PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KASUS PEMBUNUHAN DALAM KANTOR

PERWAKILAN KONSULER

Firhan Umar Bagazi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menambah wawasan mengenai prinsip tanggung jawab negara pada wilayah perwakilan konsuler yang dimana dalam suatu perwakilan konsuler terdapat yurisdiksi lebih darisatu negara yang dimana yurisdiksi tersebut terdiri dari yurisdiksi negara pengirim serta negara penerima. Dalam penelitian jurnal ini menggunakan salah satu jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji perUU dan bahan literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan Hasil studi ini menunjukkan bahwa : pertama, dalam suatu perwakilan konsuler pada suatu negara terdapat lebih dari satu yurisdiksi yang berlaku serta bentuk pertanggung jawaban dari negara juga sudah diatur dalam Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts Kedua,dalam hal terjadi pembunuhan dalam perwakilan konsuler yurisdiksi yang digunakan untuk mengadili tidak hanya terbatas pada yurisdiksi negara pengirim saja melainkan yurisdiksi negara penerima dapat di terapkan.

Kata Kunci : Yurisdiksi,Tanggung Jawab Negara, Konsuler

ABSTRACT

The purpose of this paper is to add insight into the principle of state responsibility in the consular area where in a consular representative there is more jurisdiction than one country where the jurisdiction consists of the jurisdiction of the sending country and the receiving country. In this journal research uses one type of research, namely normative legal research which examines the law and literature related to the subject matter.The results of this study show that: first, in a consular representative in a country there is more than one jurisdiction that applies and forms of accountability from the state has also been regulated in the Second Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, in the event of a murder in the consular representative the jurisdiction used to judge is not only limited to the jurisdiction of the sending country but the jurisdiction of the recipient country can be applied.

Key Word : Jurisdiction, State Responsibility, Consular

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Wilayah perwakilan konsuler merupakan suatu wilayah dari pada negara lain dalam suatu negara, dengan kata lain dalam wilayah perwakilan konsuler berlaku hukum atau yurisdiksi dari pada negara pengirim, selain hal tersebut perwakilan konsuler

memiliki banyak keistimewaan yang dimana hal ini diatur dalam konvensi wina tahun 1963 tentang perwakilan konsuler sebagai kelanjutan dari konvensi wina 1961 tentang perwakilan diplomatik.1 Keistimewaan dari pada perwakilan konsuler ini memiliki batasan batasan yang diatur dalam konvensi tersebut, batasan tersebut yaitu segala tindakan atau perbuatan dari negara pengirim tidak boleh bertentangan dengan hukum dari negara penerima maupun hukum internasional, sehingga yurisdiksi negara penerima tidak di kesampingkan.2 Salah satu peristiwa pidana atau tindak pidana yang dianggap telah melanggar hukum dari negara pengirim adalah pembunuhan, seperti halnya pembunuhan yang menimpa jamal khashoggi di istanbul turki, yang merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional yakni konvensi jenewa3.

Dalam hal ini turki sebagai negara penerima dapat melaksanakan yurisdiksi negaranya terhadap negara pengirim yakni arab saudi , demi mengusut tuntas tindak pidana yang terjadi di wilayah konsulat arab saudi di istanbul turki , sehingga dari hal ini dapat dilihat tidak ada negara yang lebih tinggi derajatnya , negara negara tersebut sejajar secara hak dan kewajiban karena memiliki sovereignty. Setelah yurisdiksi ditentukan maka selanjutnya yang ditentukan adalah bentuk pertanggung jawaban, yang dimana bentuk pertanggung jawaban diatur dalam Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Sehingga pada kasus pembunuhan jamal khashoggi harus ditentukan yurisdiksi mana yang dapat diterapkan dalam kasus pembunuhan tersebut serta apa pertanggung jawaban yang dapat diberikan. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mencoba mengangkat permasalahan untuk dapat diteliti dan dikaji dengan judul penelitian “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Terhadap Kasus Pembunuhan Dalam Kantor Perwakilan Konsuler”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditemukan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana Penerapan yurisdiksi negara dalam kantor perwakilan konsuler menurut hukum internasional ?

