E-ISSN: Nomor 2303-0585.

HUKUMAN MATI DAN EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

I Gede Agus Pande Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui peraturan perundang-undangan mengenai hukuman mati dan eutanasia di dalam hukum positif Indonesia serta membandingkan antara hukuman mati dengan eutanasia dalam sudut pandang Hak Asasi Manusia. Dalam penulisannya menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik deskriptif melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan bukan merupakan pelanggaran hak untuk hidup dengan adanya Putusan Mahkamah Kontistusi, sedangkan eutanasia masih merupakan pelanggaran terhadap hak untuk hidup pasien. Walaupun eutanasia yang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai hal tersebut, tetapi untuk dokter dan keluarga pasien dapat dikenakan Pasal 344, Pasal 340, Pasal 304 jo Pasal 306 ayat (2) jika melakukan eutanasia aktif dan pasif. Diharapkan sebuah aturan yang jelas mengenai eutanasia yang dapat menjadi acuan tentang tindakan medis yang mana saja yang merupakan eutanasia.

Kata Kunci: Eutanasia, Hak Asasi Manusia, Hukuman Mati

ABSTRACT

The purpose of writing this journal are to find out the laws and regulations regarding the death penalty and eutanasia in Indonesian positive law and to compare the death penalty with eutanasia from human rights perspective. This journal is written using normative legal research methods with descriptive techniques through a statutory approach and a conceptual approach. Based on the research, the laws and regulations show that the death penalty is not a violation of the right to life with the Constitutional Court Decision, while eutanasia is still a violation of the patient's right to life. Although eutanasia, which is in the laws and regulations in Indonesia, does not clearly regulate this matter, but doctors and patients' families can be subject to Article 344, Article 340, Article 304 in conjunction with Article 306 paragraph (2) if active and passive eutanasia is carried out. So it is hoped that a clear rule regarding eutanasia can be a reference for which medical actions are eutanasia.

Key Words: Euthanasia, Human Rights, Death Penalty

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Makhluk hidup mengalami proses kematian dimana merupakan bagian dari siklus kehidupan yang diawali dari kelahiran, hidup, dan diakhiri dengan kematian. Tidak terkecuali manusia yang merupakan mahkluk hidup juga pasti mengalami kematian, namun yang membedakan kematian manusia satu dengan manusia yang

lain adalah proses terjadinya kematian dan iklas atau tidak menerima kematian tersebut. Kematian merupakan suatu topik yang sangat menakutkan bagi masyarakat.

Dalam hukum positif di Indonesia juga mengatur mengenai proses kematian yang merupakan salah satu jenis hukuman pokok yang diberikan kepada penjahat. Proses kematian tersebut dengan diatur dengan jelas dalam hukum positif Indonesia. Hukaman mati mulai diberlakukan di Indonesia sejak dinasionalisasikannya Weboek Van Strafrect (KUHP) tahun 1918 menggunakan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1946.1 Tetapi dengan seiring perkembangan jaman dan teknologi beberapa negara sudah meninggalkan hukuman mati. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang selanjutnya dipertegas dalam International Covenant of Civil and Political Rights yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Namun Indonesia masih mempertahankan hukuman mati walaupun dalam rancangan KUHP edisi bulan September 2019 yakni Pasal 67, hukuman mati merupakan hukuman yang bersifat khusus yang diancamkan secara alternative dengan pidana pokok yang lainnya.

Membahas hukuman mati di Indonesia masih banyak menimbulkan perdebatan antara pihak pro dan kontra mengenai diberlakukan hukuman mati. Sebenarnya tujuan dari hukuman atau pidana itu sendiri bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan pelanggaran. Hukuman mati yang merupakan ultimium remedium dihilangkan maka roh dari hukum pidana yang memberikan nestapa bagi mereka yang melakukan kejahatan berat akan menjadi hilang. Selain itu menurut The Human Rights Watch terdapat tiga alasan utama seringnya pengadilan dalam memutuskan suatu perkara menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa2. Pertama, merupakan hasil dari penerapan ancama hukuman mati dari zaman penjajahan Hindia belanda yang kemudian berlanjut sampai pada pemerintahan Orde Baru untuk memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lawan politik yang terdapat dalam pasal 104 KUHP tentang kejahatan politik. Kedua, untuk upaya menertibkan peraturan perundang-undangan yang mencantumkan adanya hukuman mati sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam memperbaiki sistem yang korup. Alasan terakhir yang melihat meningkatnya adanya kejahatan karena merupakan tanggung jawab si pelaku. Jika melihat beberapa alasan tersebut, hukuman mati masih dipertahankan bukankah hal itu merupakan pelanggaran terhadap aspek kemanusiaan yang paling substansial dalam diri manusia. Penjatuhan hukuman mati dianggap sudah tidak selaras lagi dengan perkembangan hak asasi manusia, dimana terjadinya pelanggaran terhadap hak untuk hidup. Padahal secara jelas hak untuk hidup diatur dalam Undang-Undang Dasar yang mengatur dan melindungi hak tersebut bagi semua orang.

Hak yang sangat mendasar yang melekat sejak manusia itu lahir dan dalam keadaan apapun tidak dapat dikurangi karena termasuk dalam the supreme rights yang salah satunya hak untuk hidup.3 Oleh karena itu, setiap manusia berkewajiban menjunjung tinggi kemulian dari hidup manusia itu sendiri. Namun karena kemajuan cara berpikir masyarakat muncullah hak untuk mati yang merupakan timbal balik dari

adanya hak untuk hidup4. Hal tersebut membuat suatu perdebatan mengenai pro dan kontra tentang kematian yang juga merupakan suatu hak dari manusia.

