E-ISSN: Nomor 2303-0585

Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Menentukan Kecakapan membuat Perjanjian dihadapan Notaris

Mega Maharani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Cinthya Puspita Shara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan riset ini adalah untuk mengetahui dasar hukum kecakapan membuat perjanjian dihadapan notaris dan untuk mengkaji penerapan asas kepastian hukum dalam menentukan kecakapan membuat akta notariil. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum kecakapan membuat perjanjian dihadapan notaris tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN dan penerapan asas kepastian hukum terhadap kecakapan membuat akta yaitu dasar hukumnya mengacu pada UUJN bukan KUHPerdata. Penyelesaian konflik norma adalah dengan menggunakan asas preferensi yaitu aturan yang berlaku adalah aturan UUJN, sedangkan aturan KUHPerdata tidak berlaku.

Kata Kunci: Kepastian hukum, Kecakapan, Perjanjian, Notaris

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out the legal basis for the ability to make an agreement before a notary and to examine the application of the principle of legal certainty in determining the ability to make a notarial deed. This study uses a normative legal research method with a statutory approach and a conceptual approach. The results of the study indicate that the legal basis for making an agreement before a notary is stated in Article 39 paragraph (1) of the UUJN and the application of the principle of legal certainty to the ability to make a deed, namely the legal basis refers to the UUJN not the Civil Code. The resolution of the conflict of norms is by using the principle of preference, namely the rules that apply are the rules of the UUJN, while the rules of the Civil Code do not apply.

Key Words: Legal certainty, Skills, Agreement, Notary

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Perbuatan hukum dalam kehidupnya sehari-hari dilakukan dengan tujuan yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti jual beli, sewa menyewa, maupun hubungan hukum perjanjian lainnya. Secara umum aturan-aturan hukum terkait dengan perikatan dan perjanjian dipakai sebaga dasar dalam pembuatan perjanjian. Berkaitan dengan didasarkan pada:

  • 1.    Adanya kesepakatan;

  • 2.    Kecakapan;

  • 3.    Suatu hal tertentu;dan

  • 4.    Suatu sebab yang halal.

Secara yuridis, pasal tersebut menentukan ada tidaknya suatu perjanjian. Maksudnya, perjanjian itu dianggap ada, apabila memenuhi persyaratan tersebut diatas. Begitu juga sebaliknya, apabila perjanjian itu tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka perjanjian itu dianggap tidak ada. Ada atau tidaknya suatu perjanjian itu dinilai dari keabsahan perjanjian itu sendiri. Persyaratan tersebut memiliki sifat hukum yang wajib diperhatikan. Sifat hukum yang dimaksudkan adalah sifat subjektif dan sifat objektif. Sifat subjektifnya dapat terlihat dalam syarat kesepakatan dan syarat kecakapan. Kedua syarat tersebut menyangkut subjektifitas dari pihak yang membuat perikatan, syarat selanjutnya adanya causa yang diperbolehkan dan sesuatu yang diperbolehkan bersifat objektif. Sifat subjektif dan objektif tersebut wajib diperhatikan karena kedua sifat tersebut menjadi harga mati dalam membuat perjanjian dihadapan Notaris.

Diawali dengan kesepakatan, kemudian kecakapan, dimana dalam peristilahan cakap yang dimaksud pada Pasal 1320 KUH Perdata yakni “sudah mencapai usia dua puluh satu tahun, apabila usianya sudah genap maka bisa melakukan perbuatan hukum, tetapi apabila belum mencapai usia tersebut tetap saja bisa melakukan perbuatan hukum asalkan sudah menikah”.1 Ukuran menikah itu juga identik dengan dewasa. Dengan demikian, dalam KUH Perdata, ketentuan dewasanya seseorang membuat perjanjian adalah 21 tahun.