  • 2.    Bagaimana prinsip tanggung jawab negara terhadap kasus pembunuhan dalam kantor perwakilan konsuler ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu negara menerapkan yurisdiksinya dalam menangani tindak pidana pembunuhan di wilayah perwakilan konsuler dan untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara

terhadap kasus pembunuhan dalam kantor perwakilan konsuler.

  • II.    Metode Penelitian

Penyusunan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk mencapai jawaban yang disusun. Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal.4 Data yang digunakan dalam metode penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang meliputi bahan-bahan hukum maupun non hukum. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan peraturan perundang – undangan (statute approach) yakni dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dalam ranah hukum internasional yang dalam hal ini berupa konvensi internasional sebagai bahan hukum primer.5

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Yurisdiksi Negara Dalam Kantor Perwakilan Konsuler Menurut Hukum Internasional

Secara etimologi yurisdiksi berasal dari kata yurisdictio, yang terdiri dari dua suku kata yakni, Yuris dan Dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum, dan Dictio berarti ucapan, sabda, atau sebutan. Dengan demikian Yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum. Yurisdiksi negara dalam gedung perwakilan konsuler menurut hukum internasional tidak lepas dari hak imunitas atau kekebalan yang dimana terdapat tiga teori dalam pemberian hak imunitas atau kekebalan tersebut menurut hukum internasional yakni ;

  • -    Teori eksteritorialitas (Exterritoriality Theory) , yang pada intinya kekebalan diberikan kepada perwakilan konsuler dikarenakan berada di wilayah hukum negara pengirim sehingga tidak tunduk terhadap yurisdiksi negara penerima, konsep ini bukanlah sesuatu yang asing dalam hukum internasional. Berdasarkan pendapat dari Jeffrey T. Gayton Yang mengatakan:

“Extraterritoriality therefore can be defined as a state’s claim of jurisdiction over individuals or activities beyond its borders. Extraterritoriality can be differentiated into two types. First, extraterritorial claims can be regional (applying to individuals or activities within a specific area outside the territory of the state) or global (applying to individuals or activities regardless of their location outside the territory of the state). Second, claims can be exclusive (no other actor has jurisdiction over the individual or activity) or shared (other actors may have some jurisdiction as well).” Terjemahan bebas: Ekstrateritorial dapat diartikan sebagai yurisdiksi Negara terhadap individu atau aktivitas diluar batas wilayahnya. Ekstrateritorial dapat dibedakan menjadi menjadi dua jenis. Pertama, klaim ekstrateritorial secara regional (diaplikasikan kepada individu atau aktivitas di dalam area yang spesifik di luar

wilayah teritorial negara) atau global (diterapkan kepada individu atau aktivitas terlepas dari lokasi mereka di luar wilayah teritorial negara). Kedua, klaim dapat secara eksklusif (tidak ada aktor lain yang mempunyai yurisdiksi atas individu atau aktivitas tersebut) atau dibagi (aktor lain juga mungkin mempunyai yurisdiksi juga.)6

  • -    Teori Representatif Karakter (Representative Character Theory) yang dimana menurut teori ini kekebalan atau hak imunitasnya diperoleh dikarenakan perwakilan konsuler dianggap mewakili Kepala Negara maupun Negaranya, atau dengan kata lain perwakilan konsuler adalah perwujudan dari negara yang berdaulat yang independen serta harus dihormati.7

  • -    Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory) teori ini menjelaskan bahwa pemberian hak istimewa dan kekebalan di dasarkan pada kebutuhan yang bersifat fungsional guna mempermudah perwakilan konsuler dalam menjalankan segala urusannya selain itu dalam teori ini perwakilan konsuler tidak tunduk pada yurisdiksi lokal pengadilan, karena ini akan menghambat tugas dan fungsi perwakilan konsuler.8