Dalam ilmu kesehatan dikenal adanya mati tanpa rasa sakit atau eutanasia atau disebut juga dengan mercy killing yaitu suatu proses kematian yang normal tanpa ada rasa sakit atau penderitaan mengerikan5. Eutanasia biasanya diidamkan oleh para penderita sakit yang sangat parah karena harapan untuk kesembuhan sudah tidak lagi dan bahkan menyebabkan penderitaan yang sangat berat. Walaupun pada hakikatnya dalam menentukan kematian seseorang diperlukannya diagnosa yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun tenaga kesehatan sering dihadapkan pada suatu keadaan dimana pasien mangalami suatu penyakit yang parah yang sudah tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Hal tersebut membuat pihak keluarga pasien dan bahkan pasien itu sendiri membuat keputusan untuk menghentikan tindakan medis terhadap dirinya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan kematian. Hal tersebut juga merupakan salah satu bentuk dari eutanasia. Penghentian tindakan medis dalam kasus itu terjadi karena adanya the right to self determination atau hak dalam memilih nasibnya sendiri yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam International Covenant of Civil and Political Rights. Kemudian berkembang dalam hak-hak pasien menjadi hak memberikan persetujuan tindak medik. Hal ini lah yang membuat tindakan eutanasia terjadi, jika seorang dokter tidak mendapat persetujuan oleh pasien atas tindak medik yang akan dilakukannya terhadap diri pasien tersebut, diketahui bahwa jika hal tersebut tidak dilaksanakan akan menyebabkan kematian.

Oleh karena itu dokter atau tenaga medis yang lain berada pada posisi yang sulit karena adanya kode etik tersendiri yang menuntut untuk bertindak secara profesional. Selain itu dalam hukum positif Indonesia tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan pembunuhan. Walaupun pembunuhan tersebut berdasarkan rasa belas kasihan seorang dokter kepada pasien yang mengalami penderitaan yang sangat parah.

Kasus eutanasia tersebut pernah muncul di Indonesia di tahun 2016 di RSUD Grogot, Kabupaten Paser, Kalimatan Timur. Kasus tersebut terjadi karena pasien bernama Humaida mengalami kondisi koma bertahun-tahun setelah melakukan pemasangan alat kontrasepsi sehingga Abdul Mutolib suami pasien mengajukan permohonan untuk dilakukan eutanasia. Selain kasus itu, sebelumnya sudah ada dua permohonan penetapan untuk dilakukannya eutanasia yakni di tahun 2004 dan di tahun 2005. Keluarga pasien mengajukan permohonan karena ketidakmampuan dan ketidakberdayaan mengenai biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perawatan terhadap pasien yang mengalami kondisi koma.6

Peraturan eutanasia sesungguhnya belum ada aturan yang jelas dan lengkap dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga diperlukannya peraturan tersebut untuk memberi kepastian hukum. Seperti dalam penerapan hukuman mati yang dimana diatur secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-

undangan yang dimana memberikan kepastian hukum kepada penegak hukum dalam menerapkan atau menjatuhkan hukuman mati kepada para terpidana hukuman mati. Walaupun hukuman mati masih menjadi perdepatan mengenai pro dan kontra penerapan hukuman mati di Indonesia yang dimana termasuk pelanggaran hak untuk hidup bagi para terpidana, seperti halnya eutanasia yang dikatakan juga sebagai pelanggaran hak untuk hidup bagi para pasien.

Berdasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang mengulas mengenai eutanasia dan hukuman mati yaitu yang berjudul “Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana” yang ditulis oleh Amelia Arief yang menyimpulkan bahwa hukuman mati dalam pandangan Hak Asasi Manusia dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia berusaha mengadopsi piagam Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapuskan hukuman mati namun beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, ancaman pidana mati masih tetap dipertahankan, sehingga dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru ada semacam kompromi (penal policy), dengan menjadikan hukuman mati bukan sebagai pidana pokok tetapi sebagai pidana alternatif yang diperlakukan hanya bagi kejahatan luar biasa. Selanjutnya yang kedua penelitian yang berjudul “Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia” yang ditulis Tjandra Sridjaja Pradjonggo yang menyimpulkan bahwa eutanasia atau suntik mati jika ditinjau dari aspek hukum pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih mengalami perdebatan yang belum menemukan ujung, karena antara pemberian hak asasi manusia dengan pertentangan hukum nasional khususnya KUHP yang diberlakukan di Indonesia, tetapi pada dasarnya bahwa perbuatan eutanasia masih merupakan perbuatan yang dilarang dalam sistem hukum pidana maupun hukum kesehatan yang ada di Indonesia, apapun dan bagaimanapun alasan yang digunakan, bahkan tenaga kesehatan juga masih dilarang untuk melakukan suntik mati tersebut dengan alasan apapun. Berkaitan dengan pemaparan di atas, maka penulis ingin mengkaji melalui penulisan jurnal yang berjudul “ Hukuman Mati Dan Eutanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Peraturan perundang-Undangan”. Selanjutnya membahas mengenai perbedaan dan persamaan hukuman mati dengan eutanasia dari sudut pandang Hak Asasi Manusia dan bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai hal tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Jika melihat dari latar belakang diatas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah sudut pandang Hak Asasi Manusia mengenai hukuman mati dan eutanasia?

