KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH TANGAN DALAM PENYALURAN KREDIT OLEH BANK
on
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH TANGAN DALAM PENYALURAN KREDIT OLEH BANK
I Gusti Putu Ardya Maharani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Putu Devi Yustisia Utami, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Ulasan ilmiah berikut bertujuan mempelajari susunan dari akad kredit dan menentukan kekuatan hukum akad kredit yang dituangkan secara bawah tangan ketika penyaluran kredit oleh bank. Metode penelitian yang dipakai yakni metode penelitian hukum empiris. Jenis pendekatan yang diterapkan pada ulasan berikut yakni pendekatan faktual (fact approach) dan pendekatan undang-undang (statute approach). Adapun lokasi penelitian pada PT. Bank Pembangunan Daerah Bali. Pertama-tama, hasil dari penelitian ini, yaitu: Susunan daripada akad kredit bank sebagai kontrak standar terdiri dari (1) judul, (2) komparisi, (3) substantif didalamnya terdapat sejumlah klausul yang menjadi syarat pemberian pinjaman bank. Kedua, kekuatan hukum akad kredit di bawah tangan memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak disangkal oleh debitur. Bilamana akad kredit/perjanjian kredit secara bawah tangan tersebut disangkal oleh debitur, maka memiliki keabsahan pembuktian lemah.
Kata Kunci : Kekuatan Hukum, Akad Kredit, Di Bawah Tangan.
ABSTRACT
The following scientific review aims to study the structure of the credit agreement and determine the legal force of the credit contract which is poured underhand of the bank when disbursing credit. The research method used is the empirical legal research method. The types of approaches applied in the following review are the factual approach and the statute approach. The research location at PT. Bali Regional Development Bank. First of all, the results of this study, namely: The structure of the bank credit agreement as a standard contract consists of (1) title, (2) comparison, (3) substantive in which there are a number of clauses that are conditions for granting bank loans. Second, the legal force of an underhand credit contract has permanent legal force as long as it is not denied by the debtor. If the credit contract/credit agreement is denied by the debtor, then it has weak proof validity.
Keywords: Legal Force, Credit Agreement, Underhand.
Lembaga keuangan memainkan posisi utama pada roda perekonomian, sehingga keberadaan lembaga keuangan cenderung dioptimalkan untuk menopang pertumbuhan perekonomian di Indonesia.1 Bank ialah badan keuangan bertugas menawarkan jasa keuangan seluas-luasnya, selain menyalurkan dana atau memberikan pinjaman berupa kredit, juga berupaya mengumpulkan uang dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan.2 Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut UU Perbankan) hanya mengenal 2 jenis bank dilihat dari fungsinya yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada pasal 1 angka 3 UU Perbankan, menyatakan Bank Umum ialah “bank yang menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip konvensional dan/atau syariah serta menyediakan jasa transaksi pembayaran sebagai bagian dari usahanya.” Sedangkan pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sesuai ketentuan pasal 1 angka 4 UU Perbankan ialah “bank yang menjalankan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah dan tidak menyediakan jasa transaksi pembayaran sebagai bagian dari usahanya.” 3
PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) adalah bank umum kepunyaan daerah yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Peraturan Dasar Bank Pembangunan Daerah. Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, BPD diharuskan menyesuaikan bentuk hukumnya menjadi Perusahaan Daerah. Penyesuaian bentuk hukum BPD menjadi perusahaan daerah dilaksanakan berdasarkan peraturan provinsi setempat. Selain berperan dalam menyediakan dana untuk pembiayaan pengembangan di daerah, mengumpulkan uang serta memelihara kas daerah (pemegang uang simpanan daerah), Bank Pembangunan Daerah juga memiliki peran menjalankan kegiatan bisnis perbankan seperti bank umum lainnya.
Salah satu kegiatan bisnis perbankan yang dimaksud yaitu sebagai penyalur kredit dalam masyarakat melalui pemberian pinjaman, sehingga menciptakan hubungan hukum antara kreditor dan debitor. Pemberian pinjaman bank adalah kesepakatan antara bank dan peminjam (klien debitur). Perjanjian tersebut muncul atas dasar perjanjian pinjaman antara bank dan peminjam. Pada praktek perbankan, akad yang demikian kerap disebut “perjanjian kredit bank”atau “akad kredit”.
