PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH YANG DI PHK AKIBAT FORCE MAJEURE PANDEMI COVID 19 PASCA PENETAPAN UU CIPTA KERJA

I Made Wiby Satriabawa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: wibysatriabawa@gmail.com

Ni Luh Gede Astariyani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: luh_astariyani@unud.ac.id

Abstrak

Kajian berjudul “Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Di PHK Akibat Force Majeure Pandemi Covid 19” dibuat dengan tujuan untuk mengetahui apakah pandemi Covid 19 ini dapat dikatakan sebagai kondisi Force Majeure dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum yang di dapat pekerja/buruh yang diputus hubungan kerja oleh pihak perusahaan akibat pandemi Covid 19. Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif yang berdasar kepada peraturan perundang-undangan, teori hukum, serta pendapat sarjana. Pembahasan lebih lanjut menyimpulkan pandemi Covid 19 ini merupakan keadaan Force Majeure dan dapat dijadikan alasan pemutusan kontrak kerja sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pertanggungjawaban hukum wajib diberikan oleh pihak pengusaha terhadap pekerja/buruh berupa gaji/uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta pengganti hak yang seharusnya diterima.

Kata kunci: Pemutusan Hubungan Kerja, Force Majeure, Pandemi Covid 19

Abstract

The study entitled "Legal Responsibility to Workers / Laborers Which Is Discontinued Due to The Force Majeure Covid 19 Pandemic”, aims to percieve if the Covid 19 Pandemic can be consider as Force Majeure and how the legal responsibility is received by workers / laborers who have been discontinued due to the Covid 19 pandemic. This writing uses the normative writing method which is based on statutory regulations, legal theory, and the opinions of scholars. Further discussion concludes that the Covid 19 pandemic is considered as Force Majeure condition and can be used as an excuse for termination of employment in accordance with the provisions of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower. The employer must give legal responsibility to workers / laborers in the form of severance pay, period of service pay, and compensation for rights that should be received

Keywords:: Discontinuation of employment, Force Majeure, Covid 19 Pandemic

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Pandemi Corona Virus Desease (Covid 19) tidak dapat diremehkan, dampaknya mendera seluruh bagian dunia. Berawal dari Virus Corona dari kota Wuhan Tiongkok yang diduga berasal dari seekor Kelelawar menyebabkan seluruh dunia mengalami kesulitan. Organisasi Kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) menetapkan Covid 19 sebagai Pandemi terhitung dari tanggal 11 Maret 2020 pada konferensi yang diadakan di Jenewa1. Sampai dengan saat ini Senin 27 Maret 2021, jumlah kasus pasien terjangkit Covid 19 di dunia sudah mencapai angka 126 juta kasus, sedangkan di Indonesia jumlah kasus Covid 19 mencapai 1,49 juta kasus dengan pertumbuhan kurang lebih 4.000 kasus setiap harinya.2 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang menyatakan Penyakit akibat Virus Corona ini mengakibatkan status darurat Kesehatan pada masyarakat Indonesia.

Orang yang terjangkit virus akan mengalami rangkaian gejala-gejala antara lain; demam, flu, sakit tenggorokan, nyeri di bagian dada, sesak nafas, serta dalam beberapa kasus ada yang mengalami diare. Namun terdapat juga kasus yang penderitanya tidak mengalami gejala apapun yang disebutkan diatas. Pemerintah kemudian menggolongkan pasien Covid 19 dengan beberapa golongan antara lain; Orang dalam Pemantauan (ODP) pasien digolongkan ODP jika melakukan kontak langsung dengan pegidap virus atau mengalami gejala-gejala seperti demam, sakit tenggorokan, dan lain sebagainya, kemudian Orang tanpa Gejala (OTG) pasien digolongkan sebagai OTG jika pasian positif Covid 19 namun tidak mengalami gejala apapun, kemudian Pasien dalam Pengawasan (PDP) istilah ini untuk para pasien positif Covid 19 dengan gejala-gejala baik parah ataupun tidak.