  • 2.    Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai hukuman mati dan eutanasia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui Hak Asasi Manusia, hukuman mati, dan eutanasia secara jelas serta peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukuman mati dan eutanasia di dalam hukum positif Indonesia dan untuk membandingan antara hukuman mati dengan eutanasia dalam sudut pandang Hak Asasi Manusia

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian dalam jurnal ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengkaji suatu norma atau kaidah hukum dalam peraturan perundang-undangan yang melihat apakah ada norma yang berkonflik dengan norma yang lebih tinggi atau norma tersebut kurang jelas sehingga menimbulkan kekaburan atau bahkan norma tersebut belum ada aturan yang mengatur dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini mengkaji kekosongan norma dan konflik norma antara HAM dengan hukuman mati dan eutanasia menggunakan teknik analisis kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data studi dokumen melalui dua bentuk pendekatan yaitu pendekatan melalui perundang-undangan dan konseptual. Teknik analisis kualitatif deskriptif yang digunakan untuk memaparkan dan menjelaskan tentang apa adanya tentang suatu kondisi atau peristiwa hukum dengan disertai suatu tanggapan. Pendekatan perundang-undangan digunakan karena untuk memperhatikan norma dalam suatu hierarki peraturan-perundang-undangan dan apakah norma tersebut terdapat dalam peraturan khusus atau dalam peraturan umum. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk menguraikan serta menganalisis permasalahan dan menemukan serta memahami konsep-konsep atau bahkan asas-asas untuk permasalahan tersebut.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Hukuman Mati dan Eutanasia dari sudut pandang HAM

Melihat dari asal-usul, sejarah, dan filsafatnya Hak Asasi Manusia secara internasional lebih dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Aquinas yang mencetuskan teori hak alamiah. Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Grotius dan John Locke. Oleh Grotius, teori hak alamiah tersebut dikembangkan dengan menghilangkan asal mulanya yang teistik menjadi pemikiran sekuler yang rasional. Sehingga menurut Grotius, setiap orang harus dengan bantuan masyarakat dalam menggunakan hak-haknya untuk mempertahankan hidup kebebasan dan miliknya. Sedangkan dari John Locke berkembang menjadi teori kontrak sosial yang dimana merupakan respon dari krisis sosial perang atas nama agama dan dampak dari revolusi ekonomi dan perkembangan dari ilmu pengetahuan mengenai konsep manusia, sosial dan pengetahuan. Menurut John Locke, setiap orang diberikan hak atas hidup, kebebasan dan kepemilikan oleh alam yang melekat dalam dirinya, yang tidak bisa diambil oleh negara. Hak Asasi Manusia yang sering disingkat dengan HAM adalah suatu hak yang diberikan oleh tuhan sejak dalam kandungan kepada manusia dan melekat pada dirinya. Sehingga oleh sebab itu HAM tidak dapat dicabut atau diambil dan diganggu-gugat oleh suatu kekuasaan.8

Dalam sejarah Hak Asasi Manusia pertama kali diperkenalkan pada tahun 1215 dalam Magna Charta yang berbentuk sebuah Piagam Agung di Inggris. Magna Charta merupakan sebuah hasil dari perjuangan para bangsawan terhadap Raja John Lockland yang tidak memiliki batasan dalam kekuasan. Dimana hal tersebut menimbulkan penderitaan dan tekanan kepada rakyatnya. Isi dari Magna Charta yaitu mencakup hak kebebasan atau kebebasan yang tidak boleh diambil tanpa adanya

putusan pengadilan dan pemungutan pajak wajib mempunyai persetujuan dari dewan permusyaratan. Hal tersebut membuat kekuasaan raja menjadi terbatas dan mengakui adanya hak rakyat. Kemudian pada tahun 1689 di Inggris, kembali bergejolak dikarenakan penyerangan parlemen kepada Raja James II. Perjuangan tersebut menghasilkan Declaration and Bill of Human Rights 1689, yang berisi pengakuan atas hak hak rakyat yang tidak dapat diganggu gugat atas ucapan-ucapanya. Pada perkembangannya, pada tahun 1776 terjadi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang mengekspresikan gagasan mengenai teori John Locke. Kemudian rakyat Amarika pada tahun 1789 kembali berjuang untuk undang-undang mengenai hak-hak yang kemudian disebut sebagai Bill of Right, yang selanjutnya menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika pada tahun 1791. Sedangkan di Benua Eropa lebih tepatnya di Perancis pada tahun 1789 terjadi perjuangan antara rakyat melawan rezim lama, yang melahirkan dokumen hukum yaitu Decleration des Droits I'home et du Citoyen atau Hak-Hak Manusia dan Warga Negara. Sampai pada tahun 1948 Majelis Umum PBB tepatnya tanggal 10 Desember menerima Desklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Terbentuknya ide tersebut dikarenakan adanya kekejaman yang luar biasa selama terjadinya perang dunia ke-II, salah satunya adalah Hitler melakukan Genosida terhadap kaum Yahudi.9

Perumusan HAM di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa aturan yaitu UUD NRI 1945, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut dengan UU HAM, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Hak-Hak tersebut memiliki beberapa ciri-ciri yaitu hakiki yang berarti HAM telah dimiliki sejak manusia didalam kandungan, universal yang berarti setiap orang memiliki HAM tanpa terkecuali, tetap yang berarti HAM akan selalu ada dan melekat dalam diri manusia, dan yang terakhir utuh yang berarti HAM tidak dapat dibagi-bagikan kepada manusia yang lainnya. Sehingga untuk melindungi semua hak asasi tersebut terciptanya sebuah kewajiban yang dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan “kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.” Karena manusia merupakan mahkluk sosial sehingga setiap hak asasi menciptakan kewajiban dasar manusia dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain, sehingga hak-hak tersebut memiliki sebuah batasan yaitu hak asasi manusia yang lainnya. Selain itu dalam konteks HAM, negara merupakan subjek hukum yang memiliki peranan sangat penting sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Sehingga negara berkewajiban menghormati (obligations to resfect), memenuhi (obligations to to fulfill), melindungi dan menegakan HAM (obligations to protect).10

Pada Pasal 28A UUD NRI 1945 yang mengatur hak untuk hidup menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, dan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945, hak hidup adalah salah

HAM yang dalam keadaan apapun tidak mungkinkan untuk dikurangi. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU nomer 39 Tahun 1999, “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa semua orang berhak memiliki kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak tersebut bahkan juga dimiliki oleh bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Namun dalam suatu keadaan yang luar biasa seperti seseorang yang berdasarkan suatu putusan pengadilan dijatuhi hukuman mati maka hak untuk hidup tersebut dapat dibatasi.

