Over Kredit Sebagai Solusi Gagal Bayar Oleh Debitur Di Denpasar
on
PELAKSANAAN OVER KREDIT SEBAGAI SOLUSI
GAGAL BAYAR OLEH DEBITUR DI KOTA DENPASAR
Irvan Christanto Sipayung, Fakultas Hukum Universitas udayana, e-mail: irvanchristantosipayung@gmail.com
I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas udayana, e-mail: novy_purwanto@unud.ac.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui bentuk perjanjian over kredit mobil di Kota Denpasar dan untuk mengetahui keabsahan perjanjian over kredit mobil di Kota Denpasar. Isu hukum dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah bentuk perjanjian over kredit mobil di Kota Denpasar dan bagaimanakah keabsahan perjanjian over kredit mobil di Kota Denpasar. Metode penelitian ini, berjenis hukum empiris dan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian pada jurnal ini yaitu bentuk perjanjian over kredit tersebut adalah dibawah tangan. Perjanjian dibawah tangan yang dibuat tidak memenuhi syarat objektif perjanjian dalam KUH Perdata. Sedangkan keabsahan over kredit yang dibuat oleh debitur dengan pihak lain tidak memiliki keabsahan atau tidak sah. Perjanjian itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian dan pelanggaran terhadap asas itikad baik dalam perjanjian over kredit mobil di Kota Denpasar.
Kata Kunci: Perjanjian, Over, Kreditur, Keabsahan.
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the form of the car loan over agreement in Kota Denpasar and to determine is validation on cars loan over agreementies in Denpasar. The issue legal on the study what form of the car loan over agreement in Denpasar city and how is validational loan over agreements on Denpasar. The research method of this research, using the method on empirisme legalis researcesh. This research approah includes fact approah and a statutory approah. The results of research in this journal are the form of the over credit agreement is under the hand. If the over-credit agreement is made by the parties in accordance with Article 1320 of the Civil Code. While the validity of over credit lies in the agreement by the parties who make it. Likewise, this over-credit agreement is alsolid veries oftened requred witnessest on accordiances without to need on they debtors an othere parts on they cars loan agreement in Denpasar.
Keywords: Agreement, Over, Credit, and Validity.
Over kredit yang dilakukan oleh debitur dalam pelaksanaannya merupakan pengalihan pembayaran dari debitur kepada pihak lain. Menurut definisinya “kredit adalah penyediaan berupa uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian berbunga”. Ketentuan ini memberikan pengertian yaitu kredit dapat diartikan sebagai penyediaan. Penyediaan ini dilakukan oleh kreditur untuk keperluan debitur. Penyediaan tersebut diidentikkan dengan jasa. Jasa yang dimaksud adalah berupa jasa penyediaan uang. Dimana dalam penyediaan jasa ini harus diberikan penilaian sejumlah uang atau dengan kata lain jasa tersebut harus dibayarkan oleh debitur sebagai pihak yang menerima jasa tersebut. Selain itu, kredit
