PENGATURAN SANKSI TERHADAP KELALAIAN PENERIMA FIDUSIA DALAM HAL PENGHAPUSAN JAMINAN FIDUSIA

Gede Aditya Saputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini memiliki tujuan untuk memberi pemahaman tentang pengaturan jaminan fidusia di Indonesia serta untuk mengetahui pengaturan sanksi terhadap kelalaian penerima fidusia dalam hal penghapusan jaminan fidusia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mempergunakan penelitian hukum dengan jenis yuridis normatif, dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan untuk menganalisis permasalahan hukum dalam penelitian ini. Hasil dari studi ini menemukan jika Pengaturan terkait Jaminan Fidusia hingga saat ini baik UU Jaminan Fidusia maupun PP No. 21/2015 belum mengatur secara khusus terkait sanksi apabila pihak yang menerima fidusia tidak menghapus jaminan fidusia padahal utang dari pihak yang memberi fidusia telah lunas. Hal ini tentu menyebabkan kerugian untuk pemberi fidusia. Selain itu UU Jaminan Fidusia yang sudah berlaku selama 22 tahun namun hingga saat ini belum dilakukan revisi satu kalipun. Padahal perkembangan bisnis di Indonesia berkembang secara dinamis.

Kata Kunci: Sanksi, Penerima Fidusia, Jaminan Fidusia.

ABSTRACT

This article aims to provide an understanding of the arrangement of fiduciary guarantees in Indonesia as well as to determine the setting of sanctions for negligence of fiduciary recipients in the case of the abolition of fiduciary guarantees. The method used in this study uses legal research with a normative juridical type, using a statutory approach to analyze legal issues in this study. The results of this study found that regulations related to Fiduciary Security to date, both the Fiduciary Guarantee Law and Government Regulation No. 21/2015 has not specifically regulated sanctions if the party receiving the fiduciary does not remove the fiduciary guarantee even though the debt of the party providing the fiduciary has been paid off. This of course causes losses for the fiduciary giver. In addition, the Fiduciary Guarantee Law, which has been in effect for 22 years, has not yet been revised once. Whereas business development in Indonesia is developing dynamically.

Key Words: Sanctions, Creditors, Fiduciary Guarantee.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Arus globalisasi berkembang begitu pesat, tak terkecuali kebutuhan seluruh masyarakat yang semakin bertambah seiring perkembangan zaman untuk memenuhi kebutuhannya dalam segala hal, namun pada faktanya masyarakat sendiri masih sulit terkendala dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perkembangan ekonomi yang

begitu pesat ini pula yang sangat berbanding dengan pendapatan masyarakat dalam memenuhi seluruh kebutuhannya.1

Fiduciaire Eigendom Overdracht atau FEO atau yang dikenal pula dengan sebutan jaminan fidusia adalah proses masyarakat yang menggunakan benda bergerak untuk dijaminkan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit yang mereka perlukan. Pada awalnya, lembaga penjaminan barang hanya mengakui jaminan gadai, yang mensyaratkan jika barang yang digadai wajib dimiliki atau dilakukan penguasaan oleh pihak yang menerima gadai ataupun oleh pihak ketiga dan kemudian dilakukan penyerahan dalam penguasaan pemegang gadai ataupun penguasaan pihak ketiga. Kekuasaan benda gadai akan berpindah pada pihak yang memegang gadai yang wajib menjadi benda yang digadaikan, karena jika benda gadai itu berpidah dan berada di luar kekuasaan pihak yang memegang gadai (karena kehendak pihak yang memegang gadai), maka gadai tersebut dianggap menjadi tidak valid.

Jaminan tentang fidusia diatur melalui Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU jaminan Fidusia), adanya UU jaminan fidusia, pengikatan jaminan utang harus selalu mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam UU jaminan Fidusia membahas mengenai kewajiban dalam didaftarkannya jaminan fidusia guna memberi hukum yang pasti untuk masing-masing pihak yang berkaitan serta hak-hak yang diutamakan atau didahulukan terhadap pemegang fidusia dan kepada kreditor lain diberikan pada pendaftaran jaminan fidusia lain.