Perwakilan konsuler dalam menjalani tugas-tugasnya memiliki keistimewaan yakni hak imunitas atau kekebalan terhadap hukum maupun yurisdiksi dari negara penerima keistimewaan tersebut sama dengan yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik, namun keistimewaan ini tidak bersifat absolut9 yang dimana dalam hukum internasional hak istimewa ini dijamin dan di atur dalam instrument hukum yaitu konvensi wina tahun 1963 tentang perwakilan konsuler yang terdiri dari berbagai macam pasal yang pada intinya mengatur mengenai keistimewaan-keistimewaan pada perwakilan konsuler.

Instrument hukum ini dijadikan acuan negara pengirim maupun negara penerima dalam melakukan kerjasama atau hubungan konsuler, terdapat berbagai macam pengecualian serta hak istimewa yang diperoleh perwakilan konsuler, berdasarkan konvensi wina perwakilan konsuler memiliki imunitas terhadap yurisdiksi negara penerima, memiliki hak untuk tidak diadili di negara penerima, memiliki hak untuk mendapatkan bebas dari pajak, serta berbagai macam jenis keistimewaan lainnya, namun keistimewaan tersebut memiliki batasan batasan tertentu seperti contohnya perwakilan konsuler tidak tunduk terhadap yurisdiksi dari negara penerima namun tetap harus menghormati hukum yang berlaku di negara penerima.

Dalam hal yurisdiksi negara penerima dan negara pengirim dalam kantor konsulat diatur juga di dalam konvensi wina tahun 1963 tentang hubungan konsuler yang pada intinya mengatakan bahwa pihak negara penerima tidak diperbolehkan untuk memasuki kawasan atau wilayah kantor perwakilan konsulat tanpa izin dari konsulat jendral atau atasan yang memimpin di wilayah konsulat tersebut, hal ini dikarenakan dalam wilayah konsulat berlaku yurisdiksi hukum negara pengirim serta wilayah konsulat difokuskan untuk mengurus kegiatan atau pekerjaan yang sangat eksklusif dari konsulat itu sendiri.

Namun keistimewaan tersebut tetap memiliki suatu batasan yang berlaku sehingga kebebasan atau keistimewaan tersebut tidak mutlak dan tanpa batas, yang dimana pembatasan tersebut berupa pengecualian yang dimana izin untuk memasuki wilayah dari pada perwakilan konsulat dapat tidak dilakukan dengan catatan telah terjadi suatu tindak pidana atau suatu kejahatan yang terjadi di dalam gedung perwakilan konsulat, hal ini menjadi pembatasan dari pada keistimewaan perwakilan konsulat sehingga tidak ada kedaulatan dari masing masing negara yang dipandang sebelah mata, serta tujuan dari pemberian keistimewaan dalam konvensi wina 1963 terwujud yakni agar tugas dan fungsi dari perwakilan konsuler dapat berjalan dengan semaksimal mungkin.10

  • 3.2.1    Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Terhadap Kasus Pembunuhan

    Dalam Kantor Perwakilan Konsuler

Tanggung jawab negara dalam hukum internasional memiliki prinsip serta definisi tersendiri yang dimana terdapat instrument hukum mengenai tanggung jawab negara ini, instrument tersebut adalah Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang di bentuk oleh sebuah badan yang di bentuk PBB yang bernama Internasional Law Commission atau yang di singkat ILC, namun draft atau artikel ini tidak memuat penjelasan secara rinci mengenai apa itu tanggung jawab negara.

Dalam draft tersebut terdapat beberapa hal permasalahan yang dapat dipelajari, yakni :

  • -    Apa itu tindakan salah secara internasional (internationally wrongful act);

  • -    Kapan suatu tindakan dapat dikatakan pelanggaran kewajiban internasional?;

  • -    Kapan suatu tindakan oleh negara melalui nonstate actor dapat dimintai pertanggungjawaban ?

