ASPEK HUKUM RANGKAP JABATAN ANGGOTA DPR SEBAGAI KOMISARIS PERSEKUTUAN

KOMANDITER

Awik Utari Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : utariawik@gmail.com

Made Gde Subha Karma Resen, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : karma_resen@unud.ac.id

ABSTRAK

Studi ini bertujuan guna menelaah kepastian hukum dari pengaturan larangan rangkap jabatan yang dilakukan oleh anggota DPR dan aspek hukum terhadap anggota DPR yang merangkap jabatan sebagai komisaris persekutuan komanditer. Terkait jenis penelitian hukum normatif ini menggunakan statute approach dan conceptual approach. Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada isu hukum yang diangkat, ditemukan bahwasannya pengaturan pelarangan rangkap jabatan anggota DPR diatur melalui Pasal 236 UU MD3. Kemudian berkenaan dengan aspek hukum dari rangkap jabatan yang dilakukan oleh anggota DPR sebagai komisaris CV, tidaklah dilarang dalam hukum positif. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 236 ayat (2) UU MD3 yang memiliki keterkaitan dengan pelarangan rangkap jabatan anggota DPR sebagai komisaris persekutuan komanditer tidak dapat ditafsirkan sebagai aturan yang melarang anggota DPR untuk merangkap jabatan komisaris pada persekutuan komanditer.

Kata Kunci: Aspek Hukum,Rangkap Jabatan,Anggota DPR.

ABSTRACT

The study examines the legal certainty of the regulation on the prohibition of concurrent positions carried out by DPR members and the legal aspects of DPR members who concurrently serve as commissioners of a limited partnership. The study of this type of normative legal research uses a statute approach and a conceptual approach. Based on the study results carried out on the legal issues raised, it found that the regulation on the prohibition of concurrent positions for DPR members is regulated through Article 236 of the MD3 Law. Then concerning the legal aspects of simultaneous jobs carried out by members of the DPR as commissioners of CV, it is not prohibited in positive Law. This because Article 236 paragraph (2) of the MD3 Law related to the prohibition of concurrent positions of DPR members as commissioners of limited partnership cannot be interpreted as a rule prohibiting DPR members from DPR members concurrently serving commissioners in limited partnership.

Keywords: Legal Aspects, Multiple Positions, Members of the DPR.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Rangkap jabatan yang dilakukan oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai petinggi perusahaan atau pengusaha telah menjadi fenomena tersendiri dalam realitasnya. Sampai pada akhir tahun 2020 silam, tercatat sebanyak 318 orang atau 55% dari jumlah keseluruhan anggota DPR merupakan seorang pebisnis yang bergerak dalam berbagai sektor mencakup sektor industri teknologi, perkebunan, peternakan, perbankan, kontraktor, energi dan migas hingga manufaktur

dan ritel.1 Berbagai tanggapan diberikan oleh beberapa pihak dalam menyikapi fenomena rangkap jabatan sebagai pebisnis ini. Bhima Yudistira, menyatakan bahwasannya keadaan rangkap jabatan sebagai pebisnis yang dilakukan para anggota DPR telah begitu vulgar untuk ditampakkan, padahal conflict of interest atau konflik kepentingan dari wewenang yang melekat pada jabatan anggota DPR masih kerap terjadi. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pola pendekatan pengambilan keputusan yang dilakukan di negara maju seperti Amerika Serikat dimana para pengusahanya tidak berani secara vulgar menunjukan pengaruhnya pada parlemen.2

Pada dasarnya, konflik kepentingan ialah keadaan dimana seorang yang menggunakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau patut diduga menggunakannya untuk kepentingan pribadi sehingga mempengaruhi kualitas kinerja yang dimiliki.3 Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), konflik kepentingan diartikan sebagai berikut:4

"A conflict of interest involves a conflict between the public duty and the private interest of a public official, in which the official’s private-capacity interest could improperly influence the performance of their official duties and responsibilities (konflik kepentingan melibatkan konflik antara tugas publik dan kepentingan pribadi pejabat publik, di mana kepentingan kapasitas pribadi pejabat tersebut dapat memengaruhi kinerja tugas dan tanggung jawab resminya secara tidak semestinya).”

Dalam perspektif hukum positif Indonesia, definisi dari konflik kepentingan secara terang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni:

“Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.”