Pada pelaksanaanya kesehariannya, karena adanya penyerahan hak milik dari pihak yang memberi fidusia terhadap pihak yang menerima fidusia pada saat bersamaan, maka jaminan fidusia lebih digemari oleh kalangan masyarakat luas, dimana penerima fidusia bisa menggunakan barang tersebut karena fisik dari benda tersebut ada di tangan penerima fidusia. Penyerahan fisik jaminan fidusia ini dikenal pula sebagai penyerahan hak milik secara constitutum possesorium. UU jaminan fidusia menetapkan bahwa tanggung jawab pemberian fidusia atau pembebanan fidusia itu harus dilakukan melalui akta notaris, dan kemudian dilakukan registrasi sesuai dengan pasal 11 hingga pasal 18 UU jaminan fidusia.

PP No. 86 tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia telah mengatur pendaftaran fidusia dengan manual, akan tetapi melalui pasal 22 peraturan pemerintah No.21 tahun 2015 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta fidusia (PP. No. 21/2015) peraturan tersebut telah dicabut digantikan dengan surat edaran berdasarkan keputusan direktorat jendral administrasi hukum umum tanggal 5 maret 2013 yakni surat edaran dirjen direktorat jendral administrasi hukum umum nomor AHU-06.OT.03.01 tahun 2013.

Dalam hal pendaftaran jaminan fidusia masih dengan menggunakan cara manual melalui pengiriman permohonan ke kantor pendaftaran fidusia dan penghapusannya dilakukan dengan elektronik. Untuk mencapai ketertiban administrasi berkaitan dengan status benda objek jaminan fidusia yang awalnya terlah dilaksanakan registrasi merupakan tujuan dari penghapusan jaminan fidusia, oleh karena dilakukannya hal tersebut benda itu sudah tidak lagi menjadi objek jaminan untuk suatu hutang serta sertipikat jaminan fidusia tersebut tidak berlaku.

Sanksi tegas bagi pihak yang menerima fidusia, wakil ataupun kuasa jika tidak melaksanakan kewajiban tidak diatur pada PP No. 21/2015 hal tersebut menjadikan pihak yang menerima fidusia yang lalai, tidak tahu dengan terdapatnya kewajiban itu ataupun dikarenakan kesengajaan enggan melakukan pelaksanaan dihapuskannya jaminan fidusia. Sebagai contoh yang dapat diambil adalah saat pemberi fidusia sudah mengakhiri tanggung jawab utang kepada penerima fidusia, dan seterusnya penerima fidusia harus melapor pada menteri di bidang hukum serta HAM (bisa dilaksanakan secara elektronik), hal ini bertujuan supaya jaminan fidusia itu dihapuskan

Kenyataannya Penerima Fidusia sebagai yang memikul tugas, acap kali tidak melaksanakan tugasnya. Biasanya penerima fidusia hanya melakukan pengembalian bukti kepemilikan barang yang dijaminkan beserta surat pernyataan pelunasan untuk bukti jika utang debitur sudah lunas, namun tidak ada bukti surat keterangan telah dihapuskannya jaminan fidusia. Oleh karena itu penting kiranya membahas mengenai pengaturan sanksi terhadap kelalaian penerima fidusia dalam hal penghapusan jaminan fidusia.

