Perkawinan Antara Orang Tua Dengan Anak Angkat Dalam Hukum Positif Indonesia
on
PERKAWINAN ANTARA ORANG TUA DENGAN
ANAK ANGKAT DALAM HUKUM POSITIF
INDONESIA
Ni Luh Putu Ayu Arsani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
A.A Gede Oka Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk mengkaji kepastian hukum terkait legalitas dari perkawinan yang dilangsungkan antara orang tua dan anak angkat beserta dampak hubungan kewarisannya. Studi ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan pendekatan fakta (fact approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan juga pendekatan konseptual (conceptual approach). Berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan hukum yang ditelaah oleh penulis, perkawinan orang tua dengan anak angkat dapat dibenarkan secara hukum sepanjang dilaksanakan dengan berdasar kepada ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Perkawinan antara orang tua angkat dengan anak angkat membuat perubahan pada hubungan kewarisan, hal ini dikarenakan perubahan kedudukan hukum dari antara seorang anak dengan orang tua menjadi hubungan suami-isteri dengan hak dan kewajiban yang tentu berbeda pula. Persoalan hubungan kewarisan dari dilakukannya perkawinan antara anak angkat dengan orang tua angkat tentu membuat perubahan kedudukan hukum dimana kedudukan salah satu pihak yang sebelumnya sebagai anak dengan hak dan kewajiban sebagai anak, mengalami perubahan kedudukan menjadi suami/isteri yang memiliki hak dan kewajiban yang tentu berbeda pula. Sehingga hal ini masih dapat diperbolehkan karena dalam hukum adat Bali, Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan tidak mengatur secara lengkap tentang larangan perkawinan antara anak angkat dengan orang tuanya yang tidak memiliki hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping.
Kata Kunci: Perkawinan, Anak Angkat, Hubungan Kewarisan.
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the legal certainty related to the legality of a marriage that is carried out between parents and adopted children and the impact of their inheritance relationship. This study is a normative legal research that uses a fact approach, a statue approach and a conceptual approach. Based on the results of research on legal issues reviewed by the author, marriage between parents and adopted children can be legally justified as long as it is carried out based on the provisions of positive law. Marriage between adopted parents and adopted children makes changes to the inheritance relationship, this is due to changes in the legal position of a child and parents to a husband-wife relationship with different rights and obligations. The issue of the inheritance relationship from the marriage between adopted children and adoptive parents certainly changes the legal position where the position of one of the parties who was previously a child with rights and obligations as a child, has changed the position of being a husband / wife who has different rights and obligations. . So that this can still be allowed because in Balinese customary law, the Compilation of Islamic Law and the Marriage Law do not completely regulate the prohibition of marriage between adopted children and their parents who are not related by blood in the line of descent down or above, lineage is sideways.
Keywords: Marriage, Adopted Children, Inheritance Relationship.
Manusia ialah makhluk yang secara kodrati tidak bisa hidup seorang diri. Aristoteles menyatakan konsep manusia sebagai “zoon politicon” yang memuat pengertian bahwa manusia pada dasarnya sebagai makhluk hidup senantiasa ingin berkumpul dan bergaul dengan sesama manusia lainnya, dan berdasar kepada hal tersebutlah manusia dipahami sebagai makhluk sosial. Manusia disamping sebagai seorang makhluk sosial juga mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri namun sisi lain manusia sebagai makhluk sosial membuat manusia kembali tidak dapat melepaskan diri atas keinginan untuk hidup dalam suatu kelompok. Kelompok pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Keinginan untuk meneruskan keturunannya membuat manusia melangsungkan perkawinan dan membentuk serta mempertahankan keluarga. Berbicara soal perkawinan memang selalu identik dengan janji-janji kebahagiaan.1 Hak untuk membentuk keluarga tersebut telah ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.2 Perkawinan akan mengubah status keduanya. Setelah perkawinan, kedua belah pihak akan menerima beban yang berat dan tanggung jawab sesuai kodrat masing-masing.3 Secara umum suatu keluarga terdiri atas suami-isteri dan anak. Dalam kaitannya dengan anak sebagai bagian dari anggota keluarga, persoalan anak angkat di persimpangan hukum merupakan salah satu dari tajuk menarik yang menjadi judul dalam beberapa penelitian ilmiah. Permasalahan hukum yang diangkat dalam beberapa penelitian tersebut adalah berkaitan dari legitimasi hukum dari pengangkatan anak dan hak waris yang dimilikinya. Pengangkatan anak merupakan perbuatan untuk membuat anak orang lain menjadi bagian dari keluarga sendiri dengan pengangkatan berdasar pada ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan seperti hubungan anak kandung dengan orang tua kandung.4 Anak angkat merupakan anak yang dijadikan anak untuk didik dan dirawat dengan kasih sayang sebagaimana anak kandung.
