AKIBAT HUKUM PERKAWINAN ANTARA MUSLIM DENGAN NON MUSLIM BERDASARKAN PADA HUKUM ISLAM
on
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN ANTARA
MUSLIM DENGAN NON MUSLIM
BERDASARKAN PADA
HUKUM ISLAM
Ayu Ferlina, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk mengidentifikasi akibat hukum yang timbul jika melangsungkan perkawinan beda agama khususnya antara muslim dengan non muslim di ranah Hukum Islam. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan komparatif. Hasil studi menunjukkan bahwa akibat hukum yang timbul apabila terjadinya perkawinan antara muslim dengan non muslim menurut hukum Islam yaitu status perkawinan tersebut tidak sah (dalam Pasal 40 KHI dan Pasal 44 KHI) dan karena perkawinan itu, maka anak yang hadir dalam pasangan tersebut pun dianggap anak tak sah/anak luar kawin yang juga berdampak pada hubungan perdata sang anak dengan ayahnya.
Kata Kunci: Akibat Hukum, Beda Agama, Perkawinan, Muslim, Non-Muslim.
ABSTRACT
The purpose of this study is to identify the legal consequences that arise if interfaith marriages are held, especially between Muslims and non-Muslims in the realm of Islamic law. This study uses normative legal research methods with statutory and comparative approaches. The results of the study show that the legal consequences that arise when a marriage between a Muslim and a non-Muslim occurs according to Islamic law is that the marital status is invalid (in Article 40 KHI and Article 44 KHI) and because of the marriage, the children present in the couple are also considered children illegitimate/out of wedlock child which also has an impact on the child's civil relationship with his father.
Keywords: Different Religion, Legal Consequences, Marriage, Muslim, Non Muslim.
Perkawinan adalah kaitan yang lahir batin antara pria dengan wanita dan menjadi pasangan hidup yang tujuannya membangun keluarga suka cita serta tentunya langgeng yang juga berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Latar belakangnya yaitu Indonesia selaku negara pancasila yang dimana pancasila dijadikan dasar negara Indonesia dan sila pertama pancasilanya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga suatu perkawinan memiliki ikatan amat kuat terhadap agama/kerohaniannya, yang membuat perkawinan tak hanya memiliki faktor lahir/jasmani, tapi faktor batin/rohani pun memiliki peran yang signifikan.
Bagi manusia, perkawinan merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia.1 Perkawinan menurut Islam itu bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan seksual secara halal bagi seseorang guna melangsungkan keturunan dalam suasana yang saling menyayangi dan penuh cinta kasih antara suami dan istri.2
Perkawinan antara muslim dengan non muslim (beda agama/lain agama) saat rezim kolonial tergolong ke dalam cakupan perkawinan campuran dan termuat dalam Penetapan Raja tanggal 29 September 1896 No. 158 selanjutnya disebut Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR). Saat itu, perkawinan beda agama bukanlah pagar dari halalnya perkawinan karena perkawinan dianggap legal bila telah menuruti peraturan negara. Bolehnya perkawinan beda agama itu diterangkan pada Pasal 7 ayat (2) GHR dan bunyinya, “Perbedaan agama, bangsa atau asal usul sama sekali tidak menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan”. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya dikenal UUP, menerangkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini berarti pada pasal itu menjelaskan yang dimana perkawinan dapat dianggap legal bila dilangsungkan kepada agama atau kepercayaannya masing-masing, jadi apabila perkawinan tersebut tidak diakui menurut agamanya, negara pun juga tidak akan mengakuinya.3
Kontroversi mengenai boleh tidaknya perkawinan lain agama ini amat familiar saat diterbitkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400/K/Pdt/1986, dimana memperbolehkan terjadinya perkawinan beda agama yang menganggap salah satu pihaknya tak lagi memperdulikan kedudukan agamanya (in casu agama Islam), dan kemudian diberikan izin untuk dicatat di Kantor Catatan Sipil. Pembicaraan itu pun menarik perhatian publik karena diajukannya Judical Review pada Pasal 2 ayat (1) UUP dianggap tak memberikan kepastian hukum untuk pasangan yang hendak melaksanakan perkawinan lain agama di NKRI dan bertolak belakang pada UUDNRI Tahun 1945. Perkawinan beda agama menjadi topik yang atraktif karena Pasal 2 ayat (1) UUP masih memicu timbulnya perselisihan opini sementara itu, problematika terkait
perkawinan lain agama di masyarakat makin berkembang serta memerlukan adanya kepastian hukum.
