PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM TERHADAP DELIK HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DI INDONESIA

Putu Rismayanti Ria Andriani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Wayan Suardana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk menganalisis hukum yang diberlakukan terkait dengan hubungan seksual sedarah incest berdasarkan perspektif pluralisme hukum di Indonesia serta mengkaji sanksi yang dijatuhkan pada sistem hukum yang diberlakukan. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam perspektif pluralisme hukum hubungan seksual dapat dikaji dalam perspektif hukum adat. Hukum adat bali memberikan ruang dikenakannya sanksi adat terhadap berbuatan incest atau dikenal dengan delik Gamia Gamana. Sanksi (Sangaskara Danda) yang dikenakan berupa Maprayascita atau upacara keagamaan yang ditujukan sebagai bentuk mengembalikan keseimbangan berdasarkan konsep “Tri Hita Karana”. Diperlukannya pembaharuan hukum pidana dengan perspektif pluralism hukum agar mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia. Perbuatan hubungan seksual sejenis (incest) dengan telah dirumuskan dalam Pasal 420 Konsep KUHP 2019 dengan sanksi pidana maksimal 12 tahun penjara.

Kata Kunci: Pluralsime Hukum, Hubungan Seksual Sedarah, Pembaharuan Hukum Pidana.

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the laws that are enforced in relation to incestuous sexual relations based on the perspective of legal pluralism in Indonesia and to examine the sanctions imposed on the legal system in force. This study uses a normative legal research method with a statutory approach and a comparative approach. The results of the study show that in the perspective of pluralism, sexual relations law can be studied from the perspective of customary law. Balinese customary law provides space for the imposition of customary sanctions against acts of incest or known as Gamia Gamana offenses. Sanctions (Sangaskara Danda) are imposed in the form of Maprayascita or religious ceremonies which are intended as a form of restoring balance based on the concept of "Tri Hita Karana". The need for criminal law reform with a legal pluralism perspective in order to reflect the ideals of Indonesian law. The act of same sex relations (incest) has been formulated in Article 420 of the 2019 Criminal Code with a maximum penalty of 12 years in prison.

Key Words: Legal Pluralism, Incest, Penal Reform.

  • I.     Pendahuluan

    1.1   Latar Belakang Masalah

Kehidupan seorang manusia dimulai sejak dilahirkan ke dunia seorang diri walaupun begitu tidak dapat diartikan bahwa manusia hanya sebagai makhluk individu saja. Sejatinya, manusia senantiasa memiliki hasrat hidup bersama dengan manusia lain karena manusia bukanlah makhluk sempurna yang membutuhkan bantuan sehingga dapat dikatakan bahwa manusia juga sebagai makhluk sosial. Atas

dasar itu dapat dikatakan bahwa manusia ialah entitas paling kompleks yang ada di muka bumi karena memiliki dua hasrat berbeda yang saling beriringan. Manusia sebagai makhluk individu selalu berkeinginan untuk mencukupi segala kebutuhannya dan disisi lain sebagai makhluk sosial yang memiliki keinginan agar hidup berdampingan dengan sesama manusia. Dengan hidup secara berdampingan juga mendorong manusia untuk memenuhi hasrat biologisnya yaitu memperoleh keturunan. Langkah awal yang harus dilakukan dalam membentuk sebuah keluarga ialah dengan menyatukan diri dalam ikatan perkawinan. Adanya ikatan perkawinan merupakan salah satu wujud dari pemenuhan hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Keluarga merupakan lingkup terkecil di dalam kehidupan bermasyarakat, terdiri dari ayah, ibu serta anak yang ada di dalam satu garis keturunan (sedarah) dan hidup saling berdampingan antara satu sama lain.1 Kemudian timbul sebuah fenomena yang saat ini menuai perdebatan adalah adanya hubungan seksual sedarah atau yang dalam bahasa inggris dikenal dengan sebutan incest. Incest dapat dikategorikan sebagai sebuah hubungan seksual menyimpang yang terjadi diantara anggota keluarga yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.2 Anggota keluarga yang dimaksud masih memiliki hubungan pertalian darah. Batas pertalian darah ke atas hingga batas hubungan kakek atau nenek dengan cucunya, kemudian untuk pertalian darah ke samping ialah keponakan.3 Margaret Mead berpendapat bahwa incest merupakan suatu perbuatan seksual terlarang antara anggota keluarga inti tidak termasuk dengan hubungan seksual oleh suami istri.4