Menelaah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) secara eksplisit melalui Pasal 1 angka 9 menentukan bahwa “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab untuk membesarkan, merawat dan mendidik anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.” Persoalan anak angkat dalam masyarakat kemudian berkembang menjadi semakin kompleks dengan munculnya fenomena perkawinan antara orang tua dan anak angkat yang
marak terjadi. Pada dasarnya perkawinan merupakan sesuatu yang mengikat individu untuk membentuk bahtera rumah tangga dengan individu lainnya guna mendapatkan keturunan yang dibenarkan oleh hukum.5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan j.o Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) menjadi dasar hukum dalam pengaturan terkait perkawinan di Indonesia. Merujuk Pasal 1 UU Perkawinan ditentukan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan sendiri telah terdapat larangan untuk dilaksanakan oleh mereka yang terikat hubungan orang tua dan anak kandung akan tetapi masih terdapat kekaburan terkait apakah ketentuan tersebut juga berlaku dalam perkara perkawinan antara anak angkat bersama orang tua angkat. Kemudian persoalan hubungan kewarisan yang terjadi pasca dilaksanakannya perkawinan antara anak angkat bersama orang tua juga masih menimbulkan suatu tanda tanya besar. Beberapa peneliti pernah melakukan penelitian terkait persoalan hukum anak angkat. Muhammad Rais mengangkat penelitian dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat Dan Hukum Perdata” yang membedah persoalan anak angkat terkhusus pada kedudukan hukumnya dalam beberapa perspektif.6 Selanjutnya Gesang Tri Waluyan melakukan penelitian dengan permasalahan hukum yang sejenis dengan judul “Menikah Dengan Anak Angkat Dalam Perspektif hukum Islam”.7 Dalam penelitian tersebut diuraikan terkait persoalan benar atau tidaknya perkawinan orang tua dengan anak angkat berdasarkan perspektif hukum Islam.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penulis tertarik untuk membahas persoalan baru dan belum pernah dibahas sebelumnya terkait hukum perkawinan agar kedepanya tulisan ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis juga menyadari bahwa belum ada yang mencoba menelaah lebih dalam persoalan hukum perkawinan anak angkat dengan orang tua angkat ini dalam perspektif Undang-Undang Perkawinan, Hukum adat Bali dan Kompilasi Hukum Islam. Lebih lanjut persoalan hubungan kewarisan dari perkawinan antara orang tua angkat bersama anak angkat juga belum terdapat penelitian yang membahasnya sebelumnya. Berdasar hal tersebut penulis kemudian akan mengangkat judul “PERKAWINAN ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK ANGKAT DALAM BERBAGAI HUKUM POSITIF DI INDONESIA”.
-
1. Bagaimana dasar hukum perkawinan orang tua dengan anak angkat dalam berbagai hukum positif indonesia?
-
2. bagaimana hubungan kewarisan dari perkawinan antara anak angkat dengan orang tua angkat?
Penulisan jurnal ini ditujukan agar dapat memberikan pemahaman terkait legalitas dari perkawinan antara anak angkat bersama orang tua angkat di Indonesia. Penelitian ini juga ditujukan agar memberikan penjelasan berkaitan dengan hubungan kewarisan kaitannya pada hak mewarisi dari dilakukannya perkawinan antara anak angkat bersana orang tua angkat.