Hukuman mati secara historis jika dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman yang lainnya, hukuman tersebut merupakan hukuman yang paling tua dalam hukum pidana. Hukuman mati atau pidana mati sudah sejak lama dipraktikkan yaitu pada abad pertengahan terhadap berbagai jenis kejahatan. Dalam praktiknya, cara pelaksanaan hukuman mati terdapat berbagai macam yang menyesuaikan dengan sistem hukum dan perkembangan permikiran masyarakat di suatu tatanan hidup masyarakat atau negara. Cara-cara pelaksanaan hukuman mati yaitu seperti disalib, dibakar, dipenggal, digantung pada tiang, ditembak, dimasukan ke dalam sebuah ruangan yang berisi gas beracun, didudukan di kursi yang dialirkan aliran listrik, atau dengan cara diinjeksi. Komite III SMU ke-65 PBB pada tanggal 11 November 2010 mengadopsi ranrer 65/206 mengenai monatorium on the use of the Death Ponalty melalui pumungutan suara dimana 37 negara menolak, 107 negara mendukung, dan 36 negara abstain. Negara Indonesia termasuk negara yang menolak ranrer tersebut dengan berbagai alasan seperti filsafat, hukum, politik dan bahkan agama guna mempertahankan hukuman mati tersebut. 11

Dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia hukum mati sudah mulai diberlakukan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda yaitu dengan adanya Wetboek Van Strafrecht (KUHP) yang disahkan pada tanggal 1 Januari 1918. Namun jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, hukuman mati sudah pernah diterapkan di Indonesia hampir di seluruh suku dengan berbagai jenis delik yang dijatuhi hukuman mati. Dalam pelaksanaannya tersebut menggunakan beberapa cara seperti ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, didiamkan hingga mati dibawah sinar matahari, atau bahkan dipukul kepalanya menggunakan palu hingga mati. Hukuman mati merupakan salah satu dari pidana pokok yang dimana merupakan hukuman tertinggi jika dilihat pada Pasal 10 KUHP. Sehingga hukuman mati merupakan Ultimum Remedium atau obat terakhir terhadap pelaku kejahatan yang dimana jika usaha-usaha lain telah ditempuh namun tidak memberikan efek jera terhadap si pelaku.

Pada hakekatnya pidana mati memanglah bukan merupakan sebagai alat utama dalam mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat. Karena untuk penerapan suatu pidana harus memperhatikan tujuan pemidanaan (traf soort), berat ringan pidana (straf), dan cara penjatuhan pidana (straf modus). Dalam hukum pidana terdapat 3 teori tujuan pemidanaan yakni, teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan antara teori absolut dengan teori relatif. Teori absolut atau teori pembalasan menurut Hugo de Groot menyatakan seorang pelaku yang melakukan kejahatan sudah selayaknya harus dilakukan secara sama dengan perbuatannya. Hal tersebut melihat dari kehendak alam yang biasanya merupakan mazhab hukum alam yang mencari dasar pembenaran dari asas-asas hukum belaku umum. Teori relatif adalah teori yang tujuan dilakukannya

penghukuman yang dapat berupa memulihkan kerugian yang ditimbulkan dari suatu kejahatan atau mencegah agar orang lain tidak melakukan suatu kehajatan. Teori relatif atau teori tujuan dapat dibagi menjadi teori pencegahan umum yang bertujuan untuk membuat jera semua orang agar tidak melakukan tindak pidana sehingga terciptanya ketertiban umum dan teori pencegahan khusus yang bertujuan membuat jera, membenahi dan memperbaiki terpidana sehingga tidak lagi melakukan suatu tindak pidana. Menurut von Liszt yang merupakan penganut teori relatif, hukum digunakan untuk melindungi dan menetapkan batasan kepentingan hukum antar masyarakat.12

Keefektivitas pidana dapat dilihat dari dari dua aspek pokok tujuan dilakukannya pemidanaan. Pertama aspek perlindungan masyarakat yang dimana dikatakan efektif ketika dengan dilaksanakan pidana tersebut membuat suatu kejahatan menjadi berkurang atau bahkan sampai membuat mencegah terjadinya suatu kejahatan. Sehingga dapat menekan frekuensi terjadinya suatu kejahatan. Kedua aspek perbaikan si pelaku yang dimana terletak pada pencegahan khusus (special prevention) dari hukuman yang dijatuhkan. Hukuman mati adalah suatu pertahanan sosial (social defence) untuk menghindarkan masyarakat umum dari ancaman dan bahaya atau bahkan bencana yang ditimbulkan dari suatu kejahatan besar atau extra ordinary crime yang telah membuat atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu keamanan serta ketertiban dalam masyarakat.13

Berbeda halnya dengan hukuman mati dimana para terpidana yang dijatuhi hukuman mati tidak menghendaki atau tidak berkeinginan untuk dihilangkan nyawanya. Namun untuk para pasien yang mengalami penderitaan yang sangat parah sehingga adakalanya menginginkan adanya kematian tanpa disertai rasa sakit yaitu melalui eutanasia. Eutanasia berasal dari Bahasa yunani yaitu euthanatos (ευθανασία) yang terdiri dari kata eu (-ευ) yang berarti baik, indah, bagus, terhormat dan thanatos (θάνατος) yang artikan sebagai kematian atau mayat. Secara etimologis, eutanasia diartikan sebagai mati secara tenang dan mudah tanpa rasa sakit atau kematian dengan baik. Kemudian pengertian tersebut diperluas yakni eutanasia merupakan suatu perbuatan untuk mencapai kematian dengan tenang yang dibantu oleh orang lain atas permintaannya sendiri. Sehingga secara harafiah, eutanasia bukanlah termasuk dalam perbuatan pembunuhan atau upaya dalam menghilangkan nyawa orang lain. Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia, eutanasia diartikan suatu tindakan untuk menghentikan kehidupan seseorang yang dikarenakan memiliki suatu keadaan (penyakit) menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh. Eutanasia pertama kali di muncul pada sumpah dari Bapak Ilmu Kedokteran Yunani, Hippokrates yang ditulis pada masa 400 – 300 sebelum masehi yang bunyinya “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”. Namun dalam perkembangan kasusnya eutanasia baru tercuat pada abad ke-19 yang dimulai di negara bagian New York karena diberlakukannya undang-undang anti eutanasia yang kemudian diberlakukan juga oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa dokter dan pengacara mendukung adanya eutanasia secara sukarela. Di Inggris pada tahun 1935, terbentuknya perkumpulan yang mendukung eutanasia yang