Berbeda secara personal, dalam aturan yang bersifat khusus yaitu UUJN dimana seseorang selaku “pihak yang membuat perjanjian harus memenuhi usia delapan belas tahun atau sudah menikah”. Pasal ini menentukan batas usia minimal pihak-pihak yang diperbolehkan membuat perjanjian di hadapan Notaris. Apabila pihak yang membuat perjanjian belum genap berusia 18 tahun, maka tidak diperbolehkan untuk membuat perjanjian di Notaris.

Secara teoritis, “kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar person (pribadi diukur dari usia kedewasaan (marderjarig) dan Rechtpersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid)”.2 Kecakapan membuat perjanjian dihadapan Notaris merupakan

kecakapan berbuat sesuai norma. Menurut hukum, dewasa itu identik dengan cakap. Sebagai dasar teoritisnya, kecakapan itu wajib dimiliki terlebih dahulu oleh pihak yang membuat akta. Setelah memnuhi kecakapan, maka pihak tersebut memiliki wewenang melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksudkan adalah perbuatan membuat akta notariil”.3 Melalui urutan tersebut, sangat terlihat adanya keterkaitan antara kecakapan dan wewenang. Apabila orang itu dalam kondisi sudah cakap, maka sudah tentu memiliki wewenang. Demikian juga sebaliknya, apabila orang itu belum cakap atau tidak cakap, maka belum memiliki wewenang atau belum diberikan wewenang oleh UUJN sebagai aturan yang bersifat khusus.

Pasal 1433 KUH Perdata memuat tentang dibawah pengampuan, menyiratkan kepada “setiap perorangan diletakan dalam penampuan yakni ketika seseorang berada dalam kondisi dungu, otaknya sakit, matanya gelap, atau boros”. Siratan memberikan patokan terhadap orang-orang yang dapat dikatakan bawah penampuan. Apabila orang yang sedang menghadapi situasi di pengampuan itu, dapat dianggap adanya ketidakmampuan dari dirinya untuk melakukan perbuatan hukum atau tidak mampu menjalankan hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum. Orang yang sedang berada dibawah pengampuan dinyatakan tidak cakap bertindak sebagai pihak dalam perjanjian. Akan tetapi dalam hal ini, UUJN dalam Pasal 39 dan 40 ayat (2) memberikan standar usia delapan belas untuk dapat berbuat dengan dasar hukum untuk menjadi penghadap di Notaris. Walaupun UUJN tidak mengatur batas usia dewasa, tetapi dengan adanya ketentuan usia 18 tahun pada Pasal 39 tersebut maka seseorang yang berumur 18 tahun telah dianggap cakap membuat perjanjian dihadapan Notaris layaknya orang dewasa yang telah berumur 21 tahun.

Salah satu diatur sebagai wewenang dari Notaris kepada orang yang menghadapnya untuk membuat akta. Dalam pembuatan akta di hadapan Notaris para pihak harus berusia paling sedikit 18 tahun dan sudah menikah”. Dengan berlakunya UUJN maka terdapat dua buah standar usia dalam melakukan perbuatan hukum membuat perjanjian, yaitu 21 tahun berdasarkan Pasal 39 UUJN, dan berdasarkan Pasal 1330 jo. Pasal 330 KUH Perdata menentukan 18 tahun. Kedua ketentuan yang berbeda mengenai kecakapan dalam batasan usia tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, yang artinya terdapat konflik norma (geschijld van normen) dalam kedua undang-undang tersebut. Horizontal antara kedua peraturan yang setingkat (hirarkinya sama) yaitu, antara Pasal 330 KUH Peradata dengan Pasal 39 UUJN. Konflik norma pada kedua ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menentukan batas usia subjek hukum pribadi (orang perseorangan) untuk dapat melakukan perbuatan hukum perjanjian. Oleh sebab itu menjadi sangat penting untuk dilakukan penelitian hukum.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Bima Bagus Wicaksono dengan judul “Pengaruh Cakap Terhadap Perjanjian Jual Beli Secara Online. Rumusan