  • -    Kapan suatu tindakan negara dapat dibenarkan?;

  • -    Apa bentuk tanggung jawab negara ? (Kompensasi, restitusi, dll.);

  • -    Negara mana yang memiliki hak untuk menggugat ?;

  • -    Sanksi apa yang dapat diterapkan serta apa batasannya ?:

Definisi dari state responsibility itu sendiri terdapat dalam kamus hukum (Dictionary of Law) yang pada intinya menjelaskan bahwa apabila negara melakukan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional maka diperlukan adanya suatu perbaikan. Sedangkan definisi Tanggung jawab negara dalam perspektif hukum internasional

merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain berdasarkan perintah hukum Internasional. Sehingga dapat di ketahui unsur – unsur dari Pertanggungjawaban Negara adalah adanya suatu perbuatan atau kelalaian (act/omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu negara yang dimana perbuatan atau kelalaian tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Pertautan merupakan suatu syarat mutlak bagi ada atau tidaknya tanggung jawab dari suatu negara dalam suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum internasional, yang dimana pertautan ini dianggap ada apabila perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional itu dilakukan oleh suatu organ negara atau pihak – pihak yang memperoleh status sebagai organ negara yang dalam hal ini organ tersebut merupakan pejabat negara, departemen pemerintahan atau badan – badannnya.

Selain unsur – unsur tersebut, dalam suatu tanggung jawab negara terdapat 2 teori yakni :

  • 1.    Teori Risiko (Risk Theory)

Di dalam teori ini terdapat sebuah prinsip yaitu, Absolute Liability atau tanggung jawab mutlak, prinsip ini disebut juga dengan Strict Liability atau Objective Liability.11 Pengertian dari prinsip ini adalah suatu negara harus bertanggung jawab terhadap segala tindak tanduk negara tersebut yang memiliki dampak yang sangat berbahaya (Harmful Effectsof Hazardous Activities) walapun tindakan negara tersebut tidak melanggar tata aturan hukum yang ada atau dengan kata lain sah berdasarkan hukum.12

  • 2.    Teori Kesalahan (Fault Theory)

Teori ini melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (Subjective Responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (Liability Based On Fault)13, yang berarti tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.14

Dalam menilai suatu negara tersebut lalai dalam menjalankan tugas dapat ditinjau dari tindakan negara tersebut. Dalam hukum internasional tindakan suatu negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu tindakan negara dalam kapasitas public (iure imperium) dan privat (iure gestiones), konsep tanggung jawab negara sebenarnya lahir sebagai suatu upaya untuk membedakan tindakan negara yang bersifat public maupun perdata.15

Hal inilah yang kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab negara, pasal 1, yaitu: “Every internationally wrongful act of a state entails the international responsibility

of that state.”16 Yang apabila di terjemahkan bebas memiliki pengertian sebagai Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action/omission) itu melekat pada negara berdasarkan hukum internasional dan melanggar kewajiban internasional negara.17 Dalam menilai tindakan negara yang tidak sesuai tersebut dalam ranah atau kapasitas publik atau perdata yang sangat menentukan ialah unsur atribusi, hal ini dikarenakan salah satu yang merupakan tujuan dari pembentukan konvensi tanggung jawab negara adalah untuk memantau atau menyoroti tindakan negara dalam ranah atau ruang publik.

Mengenai atribusi dijelaskan dalam Pasal 2 (a) Draf Articles On The Responsibility Of States For Internationally Wrongful Acts yang pada intinya pelanggaran terhadap hukum internasional menimbulkan State Responsibility jika pelanggaran tersebut dapat diatribusikan ke negara menurut hukum internasional. Atribusi menjadi sangat penting karena setiap tindakan negara merupakan tindakan dari aparatur negara. Untuk itu dalam atribusi harus diketahui jenis serta orang yang melakukan tindakan tersebut sehingga dapat diketahui apakah tindakan tersebut merupakan tindakan negara yang dapat dimintai pertanggung jawaban negara. Hal ini lebih rinci diatur dalam pasal 4 hingga 11.