juga diartikan dalam bentuk tagihan. Kredit ini baik berbentuk uang maupun tagihan wajib didasarkan pada kesepakatan atau persetujuan antar para pihak. Kesepakatan tersebut berisikan kewajiban bagi debitur untuk melunasi utangnya kepada kreditur dalam jangka waktu tertentu. Pelunasan utang debitur tersebut disertai dengan pelunasan bunga. Pemberian bunga itu sebagai bentuk pembayaran atas jasa yang disediakan oleh kreditur.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat di Kota Denpasar sangat berantusias mendapatkan kredit terutama kredit kendaraan bermotor. Akan tetapi, dimasa pandemi covid 19 ini, seluruh lembaga pembiayaan di Kota Denpasar mengalami kredit macet. Berdasarkan data dari “Otoritas Jasa Keuangan mencatat nilai kredit perbankan yang terdampak negatif covid 19 hingga 29 April 2020, mencapai Rp.23,38 triliun berasal dari 150.099 rekening nasabah. Kepala OJK Regional 8 Bali Nusra Ellyanus Pongsoda menjelaskan bahwa dari total yang diberikan keringanan kredit, sebanyak 32.874 rekening dengan nominal Rp.6,95 triliun merupakan nasabah UMKM. Adapun total jumlah kredit sektor UMKM di Bali yang terdampak mencapai 62.913 rekening dengan nominal Rp.11,74 triliun. Selain UMKM, segmen KUR berjumlah sebanyak 16.681 rekening dengan nominal kredit Rp.997 miliar. Sebanyak 8 bank umum di daerah melaporkan terdapat 66.355 rekening KUR dengan nominal Rp.3,10 triliun ikut terdampak”.1
Berdasarkan data tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa keinginan masyarakat Kota Denpasar untuk memiliki kendaraan sangat tinggi baik kendaraan bermotor maupun mobil. Untuk mewujudkan keinginannya itu tidaklah sulit atau dapat dicapai dengan mudah, karena banyak sekali lembaga pembiayaan baik berupa bank maupun lembaga pembiayaan atau leasing yang menyediakan kredit kendaran bermotor, asalkan saja dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan bank atau leasing dan kedua belah pihak menyepakati secara konsensus yang kemudian para pihak menuangkan kedalam bentuk perikatan atau perjanjian. Akan tetapi harus diingat bahwa keinginan tersebut harus didukung dengan kemampuan keuangan (finansial) yang memadai. Apabila tidak, maka risiko gagal bayar ditengah jalan dapat terjadi dan jika hal tersebut terjadi maka dalam istilah hukum disebut sebagai cedera janji atau wanprestasi. Jika terjadi gagal bayar apalagi kemudian kendaraan dialihkan kepada pihak lain, maka akan merugikan pihak lain khususnya perusahaan Leasing.
Berkaitan dengan kredit diatas, kredit yang disertai dengan jaminan benda termasuk kedalam jaminan fidusia. Aturan yang berlaku dalam jaminan fidusia adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut dengan UUJF). Dalam “Pasal 36 UUJF menentukan bahwa pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan ini memberikan pengertian bahwa kredit dengan jaminan fidusia tidak boleh dialihkan. Apabila kredit dengan jaminan fidusia dialihkan. Ketentuan ini menegaskan adanya larangan over kredit bagi debitur kepada pihak lain. Larangan ini tidak berlaku sepenuhnya dalam perjanjian kredit tersebut. Maksudnya, pada sisi lain, over kredit diperbolehkan dengan catatan debitur memberitahukan
kepada kreditur (leasing) bahwa akan dilakukan over kredit. Apabila kreditur menyetujui adanya over kredit tersebut maka dapat dilanjutkan oleh debitur kepada pihak lain agar kemacetan kredit atau gagal bayar dapat dicegah.
Penyebab terjadinya gagal bayar tersebut dikarenakan ketidakmampuan membayar utang dari pihak debitur atau adanya wanprestasi. Apabila terjadi wanprestasi, maka kredit menjadi macet. Pada satu sisi merugikan pihak leasing sebagai penyedia uang dan tagihan. Sedangkan sisi lain merugikan pihak debitur sendiri. Pihak kreditur menjadi rugi karena uang yang telah dikeluarkan tidak kembali secara utuh beserta bunganya. Sedangkan kerugian bagi debitur yaitu terletak pada uang yang telah dikeluarkan untuk down payment (uang muka) pembelian kendaraan mobil dan uang yang dikeluarkan untuk mengangsur atau uang cicilan.