masalah yang dikaji adalah bagaimakan jual beli online yang pihaknya belum genap berusia duapuluh satu tahun dan apabila para pihak belum genap dewasa, bagaimana akibat hukumnya”.4 Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Endi Suadnyani dengan judul “Batasan Usia Kecakapan Dalam Membuat Perjanjian Dihadap Notaris, Adapun rumusan masalahnya yaitu “berapakah batasan cakap usia bisa membuat akta dihadapan Notaris dan apa akibat hukumnya apabila para pihak belum dewasa dalam membuat perjanjian akta”.5 Kedua penelitian tersebut berkaitan dengan kecakapan dalam membuat perjanjian dihadapan Notaris, sedangkan perbedaannya terletak pada kajian isu hukumnya. Penelitian ini mengkaji konflik norma dan penyelesaian dari konflik norma tersebut. Dengan demikian, penelitian ini merupakan pengembangannya. 1.2. Rumusan Masalah

Beranjak dari adanya konflik norma diatas terdapat ketentuan KUH Perdata dengan UUJN, maka dapat dirumuskan permasalahan:

  • 1.    Apakah dasar hukum kecakapan membuat perjanjian dihadapan notaris?

  • 2.    Bagaimanakah penyelesaian konflik norma terkait dengan kecakapan membuat perjanjian dihadapan notaris?

  • 1.3. Tujuan Penelitian

  • 1.    Untuk mengetahui dasar hukum kecakapan membuat perjanjian dihadapan notaris.

  • 2.    Untuk mengetahui penyelesaian konflik norma terkait dengan kecakapan membuat perjanjian dihadapan notaris.

  • 2.    Metode Penelitian

Hukum Normatif menjadi pilihan dalam riset ini. Dipilihnya jenis riset tersebut adalah untuk melakukan pengkajian terhadap norma hukum. Pengkajian norma hukum tersebut dilakukan karena adanya norma yang bertentangan. “Pertentangan norma, kekaburan norma dan kekosongan norma menjadi syarat sah adanya penelitian berjenis hukum normatif”.6 Adapun norma yang bertentangan itu adalah antara norma KUH Perdata dan UUJN. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Sumber bahan hukum penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer yaitu KUH Perdata dan UUJN, sedangkan sumber bahan hukum sekunder yaitu buku-buku, jurnal ilmiah, dan media internet. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen dengan cara mengumpulkan data-data penelitian sebelumnya dan menginventarisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan hukum yang dikaji. Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunakan adalah

teknik deskriptif kualitatif yaitu memberikan penjelasan serta melakukan kajian terhadap permasalahan hukum dalam penelitian ini.

  • 3.    Pembahasan

    3.1.    Dasar Hukum Kecakapan Membuat Perjanjian Dihadapan Notaris

Secara yuridis, membuat perjanjian dihadapan Notaris harus memiliki kecakapan. Sebagai dasar hukum dalam menentukan kecakapan seseorang dilandaskan pada “cakap, pada intinya cakap memegang peranan penting dalam sebuah akta karena cakap adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban”.7 Arti yang tersirat dalam kalimat tersbut adalah mencerminkan adanya kebolehan dan ketidakbolehan berbuat. Cakap sangat menentukan dari suatu perbuatan hukum, sebaliknya cakap juga menentukan tidak adanya perbuatan hukum itu. Dengan kata lain, ada tidaknya perbuatan hukum itu ditentukan oleh ada tidaknya cakap tersebut. Oleh sebab itu, cakap adalah dewasa.