Penelitian ini adalah karya ilmiah asli yang memiliki harapan untuk bisa memberikan kontribusi serta memberikan peran pada peningkatan ataupun proses berkembangnya ilmu pengetahuan. Beberapa studi terdahulu yang telah mengkaji jaminan fidusia diantaranya pertama, ditemukan pada Jurnal Acta Comitas Universitas Udayana berjudul Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Sistem Online2 yang menjelaskan mengenai tidak diaturnya pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik dan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam UU Fidusia serta akibat hukum dari perjanjian jaminan fidusia yang tidak terdaftarkan dalam sistem online. Kedua, ditemukan pada Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i berjudul Aspek Hukum Jaminan Fidusia3 yang memaparkan terkait aspek-aspek hukum dalam jaminan fidusia. Ketiga yaitu Jurnal Supremasi Universitas Negeri Makassar berjudul Kedudukan Jaminan Fidusia Serta Perlindungan Hukum Bagi Lembaga Pembiayaan Konsumen4 yang membahas mengenai kedudukan jaminan fidusia terhadap Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia serta perlindungan hukum bagi Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia. Dari ketiga penelitian tersebut terlihat jelas perbedaan dengan penelitian ini yang menganalisis tentang pengaturan sanksi apabila pihak yang menerima fidusia tidak menghapus jaminan fidusia padahal utang dari pihak yang memberi fidusia telah lunas. Dengan demikian, penelitian ini memiliki keaslian sebagai karya tulis ilmiah.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, artikel ini akan memberikan pembahasan terkait hal-hal meliputi:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan jaminan fidusia di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah pengaturan sanksi terhadap kelalaian penerima fidusia dalam hal penghapusan jaminan fidusia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan antara lain untuk memberi pemahaman tentang pengaturan jaminan fidusia di Indonesia dan juga untuk mengetahui pengaturan sanksi terhadap kelalaian penerima fidusia dalam hal penghapusan jaminan fidusia.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel ini mempergunakan jenis penelitian yuridis normatif. Artikel ini adalah penelitian yuridis normatif mengenai pengaturan sanksi terhadap kelalaian penerima fidusia dalam hal penghapusan jaminan fidusia. Suatu penelitian hukum yuridis normatif dapat pula dikatakan sebagai suatu prosedur penelitian yang menggunakan logika ilmu hukum dari sudut pandang normatif untuk menemukan kebenaran, hal tersebut kemudian mampu menjelaskan pengaturan sanksi terhadap kelalaian penerima fidusia dalam hal penghapusan jaminan fidusia.5 Penelitian ini mempergunakan statute approach (pendekatan peraturan perundang-undangan) dalam mengkaji permasalahan pada penelitian ini. Penelitian isu hukum ini menggunakan sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier. Penelitian ini mempunyai sifat deskriptif analisis yakni memberikan gambaran tentang masalah yang dibahas artikel ini dan melaksanakan analisis pada peraturan hukum yang memiliki keterkaitan untuk memberi jawaban atas masalah yang telah dilakukan perumusan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1 . Pengaturan Jaminan Fidusia di Indonesia

Jaminan hak milik dengan cara rasa percaya atau Fiduciare Eigendomsoverdracht merupakan suatu jaminan atas benda-benda bergerak selain gadai yang memiliki dasar hukum yurisprudensi. Hak milik dan penguasaan barang dalam fidusia yang menjadi jaminan dan diserahkan ke kreditor ialah hak milik, hal tersebut merupakan perbedaan fidusia dan gadai.6 sedangkan barang tetap dikuasai kreditor, hal tersebut berbanding terbalik dengan gadai.

Dari definisi diatas memperlihatkan bahwa jaminan fidusia beda dengan fidusia, dimana jaminan fidusia merupakan pemberian jaminan berbentuk fidusia, disisi lain fidusia sendiri adalah suatu proses pengalihan kepemilikan hak serta. Oleh sebab itu dalam Undang-undang yang melakukan pengaturan Jaminan Fidusia tersebut merupakan jaminan fidusia yang diatur seperti yang terdapat pada “fiducia cum creditore contract”, yakni pembebanan jaminan untuk suatu benda bergerak secara fidusia dimana pemberi jaminan dengan kepercayaan merupakan bagian dari hal tersebut, UU jaminan Fidusia lebih mengedepankan jaminan fidusia dibanding arti dari fidusia, hal tersebut yang berdasar pada UU jaminan Fidusia yang menjadi dasar pembuatan perjanjian fidusia merupakan tumpuan unsur yang saling membantu dengan itikad baik masing-masing pihak yang menjadi proses dari hubungan hukum didalam suatu dunia usaha.7 Hal itu terlihat adalah adanya suatu konsep dimana

jaminan dan fidusia dalam suatu proses Jaminan Fidusia, dari dulu hingga saat ini memiliki suatu kekhasan, dimana penerima fidusia tidak menguasai benda jaminan.8

Pada dasarnya dalam UU Jaminan Fidusia telah mengatur jaminan fidusia. Praktek fidusia telah lama berjalan di Indonesia. Tetapi hanya pada tataran yurisprudensi eksistensinya di masa lalu. Untuk itu, dibentuklah UU Jaminan Fidusia oleh pemerintah. Penjelasan UU Jaminan Fidusia angka 3 agar penerima fidusia mendapat kepastian hukum begitu juga dengan pemberi fidusia, dimana jika diuraikan UU Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk melakukan pemberian kepastian hukum pada seluruh pihak yang memiliki keperluan dimana pengaturan jaminan fidusia yakni salah satu sarana untuk menampung kebutuhan masyarakat, dengan begitu untuk membantu kegiatan usaha juga.

