WANPRESTASI PELAKU USAHA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PADA TRANSAKSI ONLINE (E-COMMERCE)

Made Angga Bagaskara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengetahui dan memahami sahnya perjanjian jual beli melalui media elektronik menurut UU ITE dan upaya penyelesaian hukum umumnya dalam perjanjian jual beli online (e-commerce). Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif karena adanya permasalahan norma. Penelitian ini memuat tiga sumber hukum bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan dalam penelitian dilakukan melalui pendekatan konseptual dan teknik pengumpulan bahan hukum yang digunaan adalah teknik studi dokumen. Selain itu, penyelesaian juga dilakukan dengan mengkaji peraturan-peraturan tertulis. Penelitian hukum normatif memberikan penjelasan atau pemahaman yang sistematis, jelas dan dengan penelitian bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jual beli melalui media elektronik dikatakan sah bila kedua belah pihak sudah memenuhi dan melakukan prosedur yang telah disepakati bersama dan apabila terdapat pelanggaran penyelesaian hukum dari bentuk wanprestasi yang dilakukan dapat ditempuh melalui litigasi atau non-litigasi.

Kata Kunci : Wanprestasi, Perjanjian, Jual beli, E-commerce

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out and understand the validity of buying and selling agreements through electronic media according to the ITE Law and legal settlement efforts generally in online buying and selling agreements (e-commerce). This research is included in normative legal research because of the problem of norms. This study contains three sources of primary, secondary and tertiary legal materials. The approach in research is done through a conceptual approach. Document study techniques used legal material collection techniques. In addition, settlement is also carried out by reviewing written regulations. Normative legal research provides a systematic, clear and descriptive explanation or understanding. The results of the study indicate that buying and selling through electronic media is said to be legal if both parties have fulfilled and carried out mutually agreed procedures and if there is a violation of legal settlement of the form of default that can be taken, it can be pursued through litigation or non-litigation.

Keywords: Default, Agreement, Buyin g and Selling, E-commerce

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Saat ini, kemajuan internet di Indonesia, yang salah satunya berkembang sebagai media perdagangan elektronik, telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan hukum bisnis.1 Dengan perkembangan tersebut, pelaku bisnis dapat

dengan mudah melakukan transaksi bisnis saat ini, khususnya transaksi online atau jual-beli. KUHPerdata, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut UU ITE, Undang-Undang Perdagangan, dan Undang-Undang Arbitrase merupakan dasar hukum jual-beli online yang digunakan di Indonesia. Umumnya, transaksi elektronik, atau elektronik commerce (e-commerce), tidak menggunakan kertas (paperless) dan tidak ada pertemuan tatap muka antara kedua belah pihak.

Proses jual-beli online dapat dikategorikan sebagai transaksi online, yaitu kegiatan yang transaksinya menggunakan media elektronik sebagai sarananya. Kegiatan tersebut umumnya disebut dengan electronic commerce.2 Transaksi online dilakukan dengan saluran internet dan dengan demikian tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan internet. Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinyatakan dalam Pasal 19 Undang-Undang N0. 19 Tahun 2016, menyebut bahwa “pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disetujui”. Oleh karena itu, sebelum adanya transaksi elektronik, para pihak telah mencapai kesepakatan tentang penggunaan sistem elektronik untuk transaksi tersebut, kecuali para pihak menentukan lain. Penawaran yang ditawarkan oleh pengirim perlu disetujui oleh penerima pembayaran dan ketika bayaran telah diterima maka dapat dikatakan hal tersebut termasuk transaksi elektronik, seperti yang disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1), UU Informasi dan Transaksi elektronik.

