Kedudukan Hukum Anak Angkat Atas Harta Yang Ditinggalkan Orang Tua Angkat Berdasarkan Hukum Perdata
on
KEDUDUKAN HUKUM ANAK ANGKAT ATAS HARTA YANG DITINGGALKAN ORANG TUA ANGKAT BERDASARKAN HUKUM PERDATA
Anak Agung Ngurah Agung Bima Basudewa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan agar kita semua mendapatkan informasi terkait hukum di Indonesia dalam melakukan pengaturan atas hak anak angkat atas kedudukannya dalam mewarisi harta yang ditinggalkan orang yang mengadopsinya. Yuridis Normatif dipilih penulis dalam melakukan penulisan yang mana didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Setelah melakukan penelaahan lebih lanjut dari beberapa aturan hukum yang ada penulis memperoleh hasil bahwa tidak adanya pengaturan secara pasti di dalam KUHPerdata terkait anak angkat memperoleh harta peninggalan dari orangtua angkatnya secara mutlak. Hal tersebut tentu saja menunjukkan bahwa kepastian hukum, rasa keadilan serta perlindungan tidak didapatkan oleh anak angkat dari orang yang telah mengadopsinya atas harta mereka setelah mereka meninggal. Pengertian tentang anak angkat atau anak adopsi sendiri belum diatur oleh KUHPerdata. Di Indonesia kita dapat menemukan pengaturan terkait anak angkat pada Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 perihal proses pengangkatan anak, dimana aturan ini merupakan aturan yang dibuat untuk melengkapi KUHPerdata. Tindakan hukum yang dilakukan oleh suami dan istri untuk meneruskan garis keturunan dalam keluarganya yaitu dengan mengangkat anak secara otomatis memberikan hak kepada anak yang diangkatnya untuk memiliki posisi hukum dengan orang tua yang telah menjadikannya anak. Setiap Orang tua angkat wajib untuk mengusahakan agar pada saat mereka tutup usia, nasib anak yang telah diadopsi tidak mengalami penelantaran. Anak angkat sesungguhnya memiliki posisi setara dengan anak sah. Oleh karenanya anak angkat mempunyai hak juga dalam mendapatkan peninggalan dari orang tua yang telah mengangkatnya sebagaimana diatur dalam aturan hukum positif yang ada atau mendapatkan warisan berdasarkan hukum waris jika orang tua angkatnya membuat surat wasiat yang nantinya di hibahkan.
Kata kunci: Hak Anak, Anak Angkat, Harta Peninggalan
ABSTRACT
This research was conducted so that we all get information related to the law in Indonesia in regulating the rights of an adopted child to his position in inheriting the property left by the person who adopted him. Normative juridical is chosen by the author in doing the writing which is based on the existing laws and regulations. After conducting a further study of several existing legal rules, the author obtained the result that there is no definite regulation in the Civil Code regarding adopted children obtaining inheritance from their adoptive parents in absolute terms. This of course shows that legal certainty, a sense of justice and protection are not obtained by adopted children from people who have adopted them for their property after they die. The definition of an adopted child or adopted child has not yet been regulated by the Civil Code. In Indonesia, we can find arrangements regarding adopted children in the Staatsblad of 1917 Number 129 regarding the process of adopting children, where this rule is a rule made to complement the Civil Code. Legal action taken by husband and wife to continue the lineage in their family, namely by adopting a child automatically entitles the adopted child to have a legal position with
the parents who have made him a child. Every adoptive parent is obliged to make every effort so that when they die, the fate of the adopted child does not experience neglect. Adopted children actually have an equal position with legitimate children. Therefore, adopted children also have the right to obtain inheritance from parents who have adopted them as stipulated in the existing positive law rules or to inherit based on inheritance law if their adoptive parents make a will which will later be granted.