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralisme hukum sebagaimana terdapat beraneka ragam jenis hukum dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan. Sistem hukum nasional terbentuk dari adanya 3 (tiga) sistem hukum, yaitu sistem hukum barat, sistem hukum islam, serta sistem hukum adat.5 Terkait dengan perbuatan hubungan seksual incest belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian Pasal yang dapat dijadikan rujukan dalam menjerat pelaku incest manakala perbuatan tersebut dilakukan dengan korban seorang anak baik itu anak kandung atau anak tiri yang berada dibawah umur dapat dikenakan ketentuan Pasal 294 ayat (1) KUHP.6 Perbuatan cabul yang diatur di dalam KUHP pada dasarnya lebih tertuju kepada perbuatan sebelum terjadinya hubungan seksual (persetubuhan) yaitu cenderung pada perbuatan asusila dengan melakukan

hal yang tidak senonoh.7 Kemudian, seseorang tidak dapat dikenakan sanksi pidana jika korban merupakan anak yang sudah dewasa. Hal ini jelas terlihat bahwa terdapat kekosongan norma yang mengatur secara spesifik mengenai perbuatan incest yang meresahkan masyarakat. Berkaitan dengan fenomena hubungan seksual sedarah (Incest) dapat dilihat melalui beberapa perspektif hukum, salah satu sistem hukum yang memberikan ruang diakuinya perbuatan incest seagai suatu perbuatan melanggar aturan adalah di dalam sistem hukum adat. Hukum adat merupakan seperangkat aturan yang berkembang dan diberlakukan di suatu daerah atau wilayah tertentu.8 Keberadaan hukum adat dapat dipertahankan karena negara mengakui keberadaan hukum adat sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945.

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, kemudian penulis tertarik untuk melakukan kajian terkait dengan perbuatan incest dalam perspektif pluralisme hukum di negara Indonesia. Dalam menjamin keaslian dalam penulisan jurnal ini penulis telah melakukan perbandingan terhadap beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan fenomena incest. Adapun penelitian tersebut, antara lain:

  • a.    Jurnal yang berjudul “Kriminalisasi Inses (Hubungan Seksual Sedarah) Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana” dibuat oleh Vifi Swarianata, Bambang Sugiri, serta Nurini Aprilianda pada tahun 2016 yang meneliti tentang makna dan kriteria perbuatan inses serta dasar pertimbangan kriminalisasi perbuatan inses. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa inses adalah bertentangan dengan norma-norma dan kebiasaan bangsa Indonesia dan mengacu pada negara lain bahwa inses adalah perbuatan yang layak untuk ditetapkan sebagai tindak pidana tersendiri.

  • b.    Jurnal yang berjudul “Kedudukan Delik Inses   (Incest)   Dalam

Sistem Hukum Pidana Indonesia” dibuat oleh Fresdy A. Wotulo di tahun 2017 secara garis besar dijelaskan bahwa pengaturan dalam KUHP saat ini terkait dengan incest sangat terbatas pun demikian dalam pemberian sanksi adat di berbagai wilayah di Indonesia yakni hanya beberapa pengadilan negeri tertentu yang memiliki kompetensi untuk mengadili.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena mengkaji permasalahan hubungan seksual sedarah (incest) di Indonesia berdasarkan perspektif pluralisme hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berikut ini merupakan dua rumusan masalah terkait dengan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu :

  • 1.    Bagaimana kedudukan hukum hubungan seksual sedarah (incest) dalam perspektif pluralisme hukum di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku hubungan seksual sedarah (incest) berdasarkan perspektif pluralisme hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini ditujukan agar para pembaca dapat mengerti dan memahami permasalahan hubungan seksual sedarah (incest) di Indonesia apabila dikaji berdasarkan perspektif pluralisme hukum yang diterapkan di Indonesia berkenaan dengan penjatuhan sanksi kepada pelaku delik incest.