Jenis penelitian hukum normatif ini melakukan pengkajian atas problema norma yang yaitu norma kabur.8 Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fakta (fact approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan juga pendekatan konseptual (conceptual approach), mengingat dalam proses pengkajian didasarkan kepada bahan pustaka berupa perundang-undangan yang bertalian dengan permasalahan yang diteliti.9 Teknik pengumpulan bahan hukum dilaksanakan melalui studi dokumen serta secara deduktif dalam teknik analisisnya yaitu berangkat dari premis umum menuju premis khusus.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Dasar Hukum Perkawinan Antara Orang Tua dengan Anak Angkat Dalam Hukum Positif Indonesia
-
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) memang secara eksplisit tidak mengatur pengangkatan anak. Pengaturan yang terdapat dalam dalam Bab XII Bagian 3 dalam Pasal 280 hingga Pasal 289 Buku I ialah hanya berkaitan dengan anak diluar kawin, sehingga dapat dipahami bahwa sebenarnya KUHPer tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana yang dikenal saat ini.10 Anak angkat merupakan anak yang lahir dari suatu perbuatan hukum berupa pengangkatan anak. Pemahaman tentang pengangakatan anak dapat ditinjau dengan melihat pengertian dari pengangkatan anak itu sendiri. Pengertian pengangkatan anak secara etimologi berasal dari bahasa belanda yaitu “adoptie” yang berarti pengangkatan seorang anak agar menjadi anak kandung. Lebih lanjut secara terminologi pengangkatan anak diartikan sebagai perbuatan pengambilan anak orang lain dengan diperlakukan sama layaknya anaknya kandung.11 Merujuk ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan Anak ditentukan bahwa: “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”. Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak ditentukan bahwa:
“pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya”. Secara umum pemahaman atas pengangkatan anak dapat dikotomikan dalam dua pengertian yakni dalam arti luas sebagai suatu perbuatan untuk mengangkat anak dari orang lain untuk masuk ke dalam keluarga yang membuat hubungan orang tua angkat menjadi orang tua sendiri bagi anak tersebut dan begitu pula sebaliknya. Dalam arti sempit sebagai perbuatan mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri yang kemudian melahirkan suatu hubungan sosial saja di antara mereka. Dasar hukum yaitu berarti perihal keadaan yang sah atau memiliki keabsahan. Persoalan dasar hukum perkawinan antara orang tua dengan anak angkat ialah persoalan yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut mencakup sah atau tidaknya serta ada atau tidak larangan perkawinan yang dilanggar dari perkawinan tersebut. Berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan, merujuk pada UU Perkawinan BAB I tentang Dasar Perkawinan ditentukan beberapa hal pokok mendasar dari perkawinan. Pasal 1 UU Perkawinan secara terang menentukan bahwa: “perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa: “suatu perkawinan akan menjadi sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.”
Selanjutnya berkaitan dengan berbagai syarat pada perkawinan sendiri diatur dalam BAB II tentang Syarat-syarat Perkawinan. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan mencakup syarat adanya kehendak persetujuan oleh kedua calon mempelai, batasan umur dalam melaksanakan perkawinan, dan syarat tidak dilanggarnya larangan-larangan perkawinan yang ditentukan menurut hukum positif.12 Merujuk Pasal 8 UU Perkawinan secara ekplisit mengatur larangan suatu perkawinan yaitu: “mereka yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping , berhubungan semenda, susuan, saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dan yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain dilarang untuk dilakukannya perkawinan”. Permasalahan hukum dari dilaksanakannya perkawinan antara orang tua dengan anak angkat tentu harus diletakkan dalam dasar pemahaman tentang pengertian perkawinan, syarat serta larangan dalam melaksanakan perkawinan. Berdasarkan penafsiran sistematis BAB I UU Perkawinan yang mengatur mengenai dasar perkawinan secara ekplisit menegaskan letak penting ketentuan hukum agama calon mempelai dalam legalitas suatu perkawinan. Hal ini terlihat dari pengertian perkawinan dalam Pasal 1 yang memuat frasa “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar membina rumah tangga. Selanjutnya terdapatnya Frasa “menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya” dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai dasar sah atau tidaknya suatu perkawinan menegaskan kembali letak penting hukum agama sebagai dasar pelaksanaan perkawinan. Berdasar hal tersebut dapat dipahami bahwa sah atau tidaknya perkawinan antara orang tua dengan anak angkat harus ditinjau kembali dalam perspektif norma agama yang dipeluk oleh masing-masing calon mempelai,
bilamana terdapat larangan perkawinan antara orang tua dengan anak angkat dalam agama yang dipeluk oleh calon mempelai maka perkawinan tersebut tidak dapat dikatakan sah. Lebih lanjut selain harus meninjau kembali dalam hukum agama yang dipeluk oleh masing-masing calon mempelai, penelahaan kembali terkait syarat-syarat perkawinan yang termaktub dalam BAB II UU Perkawinan juga mesti menjadi kerangka dasar dalam menjawab persoalan legalitas perkawinan antara orang tua dengan anak angkat. Perkawinan yang dilaksanakan tersebut tentu harus mengikuti batasan umur calon mempelai yang telah ditentukan. Hal penting lain yang kemudian harus terpenuhi pula adalah tidak terdapat hubungan antar calon mempelai yang dilarang oleh ketentuan Pasal 8 UU Perkawinan. Berdasar kepada hal tersebut maka dapat dipahami bahwa anak angkat yang menjadi calon mempelai tersebut haruslah sudah memenuhi batasan umur yang ditentukan oleh UU Perkawinan, selanjutnya juga masing-masing calon mempelai tidak boleh memiliki “hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, susuan, saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri.” Sepanjang perkawinan antara orang tua dengan anak angkat tersebut dilaksanakan dengan tidak melanggar ketentuan hukum agama yang masing-masing mereka peluk, dan memenuhi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan maka perkawinan tersebut sah diperbolehkan secara hukum.