Keywords: children's rights, adopted children, inheritance
Pada dasarnya terkait dengan sejarah perkembangan kehidupan manusia tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri maupun terpisah dari manusia yang lain. Sejak manusia lahir dan/atau telah menjadi sifat dari manusia itu sendiri untuk memiliki keinginan dapat berkumpul atau berinteraksi dengan manusia lainnya.1
Interaksi antara manusia yang satu dan lainnya salah satunya dapat kita lihat dalam suatu hubungan perkawinan. Dalam Perkawinan misalnya yang kemudian pasangan suami istri melahirkan seorang anak tentu akan mengakibatkan adanya suatu peristiwa hukum dimana apabila suami istri ini meninggal maka harta peninggalan atau harta warisan mereka akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Indonesia memiliki hukum waris yang masih bersifat majemuk dimana setiap daerah memiliki pengaturan waris yang berbeda dikarenakan adat dan budaya yang juga berbeda-beda disetiap daerah di Indonesia. Hukum terkait waris yang berdasarkan hukum waris berdasar pada KUHPerdata, Hukum Adat, Hukum Waris yang berdasar pada hukum islam adalah 3 (tiga) sistem aturan hukum yang dimiliki oleh Indonesia saat ini dalam hal kewarisan. Hukum kewarisan yang berbeda-beda ini di Indonesia mengakibatkan kerancuan dan/atau kekacauan atas hukum mana yang dipakai saat menyelesaikan perkara waris apabila muncul konflik diantara ahli waris. Hak dari anak angkat terkait harta yang ditinggalkan oleh orangtua angkat adalah masalah kewarisan yang banyak terjadi dikalangan masyarakat.
Terkait hak mewaris yang muncul setelah orang tua meninggal terdapat perbedaan terhadap jumlah warisan yang didapatkan oleh anak angkat dengan anak kandung. Di Indonesia sendiri di berbagai wilayah daerah, anak angkat memiliki posisi hukum sama dengan anak keturunan sendiri, juga terkait dengan hak dalam mendapatkan warisan dari harta milik orang tua angkat saat mereka telah meninggal dunia, namun kenyataannya anak angkat walaupun proses pengangkatannya sudah secara sah melalui prosedur hukum yang ada masih dirasa belum menjadi keluarga, sehingga mereka sering dianggap tidak memiliki hak atas harta yang ditinggalkan ibu bapak yang telah mengadopsinya.2
Banyaknya peristiwa yang terjadi dimasyarakat dimana anak angkat sering diperlakukan tidak adil terkait masalah waris, jalan keluar yang sering dipilih oleh pewaris adalah dengan membuat surat wasiat untuk menghibahkan hartanya yang mana surat tersebut di buat di hadapan Notaris dengan catatan bahwa surat wasiat hibah yang dibuat tidak akan menimbulkan kerugian bagi para ahli waris yang lain. Banyaknya peristiwa yang terjadi di masyarakat yang mana sering kita temui adanya
masalah yang muncul dikarenakan hak waris terhadap anak angkat, sudah seharusnya perlu kita lakukan kajian lebih dalam lagi terkait penafsiran terhadap hukum perdata terkait aturan hak waris terhadap anak angkat. Hukum wajib untuk dapat memberi kepastian untuk mereka yang sedang mencari keadilan termasuk juga didalamnya hak dari anak angkat. Apabila kita liat yang sering terjadi dilapangan, banyak anak angkat yang sangat perhatian kepada orangtua angkatnya dibandingkan dengan anak kandung dari si pewaris itu sendiri, serta banyaknya orang tua angkat yang juga jauh lebih sayang kepada anak angkatnya. Oleh karena itu hukum haruslah menciptakan rasa keadilan yang juga melihat dari sisi kemanusiaan.
Topik permasalahan hukum terkait hak anak angkat dalam mewaris harta peninggalan orang tua angkatnya adalah topik yang menarik untuk dibahas mengingat Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam adat budaya selain juga diatur oleh hukum psitif yang ada. Terdapat beberapa jurnal yang membahas permasalahan yang sama seperti yang dibahas oleh penulis. Dua diantaranya yaitu jurnal yang berjudul Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Perdata (Analisis Komparitif) yang ditulis oleh Muhammad Rais Hakim Pengadilan Agama Sintang Kalimantan Barat (Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016 : 183 – 200) dan jurnal berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Angkat di Indonesia yang di tulis oleh Lisa Carterina Kunadi Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (Jurnal Privat Law Vol. VIII No. 2 Juli – Desember 2020). Dalam Dua jurnal tersebut walaupun dari judul sedikit berbeda namun keduanya membahas perihal kedudukan hak anak angkat dalam mewaris dari segi hukum adat, agama islam, dan hukum perdata dimana kita ketahui di Indonesia terkait permasalahan waris banyak sekali aturan hukum yang digunakan untuk mengaturnya mengingat kemajemukan yang ada di Indonesia. Sedangkan jurnal yang ditulis oleh penulis hanya akan merujuk pada hukum perdata saja. Karena menurut penulis walaupun kemajemukan yang ada baik dari segi agama, adat tetap Indonesia harus memiliki satu aturan yang berlaku secara nasional untuk mengatur hak anak angkat dalam mewarisi harta peninggalan dari orangtua angkatnya.