Dalam bentuk apapun kredit bank dilaksanakan pada dasarnya yang timbul yakni suatu “perjanjian pinjam-mengganti” sesuai pada ketentuan “Pasal 1754 - Pasal 1769 KUHPerdata”, hal ini dikemukakan oleh R. Subekti. Pendapat serupa diungkapkan oleh Abdul Hay yang ditulis pada bukunya berjudul “Hukum Perdata”, beliau menyatakan definisi perjanjian kredit yakni tidak lain dari “perjanjian pinjam-mengganti”, yang mana debitor memiliki kewajiban mengganti kredit yang
dipinjamkan krediur serta kreditor memiliki hak pelunasan atas pinjaman yang diberikan kepada debitor. Kedua pendapat tersebut, disangkal oleh ahli hukum lain, salah satunya yaitu menurut Djuhaendah Hasan menerangkan perjanjian kredit lebih menjurus ke perjanjian tidak bernama, karena tidak adanya pengaturan khusus dalam UU Perbankan beserta peraturan lainnya.
Belum adanya pengaturan yang jelas perihal bentuk akad kredit bank harus dituangkan secara tertulis ataupun tidak tertulis, wajib dituangkan dalam akta bawah tangan atau diharuskan akta notariil (akta otentik) menimbulkan dunia perbankan bebas menuangkan perjanjian kreditnya. Jika menelusuri ketentuan UU Perbankan pun, hanya ditemukan penjelasan bahwasanya kredit diberikan atas dasar “perjanjian pinjam-meminjam” antara bank selaku kreditor dengan pihak lain yang disebut debitor dimana pihak debitor memiliki kewajiban untuk melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditentukan beserta bunga yang ditetapkan, ketentuan ini termuat pada pasal 11 dan pasal 12 UU Perbankan.
Karena belum ada pengaturan perihal bentuk akad kredit dalam UU Perbankan, maka permasalahannya adalah masing-masing bank leluasa menentukan bentuk perjanjian, misalnya ada yang menggunakan akta otentik adapula yang masih menggunakan akta bawah tangan dengan plafond kredit tinggi. Disisi lain, bank umumnya mengadakan perjanjian pinjaman dalam bentuk kontrak standar. Persyaratan akad kredit distandarisasi terlebih dahulu oleh industri perbankan. Calon kreditur hanya diwajibkan menandatangani jika bersedia menerima syarat-syarat perjanjian dan tidak memberikan kesempatan kepada calon kreditur untuk membahas lebih lanjut syarat-syarat atau klausula-klausula yang diajukan oleh bank. Dalam kasus lain, ketika calon debitur tidak memiliki tanda tangan, diperbolehkan menggunakan cap jempol. Cap jempol sebagai pengganti tanda tangan tidak sama dengan tanda tangan. Hal ini tentu saja terkait dengan keabsahan hukum akad kredit di bawah tangan, masalah lain yaitu berimplikasi meningkatnya sengketa perjanjian kredit akibat ketidakadilan bank untuk memberikan persyaratan pinjaman dalam bentuk kontrak standar.
Dalam penyusunan jurnal ilmiah ini mengambil beberapa referensi pada penelitian sebelumnya yaitu dari Ida Bagus Gde Gni Wastu, I Gusti Ngurah Wairocana dan Desak Putu Dewi Kasih pada “Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan” Tahun 20162017 yang membahas “Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan Pada Bank Perkreditan Rakyat.”4 Referensi lainnya yaitu dari Diana Simanjuntak pada “Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion”, Tahun 2016 yang membahas “Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank.”5 Kedua topik penelitian tersebut memiliki bahasan yang berbeda dengan penelitian ini karena pada penelitian berikut mengkaji akad kredit bank secara bawah tangan yang dituangkan dalam perjanjian baku. Pada jurnal ini peneliti menekankan bahwa kontrak baku pada perbankan tidak dilarang selama tidak memuat klausul eksonerasi. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, saya berminat mengkaji suatu analisa berjudul “KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH TANGAN DALAM PENYALURAN KREDIT OLEH BANK”.
-
1.2 Rumusan Masalah
-
1. Bagaimanakah perumusan isi perjanjian kredit secara bawah tangan ?
-
2. Bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan ?
-
1.3 Tujuan Penulisan
Penelitian ilmiah ini memiliki tujuan untuk memahami perumusan isi perjanjian kredit secara bawah tangan serta mengetahui kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan
Penyusunan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum empiris yaitu salah satu jenis penelitian hukum yang menganalisis dan mempelajari bagaimana hukum bekerja pada masyarakat.6 Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Sumber data yang penulis gunakan yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer yang dimaksud yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan baik dari responden maupun informan, yaitu melalui wawancara. Sedangkan data sekunder yaitu data yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan, selain itu juga berasal dari literatur-literatur buku, doktrin (pendapat para ahli hukum), internet, dan sebagainya. Teknik pengumpulan data dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis menggunakan teknik wawancara dan teknis studi dokumen serta analisis kajian memakai analisis kualitatif. Adapun lokasi penelitian adalah pada Bank Pembangunan Daerah Bali yang merupakan bank umum milik daerah yang berperan penting menggerakkan roda perekonomian masyarakat di tengah pandemi Covid, melalui bantuan KUR dengan bunga yang relatif kecil dibandingkan bank lainnya.
