam SE tersebut mengatur bahwa bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja atau buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja atau buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh.

Bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang dirumahkan yang berujung PHK akibat pandemi Covid-19 yaitu:17

  • 1.    Kartu prakerja

Kartu prakerja merupakan sebuah pelaksanaan terhadap implementasi Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Re-focusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang Dan Jasa Untuk Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, yang dimana target pemberian bantuan kartu prakerja tersebut ialah masyarakat yang berstatus pengangguran dan korban PHK. Syarat untuk mendapatkan bantuan kartu prakerja ialah warga negara Indonesia, berumur minimal 18 tahun dan tidak mengikuti pendidikan formal.

  • 2.    Subsidi Gaji atau upah bagi perkerja atau buruh

Pemerintah memberikan berupa subsidi Gaji/Upah bagi Pekerja/Buruh, terutama bagi Pekerja/Buruh yang bekerja di wilayah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Diutamakan yang bekerja pada sektor usaha industri barang konsumsi, transportasi, aneka industri, properti dan real estate, perdagangan dan jasa kecuali jasa pendidikan dan kesehatan, sesuai dengan klasifikasi data sektoral di BPJS Ketenagakerjaan.

  • 3.    Insentif Untuk Korban PHK

Melalui BP Jamsostek, pemerintah akan memberikan insentif bagi pekerja korban PHK yang direncanakan bahwa setiap pekerja korban PHK akan diberikan insentif sebesar Rp 1 juta hingga Rp 5 juta untuk 3 bulan.

  • 4.    Work From Home atau WFH

WFH ialah sebuah konsep kerja yang dimana karyawan atau para pekerjanya dapat melakukan pekerjaan dari rumah. WFH merupakan suatu konsep yang membantu para pekerja yang dirumahkan akibat pandemi Covid-19. Selama masa WFH tersebut pekerja yang dirumahkan akan tetap mendapatkan upah secara penuh atau pemotongan upah apabila telah disepakati oleh pihak perusahaan dengan pihak para pekerja.18

  • 5.    Dikeluarkannya Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/7/AS.02/02/V/2020 Tahun 2020 tentang Rencana Keberlangsungan Usaha Dalam Menghadapi Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan Protokol Pencegahan Penularan Covid-19 Di Perusahaan, dan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dan kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Covid-19.

  • 6.    Program Padat Karya Tunai

Program ini memberikan penghasilan sementara kepada pekerja harian yang tidak mendapatkan penghasilan akibat PSBB di tengah pandemi Covid-19, yang dimana sasaran dari program tersebut ialah keluarga miskin dan pengangguran.

Perlindungan hukum dalam hal pemberian upah/gaji bagi pekerja diatur dengan suatu ketentuan yaitu:19

  • 1.    Bagi pekerja yang masuk dalam ke dalam kategori sebagai orang dalam pengawasan (ODP) Covid-19 maka berdasarkan surat dari keterangan dokter menyatakan sehingga tidak dapat kerja paling lambat 14 hari atau sesuai strandar Kementerian Kesehatan, maka upahnya akan dibayar secara full.

  • 2.    Bagi pekerja yang masuk ke dalam kategori suspek Covid-19 dan diisolasi sesuai keterangan dari dokter, maka upah akan dibayar secara full selama menjalani isolasi mandiri.

  • 3.    Bagi tenaga kerja yang tidak dapat masuk kerja karena positif sakit Covid-19 dan dibuktikan dengan bukti surat keterangan dokter, maka upah/gaji akan dibayar sesuai peraturan perundang-undangan.

  • 4.    Bagi para pengusaha atau perusahaan yang memberikan batasan kegiatan usaha akibat dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di beberapa daerah guna untuk mencegah serta menanggulangi Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerjanya tidak masuk kerja, maka dengan melihat pada kelangsungan usaha maka sebuah perubahan besaran maupun cara pemberian upah/gaji pekerja akan dilakukan seperti dengan kesepakatan yang terjadi dan telah dibuat antara pengusaha atau perusahaan dengan pekerja.

  • 3.2 Keabsahan Dan Upaya Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Para Pekerja Yang Dirumahkan Berujung PHK Akibat Adanya Pandemi Covid-19

Pemutusan hubungan kerja atau PHK berdasarkan ketentuan pada “Pasal 1 angka 25 UUK menyebutkan bahwa PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 153 ayat (1) dan (2) UUK mengatur bahwa (1) pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

  • 1.    Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

  • 2.    Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 3.    Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agama.