Fidusiapun mengalami pertumbuhan, karena dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda dari pengecer, para pengusaha kecil, pedagang menengah , dan juga pedagang partai grosiran yang membutuhkan fasilitas kredit bagi usahanya. Utamanya setelah perang dunia pertama untuk keperluan menjalankan serta menghidupkan usahanya, kebutuhan kredit bagi pengusaha kecil menjadi sangat tinggi. Jaminan tentu sangat penting untuk keamanan modal pemberi kredit untuk kebutuhan kredit yang demikian. Karena tidak mempunyai tanah sebagai jaminan maka dalam keadaan demikian lembaga hipotik dan hak tanggungan tidak dapat dipergunakan.9

Hingga saat ini pengaturan terkait jaminan fidusia masih mempergunakan pengaturan yang lama, tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan terkait jaminan fidusia. Salah satunya adalah belum diaturnya terkait sanksi apabila pihak yang menerima fidusia tidak menghapus jaminan fidusia padahal utang dari pihak yang memberi fidusia telah lunas. Hal ini dikarenakan adanya anggapan apabila utang tersebut telah dilunasi maka akan menjadi hapus demi hukum dan tidak perlu melakukan perbuatan apapun. Padahal perkembangan bisnis di Indonesia terus bergerak secara dinamis. Berikut landasan yuridis berlakunya jaminan fidusia di Indonesia antara lain:

  • a.    “Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

  • b.    Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum dan HAM;

  • c.    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia;

  • d.    Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.08-PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia;

  • e.    Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M. MH02.KU.02.02. Th. 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pelaporan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Pelayanan Jasa Hukum di Bidang Notariat, Fidusia dan Kewarganegaraan pada kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

  • f.    Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Fidusia”

  • 3.2    Pengaturan Sanksi Terhadap Kelalaian Penerima Fidusia Dalam Hal Penghapusan Jaminan Fidusia

Berdasar ketentuan dalam “Pasal 11 UU Jaminan Fidusia, ayat (1) menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan,” maka ada kewajiban pendaftaran Benda Jaminan Fidusia 10 Kedudukan Pemberi Fidusia merupakan tempat proses dilaksanakannya pendaftaran benda yang dilakukan pembebanan dengan Jaminan Fidusia, dan pendaaftarannya melingkupi benda, untuk yang terdapat di luar ataupun yang berada di dalam wilayah NRI yakni jaminan kepastian bagi kreditor lainnya tentang benda yang sudah diberikan beban Jaminan Fidusia sekaligus untuk memenuhi asas publisitas.11 Untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia dibutuhkan pemenuhan persyaratan sebagaimana “Pasal 12 UU Jaminan Fidusia yakni:

  • a.    Surat permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

  • b.    Salinan akta Notaris - Surat kuasa/surat pendelegasian wewenang atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan jaminan Fidusia;

  • c.    Bukti pembayaran penerimaan Negara bukan pajak

Pada hakikatnya maksud dan tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut:

  • a.    Memberikan kepastian hukum atas benda objek jaminan fidusia kepada para pihak dan penerima fidusia lain yang mungkin memiliki kepentingan yang sama;

  • b.    Merupakan saat lahirnya jaminan fidusia;

  • c.    Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia;

  • d.    Pemenuhan asas publisitas”

Awalnya, sesuai aturan “Pasal 13 UU Jaminan Fidusia pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia dilaksanakan secara manual dengan cara permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia yang kemudian dicatat dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.” Nyatanya,

sertifikat jaminan fidusia tidak dapat diterbitkan pada tanggal yang sama dengan tanggal permohonan pendaftaran, karena permohonan pendaftaran jaminan fidusia memiliki jumlah sangat banyak. Pendaftaran tidak dilakukan secara manual kembali namun secara online seperti dalam Surat Edaran Ditjen AHU Nomor AHU-06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik (Online System). Hal ini dikarenakan butuhnya waktu yang lama serta biaya yang besar pulah dalam melaksanakan pengurusan sertifikat secara manual.