Adopsi anak yang dilakukan oleh suami serta istrinya memunculkan akibat hukum untuk kedua belah pihak. Munculnya akibat hukum atas peristiwa pengangkatan anak tentu saja harus diterima termasuk apabila akibat yang muncul merugikan. Hak mewaris, hak pemeliharaan, pemberian nama keluarga serta hal-hal lainnya yang mungkin muncul dikemudian hari adalah akibat hukum yang akan muncul dari proses pengangkatan anak ini.
Pengangkatan anak menurut pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Namun pasal ini hanya mengatur terkait prosedur dan tatacara dalam melakukan pengangkatan anak.3
Terkait pengangkatan anak telah dijelaskan diawal bahwa KUHPerdata tidak mengatur. Didalam KUHPerdata pada Pasal 280 sampai 289 hanyalah terkait anak yang lahir di luar perkawinan. Dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata tidak mengatur dengan jelas terkait pengangkatan anak.
Tidak ada istilah adopsi dalam KUHPerdata. Pengaturan Anak Angkat hanya terdapat pada Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 Tentang Pengangkatan Anak. Aturan ini melengkapi KUHPerdata sebab sebelumnya terdapat kekosongan hukum terkait permasalahan tersebut.
Setelah penulis menguraikan masalah sebagaimana yang telah dituliskan diatas, dapat kita lihat bahwa Negara Indonesia tidak mengatur secara jelas terkait hak keperdataan terlebih hak dari anak angkat untuk dapat mewarisi harta yang telah ditinggalkan oleh orangtua angkatnya setelah kematian mereka. Padahal seharusnya hukum di bentuk dan ciptakan untuk memberikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tentunya terkait anak angkat pun juga memiliki hak untuk diperhatikan pula terkait kewenangan untuk mendapatkan harta kekayaan bapak ibu angkatnya saat mereka meninggal. Maka artikel ini menarik untuk dibahas dan di dalami pada penulisan yang berjudul “Kedudukan Hukum Anak Angkat Atas Harta Yang Ditinggalkan Orang Tua Angkat Berdasarkan Hukum Perdata”.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat ditemukan permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ini sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah KUHPerdata mengatur kedudukan anak angkat?
-
2. Bagaimanakah KUHPerdata memberikan kepastian kepada anak yang telah diangkat terhadap harta yang dimiliki oleh bapak ibu angkatnya?
Penulisan jurnal ilmiah ini bertujuan agar dapat kita ketahui seperti apa sebenarnya anak angkat memiliki posisi dikeluarganya terkait warisan yang ditinggalkan oleh bapak dan ibu angkatnya sesuai hukum di Indonesia.
Penulis menggunakan penelitian normatif dalam penulisan jurnal ilmiah ini dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan yaitu menghimpun materi hukum dari buku-buku hukum, perundang-undangan, makalah, jurnal, dan segala hal yang ada kaitannya dengan judul serta rumusan masalah yang penulis angkat. Sedangkan untuk teknik analisis atas bahan hukum yang diperoleh penulis, penulis memakai analisis kualitatif yaitu dengan menelaah sumber-sumber kepustakaan yang diperoleh oleh penulis untuk kemudian dianalisis dan dikaitkan dengan rumusan masalah pada penulisan ini.