Landasan hukum agama saat melakukan perkawinan merupakan perihal yang primer dalam UU No. 1/1974, sehingga kepastian untuk boleh atau tidaknya melangsungkan perkawinan itu bergantung pada keputusan agama. Hukum agama juga memiliki peranan penting dalam menentukan sahnya perkawinan, di samping peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif Indonesia.4 Dalam hal ini berarti, bila hukum agama tidak mengizinkan atau tidak membolehkan perkawinan tersebut untuk dilaksanakan maka itu juga berlaku pada hukum negaranya. Ini juga sebanding dengan Kompilasi Hukum Islam dan selanjutnya dikenal dengan sebutan KHI, dimana mengklasifikasikan perkawinan lain agama pada Bab Larangan Perkawinan KHI. Dalam Pasal 40 huruf (c) KHI menerangkan yang dimana tidak memperbolehkan atau melarang terjadinya perkawinan pria dan wanita yang bukan beragama Islam.
Dalam riset ini, kami memakai riset-riset terdahulu atau state of the art sebagai bahan perbandingan dan kajian. Riset yang mendekati dengan topik yang kami ambil yakni riset yang ditulis oleh Nur Asiah dengan judul, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam”. Riset tersebut menyimpulkan bahwa ketentuan hukum positif Indonesia tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama, namun dari ketentuan-ketentuan yang ada serta posisi Indonesia sebagai negara yang non sekuler, maka dimaknai bahwa di Indonesia tidak dapat dilangsungkan perkawinan beda agama dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Pandangan agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya karena dalam Al-Qur’an dengan tegas melarang perkawinan antara seorang muslim dengan seorang yang musyrik seperti yang tertera dalam Surah Al-Baqarah. Sedangkan yang membedakan dengan riset sebelumnya ialah dalam riset ini mengidentifikasikan akibat hukum yang timbul jika melangsungkan perkawinan beda agama khususnya antara muslim dengan non muslim di ranah Hukum Islam.
Terkait latar belakang yang sudah dipaparkan tersebut, dapat dirumuskan dua topik persoalan yang akan dibahas, yakni:
-
1. Apakah diperbolehkan jika dilangsungkannya perkawinan beda agama berdasarkan Hukum Islam?
-
2. Bagaimanakah akibat hukum jika melangsungkan perkawinan antara muslim dengan non muslim berdasarkan Hukum Islam?
Tujuan ditulisnya jurnal ini adalah untuk mengetahui dan lebih memahami mengenai diperbolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama khususnya antara muslim dengan non muslim di lingkup Hukum Islam serta mengidentifikasi akibat
hukum yang timbul jika melangsungkan perkawinan beda agama khususnya antara muslim dengan non muslim di ranah Hukum Islam.
-
II. Metode Penelitian
Studi ini memanfaatkan metode penelitian normatif, dimana metode tersebut dijadikan sebagai jenis penelitian dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan analisis konsep hukum (legal concept analysis) yang penelitiannya berfokus pada peraturan hukum yang berlaku serta ditinjau dari sudut perundang-undangan dan konsep hukumnya. Sifat penelitian dari studi ini berupa penelitian deskriptif dibantu dengan data sekunder yang bersumber dari dokumen, buku, jurnal, tesis, disertasi dan lain-lain melalui teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Mengenai sumber hukum yang dipakai pada studi ini, dapat dibagi menjadi 3 yaitu bahan hukum utama/primer, seperti peraturan perundang-undangan terkait topik yang diangkat, bahan hukum sekunder, seperti jurnal-jurnal, buku-buku di bidang hukum khususnya terkait topik yang diangkat, bahan hukum tersier, seperti literatur lain yang berkaitan dengan topik yang diangkat.
Berdasarkan pada Al-Qur’an dalam agama Islam, terdapat 3 ayat secara tekstual menyinggung tentang perkawinan lain agama antara muslim dengan non muslim5. Pertama, Surah Al-Baqarah:221 yang menerangkan dilarangnya menikah/menikahi orang musyrik (orang yang menyekutukan Allah S.W.T) sampai mereka beriman (beribadat) bagi pria muslim atau wanita muslimah. Jika melihat penjelasan pada Al-Qur’an dalam Surah Al-Nisa:59 yang bunyinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kalian…” maka dengan hadirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini dijadikan pedoman fikih di Indonesia. Arti dari kata “ulil amri” menurut ulama ahli tafsir yaitu pertama, sebagai pemegang perihal keagamaan yakni ulama dan arti yang kedua yaitu sebagai pemegang perihal keduniaan yakni umara atau pemerintah.