dimana memberikan dukungan pada pelaksanaan eutanasia secara agresif dan hal tersebut juga terjadi di Amerika pada tahun 1938. Namun gerakan untuk melegalkan eutanasia tersebut ditak berhasil dicapai di negara Inggris maupun Amerika. Sedangkan di Swiss pada tahun 1937 eutanasia dengan anjuran dokter diperbolehkan dengan pengecualian orang yang sakit tersebut tidak memperoleh keuntungan atas perbuatan dari hal tersebut. Pada era tahun 1940 dan 1950 pendukung untuk tindakan eutanasia mulai berkurang yang dikarenakan tindakan Nazi dalam melakukan tindakan eutanasia secara tidak sukarela dan kepada orang-orang yang menderita cacat genetika.

Menurut Abdul Mum'im Idries kematian digolongkan menjadi tiga golongan.14 Pertama, kematian somatik atau disebut juga mati klinis adalah kematian yang disebabkan karena terjadinya gangguan pada sistem kardio-vaskular, persyarafan, dan sistem pernafasan yang dimana merupakan tiga sistem utama dalam tubuh manusia yang bersifat menetap dan ditandai dengan tidak adanya gerakan pernafasan dan denyut jantung, suhu badan menurun dan pada rekaman EEG tidak adanya aktifitas listrik otak. Kedua, mati semu atau mati suri merupakan keadaan seperti mati klinis namun bersifat sementara. Ketiga, kematian selular atau kematian molekuler atau disebut juga dengan kematian biologik adalah kondisi dimana tidak berfungsinya jaringan atau organ yang disebabkan karena kematian sel. Selain itu, kematian juga dibedakan berdasarkan cara terjadinya menjadi tiga jenis yaitu orthothanasia, dysthanasia, dan eutanasia15. Disebut dengan orthothanasia jika terjadi dengan cara alamiah dan dysthanasia jika terjadi secara tidak wajar. Sedangkan eutanasia merupakan kematian yang terjadi karena dengan bantuan atau tidak tenaga medis.

Eutanasia dapat dibedakan menjadi dua yaitu eutanasia aktif dan eutanasia pasif. Eutanasia aktif merupakan suatu tindakan untuk mengakhiri kehidupan pasien melalui tindakan medis yang telah diperhitungkan oleh tenaga medis. Eutanasia pasif merupakan suatu tindakan yang dimana tenaga medis menghentikan atau mencabut segala tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien sehingga hal tersebut menyebabkan kematian pasien.16 Jika dilihat dari sudut permintaan pasien maka eutanasia dapat dibedakan menjadi eutanasia volunter, eutanasia involunter, dan nonvolunter.17 Eutanasia volunter atau eutanasia secara sukarela adalah eutanasia yang dimana si pasien meminta kepada tenaga medis untuk dilakukannya eutanasia secara pasif maupun aktif kepada dirinya sendiri. Eutanasia nonvolunter atau eutanasia diandaikan adalah eutanasia yang dilakukan tanpa persetujuan pasien karena pasien mengalami suatu keadaan yang tidak dapat memberikan keputusannya yang kemudian dianggap atau diandaikan memilih kematianya jika ia dapat menyatakan keinginannya sehingga keluarga pasien bertanggung jawab mengenai keputusan eutanasia tersebut. Eutanasia involunter atau eutanasia tidak secara sukarela merupakan eutanasia dalam pelaksanaannya dengan cara dipaksa dimana si pasien dalam keadaan sadar dan dapat memberikan keputusan tetapi eutanasia tersebut dilakukan tanpa meminta keputusan pasien tersebut.

Pada prinsipnya yang membuat suatu tindakan dikatakan merupakan eutanasia harus memenuhi tiga komponen tanpa terkecuali yaitu metode, intensi, dan motif. Metode yang dimaksud yaitu melakukan atau tidak melakukan perbuatan, sedangkan intensi yaitu dengan berbuat atau tidak berbuat yang bertujuan agar pasien meninggal, sementara untuk motifnya merupakan belas kasihan untuk menghilangkan penderitaan. Tindakan atau perbuatan dalam hal ini dibedakan menjadi dua yaitu tindakan biasa dan tindakan yang luar biasa. Tindakan yang biasa yaitu semua tindakan medis yang menawarkan perbaikan keadaan yang wajar dan dilakukan atau diperoleh tanpa biaya yang berlebihan, sedangkan tindakan yang luar biasa yaitu semua tindakan medis yang dilakukan dengan biaya yang berlebih dan apabila dilaksanakan tidak menawarkan harapan perbaikan yang wajar. Sehingga kedua tindakan ini lah yang membedakan secara persis antara eutanasia dan bukan eutanasia. Eutanasia terjadi apabila tidak diberikannya tindakan yang biasa, dan bukan merupakan eutanasia apabila tidak diberikannya tindakan yang luar biasa. 18

Hak hidup atau the rights to life yang dimana dalam Pasal 28A UUD NRI 1945 yang kemudian diperkuat dengan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Sehingga hak hidup digolongkan ke dalam yaitu hak asasi yang dalam keadaan apapun meskipun dalam keadaan darurat hak tersebut tidak dapat dikurangi dan juga merupakan hak asasi yang sangat penting ( the supreme rights ). Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) ICCPR di terjemahan resminya menyatakan bahwa “pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan ayat 2), 11, 15, 16, dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.” Apabila melihat pada Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan. Jika dilihat dari ketentuan tersebut, yang merupakan penerapan dari asas hukum lex superior derogat legi inferiori maka dengan adanya aturan dalam UUD NRI Tahun 1945 sehingga pidana mati yang diatur dalam KUHP harus dihapuskan.

