ANALISIS SUROGASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Ni Kadek Cynthia Chandra Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Gede Marhaendra Wija Atmaja, Fakultas Hukum Universita Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam praktik surogasi (Suami-Istri, Ibu Pengganti, dan anak yang akan dilahirkan), dan mengetahui kedudukan surogasi dalam hukum positif Indonesia sebagai payung hukum dari pelaksanaan praktik ini. Penulis menggunakan metode penelitian normatif, melalui penelitian hukum kepustakaan melakukan analisa dan pengkajian terhadap Peraturan Perundang-Undangan, mengumpulkan berbagai buku serta jurnal-jurnal karya sarjana yang relevan dengan permasalahan yang diangkat lalu ditelaah untuk mendapatkan sebuah jawaban untuk dilakukan penyusunan secara sistematis. Digunakan pendekatan Perundang-Undangan dan pendekatan Konseptual dalam proses penelitian ini. Bahan hukum yang penulis gunakan ialah bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier. Dengan memperoleh hasil penelitian, praktik Ibu Pengganti menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para pihak yang terlibat praktik ini dan belum adanya peraturan yang tegas tentang praktik ibu pengganti ini menyebabkan terjadiya kekosongan norma.

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Ibu Pengganti, Peraturan

ABSTRACT

This writing aims to find out how to protect human rights against parties involved in the practice of surrogacy (husband and wife, surrogate mother, and child to be born), and to know the position of surrogacy in Indonesian positive law as the legal umbrella of the implementation of this practice. The author uses normative research methods, through literature law research conducts analysis and assessment of the Laws and Regulations, collects various books and journals of undergraduate works relevant to the problems raised and then examined to get an answer to be done systematic preparation. Used statutory approach and conceptual approach in this research process. The legal materials that the author uses are primary legal materials, skunder legal materials, and tertiary legal materials By obtaining the results of the study, the practice of Surrogate Mothers causes human rights violations for the parties involved in this practice and the absence of strict regulations on the practice of surrogate mothers causes a void of norms.

Keywords: Human Rights, Surrogote Mother, Regulations

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Setiap negara pasti telah menetapkan serta memiliki arah dan tujuan dari negaranya, termasuk Indonesia. Arah, serta tujuan Negara Indonesia yang telah berdaulat, sebagaiana dituliskan di preambule Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dialinea empat (ke-4)1, menegaskan tujuan dari Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum yang menganut prinsip demokrasi salah satunya ialah “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…”. Wujud nyata dari penggalan tujuan Negara Indonesia tersebut diantaranya terlihat dari kemajuan teknologi di berbagai bidang, antaranya bisa dilihat di bidang kesehatan; mudahnya akses ke fasilitas kesehatan oleh masyarakat, hingga tersentuhnya masyarakat dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan. Sebagai negara hukum, Indonesia juga menjunjung tinggi dan mengedepankan Hak Asasi Manusia yang termaktub nyata dalam UUD NRI 1945, dan diatur dengan mengkhusus dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Usaha memajukan kesejahteraan bidang kesehatan ini tidak dapat dipisahkan dari berkembangnya teknologi di bidang kesehatan saat ini, dimana hal-hal tersebut tentunya telah diatur dalam sebuah peraturan produk hukum. Salah satu kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang kesehatan yang dapat kita lihat adalah adanya suatu praktik pembuahan sel telur yang dilakukan di luar rahim sang Ibu kandung. Praktik ini dilakukan sebagai upaya bagi suami-istri yang berada dalam perkawinan sah dalam usahanya guna meneruskan keturunan. Dimana usaha meneruskan keturunan merupakan salah satu tujuan utama dalam sebuah perkawinan.2

Praktik pembuahan di luar rahim ini dapat dilaksanakan melalui proses program bayi tabung menggunakan teknik inseminasi buatan yang dilakukan di luar dari tubuh manusia yaitu In Vitro Fertilization (bayi tabung) melalui praktik ini hasil pembuahan ditaruh kembali kedalam rahim sang Ibu. 3 Saat ini telah berkembang pula teknik pembuahan di luar rahim dengan menyewa rahim wanita lain dengan tujuan membesarkan janin dari pasangan suami-istri. Biasanya praktik ini dipilih karena sang Ibu sebagai penyewa memiliki gangguan kesehatan yang tidak memungkinkan untuk hamil. Praktik ini merupakan sebuah praktik menyewa rahim wanita lain sebagai tempat berkembangnya janin. Praktik ini dilakukan didasarkan pada sebuah perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh pasangan suami-istri berama pihak wanita yang telah bersedia menyewakan rahimnya. Praktik ini sering disebut sebagai surrogacy dan wanita yang menjadi ibu pengganti disebut sebagai surrogate mother.4 Dalam hal ini istilah dari sewa rahim dapat diartikan sebagai suatu peminjaman kandungan atau rahim seorang wanita dengan memberi imbalan.5