Kedua, dalam Surah Al-Mumtahanah:10 yang menyiratkan mengenai adanya larangan pria muslim untuk menikahi wanita musyrikah serta kafir. Dan ketiga, Surah Al-Ma’idah:5 menjelaskan bahwa wanita muslimah tidak diperkenan untuk diperistri oleh pria non muslim walaupun yang tergolong Ahl al-Kitab. Sebaliknya, pria muslim juga tidak diperkenan untuk menikahi wanita musyrikah serta kafir namun di bolehkan untuk memperistri wanita Ahl al-Kitab (penganut Yahudi dan Nasrani/Kristen)6 yang merupakan salah satu dari kelompok orang kafir.7 Pada surah tersebut, bolehnya pria muslim untuk memperistri wanita Ahl al-Kitab disertai syarat bila pria muslim tersebut shaleh atau karakter keimanan dan keislamannya baik dikarenakan perkawinan seperti itu mempunyai konsekuensi, seperti adanya pindah agama atau bahkan sampai melakukan perceraian. Perkawinan di antara pria muslim dan wanita Ahl al-Kitab
hanya suatu perilaku yang dihukumi “mubah” (mengerjakan atau meninggalkannya) namun bukan anjuran atau bahkan suatu perintah.
Dari berbagai macam persepsi dalam kalangan ulama dan ilmuan yang mempersepsikan tentang Ahl al-Kitab yang terkandung dalam Surah Al-Maidah:5 tersebut maka dapat digambarkan bahwa pemaknaan tersebut terjadi perbedaan pendapat dalam memahaminya. Namun jika dilihat daripada tingkat kehati-hatian oleh para ulama khususnya oleh Imam Asy-Syafi’i, maka perlu ditinjau adalah tingkat Ahl al-Kitab berdasar kriteria berasal dari golongan Yahudi dan Nasrani kaum Bani Israel.8
Menurut Mahmud Saltut, tujuan utama diperbolehkan menikahi wanita Ahl alKitab ini adalah dengan perkawinan terjadi penghubung cinta dan kasih sayang sehingga terkikis rasa tidak senang dan curiga terhadap Islam. Jika tujuan itu tidak tercapai atau justru terjadi permusuhan, kebencian dan kecurigaan atau memunculkan rasa tidak senang terhadap Islam, maka perkawinan ini harus dibubarkan.9
Pada KHI, penetapan larangan perkawinan beda agama didasari dengan dalil yang kuat, yakni10 :
-
- Dalam Bab 1 Pasal 2 ayat (1) UUP menerangkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Maksud dari pasal itu dijadikan patokan dasar dari sebuah perkawinan untuk para WNI;
-
- Tindakan preventif untuk mencegah adanya suatu kemurtadan (keluar dari agama/ingkar terhadap agamanya) yang merupakan efek dari perkawinan beda agama agar taat dengan satu agama yang sama untuk pasangan suami istri dan menjadi tuntutan yang seutuhnya.
Dalam KHI itu jelas melarang praktek perkawinan beda agama dan KHI tidak membedakan kategori pria dan wanita yang melakukan perkawinan tersebut baik tergolong ahli kitab atau bukan, selama orang tersebut non muslim atau tidak beragama Islam maka dilarang untuk menikah.11 Larangan perkawinan beda agama dalam KHI sejalan dengan Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 terkait fatwa dari MUI yang dikeluarkan pada tanggal 01 Juni 1980 menjadi respons atas meningkatnya ketertarikan publik terhadap beranjaknya perkawinan beda agama. Fatwa artinya istilah perihal suatu tafsiran terkait masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa MUI tersebut mempunyai dua pernyataan terkait problematika itu, pertama, wanita muslimah tak diizinkan (hukumnya haram menurut Islam) untuk dinikahi oleh pria non muslim dan yang kedua, pria muslim tak diperkenankan juga untuk menikahi wanita non muslim. Dalil-dalil tersebut berasal dari kutipan-kutipan pada kitab suci Al-Qur’an beserta hadits dan tak ada satupun yang berasal dari naskah fiqh (berasal dari dalil-dalil syar’i).