Dalam kompilasi hukum Islam Pasal 14 sendiri tidak ada pengaturan secara jelas yang melarang perkawinan anak angkat dengan orang tuanya semasih tidak memiliki hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, susuan, saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri. Melainkan hanya ada syarat untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul.
Dalam hukum agama hindu juga tidak melarang perkawinan antara anak angkat dengan orang tua selama tidak adanya hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, susuan, saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri. Perkawinan di Bali yang bernafaskan beragama Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang di masyarakat Bali dikenal dengan istilah "kapurusa atau purusa". Sehingga prinsip sistem kekeluargaan purusa adalah mempelai perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua dan saudara kandungnya) untuk selanjutnya masuk secara total dalam keluarga suaminya. Semua tahapan perkawinan (wiwaha) dilakukan di rumah mempelai pria diantaranya adalah Upacara Mesegehagung, Madengen-dengen, Mewidhi Widana dan Mejauman Ngabe Tipat Bantal. Upacara perkawinan dilakukan di rumah Suami karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk perkawinan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki-laki. Adapun syaratnya yaitu:
-
1. Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan Hukum Hindu.
-
2. Untuk mengesahkan perkawinan menurut Hukum Hindu harus dilakukan oleh Pedanda/Pandita atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
-
3. Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.
-
4. Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian Upacara Wiwaha.
-
5. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
-
6. Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
-
7. Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun.
-
8. Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau sepinda.
Pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan memberikan perlindungan hukum atas kedudukan hukum anak angkat. Hal tersebut dikarenakan penetapan atau putusan pengadilan yang telah ada membuat status anak angkat tersebut setara dengan anak kandung.13 Putusan atau penetapan pengadilan tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting mengingat dalam negara hukum, kepastian hukum adalah kebutuhan yang mendesak guna menghindarkan kekacauan dalam masyarakat dan penetapan atau putusan pengadilan tersebut merupakan salah satu bentuk kepastian hukum.14 Persamaan tersebut dalam hal perawatan, pendidikan ataupun hak mewarisi sebagai ahli waris yang sah dari orang tua angkatnya. Hal yang penting untuk dipahami juga ialah pentingnya dalam menambahkan keterangan pada akta kelahiran anak bahwa atas anak tersebut telah dilangsungkan suatu pengangkatan anak dengan menyebutkan secara terang identitas orang tua angkat yang baru dari anak tersebut.15 Secara sederhana letak penting akta kelahiran harus dilihat sebagai sesuatu yang menunjukan hubungan keluarga seseorang dalam kelahirannya yang dimana hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari hubungan kewarisan seseorang nantinya.