Pandemi Covid 19 dirasakan segala sektor mulai dari pariwisata sampai hiburan. Yang sangat berdampak dan dirasakan seluruh masyarakat adalah menurunnya laju ekonomi di Indonesia. Banyak Perusahaan-perusahaan baik makro maupun mikro harus menghentikan bisnis akibat penurunan pendapatan drastis. hal ini juga berimbas kepada para pekerja yang harus menerima pemutusan perjanjian kerja akibat perusahaan yang mengurangi karyawan. Menurut data dari dinas ketenagakerjaan dan sumber daya mineral provinsi Bali, terhitung sampai dengan tanggal 3 maret 2021 total jumlah pekerja yang terpaksa dirumahkan mencapai 79.103 orang, sedangkan yang di PHK mencapai 3.349 orang3. Keadaan yang tidak kunjung membaik juga menyulitkan para pelaku usaha untuk mempertahankan perusahaannya tanpa mengurangi pekerja. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai konflik baru dalam relasi antara majikan dan pekerja. Serikat buruh di Indonesia melakukan aksi yang menyerukan agar perusahaan tidak menjadikan Covid 19 sebagai dalih pemecatan massal.4

Menurut undang-undang Ketenagakerjaan, “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat

kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. pada hakikatnya Perjanjian setara dengan undang-undang, mempunyai kekuatan mengikat serta menimbulkan akibat hukum. Sedangkan “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. segala sesuatu mengenai ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam undang-undang.

Force Majeure atau disebut juga dengan Keadaan Memaksa ialah sebuah keadaan dimana debitur tidak memenuhi prestasi dikarenakan sebuah peristiwa yang tidak diduga akan terjadi saat membuat perjanjian. Pada situasi ini pihak debitur tidak bisa katakana lalai karena terjadi diluar keinginan dan kemampuan dibitur

Akibat hukum yang ditimbulkan Force Majeure adalah pihak debitur tidak dapat memenuhi prestasi, pihak kreditur juga tidak dapat membebankan pihak debitur dan pihak debitur tidak dapat dikatakan lalai dalam pemenuhan prestasi. Ketentuan yang mendasari Force Majeure terdapat dalam pasal 1244 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau selanjutnya disebut KUHper yang menjelaskan bahwa “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya sebuah perjanjian, atau tidak tepatnya waktu dalam pelaksanaan perjanjian itu disebabkan oleh hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.” Lebih lanjut diatur dalam pasal 1245 KUHper yang menjelaskan bahwa

“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya”

Force Majeure merupakan salah satu dari sekian banyak konsep dalam hukum perdata yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam menegakkan keadilan. Mengingat kondisi seperti saat ini banyak terjadi sengketa mengenai pemutusan perjanjian kerja akibat pandemi yang menyebabkan kerugian pada pihak terutama debitur dalam hal ini para pekerja. Banyak pihak pengusaha yang serta merta melepas tanggung jawab terhadap pekerja/buruh nya dengan dalih keadaan ini. Peraturan hukum atau undang-undang wajib memberikan kepastian hukum dan memastikan hak-hak kepada setiap individu maupun kelompok.

Pada proses penyusunan penelitian ini, penulis menemukan beberapa artikel jurnal yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang dibahas penulis contohnya yaitu karya tulis jurnal yang berjudul “Covid 19 Sebagai Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Pemutusan Hubungan Kerja’ yang ditulis oleh I Putu Odhy Suryawiguna Robed5 dari Universitas Udayana pada tahun 2020 yang membahas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemutusan hubungan kerja akibat Covid 19 serta protokol wajib yang harus dipenuhi oleh perusahaan jika tetap berjalan dimasa pandemi Covid 19. Jurnal berikutnya yang memiliki kemiripan juga terdapat pada jurnal yang berjudul ” Kajian Force Majeure Terkait Pemenuhan Prestasi Perjanjian Komersial Pasca Penetapan Covid 19 Sebagai Bencana Nasional” oleh Putu Bagus Tutuan Aris Kaya yang membahas tentang klasifikasi Force Majeure dalam perjanjian

komersil setelah ditetapkannya Covid 19 sebagai bencana alam berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 2020.6

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dijabarkan diatas, perbedaan mendasar dengan penelitian yang penulis buat adalah pada penelitian ini penulis membahas mengenai pertanggungjawaban perusahaan terhadap pekerja/buruh yang diputus kontrak kerjanya akibat pandemi Covid 19, hak-hak apa saja yang didapatkan oleh pekerja/buruh yang di-PHK pada masa Covid 19.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan diatas, rumusan masalah yang akan diangkat pada kajian ini adalah :

  • 1.     Bagaimana situasi Pandemi Covid 19 dapat dikatakan sebagai Force

Majeure dalam pemutusan hubungan kerja ?