Sehubungan dengan ketentuan dewasa diatas, maka dapat dikatakan bahwa bagi orang yang “sudah dewasa maka menurut hukum perdata adalah mereka yang genap duapuluh satu tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin sebelumnya”.8 Pernah kawin artinya sudah pernah menjalani perkawinannya atau dahulu pernah kawin, tetapi saat ini sudah berpisah. Kawin yang dahulu tetap berlaku. Artinya walaupun mereka sudah berpisah pada saat berusia sebelum dua puluh satu tahun, bukan berarti mereka kembali dinyatakan belum dewasa. mereka tetap dinyatakan dewasa oleh KUH Perdata. Kawin dan tidak kawin juga menentukan dewasa tidaknya orang tersebut karena sangat berkaitan dengan berbuat secara hukum. Ketika menyandang status janda atau duda, maka mereka tetap diperbolehkan membuat akta notarial. Dengan kata lain, orang dewasa itu yang belum genap 21 tahun tetapi sudah menikah.

Pengecualian yang lainnya yakni “seorang penghadap harus memnuhi syarat paling sedikit 18 bukan 21”. Pengecualian itu dikehendaki oleh UUJN yang memperbolehkan seseorang untuk membuat akta. kebolehan tersebut adalah kebolehan yang diberikan oleh undang-undang dan sekaligus menjadi syarat dalam membuat akta notarial yang paling utama. Syarat ini dijadikan pedoman dalam kedewasaan seseorang menghadap pada Notaris, pedoman pasti. Apabila syarat tersebut diperhatikan oleh Notaris, maka akta yang dibuat oleh para pihak menjadi sah secara subjektif dan memberikan jaminan kepastian hukum.

Berkaitan dengan kedudukan hukum dari “seseorang termaktub dalam KUH Perdata maka kedudukannya harus genap dua puluh satu tahun atau sudah menikah sebelum umur dua puluh satu tahun”. Ketentan tersebut menjadi dasar hukum ketika seseorang ingin memiliki kedudukan hukum selakyaknya

subjek hukum. Sebagai aturan yang sangat tua, KUH Perdata wajib dijadikan pijakan utama dalam memberikan dasar hukum karena KUH Perdata merupakan dasar dari adanya UUJN. Sangat tidak etis apabila disimpangi. Akan tetapi dalam teori hukum, KUHPerdata diajdikan sebagai peraturan yang bersifat umum bukanlah khusus sehingga apabila dijadikan dasar hukum sifatnya lebih umum.

Ketentuan tersebut, walaupun “kecakapan seseorang itu ditentukan berusia 21 tahun, tetap saja ada pengecualiannya”.9 Pengecualiannya terletak pada status menikah dari orang yang membuat perjanjian. Apabila orang yang membuat perjanjian sudah menikah tetapi belum mencapai usia 21 tahun, maka orang tersebut diperbolehkan membuat perjanjian dihadapan Notaris. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, apabila orang tersebut “telah kawin maka orang tersebut diperbolehkan membuat akta dihadapan Notaris, sedangkan apabila orang tersebut pernah menikah atau pada saat orang itu sudah berpisah sebelum berusia duapuluh satu tahun, maka tidak mengembalikan status orang itu menjadi belum dewasa”.10 Dengan demikian, maka mereka yang memiliki status janda atau pernah menikah diperbolehkan untuk membuat akta dihadapan Notaris.

Dasar hukum keabsahan perjanjian dihadapan Notaris yaitu Pasal 1angka 7 UUJN bahwa pengertian dari “akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan di dalam yang disahkan oleh Notaris. Dalam pembuatan akta oleh Sebagai pekabat umum, wewenang mengesahkan akta yang dibuatnya”. Akta Notaris yang dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan itu artinya bentuk dari akta yang dibuat. Akta yang dibuat itu dapat berbentuk tertulis dan dapat juga dibuat dalam bentuk dibawah tangan. Bentuk akta yang dibuat itu disepakati oleh pihak cakap tadi. Baik akta tertulis yang secara sah ditanda tangani oleh Notaris sebagai pejabat umum dan juga akta yang dibuat dibawah tangan juga dapat disahkan oleh Notaris sebagai akta yang sah atau dinyatakan sah berlaku. Akta dibawah tangan itu menjadi sah karena ditanda tangani oleh Notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara. Akta dibawah tangan yang disahkan itu dapat berbentuk waarmerking. Akta Waarmerking adalah proses pendaftaran atau register dokumen bawah tangan di buku khusus yang dibuat oleh Notaris yang mana dokumen tersebut sudah dibuat dan ditanda tangani oleh pihak atau para pihak sebelumnya. Jadi akta waarmerking itu tidak dibuat dihadapan Notaris akan tetapi tetap sah berlaku dan dapat menjadi bukti hukum.