Perkawinan antara orang tua dengan anak angkat tentu menimbulkan suatu implikasi hukum. Perkawinan yang dilaksanakan tersebut melahirkan perubahan kedudukan hukum anak angkat menjadi seorang suami atau isteri, yang tentu juga membuat adanya perbedaan hubungan kewarisan yang sebelumnya antara anak angkat dan orang tua menjadi suami dan isteri. Lapangan hukum kewarisan bilamana ditelaah dalam dasar hukumnya sebenarnya bersifat pluralistis. Sifat pluralistis ini disebabkan tidak dapat dilepaskannya hukum waris dari sistem kekeluargaan serta suku, budaya, adat istiadat dan agama, masyarakat Indonesia, karena hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang menyangkut kehidupan seseorang. Pengertian tentang hukum waris memang tidak secara ekplisit ditentukan dalam KUHPer akan tetapi Pasal 830 KUHPer menekankan bahwa kematian merupakan suatu sebab yang dapat memungkinkan terjadinya pewarisan. Pittlo menyatakan bahwa hukum waris merupakan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kekayaan yang didapatkan karena wafatnya seseorang, kekayaan tersebut berasal dari adanya suatu pemindahan
kekayaan yang terjadi dari orang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang ditinggalkan mencakup dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Kemudian Wirjono Projodikoro pun menjelaskan tentang warisan sebagai suatu persoalan yang mempertanyakan terkait cara peralihan berbagai hak dan kewajiban atas kekayaan seseorang kepada orang yang masih hidup saat waktu ia meninggal dunia.16
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar terjadinya suatu pewarisan adalah adanya ahli waris, pewaris serta harta warisan. Pengertian dari ahli waris ialah orang yang berkedudukan terhadap warisan sebagai pengganti pewaris sementara pewaris adalah orang yang meninggalkan harta untuk orang lainnya saat meninggal dunia. Selanjutnya pengertian harta warisan adalah keseluruhan harta kekayaan yang dimiliki dan ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Terdapat dua macam cara mewarisi ahli waris dalam KUHPerdata yang pertama adalah ahli waris penggantian atau bij plaatvervuling dan ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri atau uit eigen hoofde, kedua hal tersebut merupakan cara mewarisi menurut Undang-Undang atau ab intestato. Kemudian yang kedua adalah ahli waris yang merupakan orang yang diangkat atau ditunjuk pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya, cara ini dikenal sebagai cara mewarisi berdasarkan testament atau wasiat.17 Pengangkatan anak akan menimbulkan suatu implikasi pada kedudukan hak mewarisi anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Secara prinsip tentu pewarisan atas anak angkat tersebut akan merujuk kembali pada ketentuan hukum waris dari orang tua angkatnya. Merujuk Pasal 12 j.o 14 Staatsblad 1917 : 129, ditentukan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama layaknya anak kandung. Perkawinan antara orang tua dengan anak angkat menimbulkan suatu implikasi pada hubungan kewarisan antara mereka dimana hubungan kewarisan tersebut bukanlah antara orang tua dengan anak namun antara suami atau isteri yang tentu memuat hak dan kewajiban hukum yang berbeda sehingga dalam kewarisannya juga disesuaikan dengan kedudukan hukum yang telah berbeda. Berdasarkan penafsiran sistematis perubahan kedudukan hukum meliputi hak dan kewajibannya terlihat sebagaimana seorang anak angkat dan orang tua memiliki hak dan kewajiban yang termuat dalam BAB X tentang Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak sedangkan ketika orang tua angkat dan anak angkat tersebut melangsungkan perkawinan maka mereka akan tunduk pada pengaturan Hak dan Kewajiban Suami-Isteri sebagaimana yang ditentukan dalam BAB VI tentang Hak dan Kewajiban Suami-Isteri. Berdasarkan pendekatan konsep, dalam hukum agama islam terdapat kelompok-kelompok ahli waris sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa: “kelompok-kelompok ahli waris terdiri atas hubungan darah golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. Sementara menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.” Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa ketika seorang anak angkat melakukan perkawinan bersama orang tua angkatnya maka terjadi perubahan hubungan kewarisan antara anak dan orang tua menjadi suami dan isteri. Persoalan yang kemudian muncul juga adalah terdapatnya tumpang tindih pengaturan dimana sesuai yang telah diuraikan sebelumnya bahwa anak kandung dan anak angkat memiliki
kedudukan hukum yang sama dalam hubungan kewarisan, akan tetapi bilamana menelaah kedalam Pasal 8 UU Perkawinan secara ekplisit hanyalah mengatur larangan perkawinan antara orang tua dengan anak kandung dan tidak secara ekplisit memuat larangan perkawinan antara orang tua dan anak angkat padahal didalam hubungan kewarisan antara anak kandung dan anak angkat memiliki kedudukan yang sama.
Di masyarakat Bali, menurut hukum adat Bali pewarisan harta benda menganut sistem patrilineal, dalam hal harta (obyek warisan) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu harta pusaka (bernilai magis-religius) dan/atau harta benda (yang bernilai ekonomis). Sedangkan dalam ahli waris (subyek warisan) juga dibedakan menjadi dua, yaitu ahli ahli waris predana dan/atau ahli waris purusa. Kenapa ahli waris predana, bukan perempuan? Karena perempuan tidak selalu predana dan sebaliknya, dan purusa tidak selalu laki-laki dan sebaliknya.
Hukum pewarisan adat Bali Patrilineal yaitu menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, marga, di mana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya. Oleh karena itu, termasuk ke dalam clan ayahnya, yakni dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah Batak atau di mana setiap orang itu menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada maknya, tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya itu, dan karena itu termasuk ke dalam clan ayahnya ataupun ke dalam clan ibunya yakni -dalam sistem patrilineal yang beralih-alih, seperti di Lampung dan Rejang.