  • II.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal dengan judul “Perspektif Pluralisme Hukum Terhadap Delik Hubungan Seksual Sedarah (Incest) di Indonesia” ini menggunakan metode penelitian normatif. Metode penelitian normatif merupakan sebuah metode penelitian hukum dengan bertumpu pada aturan hukum sebagai landasan penelitian.9 Metode penelitian secara normatif ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan terkait dengan hubungan seksual sedarah (incest) berdasarkan hukum pidana Indonesia. Kemudian, dalam menulis jurnal ini penulis melakukan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu cara pendekatan dengan mengkaji aturan hukum sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Selain itu penulisan jurnal ini juga menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) yakni dengan cara membandingkan ketentuan yang diberlakukan mengenai hubungan seksual sedarah (incest) yang ditetapkan dalam hukum adat Bali. Dalam penulisan jurnal terdapat 2 (dua) jenis bahan hukum sebagai adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selanjutnya, teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan di dalam pembuatan jurnal ini dengan teknik deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan situasi hukum terkait dengan hubungan seksual sedarah (Incest) dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan perbandingan dengan hukum adat yang diterapkan di Bali. Hal itu bertujuan agar penulis mendapatkan sudut pandang dan pemahaman yang berbeda dalam memandang fenomena hubungan seksual sedarah (Incest) berdasarkan dua jenis hukum yang berbeda.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Kedudukan Hukum Hubungan Seksual Sedarah (Incest) Dalam Perspektif Pluralisme Hukum di Indonesia

Incest merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu kata incestus yang berarti tidak murni.10 Kemudian berdasarkan istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perbuatan incest ini erat kaitannya dengan perbuatan sumbang. Perbuatan sumbang dapat diartikan sebagai pelanggaran baik terhadap adat ataupun norma kesopanan yang berlaku di masyarakat. Kartini Kartono berpendapat bahwa incest ialah sebuah hubungan seksual yang terjadi antara laki-laki dan perempuan baik dalam perkawinan ataupun di luar ikatan perkawinan dimana keduanya terikat dengan garis kekerabatan yang sangat dekat.11 Perbuatan incest merupakan salah satu wujud dari perbuatan seksual secara menyimpang karena berdasarkan pengertian diartikan sebagai hubungan secara seksual yang dilakukan oleh dua orang yang masih

dalam garis keluarga dekat dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma adat, hukum, serta agama.12 Perbuatan incest terbagi menjadi dua jenis yakni berupa perbuatan sukarela dan perbuatan secara paksa.13 Kedua jenis perbuatan incest tersebut tetap dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila khususnya nilai ketuhanan beserta nilai kemanusiaan sebagaimana diatur dalam sila pertama dan sila kedua. Dapat dikatakan demikian, karena incest ini sebagai perbuatan tidak bermoral yang berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan di masyarakat.

Pluralisme hukum yang diterapkan di Indonesia memiliki konsekuensi logis terkait dengan penyelesaian segala permasalahan hukum yang sedang terjadi. Hukum adat merupakan seperangkat aturan tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan masyarakat adat suatu daerah yang diturunkan secara turun temurun. Pada dasarnya hukum adat memiliki 2 (dua) fungsi utama yakni sebagai pedoman dan pengawasan dalam kehidupan.14 Sebagaimana negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dalam ketentuan Pasal 18 B UUD NRI 1945. Hukum pidana adat sebagai salah satu bagian dari hukum asli bangsa Indonesia tentunya memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dengan hukum nasional. Dasar diberlakukannya hukum pidana tidak tertulis atau hukum pidana adat sejatinya telah diakui sejak dahulu yang didasarkan pada beberapa ketentuan dalam hukum positif Indonesia. Secara garis besar diatur dalam Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 berkenaan dengan diperbolehkannya penerapan hukum adat pada suatu tindak pidana selama tidak ada padanannya di dalam KUHP.15 Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) diatur bahwa Hakim berkewajiban untuk menggali nilai-nilai hukum yang ada di dalam masyarakat atau dengan kata lain hukum adat.