  • 2.    Bagaimana bentuk pertanggungjawaban bagi pihak yang dirugikan

dalam pemutusan hubungan kerja akibat Force Majeure pasca berlakunya Undang-undang Cipta Kerja ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, kajian ini bertujuan untuk mengetahui apakah situasi Pandemi Covid 19 ini termasuk sebuah keadaan Force Majeure dan dapat dijadikan sebagai alasan pemutusan kontrak kerja serta bagaimana pertanggungjawaban hukum bagi pihak yang dirugikan akibat pemutusan kontrak kerja.

  • 2.    Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan metode penelitian Normatif. Penelitian normatif berdasar kepada norma yang konflik, norma yang kabur, atau tidak jelas. Soerjono Soekanto menjelaskan penelitian normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan atau sebuah penelitian hukum yang berdasar kepada sumber data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, pendapat ahli, buku-buku, teori hukum serta putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan analytical approach atau pendekatan analisis konsep yang mengkaji konsep force majeure untuk mencari tau penyebutan yang digunakan dalam perundang-undangan serta memahami pengaplikasiannya dalam masyarakat dan putusan-putusan yuridis. pada penelitian ini juga menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengkaji mengenai peraturan perundang-undangan yang tertera dalam permasalahan penelitian khususnya Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya Peraturan Pemerintah (PP) nommor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Penelitian ini menggunakan teknis analisis kualitatif dalam penulisannya.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Status Force Majeure dalam Pandemi Covid 19 sebagai Dasar Pemutusan

Hubungan Kerja.

Banyaknya pekerja yang diberhentikan akibat pandemi covid 19 menyebabkan terjadinya banyak kasus wanprestasi dikarenakan pihak korporasi tidak dapat memenuhi prestasi terhadap pekerja. turunnya pedapatan perusahaan dikarenakan berkurangnya konsumen pasca pandemi Covid 19 membuat para pengusaha harus mengambil alternatif menghemat pengeluaran dengan memotong jumlah pekerjanya.

Kondisi Force Majeure menjadi dasar utama dalam pemutusan hubungan kerja akibat pandemi ini. Menurut pendapat sarjana hukum terdahulu, Force Majeure dijelaskan sebagi sebuah keadaan yang mutlak/absolut dan tidak bisa dihindarkan oleh pihak debitur dalam pemenuhan prestasi dalam perjanjian. Keadaan yang dimaksud ialah bencana alam ataupun hal-hal yang tidak dapat dihindari oleh kemampuan manusia7. Pendapat ini merumuskan bahwa Force Majeure adalah situasi yang bersifat mutlak/absolut (absolut onmogelijkheid). Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Force Majeure bersifat relatif (relatieve onmogelijkheid) dimana pihak debitur masih mungkin memenuhi prestasi namun harus dengan mengorbankan hal yang lebih penting8.

Sifat mutlak dan relatif Force Majeure juga terdapat pada pendapat Prof. Abdulkadir Muhammad yang menjelaskan unsur-unsur Force Majeure antara lain;

  • 1.     “Pihak Debitur tidak memenuhi prestasi akibat terjadinya peristiwa yang

membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan.” Dapat dipahami yang dimaksudkan dalam kalimat ini adalah kondisi force majeur bersifat mutlak dan tidak bisa dihindari;

  • 2.     “Pihak Debitur tidak memenuhi prestasi akibat terjadi sebuah kejadian

yang menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi prestasi.” Pendapat ini menjelaskan ada sifat relative.

  • 3.     “Pihak debitur tidak memenuhi prestasi akibat peristiwa yang tidak

dapat diduga akan terjadi pada saat pembuatan perjanjian.” Kalimat ini menjelaskan bahwa keadaan Force Majeure tidak terjadi akibat kesalahan para pihak.9

Mochtar Kusumaatmaja menjelaskan sebuah keadaan dapat dikatakan sebagai Force Majeure/vis majer karena hilang/lenyapnya objek yang menjadi tujuan dalam perjanjian, yang menyebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi prestasi baik secara fisik maupun hukum. bukan hanya sekedar kesulitan dalam memenuhi kewajiban.10 Hal ini kemudian didukung dengan pendapat dari Mieke Komar Kantaatmaja yaitu;

  • 1.     Terjadi sebuah perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian.