Tuhan memberikan Amanah melalui seorang anak untuk pasangan suami dan istri agar dapat menjadi generasi penerus dalam keluarga pada khususnya dan bangsa serta negara pada umumnya. Negara memberikan perlindungan kepada anak dan hal tersebut telah diatur dalam hukum di Indonesia. Hukum mengatur bahwa setiap anak harus bertumbuh dan berkembang dengan baik bahkan sejak mereka masih berada didalam kandungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia adalah subyek hukum
tidak memandang apakah mereka sudah dewasa ataupun masih anak-anak bahkan masih didalam kandungan.
Keberadaan seorang anak adalah menjadi hal yang paling didambakan oleh banyak orang. Anak menjadi penerus garis keturunan keluarga dan sebagai harapan bagi orang tua mereka disaat tua. Keluarga akan terasa sempurna apabila didalamnya tersusun atas ayah, ibu dan anak-anak mereka. Tetapi ada kalanya beberapa orang tidak dapat memiliki keluarga yang sempurna karena belum diberikan anugerah oleh Tuhan yaitu berupa anak. Biasanya terhadap keluarga seperti ini mereka memilih untuk melakukan adopsi dimana proses adopsi anak sendiri harus dilakukan berdasarkan peraturan hukum yang ada.4
Istilah kata adopsi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “Adoption” yang artinya adalah mengangkat atau pengangkatan anak. Sedangkan dalam hukum adat yang ada di Indonesia memberikan istilah yang berbeda sesuai dengan pluralistis hukum adat yang berlaku di daerah di Indonesia. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adopsi diartikan sebagai anak angkat yaitu anak orang lain yang dipersamakan dengan anak sendiri.5
Istilah mengangkat atau adopsi anak tidak dikenal dalam KUHPerdata, hanya anak luar kawin yang diatur oleh KUHPerdata sebagaimana dalam Pasal 280 s.d. 290 KUHPerdata. Dapat dikatakan bahwa KUHPerdata tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak, sebab bila kita melihat KUHPerdata adalah produk hukum yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Belanda sendiri memang tidak mengatur perihal adopsi.6
Pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan Staatblaad 1917 No. 129 dikarenakan KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak dan ketentuan ini hanyalah pelengkap bagi KUHPerdata serta pada saat itu hanya berlaku bagi warga keturunan Tionghoa. Staatblaad 1917 No. 129 memberikan kejelasan tentang kedudukan atas anak yang didapatkan melewati proses adopsi bukanlah merupakan anak angkat, namun merupakan anak resmi. Akibat yang dimunculkan dari peristiwa pengangkatan anak yaitu terkait hubungan yang ada diantara anak angkat bersama keluarganya yaitu bapak dan ibu biologinya menjadi terputus yang menyebabkan si anak cuma memiliki hubungan waris dengan orang tua angkatnya.7
Anak angkat dikelompokkan menjadi dua hal yang berbeda yaitu anak yang hanya diakui serta yang sah secara hukum. Hal ini telah diatur tersendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu pada Bab II staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Dimana dalam peraturan tersebut ditulis ketentuan bahwa segala keadaan hukum yang dapat berdampak pada posisi secara hukum seseorang diharuskan untuk dituliskan pada register yang telah disediakan terkait hal tersebut. Sehingga terkait permasalahan pengangkatan anak setelah mendapatkan keputusan dari Majelis Hakim di Pengadilan agar segera setelahnya didalam akta kelahiran si anak harus
ditambahkan informasi terkait anak tersebut yang telah dilakukan pengangkatan secara sah dengan menyebutkan nama dari orangtua angkatnya.
Ketentuan Pasaal 14 yang terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 peristiwa penetapan posisi anak menjadi anak adopsi juga secara otomatis menyebabkan hubungan anak dengan bapak dan ibu kandungnya putus. Dengan memakai prosedur penetapan anak sah di Pengadilan maka bapak dan ibu angkat serta anak angkat memiliki suatu ikatan keluarga layaknya seorang anak dengan orangtua biologisnya. Karena hal tersebutlah anak angkat juga menggunakan nama keluarga dari orangtua angkatnya. Dengan adanya hubungan hukum tersebut sudah jelas mengakibatkan anak angkat memiliki hak untuk mewarisi harta peninggalan dari bapak dan ibu angkatnya berdasarkan legitieme portie atas segala kekayaan warisan serta sah serta mutlak menjadi penerima warisan sebagaimana ketentuan Pasal 852 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 852 yang disebutkan didalam KUHPerdata diatur hak perihal mendapatkan harta waris seorang anak yang telah diangkat yang mana berdasarkan hukum sudah sah di akui meskipun tidak bersumber pada testament tertulis.8
Pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 menerangkan jika proses penetapan seorang anak menjadi anak adopsi diperbolehkan dilakukan semata-mata adalah karena dianggap sebagai yang terbaik untuk anak tersebut. Dimana prosesnya sendiri wajib berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan adat istiadat setempat.