R.Soepomo berpendapat bahwa di dalam hukum adat terdapat usaha untuk memperbaiki keadaan akibat dari perbuatan ilegal yang bertentangan dengan ketentuan adat. Perbuatan ilegal tersebut sering disebut dengan istilah delik adat.16 Soerojo Wignjodipoero berpendapat bahwa delik merupakan sebuah tindakan melanggar rasa keadilan dalam masyarakat yang berakibat pada terganggunya keseimbangan sehingga timbul reaksi adat untuk memulihkan keseimbangan kehidupan. Selanjutnya, Teer Haar menyatakan bahwa delik adat merupakan gangguan akan keseimbangan secara materiil dan imateriil yang menimbulkan suatu reaksi adat.17 Reaksi adat ini dapat dikatakan sebagai sebuah upaya pengembalian

ketentraman yang diganggu sehingga mencegah dampak negatif yang dihasilkan dari adanya suatu delik adat. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana adat menurut Nyoman Serikat Putra Jaya telah diberikan batasan bahwa perbuatan tersebut terlebih dahulu telah mengakibatkan kegoncangan di dalam keseimbangan kehidupan masyarakat. Terjadinya goncangan tersebut tidak semata-mata hanya melanggar norma hukum saja melainkan disaat norma kesusilaan, norma agama serta norma kesopanan dalam masyarakat dilanggar.18 Pada dasarnya konsep tindak pidana dalam hukum pidana adat lebih luas dibandingkan dalam hukum pidana nasional, karena hukum pidana nasional menganut asas legalitas yang merupakan salah satu ciri khas sistem hukum civil law. Dalam hukum pidana nasional penentuan tindak pidana berdasar kepada ketentuan perundang-undangan secara scripta (tertulis), stricta (ketat) dan certa (pasti). Kemudian dalam tindak pidana dalam hukum pidana adat tertuju pada perkembangan jaman dikarenakan tidak bersumber aturan tertulis. Sehingga, segala sesuatu yang dianggap buruk dan layak dikenakan sanksi pidana oleh kesatuan masyarakat hukum adat maka dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana.19 Dalam kesatuan masyarakat hukum adat Bali terdapat beberapa delik adat yang hingga saat ini masih diatur di berbagai awig-awig desa adat, yaitu :

  • a.    Delik adat kesusilaan;

  • b.    Delik adat harta benda;

  • c.    Delik adat kepentingan pribadi;

  • d.    Pelanggaran adat karena tidak melakukan kewajiban adat.

Dikaji dari perspektif hukum adat terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang mengakui adanya delik Hubungan seksual sedarah (Incest), salah satu wilayah yang memberikan ruang adalah Provinsi Bali. Masyarakat adat yang ada di Bali memiliki sebuah wadah yang biasa disebut dengan “Desa Adat” yang bertujuan untuk mempertahankan kesatuan masyarakat hukum adat dalam rangka mempertahankan amanah konstitusi. Atas dasar itulah ajaran agama beserta budaya sangat melekat di segala aspek kehidupan masyarakat Bali. Penyelesaian suatu pelanggaran adat atau delik adat dapa dilakukan dengan diselenggarakannya upacara keagamaan. Sejalan dengan filosofi hidup yang diterapkan masyarakat Bali yakni konsep “Tri Hita Karana”. Perilaku hubungan seksual sedarah dalam istilah Bali disebut sebagai Gamia Gemana. Hukum adat Bali mengenal adanya fenomena Gamia Gemana yang merupakan salah satu pelanggaran adat yang bertentangan dengan nilai agama hindu serta nilai adat yang berkembang di dalam masyarakat Bali sehingga dapat dikenakan sanksi adat sesuai dengan kebiasaan dari masyarakat setempat.