Teknologi ini dimanfaatkan oleh suami-istri dimana pihak istri; mengalami suatu penyakit yang membahayakan dirinya atau calon kandungannya, atau si Istri telah melakukan operasi pengangkatan rahim (histerektomi), atau Istri tidak dapat menghasilkan sel telur, atau Istri yang tidak mau atau takut hamil, atau hal lain yang membuatnya tidak dapat mengandung serta melahirkan untuk meneruskan keturunannya. Maka, dipilihlah “jasa” Ibu Pengganti guna membantu dalam proses memiliki keturunan ini. Dapat dikatakan Ibu Penggantu ini berfungsi untuk menggantikan peran Istri dalam hal mengandung serta melahirkan anak. Disisi lain Ibu Pengganti ini nantinya akan mendapatkan imbalan dari pihak penyewa yang biasanya berupa materi.

Dewasa ini praktik pembuahan di luar rahim dipilih pasangan suami-istri yang mengalami kondisi kesulitan memiliki keturunan sebagai suatu solusi. Contohnya, pasangan influencer Arief Muhammad dan Tiara Pangestika yang memutuskan untuk menjalani program bayi tabung setelah menanti keturunan selama kurang lebih 3 tahun,6 dan pasangan Kim Kardashian dan Kanye West yang juga memutuskan menjalani program pembuahan diluar rahim, bedanya pasangan ini memilih metode Ibu Pengganti “surrogate mother” dalam usahanya menambah keturunan.7 Meski telah menjadi suatu pilihan yang bisa dipilih oleh pasangan suami-istri, metode Ibu Pengganti ini masih banyak menimbulkan perdebatan (setuju atau tidaknya) di tengah masyarakat. Berbeda dengan metode bayi tabung yang dalam praktiknya telah termaktub melalui Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Thn. 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan), dan pelaksaannya diatur menurut PERMENKES RI No. 039/Menkes/SK/I/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Produksi Berbantu, metode Ibu Pengganti ini keberadaannya belum diatur melalui produk peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Motode Ibu Pengganti dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: Surogasi Gestasional (sel telur yang digunakan untuk pembuahan merupakan milik dari pasangan suami-istri yang “menyewa rahim” serta meletakkannya dalam rahim Ibu Pengganti) dengan menggunakan metode ini bayi yang dikandung dan dilahirkan tidak memiliki hubungan genetik dengan sang “Ibu Pengganti”, dan Surogasi Tradisional (sel telur yang digunakan untuk pembuahan merupakan milik dari si Ibu Pengganti yang dibuahi dengan sperma sang suami dari pasangan suami-istri “penyewa”) dengan metode ini tentunya anak yang dilahirkan akan memiliki hubungan genetik dengan si Ibu Pengganti.8 Dari hal tersebut apabila Surogasi Tradisional dilakukan tentunya akan memisahkan Ibu kandung dengan anaknya, karena dalam surogasi sang Ibu Pengganti diwajibkan menyerahkan anak yang dilahirkannya tersebut kepada pasangan suami-istri dari sperma berasal. Apakah dalam parktik Ibu Pengganti ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM yang

dimiliki oleh manusia? Serta bagaimana kedudukan surogasi ini dalam hukum di Indonesia? Berdasarkan hal ini, maka jurnal ilmiah ini memuat judul “ANALISIS SUROGASI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF INDONESIA”

Terdapat beberapa tulisan yang mengangkat mengenai materi ini, namun memiliki perbedaan dalam perumusan topic permasalahannya. Salah satu diantaranya yaitu karya tulis ilmiah yang berjudul “Urgensi Pengaturan Surogasi Dengan Hukum Pidana Di Indonesia”, yang ditulis oleh “Ni Putu Tya Suindrayani´dan “Sagung Putri M.E Purwani”. Dalam tulisan ini yang menjadi topic utama ialah urgensi dari dibuatnya suatu pengaturan tentang surogasi. Mengingat sampai saat ini belum adanya pengaturan terkait surogasi di Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Menarik inti sari dari pemaparan di atas sebagaimana penulis uraikan, maka masalah yang dapat diangkat ialah:

  • 1.    Bagaimana perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap praktik surogasi (Ibu Pengganti) di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana kedudukan surogasi di dalam hukum positif Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan tulisan ini memiliki tujuan dalam penulisannya diantaranya, ialah untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap praktik surogasi (Ibu Pengganti) di Indonesia dan untuk mengetahui kedudukan surogasi dalam hukum positif di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam proses penulisan tulisan ilmiah, penulis menerapkan metode penelitian hukum normatif, dalam prosesnya dilakukan melalui penelitian hukum kepustakaan yang didasari oleh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia, teori-teori hukum, dan doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana. Hal ini karena penulis menemukan suatu permasalahan norma/peraturan yaitu kekosongan norma/peraturan terhadap permasalahan yang penulis angkat. Dalam tulisan ini penulis menerapkan 2 jenis pendekatan, yang pertama penulis menerapkan pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), serta yang kedua, menerapkan pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Jenis pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) ialah jenis pendekatan menggunakan legislasi dan regulasi dalam memecahkan masalah hukum terkait. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa regulasi, yaitu; UUD NRI 1945, UU No. 39 Thn. 1999 Tentang HAM, UU No. 36 Thn. 2009 Tentang Kesehatan, serta regulasi lain yang terkait dengan permasalah yang diangkat. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) ialah pendekatan untuk menemukan sebuah jawaban melalui konsep-konsep dari pandangan serta doktrin-doktrin yang ada sesuai dengan permasalahan dalam jurnal ilmiah ini.9 Penulis menggunakan tiga jenis bahan hukum untuk mencari jawaban dari permasalahan ini yaitu;10

  • 1.    Bahan Hukum Primer

Ialah bahan hukum yang sifatnya utama dan yang memiliki kekuataan (otoritas), contohnya seperti, produk Peraturan Perundang-Undangan, catatan-catatan dari lembaga resmi, dan putusan dari persidangan. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan bahan hukum primer yakni, UUD NRI 1945, UU No. 39 Thn. 1999 Tentang HAM, UU No. 36 Thn. 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 35 Thn. 2014 Tentang Perlindungan Anak. Peraturan Pemerintah RI No.61 Thn 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi dan PERMENKES RI No. 039/Menkes/SK/I/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.

  • 2.    Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum dalam bentuk sebuah publikasi tentang hukum dan bukan merupakan dokumen yang bersifat resmi, bahan hukum ini dapat menjadi materi pelengkap dalam menganalisa bahan hukum primer, contohnya antara lain, buku hukum, jurnal hukum, serta komentar tentang putusan pengadilan. Tulisan ini menggunakan beberapa bahan hukum sekunder yaitu, buku-buku, jurnal, serta doktrin dari ahli.

  • 3.    Bahan Hukum Tersier

Ialah bahan berupa materi yang berisi informasi yang ada kaitannya dengan 2 bahan hukum sebelumnya (bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder), bahan hukum tersier yang dipakai guna menyempurnakan penulisan tulisan ini ialah , berupa KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Teknik pengumpulan bahan dan data hukum di penulisan ini penulis memakai teknik pengumpulan kepustakaan.11 Dengan melakukan analisa dan pengkajian terhadap Peraturan Perundang-Undangan, mengumpulkan berbagai buku serta jurnal-jurnal karya sarjana yang relevan dengan permasalahan yang diangkat lalu ditelaah untuk mendapatkan sebuah jawaban untuk dilakukan penyusunan secara sistematis.

  • III. Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Hak Perempuan Dalam Praktik Surogasi Gestasional