Dalam penerapan hukuman mati jika terjadi kekeliruan yang tidak sengaja akan berakibat sangat parah kerena hukuman mati dalam penerapannya bersifat irreversibel. Dimana terpidana mati tidak dapat dihidupkan lagi setalah dijatuhi pidana mati meskipun dikemudian hari telah ditemukan bukti baru yang buat orang tersebut dinyatakan tidak bersalah. Sistem peradilan pidana indonesia juga masih menekankan pada unsur balas dendam yakni pada teori pemidanaan menggunakan teori absolut/pembalasan. Teori pembalasan tersebut dianut dalam KUHP yang dimana merupakan warisan dari penjajah Hindia Belanda, walaupun di Belanda itu sendiri sudah menghapus hukuman mati di tahun 1987. Teori pembalasan/absolut mengatakan bahwa pidana bertujuan semata-mata untuk menghilangkan suatu kejahatan bukan untuk memperbaiki perjahat. Pidana secara muntlak itu ada karena adanya kejahatan yang mengandung unsur-unsur untuk harus dijatuhkannya pidana. Oleh karenanya, tidak diperlukannya untuk memikirkan manfaat dari dijatuhkannya pidana tersebut kepada penjahat. Namun dalam penjatuhan hukuman mati yang biasanya dijatuhkan kepada para terpidana kasus kejahatan extra ordinary crime

dikatakan bahwa kejahatan yang sangat berat tersebut menyebabkan keresahan dan melukai perasaan moral keadilan masyarakat.19 Selain itu dengan adanya putusan MK, hukuman mati digunakan untuk memberikan pelindungan terhadap hak untuk hidup para korban dan untuk memulihkan harmoni sosial yang disebabkan dari suatu kejahatan.

Eutanasia atau disebut juga dengan mercy killing jika dikaitkan dengan HAM maka terciptanya adanya hak untuk mati yang dimana hak tersebut yang muncul dengan adanya hak untuk hidup.20 Konsep hak hidup yang terdapat dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dipandang telah mencakup pengertiannya dalam hak untuk mati yang dimana menimbulkan perdepatan. Hak asasi manusia yang selalu dihubungkan dengan hak untuk hidup, damai, sejahtera, tanpa penyiksaan dan sebagainya namun hak untuk mati tidak dijelaskan secara jelas sehingga mati tersebut biasanya dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Seharusnya dengan dianutnya hak untuk hidup damai atau hidup sehat tanpa penderitaan dan siksaan itu memunculkan pemikiran adanya hak untuk mati yang dimana hak tersebut digunakan untuk menghindarkan dirinya dari segala penderitaan yang hebat dan tak kunjung hilang.21 Selain itu, di dalam ICCPR terdapat hak untuk memilih nasibnya sendiri (the right sefl of determination). Beberapa pasal dalam International Covenant of Civil and Political Rights yang mengatur tentang hak tersebut yaitu Pasal 1, Pasal 9, Pasal 17, dan Pasal 18.

Hak untuk memilih nasibnya sendiri merupakan bagian dari HAM yang pada hakekatnya termasuk dalam hak-hak dasar. Dalam kesehatan hak tersebut dapat membuat pasien dalam menentukan pilihan mengenai kesehatannya sendiri. Hak tersebut diwujudkan dalam hukum kesehatan yaitu hak untuk menolak perawatan atau pengobatan serta tindak medik. Hak tersebut membuat dokter atau tenaga medis lainnya tidak boleh memaksa suatu tindak medik kepada pasien jika pasien belum memberikan persetujuan. Walaupun dokter sudah memberikan penjelasan mengenai kemungkinan atau resiko yang akan terjadi apabila tindak medik tersebut tidak dilaksanakan, pasien masih melakukan penolakan maka pasien harus menandatangani surat pernyataan penolakan sehingga dokter dapat menghentikan atau membatalkan tindak medik tersebut.

Selain hak tersebut, terdapat juga hak-hak lain yang dimiliki oleh pasien. Hak atas informasi medik yaitu hak yang dimiliki pasien dalam mendapatkan informasi yang berkaitan dengan keadaan penyakitnya seperti diagnosis dan tindakan medik yang dilakukan, serta informasi tentang identitas dokter yang melakukan perawatan. Hak memberikan persetujuan tindak medik yaitu hak yang menimbulkan suatu hubungan antara pasien dengan dokter dalam bentuk kontrak terapeutik, dimana dalam kontrak tersebut lebih menekankan dalam usaha atau upaya yang dilakukan oleh salah satu pihak secara maksimal. Dengan demikian, hak memberikan persetujuan tindak medik atau informed consent merupakan hal yang menjadi dasar bertidak bagi profesi kedokteran. 22

Selain hak-hak pasien tersebut, dokter juga memiliki hak-hak yang sama pentingnya dengan pasien, seperti hak untuk menolak suatu tindakan di luar Standar Profesi Medik dan hak untuk tidak setuju melakukan tindakan yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi Kedokteran. Hak untuk menolak suatu tindakan di luar Standar Profesi Medik ini membuat dokter dalam melaksanakan tindakan-tindakan untuk kesehatan dapat dipercayai sebagai tindakan medik yang profesional. Sedangkan hak untuk tidak setuju melakukan tindakan yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi Kedokteran ini membuat dokter dapat menolak tindakan-tindakan dengan dalih apapun yang diminta kepadanya jika hal tersebut bertentangan dengan hati nurani dokter sehingga dokter dapat menjaga keluhuran dan martabat profesi kedokteran tersebut. 23