Telah disebutkan dalam Pasal 1 angka (2) PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Perlindungan Anak bahwa proses pengangkatan anak merupakan peristiwa hukum yang dapat merubah posisi anak dari bapak ibu kandungnya atau wali yang sah atas tanggung jawab terkait perawatan membesarkan anak tersebut serta pendidikannya untuk beralih kepada bapak ibu yang mengangkatnya.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur berkaitan dengan anak angkat. Pada peraturan tersebut ditetapkan bahwa adanya putusan pengadilan menjadi dasar penetapan yang ketat yang bertujuan menjamin kepastian hukum yang bermuara pada tercapainya ketertiban dan keadilan dimasyarakat.9
Dengan demikian peristiwa pengangkatan anak tidaklah diatur dalam KUHPerdata namun diatur dalam staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Tentang Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak agar mendapatkan status sah secara hukum haruslah dilakukan melalui proses penetapan pengadilan negeri setempat untuk mendapatkan putusan pengadilan yang mana prosedur dan/atau tatacara pengangkatan anak sudah diatur lebih lanjut dalam peraturan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Hal tersebut dilakukan juga untuk melindungi hak-hak keperdataannya sehingga anak yang telah diangkat menjadi anak sah bagi orang tua angkatnya sama seperti halnya anak biologis untuk kemudian dapat menjadi salah satu orang yang berhak mendapat warisan dari bapak dan ibu angkatnya.
-
3.2. Kepastian Hukum Hak Mewaris Anak Angkat Atas Harta Yang Ditinggalkan Orang Tua Angkatnya Berdasarkan Hukum Perdata Indonesia
Ketika perkawinan yang dilakukan sah secara hukum dan salah satu dari pasangan suami istri ini meninggal dunia maka munculah suatu peristiwa hukum yaitu salah satunya adalah terkait warisan harta perwinan tersebut. Terkait hal tersebut tentu saja diperlukan suatu sistem agar dapat melakukan pembagian atas harta peninggalan pada kerabatnya yang masih ada. Yang dimaksud dengan harta peninggalan terkait hal ini merupakan kekayaan baik berupa benda milik pewaris maupun hutang yang ditinggalkan oleh si pewaris.
Hukum waris diatur dan menjadi bagian dalam hukum perdata. Hal tersebut dikarenakan hukum waris memiliki kaitan yang erat dalam kehidupan setiap manusia, hal ini disebabkan karena manusia tentu saja dalam hidupnya akan mengalami kematian. Kematian menyebabkan suatu resiko secara hukum atas keberlangsungan dari hak serta kewajiban yang masih dimiliki oleh orang yang telah tutup usia tersebut. Upaya dan proses terhadap penyelesaian atas kewajiban serta hak orang tersebut diatur didalam hukum waris.10
Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan jika peristiwa pewarisan cuma dapat terjadi dikarenakan seseorang telah tutup usia. Sehingga harta yang ditinggalkan oleh si pewaris mulai dikatakan terbuka bila sipewaris telah tutup usia dan yang menjadi penerus dari kekayaan yang ada masih ada saat hal tersebut terjadi. Di Indonesia sendiri hukum waris yang dipergunakan oleh penduduk di Indonesia yaitu berikut ini:
-
1. Hukum adat bagi penduduk asli Indoneasia dimana setiap daerah memiliki perbedaan serta masih memiliki kaitan dengan 3 (tiga) sifat kekeluargaan di Indonesia diantaranya kebapakan, keibuan dan kebapak-ibuan.