Secara teoritis terdapat tiga syarat untuk terjadinya konflik kepentingan yaitu adanya aktor dan pihak berkepentingan, otoritas atau wewenang yang dimiliki oleh aktor dari pemerintah, dan adanya tindakan atau keputusan yang ditujukan untuk tujuan pribadi.5 Selanjutnya, sumber-sumber dari terjadinya konflik kepentingan pada suatu lembaga atau organisasi disebabkan oleh adanya pekerjaan sekunder lainnya dan kepentingan bisnis pribadi, adanya pekerjaan dan kepentingan bisnis dari anggota keluarga ataupun teman, terikatnya penyelenggara negara tersebut pada keanggotaan kelompok atau organisasi masyarakat serta terdapatnya hubungan tidak pantas yang

bersifat pribadi.6 Berkaitan dengan hal tersebut, penting untuk dipahami bahwasannya DPR sebagai lembaga negara yang termasuk dalam cabang kekuasaan legislative mempunyai tiga fungsi utama yakni melakukan controlling (pengawasan), regeling (legislasi) dan budgeting (anggaran) sebagaimana yang dalam staatgroundgezet bangsa Indonesia, Pasal 20A UUD 1945. Dimilikinya suatu pekerjaan sekunder berupa pebisnis atau pengusaha oleh seorang anggota DPR tentu menimbulkan banyak kekhawatiran akan terjadinya konflik kepentingan, mengingat strategisnya kewenangan yang dimiliki oleh seorang anggota DPR dalam proses pembuatan Undang-Undang. Kasus korupsi pengadaan alkes di RS pendidikan universitas udayana serta universitas airlangga yang menjerat Nazaruddin selaku anggota DPR dan juga pemilik perusahaan permai grup merupakan salah satu contoh dimilikinya pekerjaan sekunder sebagai pengusaha oleh anggota DPR yang dapat menyebabkan terjadinya kasus konflik kepentingan.7

Kemudian kasus pengadaan E-KTP yang menjerat Setya Novanto pada saat menjabat sebagai Ketua DPR menegaskan kembali begitu besarnya potensi konflik kepentingan yang dapat terjadi dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.8 Merujuk dalam hukum positif Indonesia, secara eksplisit larangan terhadap rangkap jabatan oleh anggota DPR diatur pada Pasal 236 Bagian Keempat Belas mengenai Larangan dan Sanksi Paragraf 1, UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah j.o UU No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2014 (UU MD3). Adapun dari Pasal a quo tidak terdapat pelarangan secara terang bahwa anggota DPR tidak diperkenankan untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pengusaha khususnya Komisaris persekutuan komanditer (CV). Ketentuan Pasal UU MD3 yang mempunyai hubungan dengan rangkap jabatan anggota DPR sebagai komisaris CV hanyalah Pasal 236 ayat (2) yang menentukan bahwa:

“Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR.”

Perumusan frasa “pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR” justru menimbulkan permasalahan kekaburan norma terkait termasuk atau tidaknya pekerjaan sekunder sebagai Komisaris di Perusahaan CV yang dimiliki oleh anggota DPR sebagai pekerjaan lain yang dilarang untuk dirangkap sesuai ketentuan Pasal 236 ayat (2) UU MD3. Bima Ridho Halim mengangkat permasalahan hukum dengan tema serupa melalui judul “Pengaturan Rangkap Jabatan Notaris dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat”

yang menganalisa dua permasalahan utama yakni terkait harmonisasi regulasi menuju rangkap jabatan notaris dan gagasan untuk merumuskan suatu regulasi yang ideal pada larangan rangkap jabatan anggota DPR.9 Kemudian, Anastacia Patricia Novlina Nurak dengan judul “Konflik Kepentingan Antara Pimpinan Daerah dan DPRD Dalam Penyusunan APBD” menelaah persoalan tentang konflik kepentingan yang terjadi antara Kepala Daerah Sikka dengan DPRD Sikka dalam proses penyusunan APBD periode tahun 2019.10 Atas berbagai penelitian yang sebelumnya telah diuraikan, maka dapat dipahami bahwasannya penelitian ini memiliki kebaharuan gagasan dalam melakukan analisa secara kritis terkait persoalan aspek hukum anggota DPR yang merangkap jabatan sebagai Komisaris CV, mengingat belum terdapat penelitian lain yang mengangkat permasalahan ini sebelumnya. Selanjutnya, penulis memilih judul “ASPEK HUKUM RANGKAP JABATAN ANGGOTA DPR SEBAGAI KOMISARIS PERSEKUTUAN KOMANDITER”.