  • 2.    Perubahan keadaan berkaitan dengan hal fundamental dalam sebuah

perjanjian

  • 3.     Perubahan Keadaan tidak bisa diprediksi oleh pihak terkait dalam

perjanjian

  • 4.     Akibat daripada perubahan sebuah keadaan harus radikal, sehingga

menyebabkan perubahan lingkup prestasi yang harus dipenuhi pada perjanjian tersebut

  • 5.     penerapan asas ini tidak dapat digunakan pada perjanjian perbatasan

serta apabila terjadinya prubahan keadaan disebabkan oleh pelanggaran dari pihak penuntut

Jika ditinjau dari masa waktu terjadinya, force majeure terbagi kedalam 2 kategori, yaitu;

  • 1)     Force Majeure Permanen.

Force Majeure dikatakan permanen jika pihak debitur tidak dapat memenuhi prestasi sampai kapan pun dikarenakan suatu keadaan yang bukan disebabkan oleh debitur menyebabkan objek dari perjanjian tersebut musnah/lenyap

  • 2)    Force Majeure Temporer.

Berlawanan dengan definisi Force Majeure permanen, Force Majeure dikatakan temporer apabila debitur tidak bisa memenuhi prestasi akibat suaatu keadaan yang berlaku sementara dan debitur wajib memenuhi prestasi setelah keadaan tersebut berlalu.11

Selanjutnya situasi pandemi Covid 19 yang menimpa masyarakat Indonesia menyebabkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 april 2020 secara resmi menyatakan pandemi Covid 19 sebagai bencana nasional dengan mengeluarkan Keppres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona virus disease 2019 (Covid 19). Dalam Undang-undang no. 24 tahun 20007 tentang Penanggulangan Bencana pada pasal 1 ayat (1) menjelaskan “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” mengacu pada Kepres diatas, Pandemi Covid 19 tergolong kedalam bencana non-alam yang kemudian dijelaskan juga pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penanggulangan bencana pada pasal 1 ayat (3) yang menjelaskan bahwa “Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”. Pemerintah Indonesia juga menunjukkan keseriusan dalam penanganan wabah ini dengan kemudian membentuk satuan khusus pencegahan pandemi Covd 19 melalui Keppres no. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19. Pada bidang perekonomian, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.”

Di dalam hukum Ketenagakerjaan diatur mengenai pemutusan hubungan kerja. pihak perusahaan tidak boleh asal dalam memutus hubungan kerja terhadap pekerjanya. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) pada pasal 151 menjelaskan bahwa “pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja”. pasal ini menegaskan bahwa keberlangsungan hubungan kerja adalah hal yang utama. Soepomo berpendapat bahwa “Pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dan berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan

dan berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup sehari-hari dan keluarganya, permulaan dan berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya” 12

Selanjutnya pemutusan kontrak kerja akibat Force Majeure juga tertuang dalam pasal 164 ayat (1) UUK yang menjelaskan bahwa “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).“

Adapun Undang-undang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK) yang baru diresmikan oleh pemerintah sebagai Omnibus law. Omnibus law adalah undang-undang yang substansinya merevisi dan/atau mencabut banyak undang-undang.13 Dalam undang-undang ini menambahkan pasal pada UUK diantara pasal 154 an 155, yaitu pasal 154 A yang menjelaskan mengenai alasan-alasan yang disahkan undang-undang untuk melakukan PHK. Pasal 154 A ayat (1) menjelaskan “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

  • a.    perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;

  • b.    perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;

  • c.    perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;

  • d.    perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur) ;

  • e.    perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

  • f.    perusahaan pailit;

  • g.    adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh.

Pada huruf d dalam pasal diatas juga dijelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan perusahaan tutup yang disebabkan oleh keadaan memajsa (force majeur).

Di dalam Pasal tersebut tidak memuat penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan kondisi Force Majeure yang dimaksudkan. Namun merujuk pada penjelasan para ahli mengenai Force Majeure, kondisi pandemi Covid 19 ini memenuhi sebagian besar unsur sebuah keadaan dikatakan sebagai Force Majeure, antara lain;

  • 1.    Pandemi Covid 19 menyebabkan kerugian yang tidak dapat di prediksi.

  • 2.    Pandemi Covid 19 tidak pernah terjadi sebelum perjanjian kerja dilakukan.

  • 3.    Dampak yang ditimbulkan sangat besar bagi perusahaan sehingga menyebabkan pengusaha tidak dapat memenuhi prestasinya.

  • 4.    Pandemi Covid 19 berdampak pada keadaan fundamental/mendasar dalam perjanjian dalam hal ini pemenuhan upah pekerja/buruh.