Sehubungan dengan itu, agar debitur tidak dirugikan atau meminimalkan kerugian yang dialami oleh debitur maka debitur melakukan over kredit kepada pihak lain. Over kredit ini merupakan solusi bagi debitur untuk meminimalkan kerugian yang akan dialami apabila terjadi wanprestasi atau gagal bayar. Untuk menghindari adanya gagal bayar dari debitur, maka secepatnya debitur melakukan over kredit kepada pihak lain. Over kredit ini dilakukan dengan cara mencari orang yang bersedia untuk menggantikan posisi dari debitur untuk melunasi hutangnya kepada kreditur. Apabila debitur telah menemukan orang yang bersedia menjadi debitur maka pihak tersebut hanya disuruh menggantikan uang muka pembelian mobil yang telah dikeluarkan sebelumnya atau pada saat perjanjian pertama antara debitur dengan leasing. Setelah disetujui, maka pihak lain tersebut akan meneruskan kredit debitur yang sebelumnya mengalami gagal bayar. Sehingga kredit yang sebelumnya gagal bayar, menjadi lancar kembali. Langkah over kredit kepada pihak lain ini dianggap solusi oleh debitur karena menguntungkan semua pihak. Seperti pihak leasing diuntungkan karena kredit yang dijalankan menjadi lancar, dari pihak debitur juga diuntungkan karena telah memperoleh sejumlah uang sebagai pengganti uang muka yang telah dibayarkan terdahulu. Selain itu, debitur juga merasa tidak terbebani hutang atau kredit lagi. Debitur juga tidak wanprestasi karena kreditnya masih berjalan. Sedangkan pihak lain juga diuntungkan karena memperoleh unit mobil dengan hanya membayar uang muka yang rendah. Uang muka yang rendah itu didapatkan karena pihak lain mengadakan penawaran harga yang lebih rendah daripada uang muka yang dibayarkan debitur sebelumnya. Pihak lain juga mengangsur dalam waktu yang relatif singkat karena jangka waktu kredit yang diberikan oleh kreditur sebelumnya telah berkurang. Sehingga pihak lain hanya melanjutkan sisa kredit yang belum dibayarkan oleh debitur.
State of the art dalam penelitian ini yaitu mengacu pada penelitian sebelumnya antara lain penelitian dengan judul Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pihak Debitur Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pada Koperasi Serba Usaha Putra Dalem Batu Bulan Kabupaten Gianyar. Selanjutnya, penelitian oleh Ida Bagus Gde Surya Pradnyana dan I Nengah Suharta dengan judul Tanggug Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Objek Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit. Kedua penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini, baik dari segi objek yang dikaji maupun dari segi lokasi penelitiannya. Selain perbedaan itu, penelitian ini juga memiliki persamaan terutama terkait dengan ingkar janji dan perjanjian kredit. Dengan demikian, penelitian ini memiliki orisinalitas dan sangat penting dilakukan pengkajian sebagai bahan perbandingan dari penelitian sebelumnya.
Berdasarkan deskripsi diatas, maka terjadi kesenjangan antara Pasal 36 UU Jaminan Fidusia dengan pelaksanaannya. Ketentuan Pasal 36 UUJF melarang adanya over kredit antara pihak debitur dengan pihak lain. Akan tetapi kenyataannya di
masyarakat kota Denpasar, banyak ditemukan adanya over kredit mobil. Akibat dari adanya over kredit mobil tersebut akan dapat berpotensi mendatangkan teguran, peringatan atau somasi bahkan gugatan. Over kredit tersebut akan mendatangkan akibat hukum baik secara perdata mapun pidana. Penelitian ini mengkaji mengenai terjadinya pengalihan kredit terhadap pihak lain dari perspektif hukum perdata. Kesenjangan ini menjadi dasar pengkajian dalam penelitian ini dan sekaligus menarik untuk dikaji. Dengan demikian, penelitian ini mengetengahkan tema yakni “Over Kredit Sebagai Solusi Gagal Bayar Oleh Debitur Di kota Denpasar”.
Over kredit diatas, menimbulkan permasalahan hukum yang dapat dilakukan pengkajian hukum. Permasalahan-permasalahan hukum tersebut antara lain:
-
1. Bagaimanakah bentuk perjanjian over kredit oleh debitur kepada pihak lain di kota Denpasar?
-
2. Bagaimanakah keabsahan dari perjanjian over kredit oleh debitur kepada pihak lain di kota Denpasar?
Over kredit yang dilakukan oleh debitur kepada pihak lain tersebut bertujuan untuk memahami tentang keabsahan dari perjanjian over kredit oleh debitur kepada pihak lain di kota Denpasar. Kedua, untuk memahami absahnya perjanjian dari pihak debitur dengan pihak lain di Kota Denpasar.