Alasan kuat ditetapkannya larangan perkawinan beda agama dalam KHI adalah tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan akibat perkawinan beda agama. Bagi seorang muslim atau muslimah, perkawinan bukan hanya soal perjanjian
lahiriah mengenai soal kelangsungan keturunan tetapi pertalian suci yang bertujuan mencapai kebahagiaan dan kepatuhan kepada Allah. Oleh karenanya, ketaatan pada satu agama yang sama bagi suami istri merupakan syarat mutlak.12
Di Indonesia, akibat hukum terkait dilangsungkannya perkawinan beda agama dapat diamati ke dalam 2 aspek yakni, aspek psikologis/psikis (terkait jiwa serta tingkah laku manusia) seperti meredupnya keharmonisan dalam rumah tangga yang telah dibangun, sering munculnya perbedaan opini yang nantinya membuat hubungan rumah tangga menjadi renggang akibat problem yang terus muncul silih berganti, mental anak menjadi terganggu karena bimbang dalam memilih agama atau keyakinan yang akan dianutnya nanti13, dan aspek yuridis (faktor hukum) terkait keabsahan perkawinan beda agama, status anak mereka dalam perkawinan tersebut, terkait warisan yang nantinya tidak dapat diterima oleh sang ahli waris karena adanya hubungan perbedaan agama.14
-
a. Akibat hukum terkait status dari perkawinan
Pada pasal 40 KHI telah menjelaskan, “seorang pria Islam dilarang melaksanakan perkawinan dengan seorang wanita apabila wanita tersebut tak beragama Islam”. Pasal 44 KHI juga telah menjelaskan yang dimana, “seorang wanita Islam diharamkan melakukan perkawinan dengan seorang pria yang bukan beragama Islam”. Perihal ini berarti sudah jelas bahwa isi dari pasal-pasal tersebut memicu suatu perkawinan menjadi tidak sah.
-
b. Akibat hukum terkait status serta kedudukan anak
Pasal 99 KHI menerangkan, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Hal ini berarti menentukan status serta kedudukan anak (sah atau tidak) terikat pada sah tidaknya dalam perkawinan, jika dalam hukum agama perkawinan kedua orangtuanya dianggap ilegal, maka anak yang hadir diantara pasangan itu pun dianggap anak tidah sah/anak luar kawin. Akibat hukum yang timbul pada anak tersebut ialah tak memiliki hubungan secara perdata terhadap sang ayah tetapi memiliki hubungan secara perdata terhadap ibu serta keluarga ibunya. Perihal itu pun sudah tertera dalam pasal 100 KHI dan dengan jelas menerangkan, “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Kata nasab diartikan hubungan pertalian kekeluargaan karena ikatan darah yang ke atas (ayah, kakek, ibu, nenek, dan sebagainya) yang ke samping (saudara, paman, bibi, dan sebagainya).15
-
IV. Kesimpulan
Menurut hukum Islam yang sudah tertera pada Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah:221 terkait perkawinan beda agama yang dimana menjelaskan untuk dilarangnya menikahi orang musyrik (orang yang menyekutukan Allah S.W.T) sampai
mereka beriman (beribadat) teruntuk pria muslim ataupun wanita muslimah. Namun dalam Surah Al-Ma’idah:5, seorang pria muslim diperboleh untuk memperistri seorang wanita Ahl al-Kitab dan disertai syarat bila pria muslim tersebut shaleh atau karakter keimanan dan keislamannya baik dan perkawinan tersebut hanya suatu perilaku yang dihukumi “mubah” (mengerjakan atau meninggalkannya) namun bukan anjuran atau bahkan suatu perintah. Akibat hukum yang timbul apabila terjadinya perkawinan antara muslim dengan non muslim menurut hukum Islam yaitu status perkawinan tersebut tidak sah (dalam Pasal 40 KHI & Pasal 44 KHI). Karena perkawinan itu, maka anak yang hadir dalam pasangan tersebut pun dianggap anak tak sah/anak luar kawin dan juga berdampak pada hubungan perdata sang anak dengan ayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Alam, Andi Syamsu dan Fauzan. “Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam”. (Kencana: Jakarta).
Faridl, Miftah. “Masalah Nikah dan Keluarga”. (Gema Insani Press: Jakarta).
Ichtianto, H. “Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia”. (Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama: Jakarta).
Nasution, H. Syamruddin. “Pernikahan Beda Agama Dalam Al-Qur’an: Kajian Perbandingan Pro Dan Kontra”. (Yayasan Pusaka Riau: Pekanbaru).
Sanjaya, Umar Haris dan Aunur Rahim Faqih. “Hukum Perkawinan Islam”. (Gama Media: Yogyakarta, 2017).