-
2. Hukum islam yang memiliki beberapa pengaruh bagi Sebagian besar masyarakat Indonesia di banyak wilayah.
-
3. Hukum waris yang dimiliki oleh agama Islam pada umumnya dipakai orang dari Arab.
-
4. Hukum waris bagi warga tionghoa yang diatur didalam BW yaitu didalam Pasal 830 hingga 1130.
Burgerlijk Wetboek (BW) berisi aturan hukum Eropa. Aturan tersebut dibuat untuk mengatur terkait aset seseorang saat mereka telah tutup usia, dalam hal ini terkait proses peralihan harta benda yang dimiliki seseorang setelah mereka tutup usia. Serta akibat yang ditimbulkan atas terjadinya pemindahan harta tersebut bagi yang mewarisi termasuk dengan pihak ketiga. Kekayaan ialah sejumlah aset yang dimiliki oleh mereka yang telah tutup usia termasuk juga didalamnya utang piutang.
Sistem pewarisan yang diatur dalam Hukum Perdata di Indonesia mempunyai unsur-unsur yaitu:
-
1. terdapat aset yang ditinggalkan oleh orang yang tutup usia (erflater), dimana kemudian orang tersebut disebut sebagai pewaris.
-
2. Terdapat orang yang mewaris (erfgenaam), yaitu orang yang secara sah berdasarkan peraturan hukum yang ada dimana mereka berhak mendapatkan warisan dari si pewaris. Dalam KUHPerdata terdapat ada 4 golongan yang termasuk ahli waris, yaitu:
-
a. Golongan satu dimana terdiri dari suami dan/atau isteri yang masih hidup terlama serta anak-anak mereka selama pernikahan mereka.
-
b. Golongan Kedua yang terdiri dari orang tua serta saudara sedarah dari seseorang yang telah tutup usia dan mereka masih hidup saat hal tersebut terjadi.
-
c. Golongan ketiga yang terdiri atas keluarga dalam garis lurus keatas setelah bapak dan ibu dari seseorang yang meninggal dunia.
-
d. Golongan keempat adalah paman dan bibi dari seseorang yang meninggal dunia baik itu dari pihak bapak maupun phak si ibu. Keturunan dari paman dan bibi hingga derajat keenam dihitung dari orang yang tutup usia tersebut, saudara dari kakek dan nenek serta keturunan mereka sampai derajat keenam dihitung dari yang telah tutup usia.
Ahli waris dapat mewarisi kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dibagi menjadi 2 sebagaimana yang telah diatur dalam KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
-
1. Berdasarkan Undang-Undang ada yang disebut dengan ahli waris kedudukan sendiri dan ahli waris penggantian.
-
2. Berdasarkan surat wasiat yaitu ahli waris yang secara lansung sudah ditunjuk oleh seseorang yang telah tutup usia tersebut didalam surat wasiat yang telah dibuatnya sebelumnya.11
Seseorang juga dapat dikatakan tidak pantas untuk menjadi seseorang yang berhak menerima warisan berdasarkan KUHPerdata. Pasal 838 memberi penjelasan terkait siapa yang memiliki hak untuk menjadi ahli waris karena diangggap tidak patut dan disingkirkan sebagai ahli waris yaitu :
-
1. Seseorang yang telah membunuh atau berusaha untuk membunuh si pewaris dan karena perbuatannya tersebut dia telah dihukum penjara.
-
2. Seseorang yang karena perbuatannya telah memfitnah atau mengadukan si pewaris dan karena hal tersebut ia dihukum selama 5 tahun atau lebih oleh pengadilan.
-
3. Seseorang yang melakukan kekerasan terhadap si pewaris dimana mencegah ia untuk membuat atau menmbatalkan surat wasiatnya.