Yuridis empiris adalah pilihan metode penelitian ini, dengan melakukan pendeskripsian terhadap isu-isu hukum dan memberikan uraian terkait dengan kesenjangan antara norma hukum dengan kenyataan di Kota Denpasar. “Penelitian hukum empiris ini, difokuskan pada pengkajian terhadap kesenjangan norma dengan kenyataan yang terjadi di lapangan”.2 Lapangan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu di Kota Kota Denpasar. “Hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang secara normatif dikaitkan dengan variabel-variabel dalam objek penelitiannya”.3 Berkaitan dengan isu hukumnya mengkaji bentuk perjanjian over kredit yang dilakukan oleh debitur dengan pihak lain dan mengkaji keabsahan perjanjian over kredit oleh debitur kepada pihak lain di Kota Denpasar. Over kredit ini seringkali diparaktekkan pada setiap transaksi dan debitur sebagai pihak pemberi unit mobil serta pihak lain sebagai pihak penerima mobil. Perundang-undangan menjadi pilihan pendekatan kali ini. Selain itu pendekatan fakta juga dgunakan untuk mengkaji permasalahan-permaslaahan hukum yang didasarkan pada kenyataan yang terjadi di Kota Denpasar. Selain itu, penelitian ini menggunakan konsep-konsep hukum yaitu konsep kepastian hukum dan menggunakan pendekatan fakta (fact approach). Kedua pendekatan ini menjadi dasar analisis memecahkan masalah hukum tersebut diatas. Penelitian ini termasuk analisis yang dilakukan secara deskriptf kualitatif. Pendataan sangat penting dan sekaligus sebagai bahan kajian untuk mengetahui hasil yang kualitatif. Terkait dengan data sekunder berupa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU Jaminan
Fidusia. Data yang diperoleh di lapangan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk memperoleh kejelasa dan hasil penelitian.
Menurut Veithzal Rivai seperti yang dikutip dalam bukunya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan istilah “Credit berasal dari perkataan latin yaitu credo, yang berarti I believe, I Trust, saya percaya atau saya menaruh kepercayaan. Lebih lanjut mengatakan bahwa kredit adalah suatu prestasi yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lainnya, dimana prestasi akan dikembalikan lagi pada masa tertentu yang akan diserahi dengan suatu kontraprestasi berupa bunga”.4
Bentuk perjanjian kredit didalam praktek perbankan dapat dibagi menjadi dua yaitu perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dan perjanjian dibuat dihadapan Notaris. Maksud dari perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan adalah “perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standart ( standard form )”.5 Kalau perjanjian standart kredit itu kita pelajari lebih mendalam lagi, maka “perjanjian kredit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ‘perjanjian induk’ (hoofdcontract) dan ‘perjanjian tambahan’ (hulp contract). Perjanjian induk mengatur tentang hal-hal pokok dari perjanjian tambahan, perjanjian tambahan menguraikan apa yang terdapat dalam perjanjian induk”.6 Sedangkan yang kedua,
“perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris (dinamakan akta otentik atau akta notariil) yang membuat perjanjian ini bisa seorang notaris, bisa dibuat dihadapan notaris, dan bisa dibuat oleh para pihak dan didaftarkan kepada notaris. Namun pada prakteknya semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Akta ini biasanya dibuat untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit sindikasi”.7
Sehubungan dengan pengertian kredit tersebut, pihak debitur memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati dan akan diserahkan dengan suatu kontraprestasi berupa bunga. Demikian pula dalam perjanjian over kredit, menurut Bagus Rachmanto (wawancara pada tanggal 3 April 2021, Pk. 13.15 Wita) selaku Staff Administrasi Kredit di PT. Adira Multi Finance cabang Kota Denpasar mengatakan bahwa “perjanjian over kredit itu, pada awalnya berasal dari inisiatif debitur untuk mengalihkan kreditnya. Pengalihan ini dikarenakan ketidaksanggupan untuk melanjutkan pembayaran kredit atau adanya ketidakmampuan secara keuangan akibat usaha miliknya sedang tidak lancar”. Ketidakmampuan debitur ini menjadi faktor utama penyebab terjadinya over kredit.