Pendaftaran fidusia secara elektronik dilaksanakan pengaturannya dalam “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (PP No. 21/2015) yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000. Beberapa peraturan lain juga dibentuk untuk mendukung PP No. 21/2015 tersebut antara lain:

  • a.    Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pendelegasian Penandatanganan Sertifikat Jaminan Fidusia Secara Elektronik;

  • b.    Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik;

  • c.    Permenkumham Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.”

Berdasar aturan pada “Pasal 4 UU Jaminan Fidusia, perjanjian jaminan fidusia merupakan bentuk perjanjian tambahan atau perjanjian ikutan yang memiliki sifat bergantung pada perjanjian pokoknya. Perjanjian tambahan tidak pernah ada apabila perjanjian pokoknya tidak ada. Dalam hal perjanjian pokoknya telah hapus maka perjanjian tambahan akan ikut hapus, tetapi tidak berlaku yang sebaliknya yaitu hapusnya perjanjian jaminan tidak berarti perjanjian pokok menjadi ikut hapus.”

Kedudukan objek dari benda yang digunakan pada perjanjian jaminan fidusia tersebut bisa musnah tapi penyebabnya bukan dikarenakan kesalahan pihak yang memberi fidusia atau benda tersebut dilepaskan, selain itu masih belum dapat dihapuskan sebelum suatu utang pada perjanjian pokok dilunasi. Hapusnya jaminan fidusia disebabkan oleh beberapa alasan dilakukan pengaturan pada aturan “Pasal 16 ayat (1) PP No. 21/2015 yang menentukan bahwa hapusnya jaminan fidusia dapat disebabkan karena 3 (tiga) hal, yakni:

  • a.    Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

  • b.    Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia atau;

  • c.    Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia”

Penghapusan jaminan fidusia diatur pada UU Jaminan Fidusia serta PP No. 21/2015, namun terdapat perbedaan dalam peraturan tersebut. Subjek yang melaksanakan penghapusan adalah penerima fidusia hal tersebut diatur dalam UU Jaminan Fidusia, sedangkan berbeda dengan yang diatur dalam PP No. 21/2015, dalam “Pasal 16 ayat (2) kewajiban tersebut tidak hanya dapat dilaksanakan oleh penerima fidusia saja namun juga dapat dilaksanakan oleh kuasa atau wakil dari penerima fidusia.” “PP No. 21/2015 menentukan adanya kewajiban kepada penerima

fidusia, kuasa atau wakilnya untuk memberitahukan kepada Menteri tentang adanya jaminan fidusia yang hapus.”

Pernyataan dalam UU Jaminan Fidusia dianggap tidak memberi kepastian hukum atas pembatalan/ penghapusan jaminan fidusia, serta seolah-olah hanya sebagai anjuran untuk memberitahukan Kantor Pendaftaran Fidusia agar membatalkan/ menghapus jaminan fidusia, bukan sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu, kewajiban memberikan pemberitahuan seperti dalam PP No. 21/2015 dapat dikatakan memberikan ungkapan yang lebih baik daripada ungkapan dalam UU Jaminan Fidusia. Meski begitu, ternyata dalam PP No. 21/2015 apabila pihak yang menerima fidusia, agen kuasa ataupun wakilnya lalai dalam memberi pemberitahuan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, penerima kuasa atau wakilnya tidak akan dikenakan sanksi apapun. Hal ini dapat menyebabkan penerima fidusia, agen kuasanya atau perwakilannya percaya bahwa jika tidak ada sanksi yang mengancam, bahkan jika sanksi tersebut tidak diterapkan, sehingga pembatalan/ penghapusan janiman fidusia tidak menimbulkan konsekuensi apapun jika tidak dilakukan.

Jika subjek Lembaga penjaminan perlu melakukan kewajiban pendaftaran fidusia pada saat pembebanan, maka hal mengenai penghapusan pembebanan tersebut seharusnya menjadi kewajiban juga.12 Misalnya seperti, hak tanggungan, atau jaminan fidusia, lembaga jaminan hipotek. Pada hak tanggungan setelah utang dilunasi, hak tanggungan dibatalkan dan perlu dihapuskan (roya atau hapus buku), sehingga tanah asli yang dijaminkan tidak lagi digunakan sebagai jaminan dengan hapusnya hak tanggungan tersebut. Penghapusan hak tanggungan ini adalah merupakan proses penghapusan yang paling banyak diketahui oleh masyarakat .