Sebagaimana telah dituliskan dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 B ayat (1) dimana berisikan ialah “hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat membangun keluarganya, serta dapat melanjutkan keturunan melalui sebuah perkawinan yang sah”. Hak untuk membangun sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan ini juga dituliskan di Pasal 10 ayat (1) UU HAM. Namun, bagaimana apabila sepasang suami-istri sudah di dalam suatu perkawinan sah di mata hukum dan agama tidak dapat meneruskan keturunannya karena perempuan sebagai istri memiliki gangguan kesehatan atau hal lain yang akibatnya tidak bisa untuk mengandung keturunannya sendiri (hamil)? Lazimnya, pasangan suami-istri itu akan melakukan pengajuan adopsi anak angkat ke panti asuhan atau dengan mengadopsi anak baik dari sudara Istri atau saudara Suami. Dengan berkembangnya teknologi di bidang kesehatan tentunya memberi kemudahan bagi pasangan suami-istri yang mengalami kesusahan dalam

usahanya tersebut, ini dapat dilihat dengan munculnya metode In Vitro Fertilization (bayi tabung) dan metode Ibu Pengganti (Surrogote Mother). In Vitro Fertilization (bayi tabung) ini merupakan metode menggunakan rahim asal dari ovum yang digunakan sebagai tempat tumbuhnya zigot, sedangkan Ibu Pengganti merupakan metode yang menggunakan rahim dari perempuan lain sebagai tempat tumbuhnya zigot.12 Perbedaan dari kedua metode ini terletak pada dimana tempat hasil pembuahan tersebut akan diletakkan.

Terdapat dua jenis metode Ibu Pengganti atau surogasi ini, (1) surogasi yang mana calon anak di letakkan di rahim wanita lain dengan menggunakan sel telur dari wanita pasangan suami-istri yang menyewa rahim saat dilakukannya proses pembuahan, maka anak hasil surogasi ini tidak memiliki hubungan genetic dengan si Ibu Pengganti, jenis surogasi ini dikenal dengan surogasi gestasional (gestational surrogacy).13 (2) surogasi yang mana calon anak diletakkan di rahim wanita lain dengan menggunakan sel telur yang disumbangkannya (Ibu Pengganti) saat dilakukannya pembuahan, maka anak tersebut memiliki hubungan genetic dengan sang Ibu Pengganti, jenis surogasi ini dikenal dengan surogasi tradisional (tradicional surrogacy).14 Menurut UU Kesehatan dituliskan di Pasal 127 ayat (1) menyatakan aturan dalam usaha memperoleh keturunannya di luar cara alamiah diizinkan dengan syarat yang telag ditentukan seperti:

“Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:

  • a.    hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

  • b.    dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan

  • c.    pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.”

Penjelasan Pasal 127 ayat (1) tersebut ialah syarat memperoleh keturunan dengan cara alami hanya dibolehkan untuk suami-istri yang sudah berada dalam perkawinan yang sah, dimana sel telur dan sprema berasal dari pasangan yang sah dan diletakkan di dalam rahim istri dimana asal sel telur tersebut. Praktik ini dikenal dngan praktik bayi tabung (In Vitro Fertilization). Dari Pasal tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit larangan terhadap praktik surogasi di Indonesia.

Ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia praktik sewa rahim atau Ibu Pengganti ini dapat dikatakan melanggar hak asasi yang dimiliki oleh Ibu yang menyewakan rahimnya. Hal ini dapat dilihat dari dilanggarnya Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945, dimana “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, tentu dalam praktik surogasi tidak ada hubungan perkawinan yang sah antara penyewa rahim dan yang menyewakan rahim. Selain itu salah satu latar belakang dari praktik surogasi ini ialah latar belakang ekonomi si Ibu Penganti yang mendorong untuk melakukan perjanjian ini, sehingga

dalam menyepakati perjanjian ini tidak memikirkan baik-baik akibat yang mungkin muncul baik bagi diri si Ibu Pengganti atau bagi anak yang akan dilahirkannya nanti.

Tidak hanya melanggar hak asasi dari si sang Ibu Pengganti, praktik surogasi ini juga akan menimbulkan pelanggarran hak asasi terhadap sang anak yang akan dilahirkan dalam perjanjian surogasi tersebut. Anak merupakan harapan dan dan titik terang suatu negara untuk mencapai cita-cita bangsanya.15 Seperti yang termaktub di Pasal 56 ayat (1) UU HAM, “bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Dalam hal ini, tentu si anak memiliki haknya dalam mengetahui siapa orang tuanya yang sebenarnya. Selain itu, hak anak untuk memperoleh identitas diri sejak ia dilahirkan kemudian akan dicantumkan dalam akta kelahiran sebagaimana yang termuat dalam Pasal 27 UU Perlindungan Anak Thn. 2002 yang telah diubah menjadi UU Perlindungan Anak Thn. 2014, juga mungkin tidak diperhatikan dan akan terabaikan. Kejelasan dari orang tua kandung anak ini sangat penting agar seorang anak dapat memiliki haknya untuk, diasuh, dirawat, dipelihara, dan mengembangkan bakatnya dari orang tua kandungnya.16