Kedua jenis akta otentik tersebut sama-sama memiliki kekuatan hukum atau memiliki otentisitas. Berkaitan dengan itu, keabsahan perjanjian baik tertulis maupun dibawah tangan yang dibuat oleh pihak cakap dengan

berdasarkan UUJN menjadi sah menurut hukum. Sahnya perjanjian tersebut karena telah memenuhi ketentuan yang tersirat, selain itu juga telah genap berusia 18 tahun UUJN. Apabila seseorang ingin melakukan perbuatan hukum khususnya dalam lapangan hukum perdata, minimal berusia 18 tahun atau sudah pernah melakukan perkawinan. Sehingga, oleh undang-undang telah dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian, maka perjanjian sekaligus perjanjian tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sempurna didalam peradilan.

Keabsahan perjanjian yang dibuat berdasarkan UUJN menjadi sah menurut hukum. Sahnya perjanjian tersebut karena telah memenuhi ketentuan yang tersirat dalam UUJN selain itu, juga telah genap berusia 18 tahun. Apabila seseorang ingin melakukan perbuatan hukum, khususnya masuk dalam lapangan hukum perdata, minimal berusia 18 tahun atau sudah pernah melakukan perkawinan. Sehingga, oleh undang-undang telah dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian, maka perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris merupakan perjanjian yang sah menurut hukum dan sekaligus perjanjian tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sempurna didalam peradilan.

  • 3.2.    Penyelesaian Konflik Norma Terkait Dengan Kecakapan Membuat

    Perjanjian Dihadapan Notaris

Penyelesaian konflik norma terkait dengan kecakapan seseorang membuat perjanjian bertujuan untuk mewujudkan hukum yang pasti. Perwujudan kepastian menjadi tujuan utama dari adanya keabsahan dari suatu perjanjian. Menurut Radbruch, “adanya tiga cita (idée) dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan menuntut agar hukum selalu mengedepankan keadilan, kemanfaatan menuntut agar hukum selalu mengedepankan manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntut terutama adanya peraturan hukum. Kepastian hukum dalam artian undang-undang maupun suatu peraturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti oleh Pemerintah”.11 Setiap adanya pelanggaran hukum, maka akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum. Dalam hal ini, kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi.

Berkaitan dengan perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris, “kepastian hukum menjadi prioritas utama dalam mewujudkan tujuan hukum”.12 Dikatakan sebagai prioritas utama karena pembuatan perjanjian itu didasarkan pada suatu aturan. Oleh karena itu, “hukum harus dapat memberikan kepastian dalam membuat perjanjian, termasuk kepastian dalam menentukan kecakapan

seseorang dalam membuat perjanjian dihadapan Notaris. Kepatian hukum tentunya tidak boleh dipisahkan dari tujuan hukum”.13

Prinsip kepastian hukum tersebut wajib diterapkan dalam menjalankan profesi Notaris karena untuk menjalankan fungsi Notaris wajib memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum yang diberikan oleh Notaris itu tercermin dalam akta notariil yang dibuat dan disahkan oleh Notaris itu sendiri. Sebagai pejabat umum, Notaris wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan dank kode etik notaris. Kode etik dan UUJN menjadi pedoman utama sebagai pejabat umum. “Pejabat umum yang dijalankan oleh Notaris merupakan pejabat dalam bidang jasa hukum kepada masyarakat. Dalam menjalankan jabatan umum tersebut harus dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan pedomannya tersebut”.14 Begitu pula pembuatan akta Notaris adalah akta yang dibuat secara tertulis atau “akta autentik, apabila akta yang dibuat adalah akta dibawah tangan maka tidak dapat dijadikan sebagai bukti”.15