-
4. Seseorang yang berusaha untuk menggelapkan, memalsukan atau merusak surat wasiat yang yang meninggal dunia.
Orang hanya dapat menjadi menjadi ahli waris hanya apabila mereka memiliki hubungan darah dan terikat oleh perkawinan sebagaimana yang telah diatur didalam hukum waris di Indonesia. Sedangkan terkait hal tersebut anak yang sacara hukum telah di angkat tidak mempunyai hubungan tersebut dengan bapak ibu yang mengangkatnya. Namun pada paasal 12 Staatsblad No 129 Tahun 1917 memberikan pengaturan sehingga posisi dari anak adopsi itu sama dengan anak sah dari perkawinan bapak dan ibu angkatnya. Dengan demikian dapat dikatakan berkaitan
dengan hak dari anak yang di adopsi dalam mewarisi harta yang ditinggalkan oleh bapak dan ibu ankatnya mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah.12
Pada dasarnya pemahaman perihal pewarisan terhadap anak yang telah diadopsi itu bergantung pada hukum kewarisan yang dipakai oleh bapak ibu angkatnya. Yang terpenting dengan kaitan waris ini adalah bapak dan ibu angkat wajib untuk mengupayakan sekaligus memastikan bahwa setelah mereka meninggal kehidupan anak yang mereka angkat tidak terlantar. Oleh karenanya terkait prakteknya banyak bapak dan ibu angkat yang memberi bekal hidup anak yang mereka angkat dengan jalan menggunakan wasiat.
Ketika Anak angkat menjadi seorang ahli waris sangat sering menimbulkan konflik dalam ikatan antara bapak dan ibu angkat diengan si anak. Banyak permasalahan muncul dikarenakan adanya perebutan warisan dimana syarat atau aturan yang dibuat orang tua angkatnya dengan menambahkan ancaman tidak akan memperoleh warisan di dalam aturan tersebut yang membuat anak angkat tersebut merasa tidak nyaman. Hal tersebut membuat hukum harus bertindak di dalamnya dengan tujuan membagi harta warisan secara adil.13
Hak mewaris yang diberikan oleh bapak dan ibu angkat kepada anak yang telah angkatnya jangan sampai merugikan ahli waris yang lain. Anak angkat yang dapat mewaris adalah yang telah secara sah berdasarkan hukum diangkat sebagai anak melalui pengadilan. Sedangkan untuk Anak yang proses pengangkatannya hanya dilakukan secara lisan tidak mendapatkan hak untuk dapat mewaris dari orang yang mengangkatnya namun mereka diperbolehkan untuk menerima wasiat berupa hibah yang mana hal tersebut tidak boleh menyimpang dan atau melebihi dari bagian mutlak anak angkat tersebut (Ligitime portie).
Berkaitan dengan hak mewaris yang didapatkan oleh anak angkat, mereka berhak mendapat jumlah harta yang diwariskan bapak dan ibu angkatnya adalah sama dengan anak kandung. Namun seringkali hal tersebut terkendala dengan aturan hukum orang tua angkatnya, sehingga untuk memastikan anak angkatnya tidak terlantar orangtua angkat dapat membuat surat wasiat (testamen) yang pembuatan dari surat tersebut harus di hadapan Notaris dengan catatan tidak memberikan atau menimbulkan kerugian bagi ahli waris yang lainnya.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari peristiwa adopsi anak menurut Staaatsblad No 129 Tahun 1917 yaitu:
-
1. Pasal 11 menerangkan jika pengangkatan anak memberikan akibat hukum yaitu kepada anak yang diangkat memperoleh nama marga dari ayah angkatnya dalam hal marganya berbeda dari marga orang yang diangkat sebagai anak.
-
2. Pasal 12 ayat (1) menerangkatan jika sepasang suami istri mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya, maka status dari anak tersebut diartikan sama dengan anak yang lahir dari perkawinan mereka.
-
3. Pasal 14 menerangkan bahwa karena proses mengangkat anak membuat putus hubungan secara perdata terutama yang berkaitan dengan garis keturunan antara bapak dan ibu kandung dan saudara sedarah dan dari garis ke samping dengan orang yang diangkat.
Proses mengangkat anak dalam kenyataannya menimbulkan suatu akibat hukum, dan berikut merupakan akibat hukum yang ditimbulkan :
-
1. Hubungan darah diantara si anak dengan orang tua kandungnya tidak dapat diputus walaupun proses pengangkatan anak terjadi.
-
2. Hak mewaris oleh anak adopsi hanya.lah dengan bapak ibu yang mengangkatnya sedangkan dengan bapak ibu kandungnya hak tersebut telah terputus.