Hukuman mati dan eutanasia jika dilihat dari sudut pandangan HAM, keduanya sama-sama menimbulkan pro dan kontrak yang dikarenanakan pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak mendasar dimiliki mahkluk hidup. Namun hukuman mati dalam penerapannya memiliki tujuan yang untuk memberikan perlindungan terhadap hak untuk mati korban tindak pidana sehingga hal tersebut membuat hak untuk hidup yang dimiliki oleh seorang terpidana tidak lagi bersifat absolut yang membuat hak mendasar tersebut dapat dikurangin. hal tersebut diperkuat dengan putusan Mahkamah Kontitusi dan diatur dalam UU HAM diperjelasan Pasal 9 ayat (1). Berbeda halnya dengan eutanasia yang masih menimbulkan perdebatan mengenai pemberlakukan eutanasia walaupun dalam hukum kesehatan terdapat hak pasien dalam menentukan tindakanan apa saja yang dapat diberikan kepada dirinya. Selain itu tidak semua tindakan tenaga medis dapat dikatakan sebagai eutanasia jika melihat dari pengertian diatas. Hal tersebut tidak lantas membuat eutanasia dapat diberlakukan seperti hukuman mati atau membuat tindakan mana saja yang dapat dikatakan eutanasia.

  • 3.2.    Hukuman Mati dan Eutanasia dalam Peraturan Perundang-undangan

Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala perbuatan masyarakat diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga tercatum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat asas legalitas dalam Pasal 1. Asas legalitas merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana. Sehingga dalam hukum positif di Indonesia harus mencantumkan penerapan hukuman mati. Selain itu pada tahun 2007 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 memperkuat adanya perberlakukan pidana mati di Indonesia. Dimana dalam putusan tersebut menyatakan bahwa hak untuk hidup (the rights of life) tidak mutlak diberlakukan. Ketidakmutlakan hak untuk hidup dalam Pasal 28I harus dibarengi dengan Pasal 28J UUD NRI 1945 seperti keberlakuan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004. Peraturan perundang-undangan yang menjatuhkan hukuman mati yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang khusus lainnya. Dalam KUHP, tindak pidana yang dijatuhin hukuman mati yaitu perbuatan yang mengancam keamanan negara dalam Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), kejahatan terhadap negara sahabat dalam Pasal 139a, kejahatan terhadap nyawa dalam Pasal 340, pencurian dalam Pasal 365 ayat (4), pemerasan dan pengancaman dalam Pasal 368 ayat (2), kejahatan pelayaran dalam Pasal 444, dan kejahatan penerbangan dalam Pasal 497k ayat (2) dan Pasal 497o ayat (2). Sedangkan dalam undang-undang

khusus yang menjatuhkan hukuman mati terdapat dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tenaga Atom, Undang-Undang Pengadilan HAM, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, dan masih banyak undang-undang yang lainnya.

Eutanasia dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan secara jelas dan lengkap yang mengatur mengenai eutanasia. Namun dalam melakukan tindakan eutanasia, dokter harus mempertimbangkan dua faktor yaitu faktor etika profesi dan faktor peraturan perundang-undangan. Etika profesi kedokteran yang diatur dalam Surat Keputusan KB IDI Nomor:11/PB/A.4/2013 dalam Pasal 2 yang mengatur bahwa “seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen dan mempertahankan perilaku professional dalam ukuran tinggi”. Hal ini dimaksud dalam pengambilan keputusan profesional merupakan gabungan dari keputusan medis etis dengan keputusan teknis dari pelayanan pasien dengan melakukan penilaian dan pemeriksaan yang teliti dan akurat dengan standar yang sah dalam pelaksanaan pelayanan kedokteran. Sehingga dalam hal fasilitas pelayanan yang kurang memadai dan tidak optimal dalam mendukung pelayanan yang diberikan kepada pasien, membuat pengambilan keputusan dengan kemampuan profesional mewajiban keputusan yang terbaik demi kepentingan terbaik bagi pasien. Sedangkan profesionalisme diatur dalam Pasal 8 yang menyatakan “seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia”. Selain itu dalam Pasal 11 yang menyatakan “setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani”. Sehingga dalam hal ini dokter dilarang terlibat dalam abortus tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin, eutanasia, maupun pidana mati yang moralitasnya tidak mampu dipertanggung jawabkan. Namun seorang tenaga medis harus mengerahkan segala kemampuannya dalam meringankan penderitaan yang dialami pasien.

Kedua, Faktor peraturan perundang-undangan, walau hukum positif Indonesia tidak mengatur secara lengkap dan jelas mengenai eutanasia tetapi sering dikaitkan dengan beberapa pasal yaitu Pasal 344, Pasal 340, Pasal 345, Pasal 359, Pasal 304, Pasal 306 ayat (2), dan Pasal 531 KUHP24. Pasal 344 KUHP yang mengatur “barang siapa yang mehilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, di hukum penjara selama-lamanya 12 tahun” sehingga dalam hal tersebut harus dibuktikan dengan nyata bahwa si pasien dengan secara langsung dan sungguh-sungguh meminta dilakukannya eutanasia yang dapat kategorikan sebagai eutanasia aktif. Pasal 340 KUHP mengatur bahwa “barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun”.