Pada pasal 4 dijelaskan mengenai segala bentuk tindakan dari organisasi negara merupakan tindakan yang mewakili negara berdasarkan hukum internasional. Organisasi yang dimaksud bukan hanya yang berkedudukan di pusat melainkan di daerah juga. Tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, suatu negara dapat dimintai tanggung jawab atas tindakan yang di lakukan oleh negara lain. Hal ini diatur dalam pasal 16 hingga 19.

Dalam pasal 5 dijelaskan bahwa individu serta entitas lain yang bukan merupakan organisasi internasional namun memiliki kewenangan berdasarkan hukum nasional dalam hal melaksanakan kewenangan negara, dapat diatribusikan sebagai suatu tindakan dari suatu negara. Segala bentuk tindakkan dari organisasi, individu, hingga entitas yang memiliki kewenangan melaksanakan elemen dari kewenangan suatu negara, dapat dianggap bertindak atas nama negara menurut hukum internasional walaupun melampaui kewenangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7.

Pada kententuan Pasal 4 dan Pasal 5, apabila individu dan kelompok yang diluar dari ketentuan pasal ini melaksanakan suatu tindakan yang merupakan perintah oleh suatu negara, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan dari negara tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 8 , namun di dalam pasal ini terdapat kekurangan yaitu tidak ada penjelasan yang rinci mengenai batasan dari perintah negara dimaksud.

Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam pasal 9 dan pasal 10 terdapat aturan mengenai tindakan individu, kelompok maupun pemberontak yang dapat diatribusikan sebagai suatu bentuk tindakan negara berdasarkan hukum internasional. Yang dimaksud dari isi pasal tersebut adalah apabila suatu tindakan dilakukan oleh individu, kelompok maupun pemberontak namun tindakan tersebut didasari oleh ketidakmampuan otoritas resmi untuk melaksanakannya, maka dapat dikatakan tindakan tersebut merupakan

tindakan negara. Begitu pun bagi tindakan pemberontak yang berhasil membentuk pemerintahan baru dianggap sebagai tindakan negara.

Sehingga dari penjelasan dari prinsip tanggung jawab negara tersebut dapat ditinjau mengenai tanggung jawab negara terhadap pembunuhan dalam kantor perwakilan konsuler, yang dimana pada intinya tanggung jawab negara terhadap tindakan tersebut berupa reparasi yang diatur dalam Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful yang menjelaskan bahwa suatu negara wajib melakukan reparasi atau perbaikan terhadap segala bentuk tindakan salah internasional yang dilakukan oleh negara tersebut yang menyebabkan kerusakan baik dari segi materiil maupun moriil seperti contohnya dengan cara mengadili serta memberi sanksi bagi pihak yang dalam hal ini adalah negara yang menjadi pelaku tindak pidana internasional tersebut.