Pada kenyataannya untuk penghapusan pembebanan fidusia, penerima fidusia banyak yang tidak melaksanakan 13, karena munculnya anggapan bahwa utang akan menjadi hapus demi hukum, jika utang tersebut telah dilunasi dan tidak perlu lagi melakukan perbuatan apapun. Hal tersebut mengakibatnya tidak dapat didaftarkannya kembali benda objek jaminan fidusia tersebut.

Ditambah lagi hingga saat ini belum terdapat penjelasan lebih lanjut baik dalam UU Jaminan Fidusia maupun PP No. 21/2015 mengenai siapa yang disebut sebagai wakil atau kuasa yang bisa melaksanakan penghapusan dari jaminan fidusia itu sendiri. Oleh sebab itu, pihak mana yang harus membatalkan/ menghapuskan jaminan fidusia pasti akan menimbulkam kebingungan dan ketidakpastian. Pihak mana yang wajib menghapusnya perlu dipertanyakan lagi. Apakah pemberi fidusia melakukan dengan meminta bantuan notaris, atau penerima fidusia berikutnya, dan apakah mereka yang akan melaksanakan kewajiban tersebut. Ketika penerima fidusia tidak dapat melakukan penghapusan jaminan fidusia, karena satu dan lain hal, barulah surat kuasa seharusnya digunakan.

Seharusnya penghapusan fidusia wajib dilakukan secepatnya mungkin setelah utang dilunasi dan sebelum objek benda jaminan fidusia tersebut dijadikan jaminan utang kembali, (dibebani dengan utang lain). Lebih lagi dalam ketentuan pasal itu juga, yaitu Pasal 16 ayat (2). “PP No. 21/2015 disebutkan bahwa jangka waktu paling lama adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal hapusnya jaminan fidusia.” Sebelumnya belum diatur dalam UU Jaminan Fidusia pengaturan tentang jangka waktu terkait pelaksanaan penghapusan jaminan fidusia, ini merupakan hal yang baru diatur.

Hanya memerlukan waktu beberapa menit saja untuk melaksanaan penghapusan pembebanan fidusia secara elektronik, tetapi pemberi fidusia seringkali tidak mendapatkan edukasi atau pengetahuan yang memadai untuk memahami perlunya pembatalan pembebanan jaminan fidusia.14 Walaupun penerima fidusia sudah memberi surat kuasa tapi pemberi fidusia atau debitur tidak tahu masih adanya kewajiban untuk melaksanakan penghapusan jaminan fidusia. Sanksi yang paling mungkin adalah objek jaminan yang masih terdaftar dan belum dihapus tidak dapat didaftarkan kembali sewsuai dengan Pasal 17 ayat (2), tetapi PP No. 21/2015 hanya mengatur batas waktu, apabila janiman untuk fidusia tidak dibatalkan atau dihapuskan setelah 14 (empat belas) hari, maka tidak dikenakan sanksi apapun dimana hal ini mengakibatkan kerugian bagi pemberi fidusia.

UU Jaminan Fidusia, PP No. 21/2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia dan Peraturan Menteri Hukum dan Ham No.10 tahun 2013 mengatur tentang prosedur elektronik pembatalan jaminan fidusia yang tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan mengenai Jaminan Fidusia, syarat pembatalan jaminan fidusia tidak berlaku lagi, karena pemohon yang membatalkan pembebanan jaminan fidusia harus melampirkan surat keterangan pembatalan biaya jaminan fidusia. Dalam ketentuan lain, yaitu “Pasal 25 UU Jaminan Fidusia menentukan bahwa penghapusan jaminan fidusia dilaksanakan dengan sistem yang manual, yaitu dengan mengirimkan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.” Pada Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) PP No. 21/2015, dapat ditemukan aturan terbaru yang mengatur mengenai tata cara pembatalan Jaminan Fidusia.