  • 1.2    Permasalahan

  • 1.    Bagaimana pengaturan larangan rangkap jabatan terhadap anggota DPR?

  • 2.    Bagaimana aspek hukum dari anggota DPR yang merangkap jabatan sebagai komisaris persekutuan komanditer?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Studi ini dilakukan guna memberikan pengetahuan terkait pengaturan rangkap jabatan terhadap anggota DPR. Kemudian, penulisan ini juga bertujuan memberikan pemahaman kepada pembaca berkenaan dengan aspek hukum dari anggota DPR yang merangkap jabatan sebagai komisaris persekutuan komanditer.

  • II.    Metode Penelitian

Jurnal Aspek hukum Rangkap Jabatan Anggota DPR Sebagai Komisaris Persekutuan Komanditer ini termasuk sebagai penelian hukum normatif. Hal ini dikarenakan permasalahan hukum yang diteliti adalah berangkat dari adanya norma kabur atau vague of norms pada aturan larangan rangkap jabatan anggota DPR pada UU MD3.11 Selanjutnya, pada jurnal ini termuat sumber hukum primer, sekunder dan maupun.

Adapun pendekatan yang digunakan ialah statute approach yang melakukan pengkajian atas keseluruhan perundang-undangan yang terkait dengan ketentuan larangan rangkap jabatan anggota DPR dan conceptual approach yang membedah keberadaan DPR sebagai lembaga legislative di Indonesia dalam tataran konsep.12 Kemudian pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi dokumen sedangkan untuk teknik analisis dilakukan melalui analisis kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Larangan Rangkap Jabatan Terhadap Anggota DPR

Menelaah keberadaan DPR dalam konstelasi ketatanegaraan di Indonesia ialah sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dalam pemilihannya dilakukan melalui suatu pemilihan umum sesuai yang dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945. Menurut Jimly Asshidiqie, secara filosofis keberadaan dari DPR ialah mencerminkan kedaulatan rakyat dan persekutuan tertinggi negara yang mempunyai tujuan paling mulia dan luhur untuk membela kepentingan rakyat dan mensejahterakan rakyat.13 B.N Marbun menyatakan bahwa ada beberapa fungsi utama yang melekat pada DPR yakni yang pertama fungsi legislasi, fungsi kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang, fungsi budgeting dalam anggaran negara, dan fungsi penyalur aspirasi masyarakat.14

Pada dasarnya fungsi legislasi menyangkut empat aspek yaitu legislative initiation, law making process, law enactment approval dan binding decision making on international agreementand treaties or other legal binding document.15 Secara khusus fungsi legislasi bertalian erat dengan upaya untuk mengejawantahkan aspirasi masyarakat melalui keputusan-keputusan politik yang diformulasikan ke dalam produk hukum undang-undangg. Selanjutnya pada fungsi pengawasan ditekankan bahwa keberadaan DPR adalah untuk memastikan bahwa pelaksanaan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah tidak menyimpang dari cita bangsa.

Kemudian fungsi anggaran menitikberatkan pada pendistribusian anggaran agar sesuai dengan skala prioritas yang ditentukan sedangkan untuk fungsi representasi sendiri dikaitkan pada pelaksanaan tugas DPR dalam mewakili rakyat untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Tornquist mengemukakan bahwa dalam fungsi representasi terdapat hal penting yang harus dipahami yaitu adanya pihak yang diwakilkan, pihak yang mewakili dan hal yang diwakilkan dalam konteks politik. Dalam kerangka teoritiknya, fungsi utama DPR ialah membuat undang-undang yang selanjutnya digunakan sebagai landasan hukum pemerintah untuk mengadakan kebijakan publik.16

Berdasarkan statute approach, pengaturan lebih lanjut terkait dengan DPR diatur melalui BAB III UU MD3.17 Adapun dalam Pasal 71 UU MD3 ditentukan beberapa kewenangan yang dimiliki DPR yakni:

“a. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;

  • b.    Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;

  • c.    Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;

  • d.    Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

  • e.    Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;

  • f.    Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

  • g.    Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;

  • h.    Persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;

  • i.    Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;

  • j.    Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;

  • k.    Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

  • l.    Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;

m.Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan

  • n. Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.”