  • 5.    Pandemi Covid 19 tidak terjadi akibat kesalahan salah satu pihak.

Pandemi Covid 19 merupakan sebuah wabah penyakit yang dapat disembuhkan. Dengan demikian Pandemi Covid 19 ini akan berakhir sehingga menurut jangka waktunya, pandemi Covid 19 ini termasuk keadaan Force Majeure temporer. Berdasarkan definisi serta pembahasan diatas, pandemi Covid 19 yang tidak diduga kehadirannya dapat dikatakan sebagai situasi Force Majeure dalam pemutusan hubungan kerja.

  • 3.2.    Pertanggungjawaban bagi pihak yang dirugikan dalam pemutusan hubungan kerja akibat Force Majeure pasca berlakunya UU Cipta Kerja

Pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat berdampak bagi para pekerja yang mengalaminya, khususnya dalam perekonomian. Banyak sekali masyarakat Indonesia yang kehilangan mata pencaharian dan terancam tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut UUK, ”Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.” Jadi saat setelah diputusnya hubungan kerja maka berakhir juga kewajiban pekerja/buruh serta pekerja/buruh tidak lagi mendapatkan haknya. Secara umum, kategori PHK yang dilakukan perusahaan terbagi kedalam 4 kategori, antara lain;

  • 1.     Termination. Hal ini berkaitan dengan berakhirnya kontrak kerja antara

pengusaha dengan pekerja/buruh

  • 2.     Dissmisal. Pemutusan hubungan ini diakibatkan oleh pekerja/buruh yang

melakukan Tindakan yang berakibat fatal yang dapat berupa pelanggaran kontrak kerja, dan sebagainya.

  • 3.    Redundancy. Dalam hal ini Pengusaha melakukan PHK akibat terjadinya

perkembangan teknologi atau mulai merubah kegiatan manual menjadi digital yang kemudian menggantikan tugas dari pekerja/buruh

  • 4.     Retrenchment. Pmutusan hubungan kerja ini berkaitan dengan kondisi

ekonomi yang tidak stabil dalam sebuah perusahaan seperti misalnya perusahaan mengalami kerugian beruntun dan berkurangnya penjualan sehingga menyebabkan turunnya keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut. 14

Pemutusan hubungan kerja harus dipertimbangkan dengan sangat baik dan tidak bisa dilakukan secara sepihak. UUK menjelaskan pihak pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan alasan;

  • 1.     pekerja mengajukan pengunduran diri tertulis karena kemauan sendiri

dan tidak didasari intervensi dari pihak manapun

  • 2.    pekerja/buruh mencapai usia pension yang disepakati dalam kontrak

atau undang-undang

  • 3.    pekerja/buruh wafat atau meninggal dunia

  • 4.     pekerja/buruh melakukan kesalahan berat seperti; mencuri, menipu,

membocorkan rahasia perusahaan, menganiaya teman sekerja, memberikan keterangan palsu, dan lain sebagainya.

  • 5.    perusahaan mengalami kerugian selama 2 (dua) tahun

  • 6.    pekerja/buruh melanggar ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja

  • 7.    pekerja/buruh tertangkap melakukan perbuatan melawan hukum.15

Adapun pertanggungjawaban terhadap hak pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja tercantum dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor Kep-/Men/200 tentang “Penyelesaian Pemutusan hubungan kerja dan Penetapan uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan” pada Pasal 1 antara lain;

  • 1.     Uang Pesangon.

Uang pesangon adalah pertanggungjawaban berupa sejumlah uang yang harus dibayarkan pengusaha kepada pekerja/buruh yang di PHK

  • 2.     Uang Penghargaan Masa Kerja.

Pihak pengusaha wajib memberikan uang kepada pekerja/buruh sebagai penghargaan atas loyalitas yang diberikan dalam masa kerja.

  • 3.     Ganti Kerugian Uang.

Pihak pengusaha wajib memberikan uang ganti kerugian yang berdampak kepada pekerja/buruh akibat pemutusan hubungan kerja.