Dasar hukum yang dijadikan sebagai pedoman yakni UUJN, karena undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang bersifat khusus. Berkaitan dengan penyelesaian konflik norma diatas, penyelesaiannya dengan menggunakan asas preferensi.

  • “1 . Asas lex specialist derogate legi generali, artinya perundang-undangan yang mengatur hal-hal khusus mengesampingkan perundang-undangan yang mengatur substansi secara umum

  • 2.    Asas lex posterior derogate legi priori, artinya peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan mengesampingkan perundang-undangan yang berlaku lebih dahulu, dalam hal substansi terkait.

  • 3.    Asas lex superiori deragat legi inferior, artinya perundang-undangan yang dibuat aparat pemerintah yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula”.16

Berkaitan dengan asas preferensi diatas, untuk menkaji pertentangan norma antara ketentuan dalam Pasal 330 KUH Perdata dengan Pasal 39 UUJN, terlebih dahulu dilihat dari hirarki peraturan perundang-undangannya. Hirarki peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan. Ketentuan jenis hirarki tersebut, Pasal 5 UU Perundang-undangan diatur mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa harus ada kesesuaian antara jenis dengan hirarkinya. Hirarki perundang-undangan ini juga “diperkuat dengan

Teori Stufenbau yang menyatakan bahwa “aturan hukum seperti anak tangga yang harus memperhatikan hirarkinya”.17

Berdasarkan teori stufenbau ini, “pada prinsipnya peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya”.18

Analisa yuridis yang digunakan untuk menyelesaikan konflik norma tersebut adalah salah satu dari asas preferansi yaitu asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang artinya, peraturan yang bersifat khusus dapat mengenyampingkan peraturan yang bersifat umum. Dengan demikian, maka peraturan UUJN merupakan peraturan yang bersifat khusus, sedangkan KUH Perdata adalah peraturan yang bersifat umum. KUH Perdata dan UUJN memiliki tingkatan atau hirarki yang sejajar yaitu Undang-Undang. Oleh karena itu, UUJN dapat mengenyampingkan KUH Perdata. Berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Pasal 330 KUH Perdata dikesampingkan oleh Pasal 39 UUJN. Dengan demikian, kecakapan membuat perjanjian di hadapan Notaris berlaku Pasal 39 UUJN. Walaupun menentukan kecakapan itu, tetap dapat dikesampingkan atau tidak berlaku. Dengan memberlakukan Pasal 39 UUJN menjadi jelas bahwa kecakapan seseorang dalam membuat perjanjian dihadapan Notaris adalah usia 18 tahun. Ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam membuat perjanjian dihadapan Notaris. Selain itu, ketentuan tersebut juga memberikan kepastian dihadapan Notaris. Artinya, apabila suatu hari para pihak yang membuat perjanjian itu mengalami sengketa, maka perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris tersebut dapat dijadikan sebagai bukti yang sempurna di pengadilan. Pengadilan juga melihat bukti-bukti yang ditunjukkan dalam persidangan. Perjanjian yang dibuat itu telah memenuhi kecakapan dari para pihak atau pada saat perjanjian itu dibuat, para pihak telah berusia 18 tahun atau lebih. Segala sesuatu yang dibuat dalam perjanjian menjadi sah menurut hukum.