Belum adanya payung hukum yang dimuat secara nyata dan jelas dalam aspek Hak Asasi Manusia untuk mengatur praktik surogasi (Ibu Pengganti) dapat menyebabkan dampak buruk serta kerugian yang akan dirasakan oleh semua pihak yang terlibat dalam praktik ini, baik itu suami-istri yang ingin meneruskan keturunannya, dari pihak si ibu pengganti, serta si anak hasil dari perjanjian surogasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya jaminan atau kepastian yang dapat melindungi hak asasi dari pihak-pihak tersebut.

  • 3.2    Kedudukan Surogasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa metode surogasi (Ibu Pengganti) sebagai salah satu metode reproduksi berbantu belum diatur secara nyata dalam produk hukum di Indonesia. Namun, pelayanan reproduksi berbantu yang diizinkan dan legal di Indonesia adalah metode Bayi Tabung (In Vitro Fertilization), yang diatur dalam Surat Ketetapan Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI Thn. 2000 Tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit mengatur 10 (sepuluh) ketentuan dasar pelayanan bayi tabung dimana pada pedoman ke-empat menyatakan larangan melakukan surogasi dalam bentuk apapun. Maka dari itu dalam pelaksanaan pelayanan teknologi reproduksi bayi tabung, rumah sakit hingga tenaga medis yang menanganinya dilarang melakukan tindakan surogasi dalam bentuk apapun. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai seorang atau sepasang suami-istri yang tidak melaksanakan pelayanan bayi tabung dilarang atau diperbolehkan melakukan tindakan surogasi tersebut. Dengan demikian, Surat Ketetapan Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI Thn. 2000 Tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit tidak dapat menjadi dasar hukum atau alasan pengaturan dari praktik surogasi karena tidak memberikan kepastian hukum dan tidak jelas pengaturannya.

  • 15    Said, Muhammad Fachri, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Cendekia Hukum Vol. 4, No 1, (2018): 142.

  • 16    Yadainy, Filda Achmad Al, “Perjanjian Surrogate Mother/Sewa Rahim Dan Pengaruhnya Terhadap Status Anak Yang Dilahirkan”, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo, (2019): 109.

Apabila dilihat dari hukum positif di Indonesia, khususnya dalam produk peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait dengan pengaturan kesehatan dan hak asasi manusia, segala jenis surogasi baik surogasi gestasional dan surogasi tradisional tidak diatur secara nyata dan jelas dalam produk hukum di Indonesia manapun, hal ini dalam ilmu hukum dikenal dengan norma kosong. Nyatanya, dalam kehidupan bermasyarakat metode reproduksi berbantu jenis surogasi (Ibu Pengganti) ini ada dan sangat jarang terungkap, sehingga dalam penangannya kurang diperhatikan oleh pemerintah.

Karena hal tersebut terkait dengan praktik surogasi boleh atau tidaknya dilakukan di Indonesia harus dilakukan peninjauan lebih lanjut. Peninjauan baik dari, bidang medis, bidang Hak Asasi Manusia, bidang aspek sosial ekonomi, dan bidang hukumnya. Agar dapat memberikan suatu perlindungan hukum, keadilan, dan kemanfaatan terkait apapun keputusan pemerintah tentang mengizinkan atau melarang praktik metode surogasi (Ibu Pengganti). Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, sehingga hal tersebut harus memiliki dasar hukumnya. Jadi, apabila terjadi tindakan surogasi tersebut, tidak terjadi kesulitan dalam penanganan permasalahan tersebut.