Delik kesusilaan pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia karena seperti yang telah kita pahami bahwa norma kesusilaan bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan antara makro kosmos (bhuwana agung) serta mikro kosmos (bhuwana alit). Terkait dengan perbuatan incest atau dalam bahasa bali dikenal dengan istilah Gamia Gamana yang dapat diartikan sebagai perbuatan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang masih memiliki hubungan darah dengan korbannya.20

Wayan P. Windia beranggapan bahwa perbuatan Gamia Gamana dapat dikatakan sebagai bentuk larangan dalam perkawinan ataupun hubungan seksual yang dilakukan dengan keluarga yang dilihat dari garis kekeluargaan lurus atau ke samping.21 Perbuatan ini merupakan bagian dari delik adat kesusilaan dan jika dilakukan maka dapat dikenakan sanksi adat. Hal itu dikarenakan masyarakat Bali percaya adanya sekala dan niskala (dunia nyata dan gaib) yang mana perbuatan Gamia Gamana telah melanggar norma kesusilaan sehingga dapat mengganggu keseimbangan magis di suatu wilayah karena hukum adat yang diberlakukan di Bali berlandaskan ajaran agama Hindu yang dikenal dengan ajaran Tri Hita Karana dimana keseimbangan dalam kehidupan itu apabila telah terpenuhinya keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya serta manusia dengan alam. Sehingga diperlukannya pemulihan wilayah terkait dengan pelanggaran Gamia Gamana yang telah terjadi. Sanksi adat di dalam hukum adat Bali dikenal dengan istilah Pamidanda. Mengenai sanksi adat (pamidanda) di Bali terbagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yakni :

  • a.    Sangaskara danda merupakan sebuah kewajiban adat untuk melaksanakan upacara keagamaan ;

  • b.    Atma (jiwa) danda merupakan bentuk kewajiban adat berupa beban fisik dan/atau psikis;

  • c.    Artha danda ialah kewajiban adat berupa denda dengan membayarkan sejumlah uang yang telah disepakati;22

Kemudian terkait dengan perbuatan Gamia Gamana dapat dikenakan hukuman berupa pelaksanaan upacara atau dalam bahasa Bali dikenal dengan Sangaskara Danda yang dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu Maprayascita dan Matirtha Gemana. Maprayascita ialah serangkaian upacara keagamaan yang ditujukan sebagai bentuk mengembalikan keseimbangan suatu wilayah disaat terjadinya suatu delik adat yang merusak tatanan kehidupan masyarakat adat Bali agar terhindar dari perasaan leteh (kotor). Selanjutnya, Matirtha Gemana ialah sebuah kewajiban bagi pedanda (pendeta) yang berbuat delik adat atau pelanggaran adat.23 Tujuan dari diberikannya sanksi Sangaskara Danda yakni sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan dan kesucian dari desa/pura tersebut serta sebagai upaya agar perbuatan tercela tersebut tidak terulang kembali.24

Kewenangan pemberian sanksi adat yang diberlakukan oleh desa adat di Bali berdasarkan ketentuan dalam Pasal 31 huruf f Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 diberikan kepada Prajuru Desa Adat yang mana hal itu telah diputuskan melalui paruman desa adat. Paruman desa adat ini merupakan salah satu lembaga pengambilan keputusan di dalam desa adat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019. Pemberian sanksi adat ini ditujukan kepada krama desa yang telah terbukti melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan desa adat setempat. Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari kewenangan yang diberikan oleh negara terhadap desa adat sebagaimana telah

diatur dalam ketentuan Pasal 103 huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dimana diberikan kewenangan bagi desa adat untuk menyelesaikan sengketa adat berdasarkan aturan yang diberlakukan di tiap wilayah. Sehingga dapat diketahui bahwa dengan adanya penyelesaian sengketa adat memberikan ruang bagi hukum pidana adat dalam melakukan pemeriksaan terhadap delik pidana adat. Akan tetapi, pihak desa tidak diberi kewenangan dalam menjatuhkan pidana badan atau pencabutan hak kemerdekaan dari krama desa.25 Krama desa ialah sebuah istilah bagi seseorang yang beragama Hindu dan telah terdaftar di dalam keanggotaan Krama desa adat setempat serta telah tercatat di dalam keanggotaan suatu desa adat.