  • 4.    Pekerja/buruh menikah.

  • 5. Pekerja/buruh perempuan hamil,  melahirkan, gugur kandungan atau

menyusui bayinya.

  • 6. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

  • 7.    Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.

  • 8.    Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.

  • 9.    Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa: “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan“.

Terdapat beberapa alasan untuk dapat dilakukannya PHK yaitu pekerja melakukan kesalahan ringan atau berat, perusahaan pailit, adanya force majeur atau overmacht, dan efisiensi.20 Overmacht atau force majeure adalah suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi

yang dikemukakan oleh pihak kreditur.21 Terdapat pasal yang sering digunakan sebagai acuan dalam pembahasan force majeure, yakni ketentuan pada “Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata telah menetapkan bahwa force majeure sebagai alasan hukum yang dapat membebaskan debitur dari kewajiban melaksanakan pemenuhan (nakoming) dan ganti rugi (schadevergoeding) sekalipun debitur melakukan perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatig). Adapun bunyi dari ketentuan pasal tersebut yaitu:

  • 1.    Pasal 1244 KUH Perdata

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

  • 2.    Pasal 1245 KUH Perdata

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeure adalah:

  • 1.    Adanya kejadian yang tidak terduga.

  • 2.    Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan.

  • 3.    Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur.

  • 4.    Ketidamampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Terdapat 2 sifat mengenai Force majeure. Yang pertama adalah force majeure yang bersifat tetap dan yang kedua adalah force majeure yang bersifat sementara.22 Pada force majeure yang bersifat tetap debitur sama sekali tidak dapat berprestasi yang disebabkan karena force majeure tersebut,23 sedangkan pada force majeure sementara debitur masih memungkinkan berprestasi kembali tetapi setelah keadaan force majeure berakhir.24 Pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh adanya force majeur telah diatur pada: Pasal 164 ayat (1) UUK yang mengatur bahwa “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang

penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”, dengan artian terdapat syarat khusus untuk dapat dilaksanakannya PHK yaitu perusahaan tutup. Apabila perusahaan tersebut tidak tutup untuk selamanya melainkan hanya tutup untuk sementara waktu maka alasan para pengusaha melakukan PHK kepada para pekerja dengan alasan force majeur di masa pandemi Covid-19 menjadi tidak sah, dan untuk itu maka para pengusaha di wajibkan untuk tetap membayar hak para pekerja sesuai dalam ketentuan pada Pasal 156 UUK.

Bagi para pekerja yang masih belum mendapatkan haknya maka dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan pada Pasal 151 ayat (3) UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa “Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerjal serikat buruh”. Lebih lanjut pada Pasal 151 ayat (4) UU Cipta Kerja mengatur bahwa “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.

  • 4. Kesimpulan

Bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan berujung PHK akibat pandemi Covid-19 telah diimplementasikan dalam bentuk pemberian kartu prakerja, Subsidi Gaji atau upah bagi perkerja atau buruh, insentif untuk korban PHK, WFH, Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/7/AS.02/02/V/2020, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 dan Program Padat Karya Tunai. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh para pengusaha kepada pekerja di masa pandemi Covid-19 dengan alasan force majeur ialah tidak sah, apabila dilakukan oleh perusahaan yang tidak tutup secara permanen, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pekerja jika belum mendapatkan haknya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 151 ayat (3) dan (4) UU Cipta kerja.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku

Asikin, Zainal Amiruddin. “Pengantar Metode Penelitian Hukum". (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).

Soemadipradja Rahmat, S. S. "Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa." Jakarta, PT Gramedia (2010): 3.

  • B.    Jurnal

Annisa, Dhitania, and Andriyanto Adhi Nugroho. "Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Dirumahkan Terkait Remunerasi Dalam Masa Pandemi Covid-19". Justitia: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora. Vol.8, No.4 (2021).

Damanik, Elsarika, Yunida Turisna Simanjuntak, and Dicky Yuswardi Wiratma. "Pencegahan Corona Virus Disease 19 (Covid-19) Pada Pedagang Pasar Helvetia Kelurahan Helvetia Tengah". Jurnal Abdimas Mutiara. Vol.1, No.2 (2020).

Dauri, Haqidah K. "Bentuk Tanggungjawab Negara Menghadapi Covid-19 Dalam Persepktif Otonomi Daerah (Telaah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar)". Supremasi: Jurnal Pemikiran, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Hukum dan Pengajarannya, Vol.15, No.2 (2020).