Menurut pendapat Hazairin dapat dikatakan bahwa dalam sistem kekerabatan patrilineal prinsip keturunannya yaitu mengikuti garis keturunan ayah. Selain yang diungkapkan di atas, prinsip ini juga diterapkan di Bali. Dalam hal ini hanya anak laki-laki saja yang berhak mewaris. Sedangkan prinsip matrilineal yaitu prinsip keturunan yang mengikuti dari garis keturunan ibu. Sistem hukum warisan atas dasar kekerabatan ini sudah berlaku sejak dahulu kala, sebelum masuknya ajaran-ajaran agama di Indonesia, seperti Hindu, Islam, dan Kristen.18
Dasar hukum suatu perkawinan antara orang tua dan anak angkat haruslah dilihat dari dua perspektif yakni dalam hukum positif dan hukum agama. Berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan sebelumnya terdapat beberapa syarat dan larangan yang secara eksplisit tidak boleh dilanggar oleh orang tua dan anak angkat dalam melaksanakan perkawinan. Kendati pun calon mempelai yakni orang tua dan anak angkat tersebut tidaklah melanggar ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan namun hal yang juga harus kemudian dipahami adalah bahwa hukum agama menjadi dasar penting yang juga harus ditaati oleh setiap mempelai agar kemudian perkawinan tersebut menjadi sah dan dapat diakui oleh negara sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menegaskan. Selanjutnya persoalan hubungan kewarisan dari dilakukannya perkawinan antara anak angkat dengan orang tua angkat tentu membuat perubahan kedudukan hukum dimana kedudukan salah satu pihak yang sebelumnya sebagai anak dengan hak dan kewajiban sebagai anak, mengalami perubahan kedudukan menjadi suami/isteri yang memiliki hak dan kewajiban yang tentu berbeda pula. Sehingga hal ini masih dapat diperbolehkan karena dalam hukum adat Bali, Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan tidak mengatur secara lengkap tentang larangan perkawinan antara anak
angkat dengan orang tuanya yang tidak memiliki hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas, garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, susuan, saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri. Saran yang bisa penulis sampaikan terkait persoalan ini ialah harus adanya penelitian lebih lanjut terkait perkawinan anak angkat dan orang tua. Hal ini dikarenakan kedudukan anak angkat dan anak kandung dalam perspektif hubungan kewarisan ialah setara akan tetapi larangan pelaksanaan perkawinan hanya dibebankan pada anak kandung semata sementara secara ekplisit UU Perkawinan tidak menentukan larangan perkawinan yang dilangsungkan oleh orang tua bersama anak angkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta, Bina Aksara, 1985).
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Diponegoro,2008).
Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2009).
Soeroso. Perbandingan KUHPerdata. (Jakarta, Sinar Grafika, 2007).
Yulianto Achmad dan Mukti Fajar ND. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2017).
Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. (Jakarta, Sinar Grafika, 2002).
JURNAL ILMIAH
Fadhil, A., & Darmadi, A. Tinjauan Yuridis Terhadap Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, Vol 6, No 5. (2019).
Manik Prayustini, Ni Wayan. “Hak Mewaris Anak Angkat Terhadap Harta Orang Tua Angkat Menurut Hukum Perdata”. Jurnal Kertha Semaya , Vol 2, No 2, (2014).
Munawar, Akhmad. "Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia." Al-Adl: Jurnal Hukum, Vol 7, No. 13, (2015).
Novita, Putu. “Hak Anak Angkat Terhadap Pembagian Warisan”. Jurnal Kertha Semaya Vol 4, No. 2, (2015).
Pranata Dharmaputra P., M., & Rudy, D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Terhadap Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, Vol 9, No 3, (2021)
Rais, Muhammad. "Kedudukan Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 14, No. 2 ,(2016).
Sridana, Claudia Verena Maudy, and I. Ketut Suardita. "Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan." Jurnal Hukum Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana , Vol 6, No. 01 (2018).
Usman, Sumiati. "Kedudukan hukum anak angkat terhadap hak waris." Lex Privatum , Vol 1, No. 4, (2013).
Wahyuni, Sri. "Kontroversi Perkawinan Beda Agama di Indonesia." Jurnal Hukum Islam Vol 2, No 4, (2016).
Waluyan, Gesang Tri. "Menikah Dengan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam." PhD diss., IAIN, Vol 5. No.1 (2017).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R. Soebakti dan R. Tjitrosudibio, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan j.o Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 4 Tahun 2020, hlm. 16-26.
26
Discussion and feedback