Salah satu desa yang mengatur tentang keberadaan delik Gamia Gamana adalah Desa Tulikup. Dalam ketentuan Awig-Awig Desa Adat Tulikup Kelod Palet 3 Indik Pitra Yadnya Pawos 43 ayat (1) huruf “ta” diatur bahwa seseorang yang telah melakukan Gamia Gamana manakala ingin menghilangkan ketidaksucian diri maka harus dilakukan upacara Maprayascita atau pembersihan diri yang dilakukan di Desa Adat serta Pura Bale Agung Desa Adat. Dalam hal ini dikenakannya Sangaskara Danda sebagai tujuan agar dapat mengembalikan keseimbangan antara sekala dan niskala dalam masyarakat adat setempat.26 Diberlakukannya upacara Maprayascita di laut merupakan saksi pembersihan diri pelaku serta korban dalam peleburan dosa dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi, lingkungan sekitar beserta masyarakat adat setempat atas perbuatan tercela tersebut. Kemudian dikenal sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku Gamia Gamana, diantaranya :

  • a.    Dikeluarkan dari lingkungan banjar desa setempat;

  • b.    Dikenakan denda;

  • c.    Secara simbolis dilakukan penenggelaman pelaku dengan cara dimandikan di laut;

  • d.    Penerapan upacara pembersihan diri;

  • e.    Perceraian terhadap perkawinan sedarah yang dilakukan;

  • f.    Diaben secara simbolis.27

Hukum pidana adat yang diterapkan di Bali merupakan salah satu hukum yang eksistensinya sangat dipertahankan terlebih disaat terjadi suatu perbuatan contohnya adalah Gamia Gamana yang dalam hukum nasional pengaturannya belum dapat dikatakan sebagai tindak pidana akan tetapi keberadaan perbuatan tersebut telah diatur oleh hukum adat Bali dan dapat dikenakan sanksi yang tegas berupa pemenuhan kewajiban adat dalam rangka menjaga keseimbangan kehidupan yang ada di dalam masyarakat karena kesatuan masyarakat hukum adat di Bali beranggapan bahwa suatu delik adat yang terjadi pada hakikatnya telah merugikan kehidupan baik secara materiil dan immaterial yang mana diperlukan pemulihan dengan cara melakukan upacara adat sehingga tidak dianggap sebagai desa yang leteh (kotor). Konsep tindak pidana dalam hukum adat ini sejalan dengan wacana pembaharuan dalam hukum pidana dimana dasar dapat pemidanaan suatu tindak pidana juga bersumber dari hukum yang ada di dalam masyarakat itu sendiri (hukum adat) selama

perbuatan tersebut belum diatur di dalam undang-undang. Atas dasar itulah diperlukan kajian lebih lanjut terhadap fenomena hubungan seksual sedarah (incest) yang kian meresahkan masyarakat dan berdampak pula pada keseimbangan dalam kehidupan. Sehingga membuka wacana untuk melakukan kriminalisasi perbuatan incest agar dapat terakomodir dalam hukum pidana nasional.

  • 3.2 Pengaturan Hukum Terhadap Pelaku Hubungan Seksual Sedarah (Incest) Berdasarkan Perspektif Pluralisme Hukum Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana

Kekosongan hukum dalam menangani perbuatan hubungan seksual sedarah (incest) yang terjadi saat ini dapat diselesaikan dengan adanya kriminalisasi. Diperlukan sebuah pembaharuan di dalam KUHP Indonesia sehingga sesuai dengan kebutuhan dan tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sejalan dengan hasil Seminar Nasional mengenai “Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia” bahwa dalam penyusunan Konsep KUHP terdapat serangkaian proses kriminalisasi dan dekriminalisasi tindak pidana di Indonesia salah satunya ialah penetapan delik baru di dalam konsep KUHP.28 Pengertian dari adanya penambahan delik baru tersebut meliputi:

  • a.    Adanya serangkaian kriminalisasi delik yang tidak diatur dalam ketentuan dalam KUHP (WvS) serta ketentuan di luar KUHP;

  • b.    Adanya serangkaian kriminalisasi delik yang tidak diatur dalam ketentuan dalam KUHP (WvS) akan tetapi sebenarnya telah diatur dalam ketentuan di luar KUHP;

  • c.    Menetapkan reformulasi delik yang sebelumnya sudah diatur sebelumnya dengan cara melakukan perubahan terhadap unsur delik, sifat delik beserta sanksi pidana ataupun pola pemidanaannya.29

Kriminalisasi (criminalization) ialah salah satu kajian dalam hukum pidana materiil. Kriminalisasi merupakan sarana penal di dalam membuat perbuatan yang awalnya bukanlah tindak pidana kemudian dirumuskan dalam tindak pidana dalam rangka mengendalikan kejahatan. Dalam melakukan kriminalisasi incest di Indonesia dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan berbagai aspek yaitu dengan memperhatikan kebijakan hukum pidana serta tetap memperhatikan berbagai perbandingan hukum. Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana yang dilakukan merupakan wujud dari perubahan dengan berbagai aspek yang mendasarinya. Pembaharuan hukum pidana bertujuan untuk melakukan reorientasi serta reformasi hukum yang mencerminkan nilai politik, filosofis serta nilai sosiologis yang melandasi kebijakan kriminal di Indonesia. Salah satu aspek baru di dalam pembaharuan hukum pidana ialah dengan diakuinya aturan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia (hukum adat) dimana terdapat pergesertan makna asas legalitas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Konsep KUHP 2019.

Kemudian terkait dengan kriminalisasi dalam konsep KUHP 2019 salah satunya adalah terdapat penambahan delik baru terkait dengan perbuatan incest atau persetubuhan anggota keluarga sedarah di dalam garis lurus atau samping dengan derajat ketiga. Perbuatan incest dalam ketentuan Pasal 420 konsep KUHP 2019 secara

garis besar diatur bahwa seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana incest jika telah diketahui olehnya bahwa persetubuhan dilakukan dengan anggota keluarga sedarah dalam garis keluarga secara lurus ataupun ke samping hingga derajat ketiga akan dikenakan sanksi pidana maksimal 12 (dua belas) tahun. Dengan adanya aturan dalam konsep KUHP 2019 ini memberikan ruang bagi hubungan incest yang dilakukan atas dasar sukarela dan dilakukan oleh seseorang yang telah dewasa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Perumusan perbuatan pidana tersebut, belum mencukupi agar dapat dipertanggungjawabkannya pelaku incest karena diperlukan unsur kesalahan dari pelaku. Unsur kesalahan mengacu pada unsur subjektif atau unsur yang berada pada diri pelaku. Sehingga dapat diketahui bahwa bentuk kesalahan adalah adanya niat atau kehendak pelaku melakukan persetubuhan serta pengetahuan pelaku bahwa seseorang yang disetubuhinya ialah masih bagian dari anggota keluarga sedarah.

IV. Kesimpulan

Hukum adat bali merupakan salah satu contoh hukum adat yang memberikan keberlakuan delik adat terkait dengan hubungan seksual sedarah atau dalam Bahasa bali dikenal dengan delik adat Gamia Gamana. Sanksi yang dapat dikenakan pada masyarakat adat yang melakukan delik adat Gamia Gamana adalah dengan dikenakannya sanksi Sangaskara Danda yang bertujuan sebagai pengembalian keseimbangan kehidupan berdasarkan konsep ajaran agama hindu “Tri Hita Karana” serta pemberian efek jera bagi pelaku sekaligus sebagai langkah pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana ataupun delik adat yang sama untuk kedua kalinya. Selanjutnya kekosongan norma yang terjadi dalam hukum pidana dalam hukum positif saat ini dikarenakan tindak pidana “incest” diatur secara limitatif yaitu seseorang dapat diancam dengan ketentuan Pasal 294 ayat (1) KUHP jika korbannya adalah anak yang belum dewasa. Jika korbannya adalah orang dewasa atau jika perbuatan tersebut dilakukan secara sukarela oleh korbannya maka tidak dapat dikenakan sanksi pidana karena tidak ada aturan yang mengaturnya. Atas dasar itulah Pemerintah diharapkan segera melakukan pembaharuan hukum pidana Indonesia terkait dengan perbuatan hubungan seksual sedarah sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 420 konsep KUHP 2019 dengan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi. “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru)." Semarang: Prenada Media Group,2014.