Sejak diterbitkannya UUCK, terdapat beberapa perubahan terhadap mekanisme pemutusan hubungan kerja yang sudah diatur sebelumnya didalam UUK. Pada pasal 81 nomor 37 ayat (3) yang merupakan perubahan atas pasal 151 UUK, menjelaskan bahwa “Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antar pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” Dalam hal ini menjelaskan bahwa jika pihak pekerja/buruh berhak untuk tidak menerima putusan hubungan kerja dari perusahaannya. Kemudian pihak Pekerja/buruh dan perusahaan dapat melakukan perundingan bipatrit untuk menyelesaikan sengketa. Pada ayat (4) juga menjelaskan bahwa “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” Berdasarkan ayat tersebut jika tidak ditemukannya kesepakatan pada perundingan bipartit antara para pihak maka sengketa diselesaikan oleh Lembaga penelesaian perselisihan Industrial.

Dalam pasal 81 nomor 42 UUCK yang merupakan ketentuan baru dari pasal 154 UUK pada huruf (f) juga menjelaskan bahwa “pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan perusahan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur)” hal ini menjelaskan bahwa perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerjanya apabila perusahaan tutup dikarenakan kondisi force majeur.

Selanjutnya Pasal 164 UUK menjelaskan “pekerja/buruh yang diberhentikan akibat Force Majeure berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).” Dijelaskan didalamnya rincian pemberian pesangon serta uang penghargaan masa kerja besarnya desesuaikan dengan lamanya masa kerja. Semakin lama masa kerjanya maka semakin besar nominal yang harus dibayarkan oleh pihak pengusaha terhadap pekerja/buruh. Ketentuan diatas berlaku apabila PHK disebabkan oleh Force Majeure atau perusahaan mengalami kerugian selama 2 (dua) tahun.

Dalam pasal 156 ayat 5 UUCK yang merupakan perubahan atas pasal 156 ayat (5) UUK menjelaskan “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada

ayat(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.” menindaklanjuti hal tersebut permerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Pertanggungjawaban bagi pekerja/buruh yang di PHKakibat force majeur diatur pada pasal 45 PP Nomor 35 Tahun 2021 ayat (1) yang menjelaskan bahwa “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan HubunganKerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasanPerusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa(force majeure) maka Pekerja/ Buruh berhak atas:

  • a.    uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali

ketentuan Pasal 40 ayat (2);

  • b.    uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)

kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

  • c.    uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40

ayat (4).

Sedangkan apabila perusahaan melakukan PHK akibat force majeur namun tidak menyebabkan tutupnya perusahaan diatur dalam pasal 45 ayat (2) yang menjelaskan bahwa “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan HubunganKerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan keadaan memaksa (force majeure) yang tidak mengakibatkan Perusahaan tutup maka Pekerja/Buruh berhak atas:

  • a.    uang pesangon sebesar O,75 (nol koma tujuh

puluh lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (21;

  • b.    uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

  • c.    uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40

ayat (4).

Terkait dengan pandemi Covid 19 yang terjadi saat ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Buruh/Pekerja dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19. Surat edaran tersebut meminta kepada selurus pemimpin daerah untuk mencegah menyebaran dan penanganan kasus Covid 19 di lingkungan kerja. Memerintahkan setiap pemimpin perusahaan di daerahnya untuk menjalankan 3 hal pokok yaitu melakukan langkah preventif penyebaran Covid 19 pada pekerja/buruh dengan melakukan perilaku hidup bersih serta program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merencanakan langkah penanganan bagi pekerja/buruh yang terjangkit Covid 19 serta menjaga keberlangsungan usaha16.

Pembahasan diatas menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid 19 termasuk dalam kondisi Force Majeure sesuai dengan Pasal 164 UUK yang mana situasi pandemi Covid 19 ini tidak bisa diprediksi dan menyebabkan kerugian fatal bagi perusahaan dan pertanggungjawabannya diatur pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) PP Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UUCK sebagai pembaharuan dari UUK dengan pemberian perlindungan hukum berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang nominalnya tergantung pada lamanya masa kerja.

  • 4. Kesimpulan

Force Majeure adalah terjadinya sebuah keadaan yang tidak dapat diprediksi oleh pihak bersangkutan dalam sebuah perjanjian yang menyebabkan debitur tidak dapat