Menggunakan e-commerce menjadikan bertransaksi lebih cepat, mudah, dan ekonomis tanpa proses lama. Saat ini, transaksi jual-beli online lebih mudah, cepat, dan praktis dilakukan karena adanya kehadiran internet. Selain itu, pelaku bisnis juga diuntungkan dengan penjualan harga yang lebih terjangkau sehingga efisiensi hubungan bisnis dapat tercapai. Perkembangan bisnis secara signifikan akan terlihat pada bisnis yang dilakukan di dunia maya dan e-commerce menjadi salah satu cara yang dipercaya memiliki potensi sangat besar dalam hal tersebut. E-Commerce menjadi pilihan utama para pihak penjual dalam bertransaksi karena dapat menjadi media transfer barang, jasa, atau informasi tertentu dengan cepat serta murah, baik dalam negara maupun antar-negara. Sistem hukum yang digunakan dalam melakukan perjanjian jual-beli secara elektronik ini mengacu pada norma atau kaidah yang berlaku di Indonesia, yaitu klausul perjanjian yang disepakati dan dibuat oleh pihak penjual (sebagai pihak pertama) dan pihak pembeli (pihak lainnya). Walaupun transaksi e-commerce memberikan dampak positif dan memberi banyak keuntungan serta manfaat, permasalahan tentu tetap akan ditemui. Beberapa contoh permasalahan yang muncul adalah barang yang dibeli secara online dan telah diterima oleh pembeli berbeda dengan yang terlihat pada foto iklan yang dipampang oleh penjual. Kejadian tersebut dapat saja dikategorikan sebagai hak konsumen yang dilanggar dan dengan demikian tuntutan dapat diajukan dari pihak pembeli untuk ganti rugi dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang yang telah dibeli.

Dasar perjanjian jual beli adalah kata “sepakat” atau sebuah kesepakatan antar para pihak yang menimbulkan prestasi. Namun, pada pelaksanaan jual beli online seringkali terjadi masalah yang sering diakibatkan oleh salah satu pihak yaitu pembeli maupun penjual. Masalah tersebut umumnya terjadi karena salah satu pihaknya tidak

memenuhi prestasi atau perjanjian yang telah disepakati sehingga menimbulkan pelanggaran (wanprestasi). Wanprestasi adalah kegagalan untuk melakukan atau lalai menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya pada apa yang sudah diperjanjikan. Beberapa sanksi dari terjadinya wanprestasi adalah ganti rugi, pengalihan resiko, pembatalan kontrak, dan pembayaran biaya perkara. Di mana jika wanprestasi itu terjadi maka perlu dilakukan perlindungan dan penyelesaian atas pelanggaran transaksi antar pihak yang memakai media elektronik dalam proses transaksi online. Dengan kemungkinan terjadinya wanprestasi pada transaksi jual-beli online, maka konsekuensi hukum bagi para pelaku bisnis online yang melanggar kesepakatan atau gagal memenuhi kewajiban dalam transaksi tersebut penting untuk diketahui.3

Berkaitan dengan orisinalitas terhadap penulisan ilimiah ini peneliti uraikan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki tema permasalahan hukum sejenis. Rai Agustina Dewi dengan judul “Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online” membahas masalah tanggungjawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen dalam transaksi bisnis online.4 Kemudian Ni Putu Trisna Widyantari dengan judul “Pelaksanaan Ganti Kerugian Konsumen Berkaitan dengan Ketidaksesuaian Produk Pada Jual Beli Online” membahas masalah pelaksanaan ganti rugi oleh pelaku usaha yang telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan ketidaksesuaian produk melalui jual beli online. 5

Berdasarkan beberapa penelitian yang diuraikan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan pada objek pengkajian dalam penulisan ini yang secara khusus menelaah persoalan hukum, sehingga penelitian ini mempunyai suatu urgensi untuk dilakukan penelitian dan penulis memilih judul “WANPRESTASI PELAKU USAHA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PADA TRANSAKSI ONLINE (E-COMMERCE)”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana sahnya perjanjian jual beli melalui media elektronik menurut UU ITE?