Dalam merancang isi akad kredit perbankan tentunya harus berpedoman pada dasar hukum perjanjian kredit di Indonesia. Memperhatikan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UUPB tanggal 31 Maret 1995 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 42/POJK .03/2017 tentang Kewajiban Membuat dan Melaksanakan Pedoman Perkreditan Bank Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap pinjaman yang telah diperkenankan dan disetujui oleh pemohon pinjaman dituangkan dalam akad pinjaman tertulis. Oleh karena itu, menurut peraturan Bank Indonesia dan POJK, pinjaman bank harus diberikan secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta notaris.
Pelaksanaan akad kredit BPD Bali dilakukan secara bawah tangan, akta bawah tangan ialah suatu akad tentang penyaluran pinjaman dari bank kepada nasabah debitor, yang hanya dibuat antara bank dengan nasabahnya tanpa campur tangan notaris..7 Biasanya sebelum nasabah datang ke bank, pihak bank dalam hal ini staf
bagian hukum adminsitrasi kredit (HAK) akan menyiapkan blangko perjanjian kredit yang dituangkan dalam perjanjian baku terlebih dahulu. Setelah debitur datang ke bank, biasanya diarahkan untuk menuju staf HAK untuk pelaksanaan penandatanganan perjanjian kredit. Pada pelaksanaan perjanjian kredit, pihak debitor cukup menunjukkan apakah setuju atau tidak setuju terhadap akad kredit termaktub. Bilamana pihak debitor menyetujui menerima perjanjian kredit tersebut, maka akan diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah isi perjanjian kredit yang berisikan meterai 10.000.
Terkait isi dan format perjanjian kredit pada BPD Bali dimuat dalam Buku Pedoman Perusahaan yang telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur, yangmana setiap kredit yang telah dikabulkan beserta disetujui pemohon kredit harus dituangkan pada suatu akad kredit secara tertulis. Wujud serta struktur sesuai ketetapan tiap bank, sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan seperti :
-
1. Mencukupi legalitas beserta ketentuan hukum yang mana menaungi kebutuhan bank.
-
2. Berisi besar plafond, kurun waktu, sistematis pelunasan pinjaman beserta ketentuan pengambilan pinjaman sebagaimana ditentukan pada ketetapan izin pinjaman tersebut.
Struktur pada akad kredit BPD Bali tidak jauh berbeda dengan bank pada umumnya, yang terdiri dari :
-
1. Judul
Pada BPD Bali, judul sebuah perjanjian kredit bank diberi penamaan “Perjanjian Kredit”, bertujuan agar orang awam memahami bahwa akta tersebut adalah “Perjanjian Kredit Bank”. Kemudian pada bawah judul berisi nomor perjanjian kredit garis miring jenis kredit garis miring tahun pelaksanaan perjanjian kredit. Tujuan diberikan penomoran dan berisi tahun pada perjanjian kredit (PK) yaitu memudahkan karyawan bank untuk mencari file kredit bila sewaktu-waktu diperlukan seperti halnya analis kredit yang memerlukan untuk menganalisis kredit nasabah serta staf hukum administrasi kredit bila ada keperluan untuk mengubah ketentuan perjanjian kredit sebelumnya.
-
2. Komparisi
Komparisi ialah bagian pendahuluan pada akad kredit bank, yang mengandung identitas, dasar hukum, serta kedudukan para pihak yang melaksanakan akad kredit bank. Bagian komparisi ini menerangkan sedetail-detailnya mengenai pihak debitur (nasabah bank) serta pihak kreditur (yang diwakilkan oleh kepala cabang Bank BPD Bali).
-
3. Substantif
Suatu perjanjian kredit bank tentunya memuat beberapa klausula dalam bentuk ketentuan pasal yang paling sedikit berisikan ketentuan mengenai batas besaran plafond pinjaman, rentang waktu pinjaman, dasar penggunaan pinjaman, bunga serta denda, agunan kredit, insurance clause, opeinsbaar clause pilihan hukum serta penyelesaian sengketa.