Selanjutnya berkaitan dengan keanggotaan DPR sendiri ditentukan melalui Pasal 76 bahwa:

“(1) Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.

  • (2)    Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden.

  • (3)    Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara Republik Indonesia.

  • (4)    Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

  • (5)    Setiap anggota, kecuali pimpinan MPR dan pimpinan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi.”

Dalam praktiknya, setidaknya saat ini terdapat sebelas komisi di dalam DPR yang memiliki ruang lingkup tugas dan kerja sebagai berikut:18

“1) Komisi I membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.

  • 2)    Komisi II membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agrarian.

  • 3)    Komisi III membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia dan keamanan.

  • 4)    Komisi IV membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan dan pangan.

  • 5)    Komisi V membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.

  • 6)    Komisi VI membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM (Usaha Kecil dan Menengah), BUMN (badan Usaha Milik Negara).

  • 7)    Komisi VII membidangi energy, sumber daya mineral, riset dan teknologi dan lingkungan hidup.

  • 8)    Komisi VIII membidangi agama, social dan pemberdayaan perempuan

  • 9)    Komisi IX membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.

  • 10)    Komisi X membidangi pendidikan, pemuda dan olahraga, pariwisata, kesenian dan kebudayaan.

  • 11)    Komisi XI membidangi keuangan, perencanaan, pembangunan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank.”

Dalam pespektif lainnya, praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara kerap berpotensi mendorong terjadinya konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) dan KKN. Rangkap jabatan dapat diartikan sebagai keadaan dimilikinya dua atau lebih jabatan oleh seorang aktor penyelenggara negara dalam pemerintahan. Menurut Miftah Thoha, penggunaan kewenangan oleh penyelenggara negara untuk kepentingan pribadi sulit untuk dihindarkan oleh pejabat yang melakukan rangkap jabatan.19 Berdasar kepada hal tersebut, maka penting adanya suatu pengaturan larangan rangkap jabatan terhadap penyelenggara negara khususnya anggota DPR. Merujuk dalam hukum positif Indonesia, telah ditentukan aturan larangan bagi anggota DPR melalui Pasal 236 ayat (1) UU MD3 bahwa:

“(1) Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:

a.pejabat negara lainnya;

b.hakim pada badan peradilan; atau

c.pegawai negeri sipil, anggota TNI/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.

  • (2)    Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR.

  • (3)    Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.”

Implikasi dari dilanggarnya ketentuan Pasal 236 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU MD3 oleh anggota DPR dengan merangkap jabatan pada pekerjaan atau jabatan yang

dilarang adalah dijatuhkannya sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR. Terhadap anggota DPR yang diberhentikan karena melakukan rangkap jabatan akan dilakukan penggantian antar waktu oleh calon anggota DPR yang mendapatkan suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama vide Pasal 242 ayat (1) UU MD3.20

  • 3.2 Aspek Hukum Dari Anggota DPR Yang Memiliki Jabatan Sebagai Komisaris

    Persekutuan Komanditer

Persekutuan komanditer yang dalam bahasa Belandanya adalah commanditaire vennootschap adalah persekutuan firma yang mempunya satu atau lebih orang sebagai sekutu komanditer. Menurut Wijatno persekutuan komanditer (CV) merupakan bentuk kerjasama untuk mengurus perusahaan dan bertanggung jawab dengan kekayaan pribadi antara dua pihak atau lebih dimana terdapat pihak lainnya yang tidak bersedia memimpin perusahaan dan hanya memiliki tanggung jawab yang terbatas pada kekayaan yang dikontribusikan pada perusahaan tersebut. Sedangkan Wijayanta memberikan definisi CV sebagai persekutuan yang dimana dalam pelaksanaan usahanya dilakukan dengan bersama-sama serta didirikan oleh satu ataupun lebih sekutu yang aktif dengan satu maupun lebih sekutu komanditer. Secara sederhana CV merupakan suatu badan usaha dengan modal terbatas yang bersifat alternative dan didirikan atas dasar kerjasama dari dua orang/lebih dengan perbedaan tanggung jawab yakni satu pihak bertanggung jawab sebagai sekutu aktif untuk mengatur perusahaan dan pihak lainnya bertanggung jawab sebagai sekutu pasif untuk memberikan pinjaman.