  • IV. Kesimpulan

Berkenaan dengan pembahasan diatas, maka penyusunan jurnal ini berkesimpulan bahwaYurisdiksi negara dalam gedung perwakilan konsuler menurut hukum internasional tidak lepas dari hak imunitas atau kekebalan yang dimana terdapat tiga teori dalam pemberian hak imunitas atau kekebalan tersebut menurut hukum internasional yakni ; Teori eksteritorialitas (Exterritoriality Theory), Teori Representatif Karakter (Representative Character Theory) serta Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory) sehingga perwakilan konsuler memiliki keistimewaan tertentu dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, keistimewaan ini diatur dalam Konvensi Wina tahun 1963 tentang perwakilan konsuler, dalam konvensi tersebut kebebasan yang dimaksud memiliki batasan yang jelas yaitu izin untuk memasuki wilayah dari pada perwakilan konsulat dapat tidak dilakukan dengan catatan telah terjadi suatu tindak pidana atau suatu kejahatan yang terjadi didalam gedung perwakilan konsulat, sehingga tidak ada kedaulatan dari masing masing negara yang dikesampingkan. Dalam permasalahan ini tentu terdapat pihak yang harus bertanggung jawab yang dimana pada intinya tanggung jawab negara terhadap tindakan pidana tersebut dapat berupa suatu reparasi yang diatur dalam Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful yang menjelaskan bahwa suatu negara wajib melakukan reparasi atau perbaikan terhadap segala bentuk tindakan salah internasional yang dilakukan oleh negara tersebut yang menyebabkan kerusakan baik dari segi materiil maupun moriil. Jadi dalam hal suatu pembunuhan terjadi dalam perwakilan konsuler, pihak yang bertanggung jawab dapat dikenakan sanksi apabila negara tersebut terbukti melakukan suatu tindak pidana pembunuhan di dalam wilayah perwakilan konsulernya sendiri namun perwakilan tersebut berada di negara lain maka negara yang menjadi pelaku tersebut wajib bertanggung jawab dengan melakukan reparasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan,(Jakarta, Sinar Grafika, 2020).

Sujatmoko, Andrey, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM : Indonesia,Timor

Leste, Dan Lainnya, (Jakarta, Grasindo, 2005).

Suparmo, Bambang, Ilmu Hukum Tata Negara,(Surabaya, Ubhara Press, 2018).

Jurnal Ilmiah

Anggraini, Dina. “Yurisdiksi Negara Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Oleh Perusahaan Transnasional” kertha negara 7, No. 6 (2019).

Anonim. “International Law Making : Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance with the Character of the United Nations.”Volume 3, No. 03 (2006)

Djanggih, Hardianto. “Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial.”Jurnal penelitian hukum, No. 740 (2014).

Karamoy, Deicy Natalia. “Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik Menurut Hukum Internasional.”Lex et societatis 6, No. 5 (2018).

Lehnardt, Chia, Private Military Companies and State Responsibility, International Law and Justice Working Papers, NYU Law School, (2007).

Mahadewi, Kadek Anggisita. “Penyalahgunaan Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi Terhadap Pelayan Pribadinya Di Jerman.” Jurnal Ilmu hukum,(2017).

Regina, Sompotan Henriette Maria. “Analisis Yuridis Terhadap Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik Dari Organisasi Internasional Berdasarkan Hukum Internasional.” Lex privatum 4, No. 2, (2016).

Sonata , Depri Liber. “Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum.” Jurnal ilmu hukum, No. 1 (2019).

Syahmin AK. “Penerapan Prinsip Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik (Analisis Terhadap Kasus Penangkapan Dan Penahanan Diplomat Asing di Indonesia).” Jurnal hukum dan pembangunan,No. 3 (2009).

Tambaritji, Christianty N.F.. “Aspek Hukum Kedudukan Perwakilan Konsuler Dalam Pelaksanaan Hubungan Kerjasama Antar Negara Menurut Konvensi Wina Tahun 1963.” Lex et societatis 7, No. 3 (2019)

Peraturan Perundang-Undangan

Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts.

Internet

Athira Suresh, 2020, “How Iis Absolute Liability Different From Strict Liability ?”, Lawsisto, URL:http://www.lawsisto.com/artcileread/NDU1/How-is-Absolute-Liability Different From-StrictLiability,diakses tanggal 13 September 2020.

Suria Nataadmadja, 2019, “Liability Based On Fault”, Suria Law, URL: http://www.surialaw.com/news/liability-based-on-fault, diakses tanggal 13 September 2020.

Zuhri, Muhammad, 2018, “Jamal Khashoggi Dibantai di Dalam Konsulat Arab Saudi”, Batam News, URL: http://www.batamnews.co.id/berita-39453, diakses tanggal 31 Oktober 2018.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 8 Tahun 2021, hlm. 569-577

577