Bentuk perjanjian over kredit tersebut dilakukan secara dibawah tangan. Perjanjian ini berisikan tentang identitas para pihak, pengalihan unit mobil atau serah terima unit dari debitur leasing kepada pihak lain, kesediaan untuk melanjutkan kredit dan penyerahan surat-surat mobil berupa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan tanda tangan para pihak beserta saksi-saksi diatas materai enam ribu. Perjanjian over kredit ini dibuat dan disepakati oleh debitur dan pihak lain tersebut. Sesuai dengan “Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang”.8 Dengan demikian, perjanjian over kredit mobil tersebut hanya berlaku bagi debitur dan pihak lain sebagai pihak yang membuatnya saja. Dalam hal ini pihak penjual dan pembeli, dimana pihak leasing tetap hanya mengakui pihak penjual sebagai debitur leasing yang sah sehingga pihak pembeli selaku penerima pengalihan kredit tersebut tidak memperoleh perlindungan hukum yang kuat.
Debitur dan kreditur saat membuat perjanjian memiliki tujuan yakni “untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, maupun untuk tidak berbuat sesuatu, perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya, dalam bentuknya perjanjian dapat berupa dibawah tangan yang memuat janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan maupun ditulis”.9 Janji-janji yang diucapkan maupun ditulis tetap termasuk perikatan. Perikatan atau “pejanjian itu dibuat tidak harus tertulis dan juga harus lisan tapi juga dapat dibuat dibawah tangan. Dalam hal ini, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut bisa dibuat dalam bentuk apa saja baik tertulis maupun dibawah tangan”.10
Menurut Wayan Winasa selaku debitur pada salah satu leasing di Kota Denpasar pada tanggal 5 April 2021, “dalam hal bentuk perjanjian over kredit di Kota Denpasar tidak harus dalam bentuk perjanjian tertulis. Mengenai bentuk perjanjian tersebut biasanya terserah pada pihak-pihak yang terkait saja. Jadi dalam hal bentuk perjanjian over kredit ini, apabila pihak lain itu menginginkan perjanjian over kredit tersebut dalam bentuk dibawah tangan, maka akan dibuatkan perjanjian dengan bentukdibawah tangan dan apabila pihak lain atau pembeli itu menginginkan dalam bentuk lisan atau tidak perlu ada perjanjian dibawah tangan, maka debitur akan membuatkan kuitansi sebagai tanda bukti pembayaran over kredit unit mobil. Kenyataan di Kota Denpasar, transaksi over kredit tersebut biasanya dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan atau dengan cara lisan saja. Kebiasaan masyarakat di Kota Denpasar tidak pernah ditemui adanya perjanjian over kredit secara tertulis atau perjanjian dihadapan notaris.
Sehubungan dengan bentuk perjanjian tersebut “perjanjian merupakan janji dari dua pihak atau lebih yang melakukan suatu perjanjian, sehingga tidak menutup kemungkinan janji-janji itu tidak terpenuhi. Prestasi dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu”.11 Ingkar janji yaitu“tidak dilaksanakannya prestasi atau janji atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu yang disebutkan dalam perjanjian, yang merupakan pembelokan pelaksanaan perjanjian, sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan oleh salah satu atau para pihak”.
Terkait dengan perjanjian over kredit yang dilakukan oleh debitur telah sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Para pihak membuat perjanjian dengan pihak lain yang sama-sama dewasa, debitur dan pihak lain secara bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian. Dengan demikian, “sistem terbuka (open system). Artinya adalah bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang”.
Kebebasan tersebut dapat dikatakan berakhir apabila “perjanjian over kredit menjadi selesai dengan dilakukan penyerahan dan penerimaan suatu barang. Dengan kata lain bentuk perjanjian over kredit secara dibawah tangan akan menjadi sah apabila hak dan kewajiban dari para pihak telah terpenuhi”.12 Maksud dari sah ini adalah sah bagi pihak debitur dan pihak lain yang menerima over kredit saja. Dengan demikian, bentuk perjanjian over kredit di Kota Denpasar biasanya dilakukan dengan bentuk dibawah tangan dan lisan saja. Masyarakat di Kota Denpasar tidak pernah membuat perjanjian over kredit secara tertulis atau otentik.
Dalam praktiknya di Kota Denpasar, apabila terjadi sengketa antara debitur dan pihak lain maka akan diselesaikan dengan negosiasi. Perjanjian over kredit dibawah tangan selama ini belum memiliki rumusan baku tentang substansi perjanjian. Berbagai buku atau ketentuan undang-undang mengunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan.