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah. Lentera Hati: Jakarta.
JURNAL:
Amri, Aulil. “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”. Media Syari’ah. Vol. 22, No.1 (2020).
Asiah, Nur. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Perkawinan Dan Hukum Islam”. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 10. No. 2 (2015).
Bahri, A. Syamsul. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan. Vol. 2, No. 1 (2020).
Bahri, A. Syamsul. “Dinamika Hukum Perkawinan Beda Agama dan Campuran di Dunia Islam dan Implementasinya di Indonesia”. Jurnal Hukum Perdata Islam. Vol 23, No. 1 (2022).
Buana, Andika Prawira. “Konsistensi dan Pengaruh Implementasi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Praktek Perkawinan Beda Agama di Makassar”. Jurnal HAM. Vol. 8, No. 2 (2017).
Cahaya, Nur. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Hukum Islam. Vol. 18, No. 2 (2018).
Cantonia, Sindy and Ilyas Abdul Majid. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan dan Hak Asasi Manusia”. Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol. 2, No. 6 (2021).
Daud, Sulhi M., Mohamad Rapik and Yulia Monita. “Dinamika Status Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Indonesia”. Undang: Jurnal Hukum. Vol. 5, No. 2 (2022).
Erleni. “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia”. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9, No. 1 (2022).
Farid, Muhammad. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hadis Ahkam”. Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law. Vol. VI, No. 2 (2017).
Fatahullah, Israfil and Sri Hariati. “Problematika Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilakukan Di Luar Wilayah Hukum Indonesia”. Jurnal Kompilasi Hukum, Vol. 5, No. 1 (2020).
Ilham, Muhammad. “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum Nasional”. Jurnal Syariah dan Hukum. Vol 2, No. 1 (2020).
Islamiyati. “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah Hukum”. Vol. 45, No. 3 (2016).
Jalil, Abdul. “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Di Indonesia”. Andragogi Jurnal Diklat Teknis. Vol. VI (2018).
Karim, Herman M. “Keabsahan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila”. Jurnal Hukum. Vol. 8, No. 2 (2017).
Makalew, Jane Marlen. “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia”. Lex Privatum. Vol. I, No. 2 (2013).
Marwin. “Pencatatan Perkawinan dan Syarat Sah Perkawinan Dalam Tatanan Konstitusi”. Jurnal ASAS. Vol. 6, No. 2 (2014).
Muhammadun. “Konsep Ijtihad Wahbah Az-Zuhaili dan Relevansinya Bagi Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Indonesia. Vol. 4, No. 2 (2019).
Nafisah, Durotun. 2019. Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Historis Normatif dan Filosofis. 2019. Jurnal Manajemen Pendidikan dan Studi Islam, Vol 6, No. 1.
Nurlizam. “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hukum Positif di Indonesia”. Jurnal Ulunnuha. Vol. 8, No. 2 (2019).
Radhiah, Amna, Wasino, Purwadu Suhandini. “Pernikahan Beda Agama dan Implikasinya terhadap Pola Asuh Anak”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 6 No. 2 (2017).
Rizqon. “Analisis Perkawinan Beda Agama Perspektif KHI, HAM dan CLD-KHI”. Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Hukum. Vol. 4, No.1 (2022).
Sekarbuana, Made Widya, Ida Ayu Putu Widiawati and I Wayan Arthanaya. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Jurnal Preferensi Hukum. Vol. 2, No. 1 (2021).
Septiandani, Dian, Dharu Triasih and Dewi Tuti Muryati. “Kontruksi Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia”. Humani (Hukum dan Masyarakat Madani). Vol. 7, No. 1 (2017).
Supriadi. “Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Yang Dilaksanakan Di Luar Indonesia”. Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan. Vol. 2, No. 1 (2020).
Tanuri. “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Maqashid Syariah Al-Syatibi”. El-Ahli Jurnal Hukum Keluarga Islam. Vol. 3, No. 2 (2022).
Tobroni, Faiq. “Kebebasan Hak Ijtihad Nikah Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Vol. 12, No. 3 (2015).
Wahyuni, Sri. “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”. Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia. Vol. 1, No. 1 (2011).
Yunus, Fakhrurrazi M. and Zahratul Aini. “Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam)”. Media Syari’ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Vol. 20, No. 2 (2018).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaga Negara RI Nomor 3019.
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 12 Tahun 2022 hlm 1346-1354
1354
Discussion and feedback