Gni Wastu dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat sejumlah klausul yang sering tercantum pada akad kredit di bawah tangan, antara lain8 :
-
1) Klausul tentang maksimum kredit (amount clause). Klausul berikut memiliki makna esensial, yakni :
-
a. Merupakan objek dari akad kredit, bilamana jumlah kredit yang tertera pada inquiry berbeda dengan yang tertera pada perjanjian kredit, sudah menjadi kewajiban pihak bank untuk pembuatan perjanjian kredit baru;
-
b. Menjadi kewajiban bank untuk memberikan kredit kepada penerima kredit sebesar plafond kredit yang disetujui bank yang mana dapat ditarik penerima kredit apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bank;
-
c. Dasar penetapan barang jaminan yang harus diserahkan serta dasar perhitungan penetapan besar provisi.
-
2) Klausul perihal tujuan kredit, klausul ini penting diketahui oleh pihak kreditur agar kredit yang dipinjam oleh pihak debitur tidak disalahgunakan serta menjamin pihak debitur dapat melaksanakan kewajibannya membayar angsuran kredit tiap bulannya.
-
3) Klausul mengenai bentuk kredit yaitu aflopend. Aflopend yakni kredit yang ketika selesai menandatangani perjanjian kredit dapat langsung melakukan penarikan baik dilakukan tarik tunai di teller bank ataupun lewat pemindahbukuan ke dalam rekening debitur sehingga disebut “kredit sekaligus.”
-
4) Klausul perihal rentang waktu kredit. Klausul berikut urgen pada beberapa hal, yakni:
-
a. Sebagai tenggang waktu di mana bank dapat memperingatkan debitur jika mereka gagal memenuhi kewajibannya tepat waktu;
-
b. Saat bagi bank perlu meninjau ataupun menganalisis apa jangka waktu pinjaman perlu ditambah atau lekas diminta pembayaran angsuran.
-
5) Klausul mengenai suku bunga (interest clause). Klausul ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk : Jaminan hak bank untuk membebankan bunga atas pinjaman pada tingkat yang disepakati bersama, karena bunga adalah pendapatan bank, yang diimbangi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan biaya pembiayaan penyediaan fasilitas kredit. Kemudian ada ketentuan yang menyatakan besarnya suku bunga sewaktu-waktu dapat diubah oleh bank berdasarkan tarif suku bunga bank, yang akan diberitahukan secara tertulis kepada penerima kredit.
-
6) Klausul mengenai denda , ketentuan ini diatur tegas dalam perjanjian kredit bilamana nasabah telat membayar kewajibannya maka akan dikenakan denda. Telat yang dimaksud yaitu telat saat pembayaran kewajiban berlangsung pada hari kerja bukan pada saat hari libur. Jika biaya pembayaran angsuran merupakan hari libur maka dapat dibayar pada hari berikutnya.
-
7) Klausul ongkos-ongkos kredit, berisi ketentuan yang menerangkan penerima kredit dikenakan biaya atas pemberian kredit, antara lain : provisi, tata usaha, bea meterai, serta biaya pengikatan jaminan bila diperlukan.
-
8) Klausul mengenai jaminan kredit. Klausul berikut dimaksudkan untuk mencegah debitur mencetuskan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak tanpa sepengetahuan pihak bank. Semisalnya saja debitur memberikan jaminan pada bank dalam bentuk jaminan fidusia mobil hitam, namun karena mobilnya akan dijual maka debitur harus memberitau pihak bank dan secepatnya harus memberikan jaminan pengganti yang baru, nantinya akan dibuatkan sebuah addendum pada perjanjian kredit oleh pihak bank berupa perubahan barang jaminan.
-
9) Klausul asuransi, pada peminjaman kredit, penerima kredit wajib menunjuk Maskapai Asuransi yang disetujui bank untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan ataupun atas kreditnya sendiri. Dan polis asuransi harus disimpan dengan baik oleh pihak bank.
-
10) Klausul kepatuhan pada ketentuan perbankan, untuk mencegah hal-hal yang tidak secara tegas disepakati tetapi dianggap perlu sehingga dianggap telah disepakati secara umum.
-
11) Klausul persyaratan penarikan pinjaman, Bank mengizinkan penerima pinjaman untuk menarik pinjaman hanya setelah penerima pinjaman memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam kontrak.
-
12) Klausul mengenai tindakan yang dapat dilakukan bank sehubungan dengan kehati-hatian, keamanan, penyelamatan, dan pemrosesan pinjaman.