Pada rumasan Pasal 340 KUHP dapat dikenakan pada keluarga pasien dan dokter itu sendiri apabila keluarga pasien meminta dilakukannya eutanasia aktif kepada si pasien, karena adanya perencanaan antara dokter dengan keluarga pasien agar dihilangkannya penderitaan si pasien dengan cara menghilangkan nyawanya. Pasal 345 yang mengatur bahwa “barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh

diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri” dalam rumusan ini bukan merupakan eutanasia aktif maupun eutanasia pasif karena merupakan bunuh diri yang dibantu oleh dokter atau disebut juga dengan physician assisted suicide. Pasal 359 yang mengatur bahwa “barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Jika melihat rumusan Pasal 359 sehingga jika seorang dokter melakukan eutanasia karena kesalahan yang dia dilakukan, hal tersebut bukan merupakan eutanasia tetapi pembunuhan biasa dan dokter tersebut dapat dikatakan melakukan malpraktek.

Pasal 304 yang mengatur bahwa “barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan” dan jika hal tersebut mengakibatkan kematian, pelaku dijatuhi sanksi pidana penjara paling lama 9 tahun yang diatur dalam Pasal 306 ayat (2). Kedua rumusan pasal ini membuat dokter tidak dapat dilakukannya eutanasia pasif. Dan dalam Pasal 531 yang mengatur bahwa “barang siapa menyaksikan sendiri ada orang didalam keadaan bahaya maut, lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat diberikan atau diadakannya dengan tidak menguatirkan, bahwa dia sendiri atau orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan paling lama 3 bulan”. Namun dalam hukum pidana menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak dapat dibenarkan atau mendapat pengecualian apabila diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 KUHP.

Dengan kedua faktor tersebut membuat eutanasia dilarang dilakukan oleh dokter baik eutanasia aktif maupun eutanasia pasif bahkan eutanasia voluntir. Walaupun umumnya hukum positif di Indonesia tidak memberikan rumusan yang jelas dan pasti mengenai kematian yang membuat belum adanya batasan mengenai eutanasia dimana dalam KUHP hanya menyatakan kematian adalah hilangnya nyawa orang lain. Namun jika melihat dari tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis dalam kasus-kasus yang dipaparkan dalam latar belakang bukanlah merupakan eutanasia jika penghentian pengobatan dilakukan karena tindakan tersebut merupakan tindakan yang bersifat luar biasa.

  • IV.    Kesimpulan

Hak asasi manusia (HAM) yang merupakan hak yang melekat sejak manusia masih di dalam kandungan dengan memiliki sifat universal, utuh, dan tetap yang salah satunya hak untuk hidup. Hak untuk hidup yang diatur dalam Pasal 28I UUD NRI 1945 dengan frasa “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” tidak diartikan secara mutlak karena harus dibarengi dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Sehingga hukuman mati yang diatur secara jelas dalam KUHP dan undang-undang khusus lainnya tidak bertentangan dengan hak asasi itu sendiri. Namun berbeda halnya dengan eutanasia yang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai hal tersebut, tetapi untuk dokter dan keluarga pasien dapat dikenakan Pasal 344, Pasal 340, Pasal 304 jo Pasal 306 ayat (2) jika melakukan eutanasia aktif dan pasif. Sehingga diharapkan sebuah aturan yang jelas mengenai eutanasia yang dapat menjadi acuan tentang tindakan medis yang mana saja yang merupakan eutanasia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achadiat, Chrisdiono M. Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. (Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 2004)

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. (Jakarta, Prenada Media Group, 2017), 152-159.

Lamintang, P.A.F. dan Lamintang, Theo. Hukum Penitensier Indonesia. (Jakarta, Sinar Grafika, 2012)

Jurnal Ilmiah

Agus, Antonius Sarwono Sandi. "ANALISA YURIDIS PRAKTIK EUTANASIA PASIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT)." Jurnal JURISTIC 1, no. 01 (2020): 144-163.

Arief, Amelia. "Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana." Kosmik Hukum 19, no. 1 (2019).

Hadiyanto, Alwan. "PRO DAN KONTRA PIDANA MATI DI INDONESIA." JURNAL DIMENSI 5, no. 2 (2016).

Izad, Rohmatul. "Pidana Hukuman Mati Di Indonesia Dalam Perspektif Etika Deontologi." Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 1, no. 1 (2019).

Kusumaningrum, Anggraeni Endah. "Pergulatan Hukum Dan Etik Terhadap Eutanasia Di Rumah Sakit." Jurnal Spektrum Hukum 16, no. 1 (2019): 37-59.

Paulus, Pingkan K. Paulus. "Kajian Eutanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum Nasional Belanda)." Jurnal Hukum UNSRAT 21, no. 3 (2013): 879.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. "Suntik Mati (Eutanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1, no. 1 (2016): 56-63.

Pratama, Widhy Andrian. "Penegakan Hukuman Mati terhadap Pembunuhan Berencana." SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (2019): 29-41.

Prihastuti, Indrie. “Euthanasia dalam Pandangan Etika secara Agama Islam, Medis dan Aspek Yuridis di Indonesia.” Jurnal Filsafat Indonesia 1, no. 2 (2018): 85-90

Rukman, Auliah Andika. "Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan Penegakan HAM." Equilibrium: Jurnal Pendidikan 4, no. 1 (2016).

Sari, Ratna Kumala, and Sapto Budoyo. "PERKEMBANGAN PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM HUKUM DI INDONESIA." Jurnal Meta-Yuridis 2, no. 2 (2019).

Sumanto, Atet. "Efektifitas Pidana Mati Dalam Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika." Perspektif: Kajian Masalah Hukum Dan Pembangunan 22, no. 1 (2017): 21-31.

Suryadi, Taufik, and Kulsum Kulsum. "ASPEK ETIKA DAN LEGAL EUTANASIA." Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 18, no. 3 (2018).

Yudaningsih, Lilik Purwastuti. "Tinjauan Yuridis Eutanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana." Jurnal Ilmu Hukum Jambi 6, no. 1 (2015): 43316.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara No. 165, Tambahan Lembaran Negara No.3886).

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 2 Tahun 2021, hlm. 92-106

106