  • 4.    Kesimpulan

Mengarah pada bahasan, terkaita permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa dasar hukum kecakapan membuat perjanjian dihadapan Notaris adalah didasarkan pada perbuatan hukum yang dilakukan. Ketentuan kecakapan berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata. Sedangkan dasar hukum ini, menyebabkan adanya konflik norma, maka tidak adanya kepastian hukum dalam melakukan perbuatan hukum di hadapan Notaris. Penyelesaian konflik norma terkait dengan kecakapan membuat perjanjian dihadapan Notaris adalah dengan menggunakan salah satu dari asas preferensi yaitu asas lex specialist derogate legi generali memiliki sifat khusus dapat mengenyampingkan peraturan yang bersifat umum. Dengan demikian, maka ketentuan dalam KUH Perdata tersebut dapat dikesampingkan oleh UUJN karena UUJN merupakan aturan yang bersifat khusus sedangkan KUH Perdata adalah aturan yang bersifat umum. Dengan kata lain bahwa

ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tersebut dapat untuk tidak diberlakukan. Oleh sebab itu, yang dapat diberlakukan adalah ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN. Jadi, untuk menentukan batas usia dalam melakukan perbuatan hukum dihadapan Notaris adalah minimal berusia 18 tahun atau sudah pernah melakukan perkawinan.

Daftar Pustaka

Buku

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, (Jakarta, Bina Cipta, 2010)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta, Kencana, 2005).

Pathi, Saka, Perikatan Dalam Hukum Perdata, (Jakarta, Gramedia, 2010).

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, (Yogyakarta, Liberty, 2002).

Tesis

Lestari, Ningrum Puji. "Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008.

Jurnal Ilmiah

Gita, Ketut Nurcahya, and I. Made Udiana. "Kepastian Hukum Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 6, no. 02 (2021): 275-287.

Haryanti, Dewi. "Konstruksi Hukum Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum Di Indonesia Ditinjau Dari Teori Stufenbau." Jurnal Pembaharuan Hukum 2, no. 2 (2015): 270-278.

Jayadinata, I. Nyoman Rekya Adi, and I. Wayan Novy Purwanto. "Urgensi Kecakapan Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 7 (2020): 970-981.

Laksana, I. P. G. A., and N. M. A. Y. G. Griadhi. "Kedudukan Notaris sebagai Membuat Akta dalam Bidang Pertanahan." Kertha Negara 7, no. 11 (2019), 1-18.

Mursil, Mursil. "Jaminan Kepastian Hukum Pemberian PerpanjangN Hak Guna Usaha, " Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 1 (2014): 29-40.

Pradnyautari, I. Gusti Agung Putri, I. Nyoman Darmadha, and I. Wayan Novy Purwanto. "Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemegang Sertifikat Hak Milik Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 3 (2020): 413-423.

Saputra, Sena Lingga. "Status Kekuatan Hukum Terhadap Perjanjian Dalam Jual Beli Online Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur." Jurnal Wawasan Yuridika 3, no. 2 (2019): 199-216,h. 201.

Semarajaya, I. Putu Widhi, I. Nyoman Mudana, and I. Made Pujawan.

“Pelaksanaan Sistem Pengupahan Pekerja Outsourcing Pada Koperasi Karyawan (Kopkar) Coca-Cola Unit Bali di Denpasar”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2017).

Sinaga, David Herianto, and I. Wayan Wiryawan. "Keabsahan Kontrak Elektronik (E-Contract) Dalam Perjanjian Bisnis." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 9 (2020): 1385-1395.

Suadnyani, Ni Nyoman Endi. A.A. Sagung Wiratni Darmadi dan I Ketut Westra, "Kecakapan Berdasarkan Batasan Usia Dalam Membuat Perjanjian Dihadapan Notaris." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2017).

Usfunan, Maria Virginia. "Pengaturan tentang Penyelesaian Konflik Norma Antara Peraturan Menteri terhadap Undang-Undang." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 8 (2020): 1191-1201.

Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris

Jurnal Kertha Negara Vol. 10 No. 03 Tahun 2022, hlm. 314-324

324