-
13) Klausul mengenai pembatasan tindakan penerima kredit yang biasanya ditujukan terhadap perusahaan, berisikan ketentuan tanpa persetujuan bank , penerima kredit tidak diperkenankan melakukan tindakan merger serta akuisisi perusahaan.
-
14) Tiger Clause yakni tuntutan bank dapat mengakhiri perjanjian pinjaman setiap saat dan akan segera menagih hutang juga bunganya.
-
15) Ketentuan lanjutan. Pada ketentuan ini biasanya menyatakan debitur diperkenankan melakukan pelunasan kredit setelah kredit berjalan lebih dari 12 bulan, dan pelunasan akan dikenakan Penalti sekian persen yang dihitung dari plafond kredit.
-
16) Klausul pilihan domisili (tempat kedudukan) yang dipilih sebagai kedudukan penyelesaian sengketa antara bank dengan penerima kredit ataupun pihak ketiga.
-
17) Ketentuan penutup, biasanya berisikan tanggal valid berlakunya akad kredit serta tanggalan pengesahan akad kredit.
9Akad pinjaman Bank BPD Bali ialah kontrak baku/standar, dimana isi atau klausul perjanjian pinjaman bank dibakukan dan dinyatakan dalam bentuk (blangko) tetapi tidak terikat pada bentuk tertentu (vorn vrij). Pernyataan tentang persyaratan perjanjian pinjaman distandarisasi terlebih dahulu oleh industri perbankan. Calon debitur hanya perlu menandatangani jika mereka bersedia menerima persyaratan kontrak. Hal ini dilakukan oleh pihak perbankan untuk melindungi kepentingan bank jika nasabah debitur tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit di kemudian hari.
Kontrak baku pada umumnya berisi sekumpulan klausula baku yang berarti seluruh isi perjanjian termasuk klausul bakunya telah dipersiapkan secara sepihak. Pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) memberikan definisi mengenai “Klausula baku/standar adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Pada pelaksanaannya, pembuatan klausul baku disyaratkan harus memenuhi beberapa hal :
-
1. Bentuk klausul yang jelas dan mudah dibaca.
9 Muliyati, Ety, “Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan Nasabah Pelaku Usaha Kecil”, Journal Bima Media Law, Vol. 1, No. 1, (2016): 36-42.
-
2. DIilarang memuat ketentuan pengalihan kewajiban pelaku usaha, hal ini termuat pada Pasal 18 ayat (1) UUPK.
-
3. Kalimat-kalimat yang digunakan mudah dipahami karena apabila sulit dipahami, konsumen akan berada pada posisi yang kurang aman dalam melakukan kontrak. Ketentuan berikut berkaitan dengan bunyi Pasal 18 ayat (2) UUPK, menerangkan “Pelaku Usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca dengan jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.”
Pada prinsipnya, yang dilarang bukanlah kontrak standar (baku), tetapi kontrak standar (baku) yang memuat klausul eksonerasi. Klausul eksonerasi berbeda dengan klausul baku . Shidarta menyampaikan pandangannya, hal yang membedakan klausul standar (baku) dengan klausul (exemption/eksonerasi) yakni jika pada klausul standar (baku), yang ditekankan adalah proses pembuatan sepihak dan bukan perihal materi muatannya, sedangkan pada klausul (exemption/eksonerasi), yang dipermasalahkan ialah perihal materi muatannya dikarenakan mengungkapkan pemindahan kewajiban pelaku usaha.