Diantha, I. Made Pasek.”Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum.“ Denpasar: Prenada Media,2016.

Ahmad, Mukhlisiana. “Buku Ajar Kesehatan Reproduksi”. Media Sains Indonesia,2020. Purwoleksono, Didik Endro. “Hukum Pidana”. Surabaya:Airlangga University Press, 2016.

Jurnal Hukum

Busyro, Marwan. Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Incest Dengan

Korban Anak.Warta Dharmawangsa 52, (2017): 1-16.

Chadijah, Siti. Pengaturan Delik Adat Dalam Rancangan Kuhp Sebagai Bagian Dari Ius Constituendum. Pamulang Law Review 2, no. 2, (2020):101-110.

Firganefi, F. Kebijakan Kriminal Terhadappelaku Tindak Pidana Incest. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2),(2008):169-177.

Harahap, A. Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial, 4(2),(2018):1-9.

Krisnawan, Ida Bagus Made Danu. Tindak Pidana Kesopanan Dibidang Kesusilaan (Perzinahan) Dalam KUHP Serta Padanannya Dengan Hukum Pidana Adat. Jurnal Magister Hukum Udayana 4, no. 2, (2015):281-291.

Mustaghfirin, H. Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem Hukum Islam, Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni. Jurnal Dinamika Hukum, 11, (2011):89-95.

Maskur, Muhammad Azil.Internalisasi Nilai-nilai Masyarakat Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Masalah-Masalah Hukum 47, no. 1, (2018): 22-31.

Mujib, M. Misbahul. Eksistensi Delik Adat dalam Kontestasi Hukum Pidana Indonesia." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 2, no. 2,(2013): 475-500.

Putra, Ida Bagus Sudarma. Hakikat Sanksi Adat Sangaskara Danda terhadap Pelanggaran Adat Gamia Gamana. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 4, no. 2, (2015):319-329.

Putra, Nyoman Mahadhitya, dan I Wayan Sutara Djaya. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Perbuatan Sumbang (INCEST) Dalam Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, no.3, (2013):1-5.

Primadwiyani, Anak Agung Anisca, dan AA Gde Oka Parwata. Analisis Saksi Adat/Kewajiban Adat Meprayascitta Sebagai Pidana Tambahan Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan Dalam Ruu Kuhp Di Indonesia." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum,(2018): 1-6.

Retnaningrum, Dwi Hapsari. Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Dinamika Hukum 9(1),(2009):19-28.

Santosa, Rahmad Dwi Putra. Tindak Pidana Inses/Incest Menurut Peraturan Perundang-Undangan Nasional. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 26(7), (2020): 891-904.

Sambas, Nandang. Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional. Syiar Hukum 11, no. 3,(2009): 233-244.

Setiawan, I. Putu Agus, dan I Wayan Novy Purwanto. Faktor Penyebab Dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (INCEST)(Studi di Polda Bali). Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 4: 1-16.

Swarianata, Vifi. Kriminalisasi Inses (Hubungan Seksual Sedarah) Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum,(2016):1-24.

Wiweka, Gede Rhama Sukmayoga, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, dan I. Wayan Suardana. Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Berdasarkan Hukum Adat Bali Di Desa Sudaji Kecamatan Sawan Buleleng. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum8 7, (2019):1-15. hlm.3.

Wotulo, Fresdy A. Kedudukan Delik Inses (Incest) dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Lex Crimen 6, no. 4, (2017): 38-44.

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1101-1112

1112