  • 2.    Bagaimanakah penyelesaian hukum apabila pelaku usaha melakukan wanprestasi dalam perjanjian jual beli online (e-commerce)?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui dan memahami sahnya perjanjian jual beli melalui media elektronik menurut UU ITE dan bagaimana upaya penyelesaian hukum umumnya dalam perjanjian jual beli online (e-commerce).

  • II.    Metode Penelitian

Karya ilmiah ini termasuk dalam penelitian hukum normatif. Penyelesaian wanprestasi di antara kedua pihak terhadap perjanjian transaksi jual-beli online dilihat dari hukum yang ditempatkan sebagai sistem norma dan sistem norma mengenai asas-asas hukum. Selain itu, penyelesaian juga dilakukan dengan mengkaji peraturan-peraturan tertulis. Penelitian hukum normatif memberikan penjelasan atau pemahaman yang sistematis, jelas, rinci, dan lengkap terhadap wanprestasi yang dilakukan pada transaksi jual-beli online. Dengan kata lain, penelitian ini bersifat deskriptif.6 Pendekatan dalam penelitian dilakukan melalui pendekatan konseptual yang menganalisa konsep penyelenggaraan jual beli online dan pendekatan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dalam menelaah permasalahan hukum yang diangkat dengan merujuk pada ketentuan hukum positif Indonesia.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Sahnya Perjanjian Jual Beli Melalui Media Elektronik Berdasarkan Hukum Positif

Jual beli melalui elektronik adalah suatu perjanjian jual beli dan karena itu agar jual beli itu sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk sahnya suatu persetujuan. Dan syarat-syarat diketemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi: Untuk sahnya persetujuan diperlukan 4 syarat, yaitu:

  • a.    sepakat mereka yang mengikatkan diri

  • b.    kecakapan untuk membuat suatu perikatan

  • c.    suatu hal tertentu

  • d.    suatu sebab yang halal

Dari keempat syarat tersebut di atas dimana dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian itu sendiri. Apabila pada waktu pembuatan perjanjian ada kekurangan syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan bila syarat obyektifnya tidak terpenuhi maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan, dengan demikian tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal.8

Transaksi jual beli melalui media elektronik merupakan kegiatan perdagangan e-commerce yaitu perjanjian jual belinya melalui media internet untuk itu sebagai suatu perjanjian secara umum harus memenuhi syarat subyektif yakni adanya kesepakatan mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dan syarat obyektifnya yakni suatu hal tertentu dan sebab yang halal, seluma keempat syarat itu terpenuhi, maka perjanjian elektronik tersebut adalah sah.

Tetapi apa yang telah dirumuskan dalam UU ITE ini tidak selamanya sejalan dengan peraturan-peraturan lain dalam hukum nasional. Dalam KUH Perdata

misalnya, pengaturan mengenai hal ini masih terasa bias, sehingga penginterpretasian atas keberadaan bukti elektronik seringkali masih multitafsir, dan tidak konsisten dalam penerapannya ketika terjadi sengketa.

Berbicara masalah keabsahan suatu transaksi, orang selalu akan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yakni:

  • 1.    Cakap untuk membuat suatu perikatan;

  • 2.Sebab yang halal.

Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai media yang digunakan dalam transaksi, atau dengan kata lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu, dapat saja dilakukan secara langsung maupun secara elektronik. Namun suatu perjanjian dapat katakan sah bila telah memenuhi unsur-unsursebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Demikian pula asas kebebasan berkontrak yang dianut KUH Perdata, dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan dengan itikat baik dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Jadi apapun bentuk dan medindari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para pihak karena perikatan tersebut merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.9

Permasalahan akan timbul dari suatu transaksi bila salah satu pihak ingkar janji. Penyelesaian permasalahan yang terjadi tersebut, selalu berkaitan dengan apa yang menjadi bukti dalam transaksi lebih bila menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena penggunaan dokumen atau data transaksi elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum secara khusus diatur dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam Hukum Acara Pidana.

Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE adalah hal yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ITE. Secara umum dikatakan bahwa bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti yang telah ditentukan.10

Pasal 5 ayat 1 sampai dengan ayat 3, secara tegas menyebutkan Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Namun dalam ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk:

  • (a)    surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis

  • (b)    surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Sebagaimana telah dikemukakan berkembangnya penggunaan sarana elektronik dalam berbagai transaksi, di samping memberikan manfaat yang positif yakni adanya kemudahan bertaransaksi, juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi penyimpanan dokumen sebagai hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang diakui bahwa disamping keuntungan tersebut dalam penggunaan sarana elektronik terdapat pula kekurangan atau kelemahannya apabila dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan. Dalam KUH Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866, alat bukti terdiri atas:

  • a.    Bukti tertulis

  • b.    Bukti sanksi

  • c.    Persangkaan

  • d.    Pengakuan

  • e.    Sumpah

  • 3.2 Penyelesaian Hukum Yang Dapat Ditempuh Ketika Terjadi Wanprestasi Pada Perjanjian Jual-Beli Online

Subekti membagi wanprestasi dalam empat kategori, yaitu sebagai berikut :

  • a.    Tidak melakukan sesuai yang disanggupi.

  • b.    Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

  • c.    Terlambat melakukan apa yang dijanjikan.

  • d.    Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.11

Secara garis besar, definisi wanprestasi adalah melanggar dan lalai melaksanakan kewajibannya atau dengan kata lain tidak memenuhi kewajiban seperti yang sudah disepakati. Dalam praktik bertransaksi online, sering kali pihak pembeli merupakan pihak pertama yang memenuhi kewajiban, atau dalam hal ini, prestasinya, karena perjanjian terjadi ketika pembeli melakukan pembayaran. Sedangkan, pihak penjual merupakan pihak yang sering kali melakukan wanprestasi, atau dalam hal ini melanggar perjanjian yang telah dibuat.12

Produsen (penjual) dan konsumen (pembeli) merupakan dua subjek hukum dalam proses jual-beli online. Transaksi jual-beli online antara penjual dan pembeli terjadi melalui teknologi informasi, atau dalam hal ini internet, sehingga terbentuk sebuah perjanjian. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh orang tidak bertanggung jawab, dokumen elektronik yang hadir ketika perjanjian atau kesepakatan telah dibuat oleh kedua belah pihak dapat berfungsi sebagai alat bukti elektronik.

Umumnya dalam kasus wanprestasi perjanjian jual-beli online yang dilakukan pelaku usaha seperti salah pengiriman barang, terlambat mengirimkan pesanan, barang tidak sesuai dengan yang dipesan, serta pelaku usaha dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya. Pelaku usaha berkewajiban memenuhi tanggung jawabnya apabila hak konsumen (pembeli) tidak terpenuhi oleh pihak penjual. Pada umumnya,

tanggung jawab tersebut diwujudkan dalam bentuk ganti rugi. Ganti rugi tersebut merupakan sanksi bagi pelaku usaha karena tidak melaksanakan prestasinya terhadap pembeli.13

Beberapa upaya penyelesaian hukum dapat dilakukan ketika wanprestasi dilakukan oleh pelaku usaha dalam transaksi perjanjian jual-beli online, yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Melalui Pengadilan (Litigasi)

Pada setiap perjanjian, prestasi merupakan syarat yang harus dilaksanakan dan apabila penjual tidak dapat memnuhi prestasi yang telah disepakati, maka penjual dianggap melakukan wanprestasi.14 Pasal 65 ayat (5) UU Perdagangan menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya”

Terdapat beberapa tuntutan yang dapat dipilih kreditur apabila melakukan wanprestasi. Hal tersebut diatur dalam Burgerlijk Wetboek, yaitu sebagai berikut:

  • a.    Pemenuhan perikatan

  • b.    Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian

  • c.    Ganti kerugiannya saja

  • d.    Pembatalan perjanjian

  • e.    Pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.15

Jika debitur hanya meminta ganti rugi, maka haknya untuk menuntut pelaksanaan dan pembatalan perjanjian telah dianggap lepas dan jika kreditur hanya meminta satu syarat, yaitu untuk memenuhi perjanjian, maka gugatan tersebut sebenarnya tidak berlaku sebagai sanksi atas kelalaiannya, karena debitur harus melakukan perjanjian sejak awal. Jika debitur berkewajiban untuk memberikan ganti rugi, terlebih dahulu harusnya dinyatakan bahwa debitur dalam keadaan lalai (Ingebrekestelling). Lembaga menyatakan kelalaian adalah upaya hukum untuk mencapai tahap menyatakan bahwa debitur telah melanggar janjinya atau telah melanggar kontrak.

  • a.    Langkah-langkah menyatakan wanprestasi

Somasi: Peringatan tertulis dari debitur atau kreditur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.

  • b.    Isi Peringatan

  • 1)    Berupa teguran agar pelaksanaan prestasi segera dilakukan

  • 2)    Dasar teguran

  • 3)    Tanggal keterlambatan untuk memenuhi prestasi

  • c.    Pihak yang memiliki kewajiban melaksanakan prestasi (debitur) dalam kontrak diberikan pernyataan lalai oleh kreditur atau pihak yang memiliki hak untuk menerima prestasi, maka pembelaan dapat diajukan, sebagai berikut:

  • 1)    Mengajukan dalil-dalil yang membuktikan adanya keadaan memaksa yang mengakibatkan wanprestasi. Misalnya: karena barang yang diperjanjikan hilang atau musnah.

  • 2)    Mengajukan dalil-dalil yang membuktikan bahwa kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi ternyata juga telah lalai. Misalnya: Pembeli yang menuntut penjual terlambat menyerahkan atau mengirimkan barangnya, tetapi ia selaku pembeli yang seharusnya memenuhi kewajiban untuk menyerahkan uang muka ternyata juga tidak menepati janjinya.

  • 3)    Mengajukan dalil-dalil yang menyatakan bahwa hak kreditur, atau pihak yang berhak menerima prestasi, untuk meminta ganti rugi telah dilepas. Misalnya, pembeli menerima barang yang kualitasnya tidak memuaskan, tetapi penjual tidak diberitahu oleh pembeli atau tidak mengembalikan barangnya.

  • 4)    Mengajukan dalil-dalil bahwa kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi juga menjadi debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak bagi dirinya, dengan kata lain telah terjadi kompensasi atau perjumpaan utang. Misalnya: Jika pihak pembeli maupun penjual memiliki utang satu sama lain, maka terjadi perjumpaan di antara mereka yang artinya utang tersebut mereka akan dihapuskan.

  • d.    Konsekuensi hukum atau sanksi hukup bagi pelaku usaha yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:16

  • 1)    Membayarkan kerugian (ganti rugi) yang dialami oleh kreditur atau pihak yang memiliki hak menerima prestasi.

  • 2)    Membatalkan perjanjian atau memutus kontrak dan membayar ganti rugi bagi pihak kreditur.

  • 3)    Peralihan risiko sejak saat terjadinya wanprestasi.

  • 4)    Apabila diperkarakan di depan hakim, maka harus membayar biaya perkara.

  • e.    Alat bukti elektronik

Alat bukti hukum yang sah dalam hal ini adalah seluruh informasi, dokumen, dan/atau, dokumen elektronik yang terekam pada proses transaksi. Hal tersebut telah diatur dan dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat (1).17 Dan somasi yang diajukan oleh kreditur atau pihak yang berhak menerima prestasi juga dapat digunakan sebagai alat bukti yang menyatakan bahwa debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak terbukti telah melakukan wanprestasi.