-
3. Sejak saat putusan pengadilan diumumkan terkait proses pengangkatan anak, sejak saat itu hubungan perwalian anak hanya terhadap orang tua angkatnya saja. Segala hal terkait hak serta kewajiban yang muncul hanya antara si anak dengan orang tua angkatnya.
-
4. Setelah adalanya putusan dari pengadilan maka anak angkat hanya akan mendapatkan nama marga, kedudukan adat, gelar dan lainnya dari orangtua angkatnya saja.14
Proses sahnya pengangkatan anak secara hukum berdasarkan atas penetapan pengadilan. Yahya Harahap menerangkan bahwa penetapan pengadilan adalah putusan yang berisi tentang pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan yang dituangkan dalam bentuk penetapan.15
Anak angkat menjadi anak sah karena dapat dipersamakan bahwa dia adalah anak yang dilahirkan berasal dari perkawinan antara pasangan yang telah mengangkatnya, oleh karena itu anak angkat memiliki kedudukan sebagai anak sah. Peristiwa adopsi membuat hubungan antara anak dengan keluarga kandungnya menjadi putus kemudian muncullah hubungan dengan keluarga yang mengangkatnya. Akibat paling nyata adalah terkait waris dimana anak yang telah diadopsi tidak lagi mendapatkan warisan dari keluarga sedarah namun dari bapak dan ibu yang telah mengangkatnya.
-
IV. Kesimpulan
Pengaturan terkait anak angkat di Indonesia dapat dilihat pada Staatsblad No 129 Tahun 1917 yang mengatur perihal hal-hal terkait pengangkatan anak dimana aturan tersebut melengkapi KUHPerdata terkait anak angkat. Bahwa anak angkat dikatakan sah berdasarkan putusan penetapan pengadilan sehingga mereka berhak untuk mendapatkan warisan yang sama seperti anak sah atas harta peninggalan dari orangtua angkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Ardiyati, Ghina Kartika. "Tinjauan Yuridis Pengangkatan Anak Terhadap Bagian Waris Anak Angkat Menurut Ketentuan Hukum Positif Indonesia." Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa Universitas Jember, (2014).
Al-Ghazali, Muhammad. "Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam." Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan Peradilan 1, no. 1 (2016).
Amir, Muhammad Fardha. "Kedudukan Anak Diluar Nikah Dalam Hak Mewarisi Ditinjau Dari Hukum Adat Gorontalo." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum (2016).
Fauzi, Mohammad Yasir. "Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia." Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 9, no. 2 (2016).
Ghifari, Angga Aidry, and I. Gede Yusa. "Pengaturan Pengangkatan Anak (Adopsi) Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Hukum Kertha Negara, Vol. 8 No. 2 (2020).
Heriawan, Muhammad. "Pengangkatan Anak Secara Langsung Dalam Perspektif Perlindungan Anak." Katalogis 5, no. 5 (2017).
Hasanah, Ulfia, Maryati Bachtiar, and Feby Savira Rangkuti. "Kedudukan Anak Adopsi Ditinjau dari Hak Pewarisan di Indonesia." PhD diss., Riau University, (2015).
Pudihang, Regynald. "Kedudukan Hukum Hak Waris Anak Angkat Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata." Lex Privatum 3, no. 3 (2015).
Rais, Muhammad. "Kedudukan Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum 14, no. 2 (2016).
Susiana, Susiana. "Hak Anak Angkat terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat menurut Hukum Islam." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 13, no. 3 (2011).
Buku
CST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2018).
Melia S Djaja, Pengangkatan Anak (Adopsi), (Bandung, CV. Nuansa Aulia, 2016).
Muhammad Fauzan & Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Depok, PT. Raja Grafindo Persada, 2017).
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2017).
Sumber Internet
Warisan Anak Angkat Dalam Hukum Perdata, (2020), http:// https://www.muisumut.com/blog/2020/07/08/warisan-anak-angkat-dalam-hukum-perdata/, diakses tanggal 18 April 2021.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie, Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847.
StaatsbladTahun 1917 Nomor 129 Tahun 1917 Tentang Pengangkatan Anak
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 11 Tahun 2021, hlm.938-948
948
Discussion and feedback