Suatu perjanjian itu diaktakan sah, apabila telah memenuhi empat syarat yang tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
-
a. Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
-
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
-
c. Suatu hal tertentu
Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
-
d. Sebab yang halal
Adanya sebab yang halal ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya”.13
Kredit dapat diajukan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya (Leasing) yang menyediakan produk pinjaman tersebut. Umumnya, jaminan yang digunakan dalam Kredit Kendaraan Bermotor adalah kendaraan itu sendiri, sehingga jika debitur mengalami gagal bayar, kendaraan tersebut akan disita. Perjanjian kredit kendaraan bermotor (selanjutnya disebut dengan KKB) tersebut juga harus memenuhi prinsip-prinsip hukum perdata sebagaimana diatur pada KUHPerdata. Perjanjian tersebut juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian baik segi subyektif maupun obyektif sebagaimana diuraikan diatas.
Perjanjian over kredit, apabila “tidak memenuhi syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Akan tetapi dalam perjanjian over kredit tersebut telah terjadi kesepakatan yang telah dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang telah membuatnya”.14 Sebagaimana “Pasal 1338 KUHPerdata mengatur bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal ini berarti bahwa persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.15 Dengan demikian apabila para pihak termasuk perusahaan/bank/leasing yang telah menyetujui perjanjian kredit mobil tersebut menyangkut hak dan kewajiban masing-masing adalah terikat untuk mematuhi isi perikatan tersebut sebagaimana halnya undang-undang.
Over kredit mobil saat ini semakin banyak dilakukan di Kota Denpasar, karena adanya ketidakmampuan membayar dari debitur. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh kondisi perekonomian dimasa pandemi covid-19. Sehingga banyak debitur melakukan over kredit kepada pihak lain untuk menyelamatkan uang muka yang telah dibayar pada awal kredit dengan pihak kreditur. Perjanjian over kredit yang dilakukan oleh debitur leasing kepada pihak lain ini sudah menjadi fenomena hukum yang berkembang dimasa pandemi covid-19 ini. Fenomena tersebut ditegaskan oleh Bapak Iwan Winarto (wawancara pada tanggal 5 April 2021, Pk. 11.18 Wita) selaku debitur pada salah satu leasing cabang Kota Denpasar, menegaskan bahwa “pada awalnya dengan berbagai penawaran kredit kendaraan (mobil dan motor) dengan nilai uang muka atau biasanya disebut dengan DP ringan sudah banyak bermunculan sehingga mendapatkan mobil impian semakin dimudahkan. Namun kredit mobil tidak cukup dengan DP ringan. Yang harus dipikirkan lebih lanjut adalah kemampuan pengutang (debitur) untuk membayar cicilan setiap bulan. Membayar cicilan merupakan kewajiban debitur kepada kreditur sebagaimana tertuang dalam kesepakatan atau perjanjian yang telah dibuat. Apabila pihak debitur atau saya yang
tidak memenuhi kewajiban atau malah gagal bayar maka saya sudah menyalahi aturan atau saya sudah mengingkari janji saya”. Dimasa pandemi ini apabila debitur gagal bayar maka dia akan menjual atau mengalihkan atau melakukan over kredit kepada orang lain. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa over kredit ini dilakukan agar debitur memperoleh uang. Dalam hal ini, pihak lain yang menerima over kredit itu memberikan sejumlah uang kepada debitur leasing. Uang yang diberikan kepada debitur leasing tersebut biasanya jumlahnya disesuaikan dengan uang muka yang telah dbayarkan sebelumnya kepada pihak leasing atau kepada kreditur. Dengan kata lain bahwa pihak lain tersebut disuruh menggantikan uang DP yang dibayarkan terdahulu kepada kreditur”.