Adapun beberapa unsur yang terdapat dalam CV ialah adanya kerja sama, tujuan bersama, kehendak bersama, kepentingan bersama dan pembagian keuntungan. Pada dasarnya setiap jenis badan usaha yang melakukan kegiatan dalam bidang perekenomian termasuk CV mempunyai tujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan yang sebanyak-banyaknya (profit oriented) dan menghindarkan terjadinya modal beku. Secara umum, Komisaris CV mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya roda perusahaan, memberikan nasihat dalam pengambilan kebijakan perusahaan, memberikan persetujuan terhadap rencana perusahaan dan bertanggung jawab bilamana terjadi kerugian perusahaan akibat kelalaiannya. Dilakukannya pelarangan anggota DPR untuk melakukan rangkap jabatan pada pekerjaan tertentu didasarkan pada kekhawatiran akan adanya potensi konflik kepentingan yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang.

Secara konsep, perbedaan tanggung jawab dan tugas yang ada pada jabatan anggota DPR selaku pejabat pada lembaga tinggi negara dengan jabatan Komisaris CV selaku pejabat tinggi perusahaan menimbulkan rentannya benturan kepentingan yang dapat terjadi, mengingat adanya perbedaan yang besar antara tugas seorang anggota DPR sebagai pejabat publik dan tugas dan tanggung jawab komisaris CV selaku pebisnis. Secara khusus, merujuk dalam Pasal 72 UU MD3 telah ditentukan tugas-tugas yang dimiliki oleh seorang anggota DPR yaitu:

“a.menyusun,membahas,menetapkan,dan menyebarluaskan program legislasi nasional;menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi nasional;

b.menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;

c.menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d.melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah

e.membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;

f.memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;

g.menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan

h.melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.”

Kendati demikian, dalam perspektif hukum positif nyatanya tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit melarang anggota DPR untuk merangkap jabatan sebagai seorang komisaris CV. Berdasarkan statute approach, ketentuan yang memiliki keterkaitan dengan persoalan legalitas anggota DPR merangkap jabatan sebagai Komisaris CV hanyalah Pasal 236 ayat (2) UU MD3 yakni:

“Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR.”

Frasa “pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR” dalam Pasal a quo menimbulkan ambiguitas berkaitan dengan termasuk atau tidaknya rangkap jabatan selaku Komisaris CV sebagai rangkap jabatan yang dilarang menurut undang-undang. Berdasarkan penafsiran autentik terhadap Pasal 236 ayat (2) UU MD3, pada bagian penjelasan UU MD3 tidak diberikan pengertian yang konkrit dari bentuk pekerjaan lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal a quo. Kekaburan pengaturan tersebut menimbulkan celah terhadap anggota DPR untuk menjalankan kegiatan usahanya sebagai Komisaris CV sepanjang tidak memiliki keterkaitan dengan tugas dan wewenangnya sebagai anggota DPR.

Pemahaman terhadap bentuk dari menjalankan CV sebagai pekerjaan sekunder yang tidak mempunyai hubungan dengan wewenang ataupun tugasnya sebagai anggota DPR yaitu bilamana sektor atau bidang ekonomi dari usaha yang dijalankan tersebut tidak berkaitan langsung dengan komisi yang dinaungi oleh anggota DPR bersangkutan, sebagai contoh seorang anggota DPR yang merangkap sebagai Komisaris CV yang menjalankan usaha pada sektor pertanian tidak bertugas pada Komisi IV yang membidangi secara langsung urusan pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan dan pangan.

IV. Kesimpulan

Pengaturan larangan terhadap rangkap jabatan yang dilakukan oleh anggota DPR telah diatur melalui Pasal 236 ayat (1) UU MD3. Terhadap anggota DPR yang melanggar aturan rangkap jabatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 236 UU MD3 dapat diberikan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota DPR. Berkaitan dengan

aspek hukum dari rangkap jabatan yang dilakukan oleh anggota DPR yang juga menjabat sebagai komisaris CV, tidaklah dilarang dalam hukum positif. Adapun ketentuan yang memiliki keterkaitan dengan pelarangan anggota DPR untuk merangkap jabatan sebagai komisaris CV, hanyalah Pasal 236 ayat (2) UU MD3. Meskipun begitu, perumusan Pasal a quo tidak dapat ditafsirkan sebagai aturan yang melarang anggota DPR untuk merangkap jabatan komisaris CV. Sebaiknya dilakukan revisi terhadap UU MD3 khususnya pada bagian larangan dan sanksi untuk memuat secara eksplisit pelarangan terhadap anggota DPR untuk merangkap jabatan sebagai pengusaha atau petinggi perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Wahhab Solichin. Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Penyusunan Modelmodel Implementasi Kebijakan Publik. (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2015).