  • IV. Kesimpulan

Seperti uraian diatas dapat dikatakan metode ini melanggar Hak Asasi Manusia, dilihat dari pihak si Ibu pengganti dimana HAM yang dilanggar yaitu di Pasal 28B ayat (1) yaitu, dimana “setiap orang memiliki haknya dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan melalui sebuah perkawinan yang sah”, dari praktik surogasi ini tentu melanggar hak dari Ibu Pengganti untuk meneruskan keturunannya melalui perkawinan yang sah. Dilihat dari pihak anak tindakan surogasi ini tentu melanggar hak anak sebagaimana yang telah dituliskan Pasal 56 ayat (1) UU HAM, dimana si anak berhak untuk mengetahui orang tua kandungnya serta mendapat perhatian dari orang tua kandungnya sendiri. Selain itu, hak anak yang dilanggar yaitu ketentuan Pasal 27 UU Perlindungan Anak Thn 2002 yang telah diubah menjadi UU Perlindungan Anak Thn 2014, yang menyatakan bahwa hak anak untuk bisa mendapatkan identitas diri yang akan dicantumkan dalam akta kelahirannya. Praktik surogasi (Ibu Pengganti) ini keberadaannya masih menjadi perbincangan di kehidupan masyarakat, banyak pandangan mengenai pro serta kontra dari praktik ini, maka dari itu diperlukan perhatian dari pemerintah. Belum adanya produk hukum yang mengatur terkait surogasi ini, membuat terjadinya kekosongan norma dalam kedudukannya di dalam tatanan hukum Indonesia. Sehingga diperlukannya peninjauan lanjutan terkait boleh atau tidaknya (legal atau tidaknya) dilakukan praktik metode surogasi ini di Indonesia. Selain itu, perlu juga memperhatikan segala bidang baik dari, bidang medis, bidang Hak Asasi Manusia, bidang aspek sosial ekonomi, dan bidang hukumnya, dalam pengambilan suatu keputusan, agar tidak ada pihak yang akan dirugikan apabila praktik inni dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Judiasih, Sonny Dewi, Susilowati Suparto Dajaan, Deviana Yuanitasari, “Aspek Hukum Sewa Rahim”, (Bandung, Refika Aditama, 2016).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta, Kencana, 2006).

Jurnal Ilmiah:

Halimah, Mimi, 2018, “Pandangan Aksiologi Terhadap Surrogate Mother”, Jurnal Filasafat Indonesia Vol. 1 No. 1 (2018).

Muntaha, 2013, ”Surrogate Mother Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Hukum Vol. 25, No. 1 (2013).

Perwira, Indra, “Memahami Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia”, Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat.

Ruslan, Fitri Fuji Astuti, “Status Kewarisan Anak Hasil Sewa Rahim (Surrogate Mother) Dalam Perspektif Hukum Islam”, Skripsi, Fakultas Syari’ah Dan Hukum Uin Alauddin Makassar Vol.14, No.2 (2017).

Said, Muhammad Fachri, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Cendekia Hukum Vol. 4, No 1, (2018).

Selian, Muhammad Ali Hanafiah, “Surrogate Mother; Tinjauan Hukum Perdata Dan Islam” , Jurnal Hukum Syariah Dan Hukum Vol. 4 No. 2 (2017).

Suindrayani, Ni Putu Tya, Sagung Putri M.E. Purwani, 2020, “Urgensi Pengaturan Surogasi Dengan Hukum Pidana Di Indonesia”, Jurnal Hukum Pidana Vol. 9 No. 10 (2020).

Soemarsono, Maleha, “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Vo.37 No.2 (2007).

Tandirerung, Dewi Astika, ”Analisis Perjanjian Innominaat Terhadap Pemijaman Rahim (Surrogate .Mother) di Indonesia”, Jurnal Hukum Universitas Hasanuddin Vol. 26 No. 1 (2018).

Yadainy, Filda Achmad Al, “Perjanjian Surrogate Mother/Sewa Rahim Dan Pengaruhnya Terhadap Status Anak Yang Dilahirkan”, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo, (2019).

Ketentuan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 039/Menkes/SK/I/2010 Tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.

Sumber Internet:

Intan Kumalasari, 2020, Selain Arief Muhammad, 6 Artis Ini Berhasil Punya Anak Lewat Program        Bayi        Tabung,        Merdeka.com,        URL:

https://www.merdeka.com/sumut/selain-arief-muhammad-6-artis-ini-berhasil-punya-anak-lewat-program-bayi-tabung.html, diakses pada tanggal 8 Januari 2021.

Rataning Asih, 2018, Kim Kardashian Dapat Anak Perempuan dari Ibu Pengganti, Liputan6.com,                                                   URL:

https://www.liputan6.com/showbiz/read/3229134/kim-kardashian-dapat-anak-perempuan-dari-ibu-pengganti, diakses pada tanggal 8 Januari 2021.

Rokom, “Kuatkan Layanan Kesehatan, Pemerintah Lakukan Lima Upaya Secara Simultan”, 2016, URL: sehatnegeriku.kemenkes.go.id, diakses pada tanggal 10 Januari 2021.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 4 Tahun 2020, hlm. 27-36.

36