Menurut Bagus Rachmanto (wawancara pada tanggal 3 April 2021, Pk. 13.20 Wita) selaku Staff Administrasi Kredit di PT. Adira Multi Finance cabang Kota Denpasar menegaskan bahwa “bagi debitur di Kota Denpasar yang ingin melakukan over kredit mobil di bawah tangan kepada pihak lain atau tanpa sepengetahuan leasing harap hati-hati, karena ini dapat merugikan diri sendiri. Masalah akan timbul di kemudian hari apabila pihak lain tidak membayarkan angsuran atau cicilan mobil tersebut. Perusahaan atau leasing tetap akan meminta pertanggung jawaban kepada pihak kedua (pemilik mobil) sesuai dengan kontrak atau perjanjian. Melakukan transaksi jual beli, sewa, gadai atau mengalihkan kendaraan yang masih dalam masa kredit atau fidusia tanpa seizin perusahaan pembiayaan itu dilarang. Karena kendaraan bermotor dalam masa kredit dilekatkan dengan jaminan fidusia”.
Sesuai dengan pengertiannya, “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”.Aturan hukum ini dibuat oleh Pemerintah, jadi wajib kita taati sebagai warga negara Indonesia.
Pasal 4 UUJF menyebutkan: “Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. “Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia menyatakan bahwa Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia. Berdasarkan pasal ini, pihak Customer dilarang mengalihkan objek leasing tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari perusahaan leasing”.
Berdsarkan “Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia menyatakan bahwa Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia”. Sedangkan bagi pembeli yang melanggar bakal dijerat dengan Pasal 480 KUHPidana tentang penadahan. Untuk diketahui, over kredit mobil di bawah tangan, tidak menghapuskan kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya kepada perusahaan leasing. Dalam “Pasal 1365 KUHPerdata menjelaskan, tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.Walaupun mobil tersebut sudah berpindah tangan kepada pihak lain, debitur yang telah melakukan kontrak atau perjanjian kepada
perusahaan leasing tetap bertanggung jawab dalam pelunasan hutang tersebut, karena over kredit tersebut dilakukan di bawah tangan tanpa sepengetahuan pihak leasing.
Berbeda halnya apabila over kredit tersebut dilakukan secara sah atau dengan melakukan pembaharuan perjanjian kredit antara pihak leasing dengan pihak ketiga, maka yang berkewajiban membayarnya adalah debitur yang baru. Apabila “perusahaan leasing meranggapan terdapat kerugian pada transaksi yang dilakukan debitur tersebut. Maka pihak perusahaan leasing dapat menegur atau memberikan somasi, menuntut ganti rugi, bahkan melaporkan ke kepolisian. Laporan perusahaan leasing terhadap customer ke kepolisian akan didasarkan pada ‘Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)’, yaitu mengenai penggelapan (Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah)”.16
Dalam UUJF, yaitu “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).” Secara perdata, perusahaan leasing akan menggugat customer atas dasar perbuatan melawan hukum pada “Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Sedangkan bagi pembeli yang melanggar dapat dijerat dengan “Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penadahan, yang menentukan, “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
“1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya. harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan”.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka perjanjian over kredit yang dilakukan oleh debitur leasing itu adalah perjanjian yang tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 480 KUHPidana,Pasal 372 KUHPidana, Pasal 23 ayat (2) UUJF, Pasal 36 UUJF. Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian over kredit tersebut tidak memenuhi syarat objektif. Adapun syarat objektif yang tidak dipenuhi oleh debitur adalah adanya leasing apabila terjadi gagal bayar dan over kredit kepada pihak lain. Sedangkan syarat adanya objek yang diperbolehkan. Maksudnya, tujuan antara perusahaan leasing dan debitur yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Dalam perjanjian over kredit ini, maksud yang ingin dicapai oleh kreditur adalah pembayaran yang lancar dan menerima fidusia.