Affan, R.Tojeng. Pencegahan Dan Pengendalian Konflik Kepentingan Di Perguruan Tinggi (Jakarta, Yayasan Tifa, 2017).

JURNAL ILMIAH

Arifin, Muhammad Zainul. "Suatu Pandangan Tentang Eksistensi Dan Penguatan Dewan Perwakilan Daerah." Jurnal Thengkyang 1, No. 1 (2019).

Al, Muttaqien. "Implikasi Penggantian Antar Waktu (Paw) Anggota DPR/DPRD Oleh Partai Politik Terhadap Demokrasi." Jurnal Sosial Humaniora Sigli 3, No. 1 (2020).

Djanggih, Hardianto."Aspek Hukum Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum." Pandecta Research Law Journal 12, No. 2 (2017).

Eridani, Epita and I. Made Dedy Priyanto. "Fungsi Legislasi Dpr Dalam Pembentukan Undang-Undang." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 3, No. 3 (2015).

Halim, Bima Ridho. "Pengaturan Rangkap Jabatan Notaris Dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan 4, No. 2 (2020).

Mahaendrayasa, Putu Krishna Araytsha. "Pengaruh prinsip-prinsip good corporate governance terhadap kinerja keuangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kota Denpasar." E-Jurnal Akuntansi 21, no. 2 (2017).

Nurak, Anastacia Patricia Novlina. "Konflik Kepentingan Antara Pimpinan Daerah Dan DPRD Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah." Jurnal Inovasi Ilmu Sosial Dan Politik 3, No. 1 (2021).

Nurhayati, Yati. "Metodologi Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum." Jurnal Penegakan Hukum Indonesia 2, No. 1 (2021).

Paradhisa, Nida Zidny. "Konflik Kepentingan Daerah: Studi Kasus Sengketa Perebutan Gunung Kelud antara Pemerintah Kabupaten Kediri dan Pemerintah Kabupaten Blitar." Jurnal Politik Muda 2, no. 1 (2012).

Sidin, A. Irmanputra. "Catatan Tersisa dari Kemelut Politik di DPR 2004–2009." Lex Jurnalica 2, no. 1 (2009).

Siregar, Moh Baris, Catur Wido Haruni. "Analisis Larangan Rangkap Jabatan Menteri Yang Berasal Dari Unsur Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia." Indonesia Law Reform Journal 1, No. 1 (2021).

Solihah, Ratnia, and Siti Witianti. "Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Pemilu 2014: Permasalahan Dan Upaya Mengatasinya." Jurnal Ilmu Pemerintahan ISSN 2442 (2016).

Wardana, Dodi Jaya. "Pembentukan Undang-Undang Yang Demokratis." Jurnal Humaniora 17, No. 1, Juni (2020).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah j.o Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

WEBSITE

Kompas. “KPK Periksa Nazaruddin untuk Kasus Korupsi Pengadaan Alkes di Dua Rumah                Sakit”.                diakses                dari

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4378385/ternyata-6-dari-10-anggota-dpr-adalah-pengusaha , diakses tanggal 20 Mei 2021.

Kompas. “Kpk Periksa Nazaruddin Untuk Kasus Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan Di Dua Rumah Sakit Pendidikan”. diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2016/06/14/12501941/kpk.periksa.nazaru ddin.untuk.kasus.korupsi.pengadaan.alkes.di.dua.rumah.sakit.?page=all ,diakses pada tanggal 20 Mei 2021.

Kumparan. Kilas Balik Korupsi E-KTP Setya Novanto: Nafsu Harta Tidak Beretika. diakses dari https://kumparan.com/natanael-elang/kilas-balik-korupsi-e-ktp-ala-setya-novanto-nafsu-harta-tidak-beretika-1urlo5hlpjr/full , diakses tanggal 21 Mei 2021.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 5 Tahun 2020, hlm. 23-33

33