Dinaloni, Diah, and Intan Cahyaning Putri. "Pengaruh Keberlanjutan Usaha Dan Force Majeur Terhadap Kredit Bermasalah PNPM Mandiri Pedesaan Di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto". JPEKBM (Jurnal Pendidikan Ekonomi, Kewirausahaan, Bisnis dan Manajemen). Vol.2, No.1 (2018).

Hanifan, Andre Azka, and Sudahnan Sudahnan. "Perlindungan Hukum Pekerja Alih Daya Di Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja Pailit". Perspektif. Vol.19, No.2 (2014).

Kartikasari, Erny, Made Warka, and Evi Kongres. "Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Mendapat Upah Tidak Layak Di Masa Pandemi Covid-19". Jurnal Yustitia. Vol.22, No.2 (2021).

Matantu, Kesia Tamalasari. "Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Yang Di Phk Akibat Pandemi Covid 19 Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan". Lex Administratum. Vol.9, No. 2 (2021).

Pesulima, Theresia Louize, and Yosia Hetharie. "Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Akibat Pandemi Covid-19". Sasi. Vol.26, No.2 (2020).

Sajou, Daniel Marshal, Kerenhapukh Milka Tarmadi Putri, and Niken Febriana Dwi. "Peran Negara Atas Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia Pada Masa Pandemi Covid-19", Jurnal Syntax Transformation. Vol.1, No. 8 (2020).

Saputra, I. Komang Edy Dharma. "Analisis Hukum Pemutusan Hubungan Kerja Pada Masa Pandemi Covid-19". Jurnal Ilmiah Raad Kertha. Vol.4, No.2 (2021).

Setiawan, I Putu Yudhi and Priyanto, I Made Dedy. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Karena Dampak Covid-19 Sebagai Keadaan Memaksa”. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum. Vol.9, No.7 (2021).

Soritua, Yohanes. "Analysis of the Role of Tourism Sector to be the Main Income in the Region". (2015).

Sudantra, I Ketut and Laksana, I Gusti Ngurah. “Di Balik Prevalensi Perkawinan Usia Anak Yang Menggelisahkan: Hukum Negara Versus Hukum Adat - Behind Concerning Prevalence Of Children Age Marriage: State Law Versus Adat Law”. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan. Vol.7, No.1 (2019).

Sugiarti, Yayuk. "Keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja Karena Force Majeur Di Masa Pandemi Covid-19". Justitia Jurnal Hukum. Vol.4, No.2 (2020).

Syamsiah, Desi. "Penyelesaian Perjanjian Hutang Piutang Sebagai Akibat Forje Majeur Karena Pandemic Covid 19". Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum. Vol.4, No.1 (2020).

Tara Diva, I Gusti Agung Bagus Yudara and Harriestha Marthana, Putu Ade. “Aspek Hukum Pemotongan Upah Pekerja Oleh Perusahaan Yang Merugi Akibat Terdampak Covid-19”. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum. Vol.10, No.3 (2020).

Thalib, Emmy Febriani, and Ni Putu Suci Meinarni. "Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Industri Pariwisata Bali atas Pemutusan Hubungan Kerja sebagai Dampak Pandemi Covid-19". Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal). Vol.10, No.2 (2021).

Tjoanda, Merry, Yosia Hetharie, Marselo Valentino Geovani Pariela, and Ronald Fadly Sopamena. "Covid-19 Sebagai Bentuk Overmacht dan Akibat Hukumnya Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kredit". Sasi. Vol.27, No.1 (2021).

Yitawati, Krista, Anik Triharyani, and Yuni Purwati. "Perlindungan Hukum Pekerja Terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dalam Masa Pandemi Covid 19". Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum. Vol.7, No.2 (2021).

Yunus, N. R., and Rezki, A. “Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19”. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Vol.7, No.3 (2020).

Zamroni, M. "Cara Indonesia Menanggulangi Corona Virus Disease-19 Melalui Peraturan Perundang-Undangan". Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. Vol.8, No.2 (2020).

  • C.    Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja Yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dan kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Covid-19.

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/x/2004 Tahun 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.

Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/7/AS.02/02/V/2020 Tahun 2020 tentang Rencana Keberlangsungan Usaha Dalam Menghadapi Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan Protokol Pencegahan Penularan Covid-19 Di Perusahaan.

371

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 4 Tahun 2022 hlm 360-371