memenuhi prestasi. Keadaan yang dimaksud adalah bencana alam ataupun hal-hal diluar kemampuan manusia. Situasi Covid 19 yang tidak dapat di prediksi dan menyebabkan kerugian fatal terhadap jalannya roda perusahaan dalam hal pemutusan hubungan kerja dapat digolongkan ke dalam situasi Force Majeure berdasarkan pengertian bencana non-alam dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana alam serta Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran corona virus disease 2019 (Covid 19). Perlindungan hukum bagi pekerja yang mengalami pemutusan kontrak kerja akibat Force Majeure terdapat dalam ketentuan Pasal 164 UUK serta mendapatkan pertanggungjawaban berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima. ketentuan lebih lanjut mengenai besar nominal terdapat pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) PP Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UUCK sebagai pembaharuan dari UUK. Serta pemutusan hubungan kerja harus menjadi sepakat antara pihak perusahaan dengan pekerja/buruh, dan pekerja/buruh memiliki hak menolak pemutusan hubungan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah sebaiknya mengeluarkan peraturan khusus mengenai pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid 19 ini supaya para pihak yang terdampak mendapatkan kejelasan hukum. Dalam hal ini pihak pengusaha juga harus mempertimbangkan lagi dalam mengambil keputusan PHK menimbang tanggungan keluarga serta tanggungan lain yang harus dipenuhi pekerja/buruh. Bagi pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Manulang, Sendjun. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2001)

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014)

JURNAL:

Robed, Putu Odhy Suryawiguna, dan I Made Dedi Priyanto. ”Covid 19 Sebagai Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Pemutusan Hubungan Kerja” Kertha Wicara: Journal ilmu hukum 10, no. 6 (2021): 230-240

Isradjuningtias, Agri Chairunisa. “FORCE MAJEURE (OVERMACHT) DALAM HUKUM KONTRAK (PERJANJIAN) INDONESIA” Versitas et Iustitia: Journal Ilmu Hukum 1, no 1 (2015)

Elfiani, Elfiani. “AKIBAT OVERMACHT (KEADAAN MEMAKSA) DALAM

PERJANJIAN TIMBAL BALIK”. Al Hurriyah:: Journal Ilmu Hukum 13, no 1 (2012)

Mustakim, Mustakim, dan Syafrida Syafrida. ”Pandemi Covid 19 sebagai Alasan Force Majeure Dalam Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia” SALAM; Journal Sosial dan Budaya Syar-I 7, no. 8 2020

Kaya, Putu Bagus Tutuan Aris. dan Ni Ketut Supasti Darmawan. “Kajian Force Majeure Terkait Pemenuhan Prestasi Perjanjian Komersial Pasca Penetapan Covid 19 Sebagai Bencana Nasional” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 6

Suwantari, I Gusti Ayu Dewi. dan Ni Luh Gede Astariyani “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA DAMPAK DIGITALISASI” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no 7 (2018) 1-15

Wicaksana, I Nyoman Satya. dan I Ketut Markeling, “TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 5 (2019)

Putra, Anak Agung Ngurah Wisnu Manika, I Made Udiana, I Ketut Markeling, “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PEMBERI KERJA KARENA FORCE MAJEUREKertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2017)

Karinda, Komang Dendi Tri, dan Suatra Putrawan, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA KONTRAK DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA MASA KONTRAK” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 8 (2018)

Viani, Putu Vista, dan Suhirman. “PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TERHADAP TENAGA KERJA KONTRAK SEBELUM BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, no. 5 (2014)

Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723.

Undang-Undang Nomor 24 tahun 20007 Tentang Penanggulangan Bencana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang “Kebijakan  Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk

Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.”

Keputusan Presiden Noomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona virus disease 2019 (COVID 19).

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Kep-150/Men/200 Tentang Penyelesaian Pemutusan hubungan kerja dan Penetapan uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 Tentang Pelindungan Pekerja/buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19

Internet:

Dinas Kesehatan Profinsi Gorontalo.  “https://dinkes.gorontaloprov.go.id/who-

tetapkan-Covid 19-sebagai-pandemi 12 Maret 2020)”

Google          News.          “https://news.google.com/covid19/map?hl=en-

ID&gl=ID&ceid=ID%3Aen”

Merdeka. “Setahun pandemic Covid 19 di Bali (03 Maret 2021) https://www.merdeka.com/peristiwa/setahun-pandemi-Covid     19-di-bali-

jumlah-pekerja-dirumahkan-amp-di-phk-terus-bertambah/ “

kompas.com. “Ada 7 Bantuan Pemerintah Selama Pandemi Covid 19, Berikut

Rinciannya.”                (26                agustus                2020)

“https://nasional.kompas.com/read/2020/08/26/09222471/ada-7-bantuan-

pemerintah-selama-pandemi-Covid 19-berikut-rinciannya?page=all”

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 6 Tahun 2022 hlm 615-627

627