Sedangkan maksud dari debitur leasing adalah untuk mendapatkan keuntungan dari pihak lain yang menerima unit mobil. Dalam over kredit ini telah terjadi kesepakatan yang didasarkan pada itikad yang tidak baik dari debitur leasing karena debtor leasing tidak memberitahukan kepada kreditur atau dengan kata lain, pihak debitur leasing mengalihkan mobil tersebut secara diam-diam. Dengan demikian perjanjian over kredit yang dilakukan oleh debitur merupakan perbuatan melawan hukum.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa simpulan yang merupakan hasil dari penelitian ini, yaitu bahwa bentuk perjanjian over kredit antara debitur dengan pihak lain pada umumnya berupa perjanjian dibawah tangan. Terkait keabsahan perjanjian over kredit di bawah tangan, karena tidak diketahui dan tidak dengan persetujuan kreditur maka ia termasuk perjanjian yang tidak sah karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Ketentuan yang dilanggar terutama terkait dengan syarat objektif perjanjian sehingga perjanjian over kredit tersebut batal demi hukum. Berkaitan dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh debitur dan pihak lain itu merupakan perbuatan melawan hukum dan akibatnya dapat dikenakakan sanksi pidana. Oleh karena itu, over kredit di bawah tangan bukanlah solusi adanya gagal bayar dari debitur. Sebaiknya, pihak kreditur memberikan ketegasan pada saat perjanjian dibuat untuk melarang keras kepada debitur untuk over kredit kepada pihak lain dan pihak kreditur sebaiknya mengawasi debitur agar tidak melakukan over kredit kepada pihak lain. Selanjutnya perjanjian over kredit secara dibawah tangan ini juga sebaiknya tidak dilakukan oleh debitur dengan pihak lain karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHPerdata dan UUJF dan KUHPidana. Apabila debitur bersikeras untuk melakukan over kredit, maka debitur wajib memberitahukan kepada kreditur agar over kredit tersebut sah dan memiliki dasar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badrulzaman, Darus,M., “Kompilasi Hukum Perikatan”, Citra Aditya Bakti, Bandung, (2001)
Sunggono, Bambang,”Metodologi Penelitian Hukum”, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, (2007)
Jurnal
Diksa, I.G.A., dan Sutama, IB.P., “Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Fidusia Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Desa Adat Cemagi Kabupaten Badung”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 06 No. 06, (2018): 1-14.
Dwiantara, IK. P., Darmawan, NK.S., dan Atmadja, IB., “Penanggulangan Kredit Macet Melalui Proses Restrukturisasi Pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Negara, Kabupaten Jembrana”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 03 No. 03 ,(2015): 1-19.
Indraswari, K.A.R., Suyatna, IN., “Akibat Hukum Akta Jaminan Fidusia Yang Dibuat Dibawah Tangan”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 02 No. 2 ,(2014): 1-15.
Nurkhaliza, A., Udiana, IM.U., dan Putrawan, S., “Eksekusi Barang Jaminan Sebagai Penyelesaian Kredit Macet Pada Lembaga Pembiayaan”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 07 No. 06 ,(2019): 9.
Patrama, A.A.G., Kusuma, A.A.G., dan Putrawan, S., “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Werdhi Sedana Kabupaten Gianyar”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol.7 No. 6 ,(2019): 1-19.
Saraswati, I GAA., dan Utari, AA.S., “Kekuatan Hukum Dari Perjanjian Utang Piutang Dibawah Tangan”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 06 No. 03, (2018): 1-17.
Sitompul, Ridoli Fajar Sahat dan I Gusti Ayu Agung Ariani, “Kekuatan Mengikat Perjanjian Yang Dibuat Secara Lisan”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 02, No. 05, (2014): 1-16.
Suparman, J.A., dan Putrawan, S., “Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Dilegalisasi Oleh Notaris”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 4 No. 3, (2016): 1-13.
Utama, IW.W.P., dan Purwanto, IW.N., “Kekuatan Hukum Perjanjian Peminjaman Uang Oleh Bukan Anggota Koperasi Paneca Rahayu”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 06 No. 8, (2018) : 1-9.
Widiarta, P.N., dan Purwanto, IW.N., “Keabsahan Perjanjian Lisan Dalam Jual Beli Mobil Di Wahana Adikarya Motor Kabupaten Badung”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 06 No. 01, (2017): 1-8.
Internet
Kristianto, F., “Kredit Terdampak Corona di Bali sekitar 150.000 Nasabah, Nominal Rp23 Triliun”, Bisnis.com., https://bali.bisnis.com/read/20200504/538/1236183/kredit-terdampak-corona-di-bali-sekitar-150.000-nasabah-nominal-rp23-triliun, diakses pada tanggal 12 April 2021, Pk. 04.08 Wita.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889).
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 6 Tahun 2020, hlm. 64-75.
75
Discussion and feedback