Namun, pada UUPK tidak memuat definisi yang jelas mengenai klausul (exemption/ eksonerasi) tersebut. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai badan independen yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang untuk mengatur, mengawasi, mengaudit, dan menyelidiki lembaga keuangan di Indonesia, menerbitkan Surat Edaran Ketentuan Kontrak Baku. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 13/SEOJK.07/2014 merumuskan sehubungan dengan kontrak baku yang dimaksud dengan klausula eksonerasi (exemption clause), yaitu isi penambahan hak atau pengurangan kewajiban perusahaan jasa keuangan ataupun penurunan hak dan peningkatan kewajiban konsumen PUJK..10
Pada SEOJK Tentang Kontrak Baku juga memuat ketentuan yang sama seperti UUPK, yaitu melarang adanya kontrak baku yang menerangkan pengalihan kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pada jurnal yang ditulis Ahmmad Jaheri mejelaskan, klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab bunyinya seperti berikut “Bank berhak untuk mengakhiri jangka waktu kredit sehingga penerima kredit wajib membayar lunas seketika dan sekaligus atas kredit dan hutang-hutang lainnya dalam tenggat waktu yang akan ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan Bank kepada penerima kredit.” Menurut penulis klausul tersebut merupakan bentuk pengalihan kewajiban pelaku usaha sektor perbankan. Klausul tersebut juga bersifat kabur karena tidak menerangkan lebih lanjut pada saat kondisi apa bank mengakhiri kredit tersebut dengan debitur.11
Kemudian terdapat juga klausula perubahan tingkat suku bunga yang dijelaskan oleh Diana Simanjuntak, yang bunyinya seperti berikut : “Besarnya suku bunga dalam perjanjian kredit bank ini dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank, yang akan diberitahukan secara tertulis kepada penerima kredit dan pemberitahuan tertulis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit dan
karenanya mengikat penerima kredit.” Klausul tersebut dirasa tidak etis, suku bunga diubah sepihak oleh bank akan dipandang menampik hak debitor.12
Upaya perlindungan hukum bagi nasabah atas kesewenang-wenangan bank ketika menentukan akad kredit yang berisi klausul eksonerasi tertuang pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disebut UU OJK).13 Menyusul berlakunya UU OJK, tanggung jawab serta inspeksi bank pada awalnya berada di bawah Bank Indonesia dialihkan menjadi kewenangan OJK. Sesuai pernyataan Pasal 4 UU OJK, OJK dibentuk agar seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan dilakukan secara tertib, adil, transparan, dan akuntabel guna mewujudkan sistem keuangan yang berkembang secara berkelanjutan beserta menaungi kebutuhan konsumen(masyarakat luas).
Ketentuan pasal 28 UU OJK menerangkan OJK berwenang mengambil langkah pencegahan kerugian bagi konsumen, termasuk memberikan info penjelasan mengenai karakteristik sektor jasa keuangan, pelayanan, serta produknya. OJK berhak menghentikan sementara kegiatan lembaga jasa keuangan apabila kegiatannya berpotensi merugikan konsumen. Dalam hal ini, konsumen bank dapat mengajukan pengaduan kepada OJK sesuai dengan Pasal 29 UU OJK tentang Layanan Pengaduan Konsumen. Adapun pembelaan hukum terkait dengan kerugian konsumen dapat dilakukan OJK dengan mengajukan gugatan sesuai ketentuan Pasal 30 UU OJK.
Akad kredit yang pelaksanaanya secara bawah tangan yakni suatu akta/surat tanda bukti yang berisi pernyataan dalam bentuk bebas serta hanya perlu tanda tangan pihak yang melakukan perjanjian. Bahkan, kerap kali dalam pelaksanaan tanda tangan akad kredit tanpa dihadiri seorang saksi yang ikut serta membubuhkan tanda tangannya. Seperti yang kita ketahui bahwasanya saksi ialah satu diantara alat bukti yang diakui dalam perselisihan perdata.
Pada perjanjian di bawah tangan diketahui memiliki kelemahan diantaranya yakni apabila terjadi suatu wanprestasi/ingkar janji dari nasabah debitur, yang mana dalam tindakan akhir ditempuh jalur hukum lewat proses pengadilan, bilamana debitur bersangkutan menyangkal tanda tangannya akan menimbulkan ketidaksempurnaan pada isi keseluruhan akad kredit yang telah dibuat para pihak.14
Berdasarkan Pasal 1877 KUHPerdata “Bilamana seseorang menyangkal tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli waris atau orang yang mendapatkan hak daripadanya tidak mengakui, maka Hakim wajib memerintahkan supaya kebenaran mengenai tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan”. Dalam suatu hal, nasabah debitur mengantongi sejumlah argumen tatkala dirinya mengingkari/menyangkal suatu akad kredit yang dibuat secara bawah tangan, yakni antaranya :
-
1) Akad kredit dinyatakan tidak pernah dibuat oleh nasabah debitur (menolak secara mutlak);
-
2) Tanda tangan yang dicantumkan pada akad kredit bukanlah tanda tangan milik nasabah debitur yang bersangkutan (tidak mirip dengan tanda tangannya);
-
3) Akad kredit memang ditanda tangani olehnya, namun waktu ditanda tangani isi perjanjian tidak demikian; atau
-
4) Akad kredit tersebut memang ditanda tangani olehnya, tapi akad kredit yang ditunjukkan kini terdapat kesenjangan dengan ketika saat ditanda tangani di awal.15
Jelaslah apabila isi atau tanda tangan dipungkiri atau disangkal oleh nasabah debitur menimbulkan beban pembuktian pada pengadilan bahwa akta di bawah tangan tersebut memang nyata, isi pernyataan didalamnya memang betul demikian adanya serta sudah ditanda tangani oleh nasabah debitur pada saat perjanjian kredit itu dibuat.