  • f.    Ganti rugi yang dapat dituntut :

  • 1)    Setelah dinyatakan lalai dan tidak memenuhi prestasinya, pihak yang tidak memenuhi prestasinya wajib mengganti rugi (Pasal 1234 KUHPerdata). Dalam hal ini, yang termasuk biaya adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pelaku usaha, sedangkan yang termasuk dalam rugi adalah kerusakan barang kepemilikan dari pembeli diakibatkan oleh penjual. Di sisi lain, bunga adalah kerugian dalam bentuk tidak untung, yang sudah dibayar oleh pihak pembeli.

  • 2)    Hubungan langsung dengan ingkar janji perlu ada apabila ingin menjalankan ganti rugi (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.

  • 3)    Alasan wanprestasi (ingkar janji) terjadi tidak hanya terjadinya kesalahan pelaku usaha, baik lalai atau sengaja, tetapi juga karena adanya keadaan yang memaksa.

  • 4)    Sesuatu yang dikehendaki atau diketahui (kesengajaan).

  • 5)    Kelalaian merupakan kegiatan ketika pelaku mengetahui tentang kemungkinan adanya konsekuensi yang merugikan untuk orang lain.

2. Penyelesaian di Luar Pengadilan (Non litigasi)

Penyelesaian alternatif umumnya dipilih oleh kedua pihak yang terlibat sengketa karena penyelesaian melalui jalur pengadilan membutuhkan durasi yang cukup panjang.18 Beberapa cara penyelesaian alternatif atas sengketa yang terjadi adalah melalui lembaga atau prosedur lainnya yang telah disepakati oleh para pihak. Hal ini termasuk konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi. Selain gugatan perdata, sengketa dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase atau melalui bantuan lembaga lainnya, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 39 ayat (2) UU ITE.19

Penyelesaian melalui arbitrase adalah adanya keterlibatan pihak ketiga yang bertindak sebagai “hakim” netral dan telah diserahkan kewenangan dari kedua pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata antara kedua belah pihak. Umumnya, landasan hukum arbitrase yang digunakan adalah Pasal 10 ayat (2) dan penjelasannya pada UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999 merupakan dasar hukum penyelesaian sengketa secara non-litigasi, khususnya arbitrase. Selain arbitrase, penyelesaian sengketa dapat dilakukan juga melalui mediasi dan konsiliasi. Mediasi adalah penggunaan jasa pihak ketiga atau mediator untuk menyelesaikan sengketa. Sebelum perselisihan dapat diselesaikan melalui mediasi, kesepakatan harus dicapai dan kemudian dituangkan dalam kesepakatan klausul mediasi, atau setelah terjadi perselisihan para pihak harus mencapai kesepakatan untuk mengajukan penyelesaian melalui mediasi (mediation submission). Konsiliasi yang merupakan salah satu pilihan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi, dapat diartikan bahwa pihak ketiga memberikan bantuan sebagai mediator dan

mempertemukan kedua pihak yang bersengketa. Mediator memberikan fasilitas untuk para pihak berkomunikasi dan dapat mencapai solusi yang dapat diterima semua pihak.