Namun, hingga saat ini Sanksi bagi penerima fidusia belum tercantum dalam UU Jaminan Fidusia maupun PP No. 21/2015. Pemberi fidusia merupakan pihak yang mungkin dirugikan karena penghapusan yang tidak dieksekusi, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan “Pasal 17 ayat (2) yaitu bahwa benda tersebut tidak akan dapat didaftarkan kembali apabila belum dilaksanakan penghapusan jaminan fidusia.” Pemberi fidusia yang menjaminkan kembali barang yang pernah dijaminkan anak menanggung akibatnya, yang baru dapat dirasakan akibatnya setelahnya. Karena benda tersebut masih dalam status pendaftaran, maka jika perlu diregistrasi ulang seharusnya sistem penjaminan elektronik akan menunjukkan bahwa permohonan ditolak untuk menerima jaminan fidusia tersebut, sehingga status terdaftarnya hadus

dihapuskan terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan suatu pengaturan lebih lanjut terkait sanksi bagi penerima fidusia yang penghapusan jaminan fidusia tidak dilakukan padahal hutang dari pemberi fidusia telah lunas. Sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak pemberi fidusia.

  • IV. Kesimpulan

Pengaturan terkait jaminan fidusia di Indonesia saat ini baik yang diatur dalam UU jaminan fidusia maupun PP No.21 tahun 2015 belum mengatur secara khusus terkait sanksi apabila penerima fidusia tidak melaksanakan penghapusan jaminan fidusia meskipun hutang dari pemberi fidusia sudah dikatakan lunas. Sampai saat ini sanksi bagi penerima fidusia yang lalai dalam hal penghapusan jaminan fidusia belum diatur dalam UU Jaminan Fidusia maupun PP No, 21 tahun 2015, hal ini dapat menyebabkan timbulnya kerugian bagi pihak pemberi fidusia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ibrahim, J, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media, 2011).

Jurnal

Susilo, L., Apriani, R., & Zubaedah, R. “Kedudukan Jaminan Fidusia Serta Perlindungan Hukum Bagi Lembaga Pembiayaan Konsumen”. SUPREMASI: Jurnal Pemikiran, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Hukum dan Pengajarannya, 16(1), (2021): 108-117. DOI: https://doi.org/10.26858/supremasi.v16i1.20271.

Widyari, M., Ayu, I., Sirtha, I. N., & Sarjana, I. M. “Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Sistem Online”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, (2017): 268-276.

Yasir, M. “Aspek Hukum Jaminan Fidusia”. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 3, (2016): 75-92.

Rifai, A., & Subroto, G. “Kekuatan Hukum Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Hak Kebendaan”. Jurnal         YUSTITIA, 21(2).         (2021):         137-157.

DOI: http://dx.doi.org/10.0324/yustitia.v21i2.984.

Usman, R. “Makna Pengalihan Hak Kepemilikan Benda Objek Jaminan Fidusia Atas Dasar Kepercayaan”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 28(1), (2020): 139-162.

Fluita, A. D., & KRH, I. G. A. “Tinjauan Sejarah Lembaga Fidusia di Indonesia Jurnal Repertorium”, 4(1), (2017).

Sudirman, M., & Egawati, D. “Klaim Asuransi Pesawat Udara Sewa Guna Usaha (Operating Lease) Sebagai Objek Jaminan Fidusia”. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(3),                       (2021):                      549-562.

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no3.2754.

Pamungkas, L. S. M. “Politik Hukum Dalam Pelaksanaan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999”. Khazanah Hukum, 3(1), (2021): 26-33. DOI: https://doi.org/10.15575/kh.v3i1.7678.

Susilo, A. B. “Penerapan Dalam Kebijakan Fidusia Sebagai Dampak Digitalisasi Revolusi Industri 4.0. J-EBI: Jurnal Ekonomi Bisnis Islam, 1(1), (2021): 5

Prasetyanov, Y. P. “Perlindungan Konsumen Terhadap Pengambilan Jaminan Fidusia Oleh Finance Mobil Di Kota Padang”. PJS Journal of Politics and Law, 1(1), (2021): 29-54.

Lalo, R. “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik (Online)”. LEX PRIVATUM, 7(1), (2019): 120-130.

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Berita Republik Indonesia Tahun II (Tahun 1946) Nomor 7, Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 75 Dan Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 11-14

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2008, Terjemahan Dari Burgerlijk Wetboek Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, Pradnya Paramita, Jakarta

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889, Jakarta

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1039-1049

1049