Pada Bank BPD Bali umumnya perjanjian kredit bank selalu dilaksanakan melalui perjanjian secara bawah tangan, yang mana ditandatangani nasabah debitur beserta tanda tangan kepala cabang BPD Bali selaku kreditur. Karena belum terdapat pernyataaan yang menyatakan bahwa akad kredit haruslah pelaksanaannya melalui akta notariil (akta yang dibuat notaris), maka akta bawah tangan merupakan pilihan bagi Bank BPD Bali dalam menuangkan perjanjian kredit. Selain lebih praktis dan efisien waktu, juga perjanjian secara bawah tangan tidak memerlukan biaya lebih untuk pembuatan akta melalui jasa notaris.
Di Bank BPD Bali juga memperkenankan nasabah debitur yang tidak memiliki tanda tangan hanya membubuhkan cap jempol pada perjanjian kredit yang berisikan meterai 10.000. Melihat pada pernyataan hakim dalam sidang perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yakni ketetapan pengadilan nomor 46/Pdt.G./2006/PN. Ngjk. Majelis hakim berpendapat cap jempol dianggap sah serta sama dengan tandatangan pada akta di bawah tangan, yakni cap jempol yang ditegaskan beserta surat bertanggal oleh notaris atau pejabat lain yang diberi kewenangan atribusi undang-undang yang mana menerangkan notaris atau pejabat lain yang berwenang mengetahui debitur yang membubuhkan cap jempol atau nasabah debitor itu diperkenalkan kepadanya dan ketentuan akta itu telah dibacakan serta diterangkan oleh notaris.16
Pada Bank BPD Bali tanda tangan di atas meterai pada perjanjian kredit dianggap sudah memiliki kekuatan hukum yang mengikat debitor ditambah lagi penyerahan jaminan oleh debitor sebagai kepastian hukum pelunasan kredit pada akad kredit. Pada Bank BPD Bali sendiri sudah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan akad kredit/pinjaman, dimana pada saat penandatanganan oleh pihak debitur akan didokumentasikan dalam bentuk foto sebagai bukti fisik bahwasanya debitur memang benar menandatangani akad kredit yang dimaksud. Adanya dokumen foto saat penandatanganan kredit tidak mungkin bisa dipungkiri oleh debitur karena sudah menerangkan terjadinya suatu peristiwa hukum. Foto telah mendapatkan kedudukan sebagai alat bukti, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang
sah”. 17Foto diakui sebagai alat bukti tidak hanya foto bentuk data elektronik (soft) tetapi juga dalam bentuk dicetak (print out). 18Berkenaan dengan keabsahan pembuktian alat bukti elektronik, undang-undang ITE mengatur dokumen elektronik disamakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Artinya keabsahan pembuktian dokumen elektronik dalam praktek acara perdata disamakan dengan keabsahan pembuktian alat bukti tertulis (surat).
Walaupun pada pelaksanaan akad kredit secara bawah tangan pada BPD Bali dilampirkan dengan bukti foto, tetaplah perjanjian kredit yang sudah dilakukan di bawah tangan memiliki nilai pembuktian lemah dibandingkan akta notariil. Dikarenakan pada akta bawah tangan bisa saja nasabah debitur menyatakan perjanjian kredit tersebut memang ditanda tangani olehnya, namun waktu ditanda tangani isi perjanjian tidak demikian sehingga diperlukan pembuktian lebih lanjut di depan hakim untuk memperoleh kebenaran mengenai surat perjanjian kredit tersebut. Berbeda halnya dengan perjanjian kredit melalui akta notariil dimana memiliki nilai pembuktian yang sempurna dikarenakan isi perjanjian beserta tanda tangan pihak yang membuat perjanjian kredit telah dibuat oleh dan ditandatangani dihadapan notaris dan dihadiri oleh dua orang saksi yang ikut menandatangani perjanjian kredit tersebut. Sehingga bilamana nasabah debitur menyatakan akta notariil palsu maka ia harus membuktikan kepalsuan akta tersebut. 19Posisi pihak yang menyangkal akta yang dibuat notaris pun lemah karena akta notariil merupakan alat bukti sempurna dipengadilan karena memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil serta materiil.