IV. Kesimpulan

Jual beli melalui media elektronik dikatakan sah bila kedua belah pihak sudah memenuhi dan melakukan prosedur yang telah disepakati bersama, untuk pihak penjual sudah mendaftarkan domisili dari usahanya dan memberikan penjelasan tentang nama, jenis dan harga dari setiap produk yang telah dijajakan dalam media elektronik, untuk pihak konsumen harus terlebih dahulu memilih barang yang akan dibeli dan mengorder barang tersebut melaui media elektronik dan memberikan konfimasi pada pihak penjual melalui komunikasi yang tertera pada media elektronik untuk mensepakati barang yang telah dipesan, dan melakukan prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Apabila terdapat pelanggaran, tentu terdapat penyelesaiannya secara hukum. Penyelesaian hukum dari bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh penjual karena telah melanggar perjanjian transaksi jual-beli dapat ditempuh melalui litigasi atau non-litigasi. Litigasi adalah penyelesaian yang dilakukan di jalur pengadilan dengan membayar kerugian (ganti rugi), pembatalan perjanjian, atau peralihan risiko. Selain itu, dapat pula membayar biaya perkara, apabila dijadikan perkara di depan hakim. Di sisi lain, jalur non-litigasi adalah pemecahan masalah yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Selanjutnya, sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. Hal tersebut tertulis dalam Pasal 39 ayat (2) “Undang-Undang ITE” yang menyatakan bahwa selain gugatan perdata, hukum sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase atau lembaga lainnya. Dari beberapa penyelesaian hukum sengketa di luar pengadilan, penyelesaian melalui mediasi merupakan penyelesaian yang menguntungkan para pihak yang bersengketa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (2016).

Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (2003).

R. Subekti. Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta, (1990).

Jurnal

Dewi, N. P. Y., & Suardita, I. K. Kedudukan Reklame Dalam Jual Beli Barang Secara Online. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no.1 (2018):1-15.

Dewi, R. A., & Suyatna, I. N. Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online. Journal Kertha Semaya 4, no.2 (2016):1-13.

Deah, D. L. D. L. Perlindungan Hukum Bаgi Korbаn Tindаk Pidаnа Penipuаn Jual Beli Online di Indonesia. Riau Law Journal 4, no.2 (2019):219-227.

Fauzi, S.N. Tindak Pidana Penipuan Dalam Transaksi Di Situs Jual Beli Online (ECommerce). Jurnal Hukum Pidana dan penanggulangan Kejahatan 7, no.3 (2018):250-261.

Hasibuan, Syamsir, And Nika Rahmania. "Tinjauan Yuridis Wanprestasi Atas Perjanjian Jual Beli Online." Jurnal Dimensi 9, no.1 (2020):87-98.

Handriani, Aan, And Endang Prastini. "Ganti Rugi Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Online Di Tinjau Dari Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen." Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 2 (2020):259-273.

Hakiki, Aditya Ayu, Asri Wijayanti, And Rizania Kharismasari. "Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam Sengketa Jual Beli Online." Justitia Jurnal Hukum 1, no. 1 (2017):1-18.

Langi, M. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli. Lex Privatum 4, no.3 (2016):10-23.

Kalangi, A. (2015). Kedudukan Dan Kekuatan Mengikat Perjanjian Transaksi Melalui Internet (E-commerce). Lex Privatum 3, no.4 (2015):1-18.

Prayogo, Sedyo. "Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Perjanjian." Jurnal Pembaharuan Hukum 3, no. 2 (2016).280-287

Sitorus, Daniel Alfredo. "Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce) Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata." Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta 1, no.1 (2015):1-16.

Saragih, Frans Noverwin, And I. Nyoman Wita. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Wanprestasi Dalam Transaksi E-Commerce. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 1, no.1 (2008):1-5.

Wijaya, I. Gede Krisna Wahyu, And Nyoman Satyayudha Dananjaya. "Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no.8 (2018):1-15.

Widyantari, N. P. T., & Wirasila, A. A. N. Pelaksanaan Ganti Kerugian Konsumen Berkaitan Dengan Ketidaksesuaian Produk Pada Jual Beli Online. Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana 7, no.8 (2019):12-23.

Wulandari, Yudha Sri. "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Transaksi Jual Beli E-Commerce." Ajudikasi Jurnal Hukum 2, no.2 (2018):199-210.

Yaqin, Ainul. "Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Jual Beli Online Menurut Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 25, no.6 (2019):9-18.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, 2009, Diterjemahkan Oleh R. Subekti dan R. Tjitrosubdibio, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perdagangan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 4 Tahun 2020, hlm. 59-69.

69