Perumusan isi dari akad kredit Bank BPD Bali sebagai standar kontrak dilaksanakan berdasarkan Buku Pedoman Perusahaan yang telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur, yang terdiri dari (1) judul, (2) komparisi yang berisikan identitas, dasar hukum, dan kedudukan para pihak yang mengadakan perjanjian kredit bank, (3) substantif yang berisikan sejumlah klausula yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit bank. Akad kredit bank yang dituangkan dalam standar kontrak tidaklah dilarang selama tidak mencantumkan klausul eksonerasi. Kekuatan hukum akad kredit yang dituangkan secara bawah tangan pada Bank BPD Bali memiliki kekuatan hukum tetap selama tidak disangkal oleh pihak debitur. Bilamana perjanjian kredit secara bawah tangan disangkal oleh pihak debitur maka beban pembuktian berada pada pihak yang tidak menyangkal isi dari perjanjian kredit tersebut. Namun pihak bank telah menerapkan prinsip kehati-hatian pada saat pelaksanaan akad kredit , dimana pada saat penandatanganan oleh pihak debitur akan didokumentasikan dalam bentuk foto dijadikan bukti fisik bahwa pihak debitur yang bersangkutan yang telah menandatangani akad kredit terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dendwijaya, Lukhman, (2015), Manajemen Perbankan, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia.
H. Budhi Untung, (2012), Kredit Perbankan di Indonesia, Edisi Kedua, Yogyakarta : RajaGrafindo.
H. Ishaq, (2016), Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi, Bandung : Alfabeta.
Jurnal
Balela, Stefanus Alfonso, I Ketut Tjukup and Nyoman A. Martana, “Kekuatan Alat Bukti Surat Elektronik (Email) Dalam Praktek Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Denpasar”, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, Vol. 05, No. 02, (2016).
Dauri, Dewi Jayanti, and Nadya Waliyyatunnisa, “Akibat Hukum Terhadap Penerapan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku”. Humani (Hukum dan Masyarakat Madani), Vol. 10, No. 1 (2020): 97-111.
Dendwijaya, Lukhman, “Manajemen Perbankan”, (Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 2015).
Jahri, Ahmad, “Perlindungan Nasabah Debitur Terhadap Perjanjian Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi Pada Bank Umum Bandar Lampung.” Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1 (2016): 138-139. DOI:
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v10no1.651.
Kasih, Desak Putu Dewi and Putu Devi Yustisia Utami, “Standard Contract on Banking Sector : Regulation and Description in Internal Banking Regulations.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal). 10(2),(2021): 251-263.
Muliyati, Ety, “Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan Nasabah Pelaku Usaha Kecil”, Journal Bima Media Law, Vol. 1, No. 1, (2016): 3642.
Pasangka, Ferdian Nickolas, RA Retno Murni, and AA Ketut Sukranatha, “Risiko Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Kaitannya Dengan Perlindungan Nasabah”, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, Vol. 6, No.10, (2018).
Pramono, Dedy, “Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Selaku Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata Di Indonesia”, Lex Jurnalica, Vol. 12, No. 3 (2015): 147736.
Priyacitta, Ni Luh Putu Yoni and Putu Devi Yustisia Utami, “Pelaksanaan Kredit Tanpa Agunan Pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Padma Denpasar”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol.10, No. 4, (2022): 2303-0569.
Simanjuntak, Diana, “Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank”, Legal Opinion, Vol. 4, no.1, (2016).
Torey, Michael Justinus, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Baku.” Lex Privatum, Vol. 7, No. 3, (2019).
Wastu, Ida.Bagus Gde Gni., I Gusti Ngurah Wairocana., and Desak Putu Dewi Kasih, “Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan Pada Bank Perkreditan Rakyat”, Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan, (2016): 83.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Peraturan Dasar Bank Pembangunan Daerah Tambahan Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 2490.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Lembaran Negara Nomor 182.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 42/POJK .03/2017 Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UUPB tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bagi Bank Umum.
Website
Arkokanadianto, “Kelemahan Pembuktian Perjanjian Bawah Tangan”, (2017), URL : https://arkokanadianto.com/2017/05/kelemahan-pembuktian-perjanjian-bawah-tangan/.
Rikza, Muhamad Ubayu, “Alat Bukti Elektronik Dan Implikasinya Terhadap Pembuktian Perdata Di Pengadilan”, Pengadilan Agama Raha, (2021), URL : https://pa-raha.go.id/artikel-pengadilan/377-alat-bukti-
elektronik-dan-implikasinya-terhadap-pembuktian-perdata-di-pengadilan
Taqiya, Saufa Ata, “Kekuatan Hukum Bercap Jempol dan Surat Bertanda Tangan Orang Lain”, (2020), URL :
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kekuatan-surat-bercap-jempol-dan-surat-bertanda-tangan-orang-lain-lt5f43dde39236b.
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 7 Tahun 2022 hlm 652-664
664
Discussion and feedback